Disclaimer : Hidekazu Himaruya
Summary
Kita tidak pernah tahu kapan kita akan pergi dan takkan kembali. Sama seperti mereka, yang setidaknya telah meninggalkan sesuatu yang berarti bagi orang-orang yang ditinggalkan, dan telah memiliki alasan yang tepat untuk hidup selama itu. Bagi mereka, hidup ini singkat sehingga mereka hanya membereskan apa yang harus mereka bereskan selama nafas masih berhembus.
A/N
Fic galau yang gagal pertama bikinan saya. Banyak korban berjatuhan, bila benci membaca karakter favorit Anda wafat, tahan flame dan segera cari fic lain yang lebih membahagiakan.
Selamat Membaca!
-Francis' Points of View-
"Francis, mau ke karaoke, nggak?" sahabatku Gilbert bertanya padaku saat kuliah selesai.
"Aduh, hari ini nggak dulu, deh. Aku banyak urusan," aku menolaknya dengan halus. Antonio terlihat sedikit kecewa dengan jawabanku.
"Memang benar-benar rajin, ya," gumam Antonio lemas padaku, dan aku tertawa mendengar kata-katanya.
"Ah, rajin atau tidak 'kan tergantung iman," aku mengacak rambutnya pelan kemudian meninggalkan mereka berdua setelah mengucap selamat tinggal.
Aku segera menaiki bus umum yang selalu mengantarkanku ke suatu tempat. Tempat yang menakutkan bagi orang-orang di negeriku ini –namun memberikan ketenangan yang cukup bagiku. Sebuah pemakaman kuno di dekat rumahku, ya, ke sinilah aku biasa merenung –sebelum pulang ke rumahku. Aku turun dari bus dan berjalan ke sebuah makam yang aku sudah hafal betul letaknya. Setelah sampai, aku berusaha tersenyum cerah kepada 'teman lama' ku. Atau lebih tepatnya, seseorang yang dulu sangat dekat denganku.
"Halo, Jeanne. Aku tidak terlambat, kan?" kataku padanya. Aku mengeluarkan setangkai mawar putih yang telah kuselipkan di dalam jaketku, dan meletakkannya di pusara.
"Lucu, deh. Masa tadi Antonio –temanku, kau tahu– mengatakan bahwa aku ini rajin," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "padahal kalau kau tidak ada, aku tidak akan jadi seperti ini, kan."
Dan seperti biasa, aku bercerita padanya mengenai apa yang terjadi denganku hari ini. Sebelum ia meninggalkanku, dialah satu-satunya yang peduli padaku. Senior Jeanne d'Arc, begitu aku biasa memanggilnya. Kalau dia tidak menyadarkan aku untuk menjalani hidup dengan kuat, aku tidak akan bisa melanjutkan kuliahku hingga tahap ini. Setelah aku puas bicara dengannya, barulah aku berjalan pulang ke rumahku yang tidak jauh dari sini.
"Francis, kau pulang terlambat lagi," Seychelles menyapaku dengan riang ketika ia membukakan pintu untukku. Aku hanya mengedikkan kepala lalu masuk ke kamarku.
Seychelles bisa dibilang adalah adik angkatku. Gadis yang masih menempuh pendidikan di sekolah menengah atas ini sudah lama dibesarkan oleh keluargaku, sehingga ketika aku pindah, ia pun ikut denganku. Tenang, aku tahu bagaimana cara memperlakukan wanita, dia selalu aman denganku. Tak lama setelah aku mandi, ia memanggilku untuk makan malam dengannya.
Hari ini dan beberapa hari berikutnya memang berjalan wajar –sampai suatu hari, sahabatku Gilbert berbicara mengenai suatu hal denganku saat makan siang.
"Francis, ada apa denganmu?" ia terlihat khawatir.
"Aku sehat-sehat saja."
"Akhir-akhir ini kau terlihat pucat. Penjelasan dari dosen juga mulai sering kau hiraukan."
Aku tidak menjawab dan kembali fokus dengan makan siangku. Gilbert memang teman terdekatku saat ini, tetapi kadang ia terlalu peduli padaku.
"Kau juga mulai sering terlihat sakit. Kalau kau tidak enak badan, bolos saja. Nanti kau bisa meminjam catatanku, kok."
