A CHANBAEK FANFICTION

.

.

.

My Bride

.

.

.

-AngelieChim-

.

.

.

Mei 9/2018

.

.

.

[Leaving without permission, then back. Sounds fun, huh? Hey, i'm not your toys.]

.

.

.

.

©AngelieHermawan

.

.

.

.

.

.

"Untuk seorang yang sudah membuat kacau hari pernikahan orang, kau benar-benar tidak tahu malu, Baek."

"Uh-yeah? Bukankah itu milikku juga?"

"Pergilah."

"Tidak sebelum kau menjelaskan siapa dia."

"Demi Tuhan, jangan membuat dirimu lebih terlihat murahan. Mereka tahu siapa dirimu."

"Yeah? Pikirmu aku peduli? Sayang, ini pesta, singkirkan kerutanmu itu. Ayo bersenang-senang."

"Fuck off!"

.

.

.

.

.

.

.1.

-The Day it Must Be-

Korea, 2010

" Kau masih belum bisa menghubunginya?" suara itu menginterupsi di antara kesibukan seorang pria yang terlihat panik mengutak-atik ponselnya. Berusaha keras menghubungi seseorang. Gemuruh di dadanya bertambah jadi saja saat ibunya berteriak kalap di belakangya.

"Kurang ajar! Lihat jalangmu, Chan?!," Sooyeon membuat suasananya jadi tambah panas. "Chanyeol! Apa yang kau pikirkan sebenarnya saat melamarnya! Dia membuat malu kita semua." desis Sooyeon disela umpatannya. Urat-urat di lehernya menegang. Lehernya sangat kaku untuk digerakkan. Dia pikir cukup suaminya saja yang tolol dengan membawa wanita baru dalam rumah tangganya sepuluh tahun lalu. Rupanya kini, anak semata wayangnya turut menuruni sikap tolol ayahnya. Bagaimana tidak, seseorang yang hendak dinikahi putranya menghilang tepat di hari pernikahaannya. Bahkan undangan telah disebar. Bahkan para tamu undangan tengah tertawa di luar ruangan tanpa tahu bahwa pengantinnya hilang.

"Bibi, tenanglah dulu. Chanyeol juga sangat syok dengan semua ini." Kyungsoo terlihat menyadarkan Nyonya Park bahwa bukan dirinya saja yang depresi. Chanyeol juga, Chanyeol lebih terpuruk. Apa yang dilakukan laki-laki itu malah membuat Sooyeon lebih geram. Maka ia memilih pergi dari pada muak pada sosok Chanyeol yang masih belum bisa menghubungi Baekhyun.

"Chan, haruskah aku pergi ke apartemennya untuk memastikan?" Chanyeol mengangguk cepat sembari berdiri dan meletakkan benda pipih itu di telinganya.

"Halo, Bi. Baek-"

"Kalau yang kau tanya adalah Baekhyun maka dia sudah tidak tinggal di apartemen lagi. Semalam Baekhyun sepertinya berjalan terburu-buru sehingga aku terbangun mendengar suara kegaduhan dari koper dan pintu yang dia banting. Apa dia kabur? Bukankah harusnya hari ini kalian menikah?"

"Oh, terima kasih Bi."

"Hey ap-"

Tuut Tuut

"Apa katanya?"

"Baekhyun sudah tidak tinggal di apartemen. Semalam dia pergi dengan terburu-buru. Sssh, sial!" Chanyeol menendang kursi kayu yang sudah dihias hingga terhempas ke sudut ruangan.

"Kyung, aku akan ke apartemennya sendiri. Tolong bantu telpon keluarga Baekhyun dan temani Mom di sini" Chanyeol bergegas keluar ruang rias dengan tergesa menuju mobilnya.

"Uh, okay"

Chanyeol menyetir dengan cepat. Meninggalkan pesta pernikahannya begitu saja. Pikirannya susah terbagi-bagi menjadi beberapa bagian. Dia yakin telah menurunkan Baekhyun dengan selamat di apartemennya tadi malam. Dia juga yakin mereka tidak terlibat pertengkaran apa-apa sebelumnya yang membuat Baekhyun merasa sakit hati. Dia menarik napasnya dan membuangnya kasar.

