PERLU DIPERHATIKAN:
Fic ini ditulis beberapa tahun yang lalu. Jadi harap maklumi tulisan yang REALLY REALLY REALLY SUCKS that you might throw up
Main cast:
Lee Hongbin | Kim Wonshik | Jung Taekwoon
Lee Jaehwan | Cha Hakyeon | Han Sanghyuk
Supporting cast:
Huang Zitao | Choi Sooyoung | Bang Yongguk
Park Minha | Hwang Juwon | Pyo Hyemi
Choi Yoonsun | Lee Sungyeol | Lee Yooyoung
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Aku ingin sekali menghabisi pimpinan mereka. Karena tanpa pimpinan, The Dark Light bukanlah apa-apa. Dan kita bisa menghabisi mereka semua dengan mudah." Ujar Yongguk, pimpinan dari salah satu gangster di kota mereka yang biasa disebut BST.
Mereka berada di markas. Sebuah bangunan rumah tua tak terurus dan tak berpenghuni. Gelap, lembab, dan penuh dengan debu. Beberapa kaca jendela telah pecah sehingga hanya ditutupi dengan papan kayu dan menyisakan celah bagi sinar matahari dan udara yang masuk. Pintu masuk berada di dalam gang dan memang bukanlah sebuah rumah yang besar.
"Jadi kau akan menaklukkan pimpinannya terlebih dahulu?" Hongbin duduk berhadapan dengan Yongguk yang duduk di kursi istimewanya. Mereka dibatasi sebuah meja –semacam meja kerja. Sementara Tao dan Sungyeol –dua anggota BST yang lain duduk di sofa yang terletak di ujung ruangan. Mereka berdua mendengarkan perbincangan Yongguk dan Hongbin.
"Tidak. Kau yang akan melakukannya." Jawab Yongguk. Hongbin mengerutkan kening dan menunjuk wajahnya, "Aku?"
"Ya, tentu saja. Kau pikir untuk apa kami memintamu?" Yongguk dan Hongbin bisa saling mengenal karena Yongguk adalah senior Hongbin semasa SMA. Sejak sekolah Yongguk memang sudah menjadi brandalan. Sementara ia memandang Hongbin sebagai siswa yang baik dan tidak pernah berbuat macam-macam. Tapi itu bukan masalah baginya. Ia tidak pernah membenci anak-anak baik lagipula. Selama mereka tidak mengganggunya. Sama halnya dengan Yongguk, Sungyeol juga adalah kakak kelas Hongbin. Sementara Tao adalah seorang pria Cina yang merantau untuk mencari kehidupan baru dan menepi di bawah pimpinan Yongguk.
"Tapi… kau seharusnya mempekerjakan orang yang kuat. Bukan aku."
"Tidak. Aku tidak pernah memilih orang yang salah. Tentu saja aku tidak akan memintamu untuk menghabisinya begitu saja. Jika aku saja merasa kesulitan dalam menghadapi pimpinan The Dark Light, apa yang membuatmu berpikir bahwa kau bisa menghabisinya?"
Hongbin menautkan kedua alis tebalnya, "Lalu?"
"Jadi aku akan memintamu untuk menaklukkannya dengan cara lain."
"Bagaimana aku akan melakukannya?"
"Begini, pimpinan mereka adalah seorang gay."
"Memang kenapa?"
"Kau masih tidak mengerti juga? Ia begitu mudah tergoda oleh seorang pria berwajah menarik seperti dirimu."
Hongbin mencoba mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Yongguk, "Apa? Tunggu, jangan bilang kalau-" sepertinya ia sudah mengerti.
"Ya, kau akan menggodanya. Dan di saat yang tepat kau masukkan ini ke dalam minumannya." Yongguk menyodorkan sebungkus kecil serbuk berwarna putih pada Hongbin.
"Ketika ia lemah kau harus segera memberitahu kami sehingga kami segera datang dan menghabisinya dengan mudah."
"Kenapa tidak Tao atau Sungyeol hyung saja? Mereka juga memiliki wajah yang menarik kan?"
"Tidak bisa. Pimpinan mereka sudah terlanjur mengetahui bahwa Tao dan Sungyeol adalah bawahanku. Karena kau bukan anggota kami, maka aku memintamu."
"T-tapi… aku bukan seorang gay!"
"Jangan pedulikan itu. Kau harus profesional. Dan jika kau berhasil, ini akan menjadi milikmu." Yongguk menepuk-nepuk amplop cokelat tebal, yang Hongbin yakini berisi begitu banyak uang di dalamnya.