"Memangnya kau pernah mencatat?" akhirnya aku angkat bicara.
"Eh..." Gilbert terlihat malu dan bingung, "catatan Antonio, maksudku. Po –pokoknya jangan memaksakan diri!" ketika ia berteriak, Antonio datang setelah membuang sampah hasil makan siangnya.
"Kalian membicarakan aku?" tanyanya polos. Aku tidak tahan melihatnya seperti itu, sehingga seperti biasa –aku menarik tubuhnya dan mengecup pipinya secara kilat. Wajahnya mendadak memerah saat itu juga.
"Tidak, cherie. Jangan curiga seperti itu~" kataku santai. Ia tidak menjawab, sementara Gilbert menggelengkan kepalanya.
"Kesehatanmu sendiri, Francis. Pedulilah, jika tidak, Bad Touch Trio tak akan lengkap lagi," katanya, dan ia meninggalkan aku berdua dengan Antonio yang bingung.
Ya. Kalau boleh jujur, aku bisa dibilang cukup bandel. Meskipun nilai tugas kuliahku selalu bagus, kekasihku ada di mana-mana. Maklum, mereka tidak bisa menolak pesona indah yang kumiliki –cukup basa-basinya. Intinya, aku memang mulai merasa tidak enak –sejak aku melakukan hal itu dengan seseorang entah yang keberapa kalinya. Aku memang khawatir, tetapi aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu. Menurut fakta, suatu hal akan benar-benar terjadi jika kita memikirkan hal itu terus.
"Francis? Apa kau baik-baik saja?" kata-kata Antonio membuyarkan pikiranku.
"Ah, ya. Tidak ada masalah denganku, cherie. Lebih baik kau pulang sekarang," kataku masih tidak nyambung.
"Tetapi aku masih ada kuliah lagi..."
"Ya sudah, madol saja."
Aku hanya bercanda, tentu. Maka aku menyelesaikan makan siangku dan pergi ke kelas bersama mahasiswa Spanyol itu.
Seusai kuliah, aku segera melakukan kegiatan rutinku –mengunjungi Jeanne. Bercerita kepadanya. Segala sesuatu –untuk kali ini, rahasia umumku yang tidak pernah diketahui olehnya.
"...begitulah Jeanne, jadi kurasa, cepat atau lambat aku akan menemuimu di sana."
Aku mengakhiri kata-kataku dengan rasa sesal karena perbuatanku terhadap kekasih-kekasihku –yang kurasa tidak perlu kusebut lagi apa nama atau istilah sopannya. Malam ini pun aku tidur dengan perasaan tidak enak.
Pagi ini, aku merasa sangat lemas. Aku terlambat kuliah karena aku tidak segera beranjak dari tempat tidurku. Rasanya aku sangat enggan untuk melaksanakan kegiatanku hari ini –makan saja malas. Sey bertanya mengapa aku seperti ini, tetapi aku hanya bilang kalau aku cuma kurang tidur.
Sebenarnya aku sudah punya prediksi mengenai apa yang tengah terjadi padaku. Namun, aku berusaha untuk berpikir bahwa prediksiku tidak akan menjadi kenyataan –meski tanda-tandanya sudah nampak jelas. Pulang kuliah ini, aku segera pergi ke rumah sakit terdekat untuk mengecek apakah prediksiku benar atau salah. Dan di rumah sakit, aku bertemu dengan Sey yang sedang mengantarkan salah satu temannya yang mendadak pingsan dan tak sadarkan diri.
"Halo, Francis."
"Hai, cherie,"
Kemudian kami sempat mengobrol sebentar hingga dokter memanggilku. Aku hanya bisa harap-harap cemas mulai saat diperiksa sampai akhirnya dokter memberikan hasil diagnosanya.
"Apa kau datang dengan keluargamu?"
"Eh –tidak," aku sudah tahu ini merupakan pertanda buruk.
"Lalu perempuan tadi siapa? Yang mengobrol denganmu tadi," dokter itu kembali bertanya padaku, dan aku menjelaskan padanya bahwa ia adalah adik angkatku. Aku mendesaknya untuk segera memberitahukan hasil diagnosaku. Dan ketika ia menyampaikannya padaku, aku sudah siap untuk menerima kenyataan terburuk –hingga aku tidak bicara apa-apa lagi dengannya selain, "terima kasih."