Chanyeol memarkirkan mobilnya cepat dan segera memasuki gedung apartemen itu. Ia menaiki lift dan berjalan menuju kamar apartemen Baekhyun. Ia yakin kesana karena ia memiliki kunci duplikatnya.

Setelah memutar kunci dan membuka kamar itu, Bibi tetangga di sebelahnya benar. Barang-barang Baekhyun sudah bersih. Termasuk lemarinya yang sudah benar-benar polos. Hanya terdapat properti yang memang milik pihak apartemen.

Chanyeol berkeliling lagi untuk alasan yang tidak ia mengerti.

Ia menemukan sticky note berwarna biru di kulkas. Chanyeol membacanya dan matanya sudah tergenang. Untuk apa yang telah Baekhyun lakukan padanya, hanya ini yang dapat carrier itu katakan? Bahkan pergi dengan ponsel yang sudah di nonaktifkan. Chanyeol tampak kusut memikirkan Baekhyun, pria itu meninggalkannya tanpa tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat. Apa kesalahan Chanyeol sebenarnya?

Dan di hari yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya itu, Chanyeol menangis di sana. Menangis dan merasa bersalah tanpa tahu apa kesalahannya.

'Maaf'

.

.

.

.

.

"Mom."

"Bagaimana apartemennya?"

"Kosong."

"Dia mengangkat telponmu?"

"Tidak."

"Tentu saja tidak. Dia tidak akan punya muka untuk bicara denganmu. Dia telah mempermalukan keluarga kita."

"..." Sooyeon mendengus keras melihat anaknya tak berkutik di tempat. Ini memuakkan, ia merasa tidak tau dimana ia harus menempatkan mukanya lagi saat bertemu dengan tetangga dan teman-temannya. Ini penghinaan besar-besaran, bagaimana bisa calon menantunya kabur di malam sebelum pernikahan. Mengingat tatapan mencibir teman sekumpulannya tadi membuat Sooyeon semakin jengah. Ia menatap lagi raut wajah anak semata wayangnya. Tatapannya kosong, dan terlihat sembab bekas air mata di pipinya. Ah. Kasihan juga putranya ini.

"Setidaknya kau tau, Chan, sangat buruk untuk menikahi seseorang dengan usia yang masih sangat muda," Sooyeon menatap anaknya yang masih tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. "Cih, demi Tuhan-aku sudah bilang, dia baru satu tahun lulus sekolah" Chanyeol masih tertunduk.

"Ck, pergilah."

.

.

.

.

.

Kyungsoo sedang menikmati jus jambunya saat ini. Hari ini hari yang sangat melelahkan. Bangun pagi-pagi, berdandan, dan ternyata Baekhyun kabur. Semua kalang kabut apalagi wedding organizer yang terlihat semakin memojokkan keluarga Chanyeol.

Sekarang ia tengah membuang semua penatnya hari ini. Menikmati jus sambil membuka akun SNSnya. Well, ia sebenarnya sangat penasaran dengan kelakuan Baekhyun, mereka cukup dekat. Dia-yang selaku salah satu sahabat baik Chanyeol suka bercanda dengan Baekhyun saat mereka semua berkumpul. Kyungsoo bersama dengan kekasihnya juga tentu saja. Tapi semenyenangkan apapun itu Baekhyun, ia tetap akan menjambaknya bila bertemu. Beraninya carrier itu mencampakkan sahabatnya.

Tidak begitu menarik apa yang sedang ia lihat di ponselnya. Yah, unggahan teman-temannya, online shopping dan- wow, ada foto dua orang pria tengah mengangkat masing-masing salah satu tangan mereka dan membuat bentuk hati di atas kepala mereka. Foto itu berlatar pemandangan menara Eiffel dari atas. Nampaknya itu diambil di salah satu balkon sebuah hotel di Paris. Indah. Benar-benar angle yang bagus untuk berfoto. Siapa yang mengunggah foto ini-WTF!