Hongbin menggigit bibir bawah, dan mengatupkan mata. Mempertimbangkan dalam benak. Rasanya begitu sulit baginya. Apa ia benar-benar harus melakukan itu? Tapi Yongguk bisa memberinya uang yang dibutuhkannya.
Ia menghembuskan karbondioksida dengan berat, sebelum menjawab, "Baiklah. Aku… mengerti." Dengan ragu, ia meraih plastik kecil berisi serbuk itu.
"Bagus. Biar kuberitahu, ia biasa berada di sebuah klub malam yang tidak memiliki nama, karena tempat itu tersembunyi. Ini alamatnya." Ia menyerahkan secarik kertas pada Hongbin, dan langsung diterimanya.
"Bisa kulihat foto pimpinan The Dark Light itu?" pinta Hongbin.
"Tidak ada. Begitu sulit untuk mendapatkannya."
"Lalu bagaimana aku akan menemukannya di dalam sebuah tempat seramai klub malam?"
"Klub yang biasa ia datangi itu bukanlah tempat berkumpul para gay. Jadi jika kau bertemu dengan seorang pria yang berpostur tubuh tinggi atletis seperti kita, dan ia menatapmu dengan tatapan ingin memangsa, maka itulah orangnya. Sangat jelas. Tidak ada lagi orang seperti itu di sana."
-oO-Wrong Guy-Oo-
Hongbin duduk termenung di tepi ranjang kecilnya. Ia menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Terus memikirkan tugas yang akan ia lakukan kelak. Jika bukan karena ingin membantu ayahnya, ia tidak perlu melakukan itu semua.
Ia adalah seorang anak tunggal. Ibunya meninggal ketika ia masih duduk di bangku SMP karena sebuah kecelakaan mobil. Maka ia meneruskan hidupnya berdua dengan sang ayah di rumah yang kecil. Hidupnya tidak bahagia. Ayahnya meminjam begitu banyak uang dari seorang lintah darat karena selalu kalah dalam berjudi. Sejak dipecat, sang ayah tidak pernah lagi mendapatkan pekerjaan. Sehingga sekarang mereka terancam tidak memiliki tempat tinggal sebagai jaminan dari hutang-hutang ayahnya.
Sebenarnya bisa saja ia meninggalkan ayahnya. Namun bagaimanapun juga itu adalah ayah kandungnya.
Hongbin menegakkan tubuh. Menatap refleksi matanya di cermin, "Aku akan melakukannya." Ujarnya mantap. Menguatkan tekad dalam hati.
Ia bangkit. Mengenakan sweater dan syal karena malam ini begitu dingin.
Aku pasti bisa.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Letak klub itu sekitar delapan kilometer dari rumah Hongbin sehingga ia harus menghabiskan sebagian uangnya hanya untuk membayar bus.
Setelah turun dari bus, ia memasuki sebuah gang yang begitu sempit yang diapit dua bangunan gedung pencakar langit. Berjalan melewati sepuluh blok dan menuruni tangga yang membawanya ke dalam lorong bawah tanah. Banyak sekali tikungan di sana. Banyak juga persimpangan dan jalan bercabang yang membingungkan. Ia harus tahu apakah ia harus terus berjalan lurus atau berbelok? Berbelok ke kiri atau ke kanan? Itulah sebabnya Yongguk memberikan peta.
Ketika sampai di depan sebuah pintu, ia membukanya. Memasuki sebuah klub yang akhirnya telah ia temukan.
Tempat itu begitu ramai. Dentuman musik yang sangat keras terdengar jelas di telinganya. Orang-orang memenuhi lantai dansa, menggoyangkan tubuh dan menggerakkan kepala mereka dengan suka ria. Sebagian pengunjung pria terlihat sedang bermain wanita di sofa berbentuk huruf 'U' pada beberapa sudut ruangan. Sebagian besar dari orang-orang itu mabuk tentu saja.
Hongbin adalah tipe orang yang tidak pernah ingin memasuki tempat semacam begini sama sekali. Jadi ketika ia berjalan menghampiri meja bar, ia melihat-lihat ke sekelilingnya untuk mengenal tempat yang sedang ia singgahi itu.
Ketika sampai di depan meja bar ia melihat seorang pria bertubuh tinggi atletis duduk di situ. Ia memakai mantel hitam dan terdapat tiga pasang piercing di telinganya layaknya seorang gangster. Tatap pria itu bertemu dengan mata Hongbin. Pria itu enggan untuk melepas tatapan itu dan menyeringai.
Kenapa ia menatapku seperti itu? Apakah pria ini orangnya?
"Silahkan duduk." Pria itu mempersilahkan. Ia memasang senyum menggoda pada Hongbin.