Maka aku kembali bicara pada Jeanne mengenai kejadian hari ini. Entah kenapa, kali ini aku tahan berdiri selama satu setengah jam lebih di sampingnya. Kadang aku berjongkok dan menatap lahan makam kosong di sebelah kanannya.
"Ironis ya, Jeanne. Padahal aku berencana bisa pergi dengan terhormat seperti kamu –tidak mati konyol karena ketololanku sendiri," kataku sambil tersenyum pahit.
"Aku ingin sepertimu –pergi setelah mengorbankan nyawamu demi mengetahui letak bom lainnya waktu itu agar dapat dijinakkan," aku melanjutkan, "padahal kalau kau langsung memotong kabel terakhir untuk menjinakkan bom itu tanpa memedulikan petunjuk bom berikutnya, kau bisa menemaniku di sini," aku kembali teringat saat ia membawa peralatan penjinak bom ke mana pun ia pergi.
"Aku ingin meninggalkan dunia ini dengan cara yang sejenis denganmu, Jeanne, bukan karena penyakit seperti yang diramalkan dokter," aku menahan air mataku, "bayangkan saja. HIV! Percuma kau mengorbankan hari-harimu hingga aku memperoleh predikat murid teladan –namun aku malah mempertaruhkan nyawaku untuk melakukan hal-hal bodoh seperti itu!"
Rasa sesalku memuncak sudah. Air mataku yang telah menitik segera kuseka –karena aku tahu, sekarang ini aku tidak sendirian.
"Kata Sey kau belum pulang dan biasanya kau suka termenung sendiri di sini," suara Gilbert mendadak mucul di belakangku.
"Kau mau apa ke sini, Gilbert?" aku bertanya pelan.
"Aku hanya ingin mengecek bahwa kau baik-baik saja –dan bahwa kau tidak ingin melompat dari atap sekolah seperti yang dikatakan Arthur." Otomatis aku tertawa kecil mendengar ungkapannya. Aku bukan orang Jepang yang rela membuang nyawa mereka sendiri hanya untuk mati dengan kehormatan. Menurutku, itu sangat bodoh!
"Kau mengkhawatirkan aku? Manis sekali kau." Gilbert terlihat kaget mendengar kata-kataku tadi.
"Ja –jangan berpikir aneh!" semburat merah muda muncul di kedua pipinya, "ini," ia memberikan setangkai mawar merah padaku lalu melirik makam Jeanne, "berikan padanya."
Aku terdiam, namun tersenyum. Tidak pernah Gilbert memberiku mawar seperti ini.
"Aaah, mawar untukku," kataku menggodanya, "ternyata kau memang benar-benar manis, Gilbert."
"Berikan padanya cepat, sebelum aku berubah pikiran," ujarnya tidak jelas. Aku pun mengambil mawar itu darinya dan meletakannya di pusara Jeanne dengan hati-hati.
"Jeanne, ini Gilbert. Dia adalah sahabatku dalam Bad Touch Trio. Masih ada Antonio sih, tetapi dia tak ada di sini," aku menyenggol pinggang Gilbert dengan sikuku, "bicaralah dengan dia."
"Hah?" si albino itu terlihat bingung hingga aku menatap matanya, "oh, oke. Hai Jeanne, aku Gilbert. Senang bertemu denganmu. Menurutku, Francis itu orangnya baik tapi mesum. Bagaimana menurutmu?"
Aku tertawa melihatnya bicara seperti itu.
"Nah, France, aku serius. Sebenarnya ada apa dengan kamu, sih? Sampai bicara sendiri dengan kuburan seperti ini –apartemenku 'kan dekat dari rumahmu?" Gilbert terlihat benar-benar khawatir sekarang. Bagaimana caraku memberitahunya bahwa hidupku diprediksi hanya tinggal tiga bulan lagi?
"Aku –aku baik –"
"Francis Bonnefoy, kau terlalu muda seratus tahun untuk bisa membohongi aku," matanya menatapku dalam-dalam. Aku hanya menghela napas pelan, kemudian menjauhkan mataku darinya.
"Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Gilbert. Kalaupun ada, pada akhirnya akan kau ketahui juga."
"..." sepertinya ia setuju –namun senyumnya hilang seketika.