"Shit! This is impossible," maka Kyungsoo me-refresh akun SNSnya untuk mengecek sekali lagi apakah benar orang tersebut yang mengupload foto indah tersebut.

Itu benar, sialan!

Dengan amarah yang memuncak, Kyungsoo mengutak-atik ponselnya untuk segera menelpon seseorang.

"Hal-"

"YAK KEPARAT SIALAN! KAU SELINGKUH SELAMA INI?!"

"Ya ampun, Kyung.. "

"Katakan! Atau aku akan menyusulmu kesana dan menjambaki rambutmu sampai botak! Aku akan menelanjangimu di depan umum pokoknya, akhh aku tidak tahan!" Kyungsoo menjerit-jerit dengan ponselnya. Dia mulai meneteskan air mata pertamanya.

"Sayang" Panggilan itu membuat tangisan Kyungsoo malah semakin kencang.

"Hey, kau menangis?!" suara di telpon semakin panik kala tangisan Kyungsoo semakin kencang. Akhirnya dia menghela napas pelan,

"Baby, kau pasti salah paham dengan foto itu, kan? Itu foto milik Luhan-"

"Kau mau bilang kalau kau berselingkuh dengan Luhan begitu?!"

"Astaga no, darl. Luhan tidak punya SNS seperti yang kau tau, ia mengambil ponselku dan menguploadnya sendiri di akunku. Dia bilang itu foto yang bagus dan penasaran dengan respon teman-temanku. Aku juga kesulitan disini, mereka mengira aku selingkuh di Paris karena mereka tau, kau ada di Korea. Aku bisa menghapusnya kalau kau mau"

"Jadi.. itu foto Luhan denganmu?" Kyungsoo kembali merespon dengan suara yang sedikit sesenggukan.

"Hell no, Kyung. Itu foto Luhan dengan pacarnya-dia bilang begitu"

"..."

"Kyung? Apa kau masih marah?"

"Eum, tidak.. aku hanya- eung tidak"

"Hanya apa?"

"Tidak."

"Ayolah, sayang.." suara di sebrang sana semakin menggoda Kyungsoo dan wajah Kyungsoo sudah sangat memerah sekarang.

"Aku hanya.. aku hanya terlalu merindukanmu.. cepatlah pulang, Jonginnie." Kyungsoo sudah merasakan pipinya memerah luar biasa saat ini.

"Aku lebih merindukanmu, aku mencintaimu, Kyungie.."

"Aku juga mencintaimu, Nini~"

"Well, aku harus kembali bekerja, disini masih siang, babe.."

"Selamat bekerja, Daddy!"

"Hei-" tanpa mendengar kelanjutan suara Jongin, Kyungsoo mengakhiri ucapannya dengan langsung menekan tombol merah pada layar touch screen-nya.

Tuut

Kekehan carrier itu terdengar di kamarnya. Setidaknya ini membuat Kyungsoo merasa tenang.

"Well, Luhan punya pacar?"

.

.

.

.

Paris, 2010

"Shit. Aku benar-benar tidak menyangkanya! Kau melakukan itu? Itu sadis, kalau kau minta pendapatku." cecar seorang pria cantik pada lawan bicaranya.

"Yeah. Aku merasa sangat buruk. Setidaknya-hibur aku, Lu. Bantu aku."

"Awwh, poor you.. Sini!, Baby come to me."

.

.

.


~oooOOOooo~


Paris, 2018

Cafe.

"Jadi, how's your plan going?" tanya Luhan setelah minuman pesanannya datang.

"Clear." Jawab lelaki yang duduk bersebrangan dengannya, santai.

"Bagaimana rasanya akan kembali untuk sekian lama, Baek?" Luhan mulai mengiris hidangan lasagna di hadapannya. Sambil melirik pada manik Baekhyun yang juga sedang menusuk bacon-nya.

"Entahlah," jawabnya cuek lalu mengunyah makanannya. Meladeni bacotan Luhan di pagi hari, terlebih saat sarapan bukan sesuatu yang asik, man.