"Ada apa? Kenapa diam?" aku bertanya sambil tersenyum jahil.
"Francis," matanya mendelik kesal, "jauhkan tanganmu dari pantatku yang AWESOME itu!"
Aku tertawa dan melepas tanganku. Sudah kuduga akan begini jadinya. Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan hal itu pada detik-detik sebelum aku mati –tapi yang memutuskan kita akan mati atau tidak itu bukanlah dokter, kan.
"ANTONIO! Ke sini kau!" Gilbert melambaikan tangannya kepada sesosok manusia yang telah lama kukenal. Ia menghampiri kami sambil membawa kantong kertas cokelat besar berisi barang belanjaan dari supermarket terdekat.
"Ada apa Gilbert?"
"Nih, kau kenalan dong dengan Jeanne," katanya, "dialah yang membuat Francis tidak ikut acara kita kemarin."
"Eh?" Antonio kelihatan bingung, dan kami berdua menertawakan dia. Di antara kami bertiga, dialah yang masih bisa dibilang cukup normal. Kemudian, aku merangkul mereka berdua dan mengatakan sesuatu yang diluar pemikiranku.
"Antonio, Gilbert," mereka melihat ke arahku, "kita Bad Touch Trio untuk selamanya, kan?"
Gilbert menghela napas, "untuk selamanya."
"Kita sahabat selamanya, Francis," pemuda Spanyol itu berkata pelan, wajahnya memerah sedikit.
"Oke," aku melepaskan diri, "bagus kalau begitu. Selamat tinggal, masih banyak yang harus kuselesaikan!" lalu aku pulang dan meninggalkan mereka berdua di sana, di dekat Jeanne.
-End of Francis' Points of View-
-Antonio's Points of View-
Akhir-akhir ini, Francis terlihat lelah. Dia mulai jarang mengobrol dengan kami. Tetapi menurut kabar, dia membagi-bagikan hadiah sebagai permintaan maaf kepada semua orang yang ia kenal. Dia juga menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya lebih cepat. Dia mengerjakannya di manapun dan kapan pun.
"Aku tidak mau jadi hantu gentayangan karena tugasku belum selesai," jawabnya setiap kali kutanya mengapa. Kantung matanya yang semakin menjadi-jadi –ditambah dengan bibirnya yang memucat– benar-benar memperparah penampilannya.
Mengenai kado permintaan maaf, memang sepertinya betulan sih. Beberapa hari yang lalu aku mengawasinya –yah, karena aku sahabatnya, kan?– dan aku melihatnya tengah memberikan sekotak cokelat kepada Vash –anak semester satu yang sering kami jadikan korban. Aku juga pernah melihatnya memberikan Ivan sebotol vodka yang ia sukai –dan sebuah kotak untuk dititipkan kepada kakaknya, menghadiahi Feli sekotak pasta, mengantarkan bekal khas Perancis buatannya sendiri (yang dalam porsi besar) kepada Yao, membelikan Arthur sebuah buku memasak dan satu buku lainnya dalam bahasa Inggris, dan banyak lagi, terutama untuk kekasih-kekasihnya.
Yang selalu menarik perhatianku adalah, setiap benda yang ia berikan pasti disertai dengan setangkai mawar kain –yang sepertinya ia buat sendiri. Desas-desus ramai lainnya adalah ia memberikan tiga perempat dari tabungannya untuk biaya kehidupan Seychelles dan mendonasikan hampir dari seluruh pakaiannya. Ada apa dengan dia, sih? Selama kurang lebih tiga bulan, ia berperilaku seperti Santa Klaus, yang berarti, sangat jauh dengan sikapnya selama ini.
Hari ini, untuk pertama kalinya, Francis tidak masuk. Kalau madol, biasanya dia laporan dulu dengan kami. Mahasiswa di kelas terheran-heran karena walaupun dia bandel, mau bolos pun harus izin (baca : bohong) dulu dengan dosen, dan memastikan dulu bahwa si dosen tidak akan masuk. Apalagi dia sudah mendadak baik kepada kami. Pulang kuliah, aku mendatangi rumahnya. Di sana ada Seychelles yang matanya sembab. Ada yang tidak beres di sini.
"Sey, di mana Francis?" tanyaku khawatir.
"Di –di kamarnya," air matanya menitik, "dia ingin –ingin bicara denganmu."
Aku masuk –dan menemukan pemuda Perancis itu sedang terbaring lemas di ranjangnya. Aku segera berlari menghampirinya –dan kekecewaanku memuncak ketika melihat kondisinya yang sudah tidak seperti sedia kala lagi.
"Halo, Antonio. Kupikir kau takkan datang," sapanya dengan senyum lemas.
"Francis..." aku tidak dapat mengatakan apa-apa. Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya –dan berusaha menghilangkan bayangan buruk itu dari kepalaku.
"Tampangmu kacau. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, cherie. Waktuku sebentar lagi habis." Apa yang ia katakan? Waktunya telah –?
"Antonio, terima kasih kau telah menemaniku dengan setia seumur hidupku," lanjutnya, "aku tidak pernah cerita padamu mengenai penyakitku, kan? Kini kau sudah tahu."
"Apa –Francis –jangan mengatakan hal itu seakan hidupmu tinggal tiga menit lagi!" jeritku. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak ingin sahabatku menghilang. Aku tidak ingin Bad Touch Trio kami tidak lengkap. Lebih dari itu semua, aku tidak ingin –tidak ingin –
Aku tidak ingin cinta pertamaku pergi mendahuluiku.
"Kenapa diam, Antonio?" ia bertanya santai kepadaku sementara mataku berkaca-kaca, "jangan menangis untukku. Aku tidak punya alasan untuk ditangisi. Aku tidak pergi dengan terhormat –tetapi dengan terhina."
Aku tidak sanggup lagi mendengarkan kata-katanya. Tanpa berpikir, aku mendekatkan wajahku kepadanya –berharap ia bersedia memberiku yang pertama. Namun ketika kami sudah dekat, jari telunjuk kanannya menahan dahiku segera –hingga kami tidak melakukannya.
"Pilihan yang buruk, Antonio –aku tidak ingin kau bernasib sama sepertiku. Maafkan aku karena menolak permintaanmu yang terakhir," ia tersenyum manis padaku.
"Francis –aku tidak pedu –"
"Antonio, aku menyayangimu –sungguh menyayangimu. Daripada kau menyusulku dengan cara yang sama, kau tahu meja belajarku, kan?" ia menunjukkan jarinya dengan lemah ke meja kayu yang cukup rapi, "di atas sana ada skripsiku. Kau pasti tahu –nah, tolong serahkan kepada dosen tersayang kita –Nyonya Theresa –bila aku benar-benar meninggalkanmu selamanya..."
Aku memeluknya dan berusaha tegar. Tuhan, jangan ambil dulu dia! Aku berusaha menahan suara tangisku dengan membenamkan kepalaku lebih dalam lagi di dadanya –namun hasilnya nihil.
"Tapi –kenapa Francis?" gumamku tak jelas, "kenapa harus saat aku –saat aku menemukan cinta pertamaku?" aku menjerit sedikit –dengan perasaan campur aduk.
"Ah, siapakah orang yang beruntung itu?" suara Francis terdengar agak ceria.
"Kau, Francis," aku dapat merasakan detak jantungnya mencepat sedikit. Kini sudah kukatakan. Aku tahu saat ini ia tidak sanggup berkata-kata.
Kami terdiam untuk beberapa lama –hingga Francis melepaskan pelukanku.
"Terima kasih sudah menyatakannya kepadaku," akhirnya ia tersenyum ceria meski tetap terlihat pucat, "kalau kau tidak keberatan, Antonio, aku ingin kau menggenggam tangan kananku. Biarkan Gilbert di sisi kiriku nanti –karena ia sudah ada di depan pintu sekarang."
Aku melaksanakan permintaannya, dan benar saja : pintu itu terbuka dengan Gilbert di sana –yang segera berlari dan memeluk Francis erat-erat.
"Hasil diagnosa doktermu tertinggal di meja Seychelles," katanya dengan suara bergetar, "dan aku sudah tahu semuanya. Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku, kodok mesum?"
"...aku...hanya tidak ingin... menambah beban hidup kalian...dan mempermalukan diriku...sendiri..." senyum pedih tersungging di bibirnya yang pucat.