"Ayolah Byun Baekhyun," Luhan memperlihatkan tatapan jengahnya. "Kau akan pergi besok dan masih acuh padaku? Kau tega." Baekhyun hanya mencibir melihat kelakuan Luhan yang sangat how-ewh-disgusting.

"Jangan bilang kau kangen padanya?" namun ucapan Luhan hanya berbuah tatapan malas dari Baekhyun. "Kau tidak kangen dengannya, kan? Kau sudah move-on denganku, kan?" Luhan terlihat seratus kali lebih menjijikan jika mulai berbicara hal konyol seperti ini. The hell-delapan tahun dan tanya apa Baekhyun masih punya muka untuk menatap wajahnya? Mungkin ia akan langsung ditonjok dan lempar ke selokan. Biar begini dia masih sayang nyawanya, ssh.

"Stop talking that bullshit, Lu. Omaigat, please, itu cerita lama. Cerita yang sudah berulang tahun ke delapan. So please, kau membuatku semakin merasa bersalah mengingatnya. Akh, kucolok matamu." Baekhyun melampiaskan rasa jengkelnya dengan menusuk brutal sarapannya.

"Well-berarti aku yang akan sangat kangen padamu.. kalau kau pergi siapa nanti yang akan menemaniku sarapan sambil mendengar ocehanku nanti? Tidak adil. Aku ingin Baekhyunku tetap tinggal." Baekhyun menghela napas melihat Luhan yang merajuk dengan alasan yang menurut Baekhyun so-shitty-kekanakan.

"Lu.., astaga, kau punya Sehun."

"Tapi aku ingin kau." Luhan memasang wajah paling memelasnya untuk Baekhyun.

"God shake, kau punya pacar setipe hot daddy, Lu"

"Ew. Dasar Homo."

"Rasanya Sehun perlu tau kalau pacarnya semakin hari semakin tidak waras. Well, sebenarnya si Sehun itu lumayan, right, Lu? Bagaimana menurutmu? Kami cocok?"

"Aw!" Dan hanya berbuah tendangan pada tulang kering Baekhyun.


Airport.

.

.

.

"Jadi-hiks, ini akhirnya?" Luhan memeluk Baekhyun erat dan lama. Seolah melupakan ada Sehun di belakang mereka.

"Yeah. Sehun, jaga dia, ya. Biarpun dia menyebalkan dia tetap sahabatku. Jangan bosan dengannya, jangan muak berada di sampingnya, jangan juga membentaknya-asal tidak sering, terkadang dia memang harus dibentak."

"Hentikan ucapanmu, idiot. Kau yang harusnya dicemaskan, bagaimana nanti kau akan hidup di sana?"

"Shit, Luhan. Kau membuatku terdengar seperti seorang yatim piatu dan sebatang kara. Orangtuaku masih ada, okay?"

"Kau benar akan baik-baik saja? Benar-benar tidak apa-apa?" Luhan kembali bertanya dengan sorot peuh kekhawatiran dan sesenggukan.

"Yes. Aku sudah memberitahumu dari jauh-jauh hari, fucking Luhan. Astaga, seperti aku pergi dadakan saja. Aku bisa ketinggalan flight-ku dan membayar denda kalau kau terus memelukku seperti ini. Demi Tuhan, kau ini sangat parnoan seperti aku kesana untuk perang saja."

"Tentu saja aku khawatir! Terakhir kau kembali padaku dengan kacau, hancur, ingus dimana-mana, dan sesenggukan! Pikirmu itu apa hah! Opera sabun?!" Luhan semakin dramatis dan itu membuat Baekhyun malu. Ini di tempat umum, astaga. Meski tempat pribadi pun, ia tidak akan membiarkan Luhan bersikap menjijikan seperti ini-ewh.

"Yeah-yeah. Aku mendengarmu, Ma'am. Tapi aku janji kali ini tidak akan membuat sifat parno-mu itu kambuh lagi. Aku hanya patah hati saat itu, kau mendengarku, right? Nah, sekarang aku harus pergi, Lu."

"Kay..," Luhan mundur dan disambut Sehun dengan rangkulan di bahu. Semata-mata untuk menopang tubuh ringkih itu bila saja jatuh sewaktu-waktu. /mungkin saja./Sehun ketularan sifat parno Luhan.