"Francis –"
"Tangan kiriku, Gilbert," ia melepas pelukannya dan melaksanakan perintah Francis, "rawatlah Ludwig baik-baik. Jangan jadikan ia seperti kita... terutama aku..."
"Jangan bicara apapun menyangkut adikku," nada cemas terselip dalam kata-kata sang kakak.
"Antonio, masih banyak orang yang menunggumu..." suaranya melemah, "kurasa Lovino ada perasaan khusus untukmu. Jalanilah sisa hidupmu dengan baik. Kado untukmu dan Gilbert... ada di lemariku. Ambil kapan pun kalian mau."
"Ini bukan saat yang tepat untuk –" ucapanku dipotong lagi.
"Bad Touch Trio...untuk selamanya, kan?"
"Ya," Gilbert menjawab, "untuk selamanya."
"Kau tetap sahabat kami, Francis –untuk selamanya," kataku yakin, mengalahkan suara tangisku.
"Kalau begitu, aku sudah tenang sekarang..."
Dan dengan kedua tangan kami menggenggamnya, dia pergi meninggalkan aku dan Gilbert –dan tidak akan pernah kembali lagi.
-End of Antonio's Points of View-
-Gilbert's Points of View-
Upacara pemakaman Francis pasti sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Aku tidak sanggup melihatnya lebih jauh –kemarin saja sudah cukup bagiku. Maaf Francis, aku tidak tahan melihat jasadmu terbujur kaku. Dan aku tidak mau ambi resiko dikatai 'maho' oleh teman-temanku –karena aku yakin, akulah yang akan menangis paling keras.
Adikku Ludwig yang tadinya sedang berlibur di Inggris, langsung terbang ke Perancis setelah mendengar kabar bahwa salah seorang sahabatku pergi jauh. Dia tahu, di saat-saat seperti inilah aku butuh bantuannya. Sepanjang hari aku hanya mengurung diri di kamarku sendiri. Malam saat kepergiannya, aku tak bisa tidur. Hari ini, Antonio pergi sendiri ke upacara pemakaman.
"Kakak, buka pintu," suara adikku terdengar dari luar, "temanmu ingin bertemu."
"Buka saja."
"Gilbert," Antonio rupanya baru pulang dari upacara perpisahan itu, "kita masih punya urusan yang belum selesai."
"Skripsinya?" aku menyeka air mataku secepatnya, "kan kau yang diminta menyerahkannya."
"Bukan hanya itu, Gilbert. Kita belum mengambil kado terakhir dari Francis."
Seketika aku kesal mendengar kata-katanya. Kekanak-kanakan sekali dia, langsung menngincar hadiah! Aku langsung menarik kerah kemeja yang ia pakai tanpa pikir panjang.
"Jadi selama ini kau hanya mengincar benda itu," kataku geram, "kurang ajar kau!"
"Tidak –dengar dulu. Ini amanat terakhir darinya," aku melepasnya, "ayo ikut aku."
Setelah mengganti bajuku, aku berjalan dengan Antonio menuju rumah Francis yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Kami melewati makam Jeanne yang ternyata masih dipenuhi mahasiswa universitas kami. Lahan kosong di samping makam wanita itu kini telah dihuni oleh –'dia'.
Aku melihat sekilas Seychelles yang sesenggukan sedang dirangkul oleh Katyusha yang mengatakan bahwa ia siap membantunya bila dia dalam masalah. Ya, seingatku, Katyusha adalah kekasih terakhir Francis. Semua mahasiswa itu –termasuk yang pernah menjadi korban-korban kami –terlihat mengalami kesedihan yang mendalam. Dosen-dosen terlihat berdukacita –mengingat nilai-nilai Francis dapat dibilang cukup luar biasa.
"Gilbert –kita sudah sampai. Sey telah meminjamkan kunci rumahnya padaku," pemuda Spanyol itu membuka pintu, "jadi kita bisa masuk dengan mudah."
Kemudian kami berjalan menyusuri rumah itu –dengan sedikit rasa takut dengan Francis yang mungkin gentayangan. Di depan pintu kamarnya, hatiku semakin miris mengingat aku melihat Francis untuk terakhir kalinya di kamar itu.
"Bersiaplah untuk menghadapi kesedihanmu, Gilbert –aku sudah puas menangis dari kemarin," katanya.