"Okay, sampai bertemu lagi, kalian berdua. Semoga saat kita bertemu lagi kalian sudah sah ya" Luhan merona dan Sehun hanya menanggapinya dengan kekehan kecilnya.

"Jaga dia untukku ya, Sehun." Baekhyun beralih pada sepasang mata elang Sehun.

"Roger that."

"Baek, jaga kesehatanmu, ya" Baekhyun menggangguk menbalas Luhan.

"Jangan sentuh benda haram itu lagi." Baekhyun mengangguk lagi.

"Jangan keseringan ke Club."

"Jangan suka begadang"

"Bersikap manis"

"Jangan lama-lama menjadi single, kau tau, kau butuh belaian."

Baekhyun merotasikan bola matanya. Huft. Kapan sebenarnya ia bisa duduk dengan manis di bangku pesawat?

"Sayang, astaga, Luhan. Dia bukan anak TK lagi, he know what he has to do." Sehun juga lama-lama bosan jika harus mendengar keparnoan tidak berdasar Luhan.

"Okay, Baekhyunie, take care of yourself."

"Roger, Ma'am."

Dengan itu melangkahlah Baekhyung untuk mengejar flight-nya. Meninggalkan tempat berlindungnya sejak delapan tahun lalu. Memilih untuk mengakhiri sikap pengecutnya. Bersembunyi tidak menjadi indah baginya sejak ia merasakan perasaan menyesak itu. Rindu dan rasa bersalah. Perasaan itu semakin menggerogoti dirinya begitu dalam dan menjadikannya pengecut sejati. Namun sekarang adalah waktu yang tepat-untuk kembali menemukan dirinya yang lama-yang tertutup oleh sikap pengecutnya. Karena ia sudah sembuh.

.

.

.

.

.

.

Luhan akan selalu berharap bahwa Baekhyun baik-baik saja. Dia khawatir bukan main, man. Saat Baekhyun kembali bertemu dan lari ke pelukannya dulu, dia dalam keadaan hancur. Hancur dalam artian luar dalam. Fisiknya, dan batinnya. Delapan tahun bersama Baekhyun di saat tersulitnya membuat Luhan merasa iba padanya. Baekhyun yang mendatangi pusat rehabilitasi dan terus terusan datang ke psikiater. Luhan ikut bahagia saat Baekhyun hampir bisa di katakan sembuh dan dinyatakan bersih selama nyaris tiga tahun. Tapi kemudian Baekhyun berulah lagi, heroin. Membuatnya harus kembali lagi pusat rehabilitasi narkotika dan menjalani terapi berkepanjangan selama empat tahun. Saat itu Luhan kaget bukan kepalang ketika menemukan jarum suntik dan kapas-kapas berisi kandungan heroin di atas nakas kamar sahabatnya, dan yang bisa Luhan lakukan hanya menangisi sahabatnya. Baekhyun berkorban begitu besar untuk dapat sembuh, meski kembali menyentuh narkotika untuk sekali lagi, tapi Baekhyun dengan berani meninggalkan keluarganya, dengan berani melepaskan calon suaminya-cintanya, dan memilih untuk sembuh lebih dulu. Karena ia tahu ia tidak layak di sana. Ia tidak akan membiarkan seseorang memiliki versi rusak dirinya. Itulah Baekhyun.

.

.

.

.

"Dia akan baik-baik saja, Sayang." Sehun mengusap bahu Luhan saat empunya mulai meneteskan air mata.

"I hope so."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Korea, 2018

"Chan, sampai kapan kau akan melinglung seperti orang hilang ha? God, delapan tahun, Yeol. Sudah delapan tahun dan kau seharusnya tau diri untuk segera memberikanku cucu. Lihat dirimu sendiri, sudah tua masih merasa jadi daun muda, ingin jual mahal, eoh?" Nyonya besar itu menatap malas anaknya yang sedang menatap komputernya-sibuk dengan pekerjaannya-dan sialnya mengacuhkan Ibunya sendiri.

"Hey, kau pikir aku bicara dengan tembok? Fucking brat." Chanyeol tersentak saat gumpalan kertas terlempar ke arahnya. Menjadikan refleksya menekan tombol yang salah.

"Aish," Chanyeol menggerutu. Itu membuat dokumen yang tengah ia ketik menjadi salah kata. "Tidak bisakah Mom diam sebentar saja." Sinisnya.

"The Hell,Yeol," Sooyeon memutar bola matanya lelah, "Kau mengabaikanku, selalu." Lalu kembali menyeruput jasmine tea-nya dengan nikmat.

"Yeah.." Jawab Chanyeol setengah sadar antara menjawab Ibunya serta membaca ulang dokumennya.

"Shit. Dasar gulali." Sooyeon kemudian mengalihkan atensinya pada smartphone-nya karena merasa, lagi-lagi, diabaikan Chanyeol.

Selang beberapa menit ruangan tersebut hening dan Chanyeol bisa mengerjakan pekerjaannya dengan tenang-namun Sooyeon dengan sialnya menghancurkannya-

"Omaigat, Yeol!," Chanyeol menatap Ibunya dengan pandangan malas, "Looks so elegant, i love it! Please, Yeol.." Sooyeon bangkit dan menunjukan gambar satu set tas jebolan Louis Vuitton bewarna merah darah-dengan mata berbinar tentu saja.

Chanyeol dalam hati mencibir sikap Ibunya yang selalu ada maunya saja. "Pretty please..." melihat wajah memelas Ibunya itu, Chanyeol hanya pasrah dan mengangguk. Padahal tas-tas Ibunya lebih banyak jumlahnya dibanding koleksi gantungan kunci miliknya. Miris, ya?

"Yash! Itu baru anakku!" Sooyeon kemudian kembali duduk dengan wajah sumringah.

"Mom," Sooyeon menoleh, "What?"

"Sudah check-up?" dan Sooyeon menggeleng. "Aku baik-baik saja, Chan. Seperti aku punya penyakit mematikan saja."

"Astaga, Mom. Aku sudah menurutimu dengan tas-tas itu, sekarang giliran Mom yang menurutiku, Okay?" Sooyeon membuang napas kasar, "Yeah-yeah. Aku tidak boleh mati dulu sebelum bisa menggendong cucu. Entah seratus tahun lagi, mungkin? Aku mengerti, Yeol." Chanyeol mendelik mendengar sindiran Ibunya. Bukan salahnya bila dirinya malas menjalin hubungan dengan seseorang lagi, kan?

"Terserah. Sana cepat pergi check-up." Sooyeon pura-pura mengernyit "Kau mengusirku?" lantas dibalas Chanyeol dengan delikan maut agar Sooyeon tidak melanjutkan sikap ngawurnya dan segera angkat kaki dari kantornya-demi Tuhan, dia bosan, man. "Ya. Keluarlah."

Sooyeon langsung meneguk habis tehnya dan keluar berjalan ke arah pintu dengan malas. "Jangan lupa transfer uangnya, Bye, Love you."

"Iya cepat sana" dan dengan itu Sooyeon keluar dari ruangan Chanyeol.

"Huft. Akhirnya.."

.

.

.

.

.

.

"Sudah puas kaburnya, huh?" Baekhyun hanya cengar cenggir mendengarnya. "Oh, man, kau gila? Delapan tahun, astaga. Gila, gila, gila-kau pergi delapan tahun dan kembali lagi?! The fuck, aku merindukanmu, idiot, dasar gila," Baekhyun hanya memasang wajah meringis maklum mendapati tubuhnya dipeluk sedemikian erat. Pria di depannya kemudian beralih menatap tajam dan mencengkram lengannya.

"Kupikir kau mati atau apa, tiba-tiba aku yang sedang pakai jas ditelpon kau kabur di hari pernikahan," Baekhyun meringis pelan saat merasa cengkraman adiknya pada lengannya menguat, itu menyakitkan.