Dia membuka lemari Francis pelan-pelan. Di dalamnya, tidak ada selembar pakaian pun –namun ada dua buah kotak yang bisa dibilang cukup besar. Satu kotak berukuran sedang dibungkus kertas menyerupai bendera Spanyol, satu lagi yang besar sekali dibungkus bendera Prussia. Maka aku mengambil kotak bebendera Prussia –dan membukanya dengan hati-hati.
"Gi –gitar listrik..." aku menggumam pelan setelah mengeluarkan bingkisan itu dari kotak di dalamnya. Selembar surat terselip di senarnya.
Untuk Sahabatku Gilbert
Gitar ini kuwariskan untukmu. Kuharap aku dapat mendengarkan kau berduet dengan adikmu lagi. Terus terang saja, Einsamkeit kalian sangat menggetarkan hatiku (meski aku tidak terlalu mengerti artinya). Kuharap kau dapat menempuh hidup yang lebih baik dariku.
Aku takkan melupakanmu. Terima kasih telah setia menemaniku hidup.
Francis Bonnefoy.
"Apa yang dia tulis, Gilbert?" pertanyaan Antonio menyadarkan aku dari lamunanku.
"Eh –buka hadiahmu," aku tidak sanggup mengatakan kepadanya. Dan ketika ia membuka kotaknya, kedua matanya mendadak berkaca-kaca. Ia berusaha menahan tangisnya dan membaca surat untuknya terlebih dahulu.
"Mon Cherie, Antonio
Aku ingin hidupmu lebih bahagia dariku, dan kau adalah orang yang paling berharga bagiku selain Gilbert. Aku sudah tahu perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku sejak setahun yang lalu.
Agar kau tahan menghadapi hidup ini tanpaku, aku mewariskan untukmu laptop milikku satu-satunya, lengkap dengan headphone, speaker, port USB, dan printer serta scanner-nya yang tak dapat kumasukkan ke dalam kotak ini. Dalam flash disk-ku ada folder berisi buku harianku, boleh kau baca jika sedang ingin.
Jalani hidupmu sebaik-baiknya. Jangan coba-coba menyusulku dengan cara apapun.
Francis Bonnefoy.
Notabene
Je t'aime, Antonio."
Ia selesai membaca. Matanya semakin tampak berkaca-kaca. Apalagi ketika ia membaca kalimat terakhir –seketika air matanya menitik jatuh. Isak tangisnya mulai terdengar. Kertas di tangannya jatuh –dan ia menggigit bibirnya demi menahan isakannya sendiri. Dia membisikkan nama Francis sambil menangis.
Aku tidak tahan melihatnya begini. Menangis, meratap, bergumam tidak jelas. Padahal ia menyuruhku untuk bersiap menghadapi kesedihanku, kan?
"Dia... sudah tiada, Gilbert..." hanya itulah yang dapat kudengar dengan jelas diantara isak tangisnya. Aku tidak sanggup melihat ia menderita –sudah cukup dengan kehilangan Francis
Tanpa ragu, akupun memeluknya, dan suara isakannya terbenam sedikit. Ratapannya tetap saja terdengar olehku. Semakin lama, isakannya semakin membuat hatiku pedih. Tanpa sadar air mataku telah mengalir perlahan dari kedua mata merahku. Aku tak kuasa menahannya lagi, kini aku paham betapa sedihnya jika orang yang dekat denganmu pergi sejauh-jauhnya. Namun berbeda dengan Antonio, aku tidak menjerit atau meratap, karena aku tahu.
"Kau benar. Dia memang sudah tak ada di sini..." bisikku pelan kepadanya. Tangisnya semakin menjadi –dan aku mendekapnya lebih erat.
Aku tahu bahwa Francis memang sudah tiada di dunia fana ini. Tetapi ia tetap ada dalam hatiku. Hati Antonio. Dan hati semua orang yang selalu ingat padanya.
End of Kuliah Terakhir, Mahasiswa Teladan
A/N
Setelah saya baca berulang-ulang... INI GALAU YANG SUPER GAGAL! #jambak rambut
Mohon review Anda, agar fic yang rencananya mau dibikin multichapter ini lebih baik lagi (dan agar galaunya lebih terasa). Terima kasih sudah membaca.
-kanasvetlana-