"Kenapa tidak mati saja sekalian kau ha, Nyonya Park menelpon ke rumah dan mengutukkiku atas kelakuan nista kakakku," Taehyung mencibir melihat Baekhyun hanya memasang wajah sok merasa bersalahnya yang how-ewh-dikira Taehyung bakal luluh, ck.

"Harusnya tidak usah kembali saja, lagian kau hanya akan membuat keadaan makin kacau." Harusnya Baekhyun tau, Taehyung adalah adik kurang ajar yang selalu berbicara tanpa filter.

"Ya Tuhan, Tae. Hentikan. Aku sudah mati-matian mengumpulkan nyaliku dan sialan, kau membuatku tambah ciut untuk pulang." Baekhyun menatap malas adik laki-lakinya.

"Hell. Jangan berani-berani kau pulang, Hyung. Kau pikir surprisemu lucu?" Taehyung memasang wajah datar, meminum Green Tea Latte-nya. "Jangankan bicara, masuk gerbang rumah saja kau pasti langsung mampus."

"Shut up. Mau tidak mau aku tetap harus pulang, astaga. Aku tidak mau jadi gembel di jalanan." Baekhyun menjilat singkat bibir bawahnya.

"Pfft, seperti Papa sudi menerimamu saja, funny." Baekhyun tau pilihannya untuk kabur saat penikahannya dulu sangat tidak termaafkan, tapi dia punya alasan.

"Pokoknya aku mau pulang. Bawa aku pulang sekarang." Taehyung hanya bisa memutar kedua bola matanya lelah, toh kakaknya tidak bisa dilawan. Dia tidak akan memaafkan Baekhyun jika sampai dia ikut kena marah ayahnya di rumah nanti.

.

.

.

"Byun Taehyung," panggil sosok laki-laki keriputan dengan wajah datarnya. Menjadikan bulu kuduk Byun bersaudara itu meremang. Mereka berada di ruang kerja Ayahnya, akhirnya mereka memilih untuk menemui Papa Byun yang berada di kantor.

"Yes, Papa?" dalam hati Taehyung merutuki betapa sialnya dia ikut dalam kebodohan Byun Baekhyun. Seharusnya dia lebih acuh lagi pada Baekhyun, man.

"Siapa yang ada di sampingmu, ha?" Baekhyun menelan ludahnya gugup. Ini lebih horror dari yang ia bayangkan, astaga. "Aku tidak pernah kenal orang idiot yang kabur di hari pernikahannya." Sahutnya kalem.

"A-hahaha, Pa, seriously, sumpah, astaga. Aku tidak ikut-ikut dia, Pa. Hukum saja dia, jangan bawa-bawa aku, ya?" Taehyung menatap takut-takut pada Ayahnya. Tapi Tuan Byun tidak menghilangkan tatapan tajamnya pada mereka.

"Papa," Baekhyun mengintip sedikit ke arah Ayahnya. "Aku pergi karena alasan, aku mengurus rehabilitasi dan terapi mentalku. Aku tidak bisa menikah begitu saja dengan kondisi bobrok begitu. Aku berobat di Paris, they have everything."

"Apa kau tidak cukup pintar untuk memberitahu keluargamu dan kita urus sama-sama?" Jelas sekali Tuan Byun terkejut dengan anaknya. The Hell-yang benar saja, Baekhyunnya yang imut? "Sayang sekali, aku tidak bisa. Aku tidak ingin membuat Papa jantungan."

"Kau sudah membuatku jantungan dengan kelakuanmu yang kabur saat itu dan tidak pulang-berapa? Delapan tahun," Papa Byun membuang napasnya. "Kupikir kau sudah mati, astaga."

Baekhyun kembali cengar cengir saat tubuh hangat itu memeluknya erat-seolah tidak sanggup untuk kehilangan lagi.

"Kenapa Papa tidak bisa menemukanku?" tanya Baekhyun menatap wajah Ayahnya yang sudah lama tidak ia temui. "Well-aku tidak terlalu khawatir. Kau sudah membobol tabunganmu sendiri, kau pasti punya rencana. Lebih baik kita di sini mengurusi amukan keluarga Park, sayangku. Lagipula datamu di privat." Baekhyun hanya meringis maaf mendengar sindiran Ayahnya.

"Lalu apa yang terjadi setelah kau pergi? Kau bilang terapi mental? Apa kau gila?" tanya Papa Byun setelah mengajak kedua anaknya duduk.

"Yeah. Kau belum cerita." Taehyung menimpali.

"Ugh. Aku mengurus rehabilitasi narotika," sahut Baekhyun pelan.

"THE FUCK?!" seru sepasang ayah anak yang sedang asik menyimak tersebut.

"Ssh. Stay calm, astaga," Baekhyun seketika merasa ciut lagi saat menemukan sepasang onyx sekelam malam menatap tajam padanya, pun juga dengan iris kecoklatan Adiknya. "Aku juga terapi mental untuk menstabilkan emosiku."

"What. Happen. To. You." Sahut Papa Byun dengan nada menginterogasi.

"Kecanduan heroin."

Kerutan kentara terlihat pada kening Tuan Byun. For God Shakes, his lil' Baek?! Nonsense.

"Aku tau kau gila, Hyung. Tapi, wow, narcotics? My Brother? Unbelieveable."

Baekhyun meringis mendengarnya.

"Baek, kau seharusnya membicarakannya dengan kami baik-baik." Raut Papa Byun terluka mengetahui anaknya bangkit dari keterpurukan sendirian.

"Tentu saja tidak. Orang-orang akan membicarakanku jika aku tidak cepat bergerak. Lagipula, aku divonis mengidap borderline disorder. Tidak baik jika aku tidak cepat-cepat minggat dari sini." Kerutan samar terlihat pada dahi Taehyung.

"Border.. apa?" Baekhyun merotasikan matanya. "Borderline Personality Disorder. Gangguan dimana seseorang memiliki ketidakstabilan emosi. Aku juga pernah memakai kanabis dulu, lalu mendatangi pusat rehabilitasi bahkan support group. Aku berada dalam masa percobaan dan bersih selama nyaris tiga tahun."

"Tiga tahun? Fuck, Baek. Ini sudah delapan tahun." Taehyung masih melotot setia menunggu penjelasan dari kakaknya.

"Setelahnya aku kecanduan heroin. Karantina sekitar empat tahun dan benar-benar seperti tahanan. Tapi Luhan rajin sekali menjengukku, aku jadi cepat sembuh. Lalu, lanjut perawatan di rumah sampai aku totally sehat. Aku baru benar- benar dinyatakan sehat sekitar lima bulan yang lalu. And, yeah, sekarang aku di sini."

Papa Byun dan Taehyung hanya mampu tercengang mendengar Baekhyun. The heck. Apa yang mengubah putra sulungnya-yang amat imut dan cantik menjadi sosok mantan pecandu narkotika. Mereka tidak menyangka bahwa sosok yang mereka pikir lemah dan harus dilindungi justru memiliki bebannya sendiri, beban yang sangat berat. Dan dia melewatinya sendiri.

Itu hal yang mengerikan mengingat betapa polosnya Baekhyun yang dulu.

Ini adalah kesalahannya sebagai orang tua.

Dan ia tidak bisa memarahi anaknya begitu saja atas kesalahannya.

.

.

"Sayang," Papa Byun mendekati untuk merangkul anak sulungnya. "Kita pulang ya, bilang Mama, anak sulungnya sudah kembali."

.

.

Dan Baekhyun hanya bisa mengangguk bahagia,

.

.

Dengan air mata berlinang haru.

.

.

"Yes, Papa."

.

.

TBC

.

.


~oooOOOooo~


It's me:

Hi, long time no see! aku jagonya pindah fandom, mulfan sih, lol. So, hey i'm back. Dengan cerita baru dan kenangan lama / g. Ini hadiah untuk my bestie, udah lama banget mendekam di laptop dan baru niat publish. Sorry if there any typos left, tapi percayalah aku udah baca berkali-kali mungkin masih banyak yang terlewat.

Anyway, selama aku hiatus aku gapunya temen di ffn, dm dong TuT

So, thanks for enjoy my story

RnR

Regards,

Angelie