Tiba-tiba Hongbin mengingat sepenggal kalimat yang dikatakan Yongguk, "Jika kau bertemu dengan seorang pria yang berpostur tubuh tinggi atletis seperti kita dan ia menatapmu dengan tatapan ingin memangsa maka itulah orangnya. Sangat jelas. Tidak ada lagi orang seperti itu di sana."
Jika tidak ada lagi orang seperti itu di sini seperti yang Yongguk hyung katakan, pria ini pasti orangnya.
Hongbin memulai aktingnya dengan membalas senyuman itu, "Terima kasih." Jawabnya ketika menduduki kursi yang bersebelahan dengan pria itu. Ia mencoba untuk bertindak sewajarnya. Ia tidak ingin membuat gerak-gerik yang mencurigakan.
"Ingin minum sesuatu?"
"Tentu." Meskipun hatinya menolak. Negara tempat ia tinggal sekarang ini telah mengizinkan orang berusia 18 tahun ke atas untuk meminum minuman keras. Tapi ia tidak pernah tertarik.
"Kau ingin minum apa? Biar aku yang belikan." Tanya pria itu.
"Eh? Terima kasih. Mungkin aku akan memesan…"
Apa yang harus kupesan? Aku tidak tahu minuman keras apa saja yang tersedia di sini! Masa iya di sini ada soju? Tapi mungkin… selama itu adalah minuman keras, kenapa tidak?
"Tolong Julep untuk dua orang." Pesan pria itu pada sang bartender di hadapan mereka. Padahal Hongbin belum menyelesaikan kalimat. Bartender itu langsung membuatkan pesanan. Julep adalah wiski, gula, dan es yang dicampur menjadi satu hingga menciptakan satu jenis minuman yang berbeda.
Minuman macam apa itu?
"Jadi… ada apa seorang pria manis seperti dirimu datang ke tempat ini, hm?" Tanya pria itu.
Jantung Hongbin berdegup secara kurang ajar dan sebisa mungkin ia tidak memperlihatkan ada bagian tubuhnya yang gemetar, "Aku memiliki masalah di keluargaku. Jadi aku ingin melepas penat di sini dan sejenak melupakan semua masalah."
Sang bartender menyuguhkan minuman bening keemasan seperti jus apel dalam dua gelas bening berbentuk persegi.
"Minumlah." Ujar pria itu, menunjuk gelas Hongbin dengan wajahnya.
"Terima kasih." Hongbin meraih gelasnya dan meminum Julep itu. Hanya satu tegukan. Ia menahan mimik mukanya agar tidak memperlihatkan bahwa ia pertama kali merasakan rasa air yang begitu menusuk lidah dan tenggorokannya itu. Kadar alkoholnya 40%.
"Kelihatannya kau menyukai Julep. Kalau begitu kau juga pasti menyukai Manhattan, Bourbon, Straight, Scotch, atau Hopscotch." Ujar pria itu. Ia juga mulai meminum Julep-nya.
"Tentu, aku suka Hopscotch." Jawab Hongbin asal.
"Kim Wonshik." Ujar pria itu.
"Ne?" Hongbin tidak mengerti maksudnya.
"Namaku Kim Wonshik." Ulangnya, "Tapi aku biasa dipanggil Ravi." Lanjutnya.
Gawat. Aku lupa bertanya pada Yongguk hyung siapa nama pimpinan The Dark Light itu! Bagaimana jika bukan orang ini?
"Aku Lee Hongbin."
"Kau tahu? Kau begitu menarik. Ceritakan lagi apa masalahmu?" Pinta Ravi. Ia menopangkan sikut pada tepi meja sebagai tumpuan.
"Benarkah? Kau benar-benar ingin tahu kisah dari orang asing sepertiku?"
"Aku akan mendengarkan."
Hongbin menatap gelasnya, yang penting bukan menatap Ravi, "Baiklah." Ia menceritakannya secara pelan-pelan dan tenang, "Aku adalah seorang anak tunggal. Eomma meninggal ketika aku masih duduk di bangku SMP karena sebuah kecelakaan mobil. Jadi aku melanjutkan hidupku berdua dengan appa di rumah yang kecil. Hidupku tidak bahagia. Appa meminjam begitu banyak uang dari seorang lintah darat karena selalu kalah dalam berjudi. Sejak dipecat, appa tidak pernah lagi mendapatkan pekerjaan. Sehingga sekarang kami terancam tidak memiliki tempat tinggal sebagai jaminan dari hutang-hutang Appa." Mengingat itu semua ia jadi ingin menangis saat itu juga.
Ravi merasa ia sudah ikut masuk ke dalam cerita itu. Ia benar-benar mendengarkan kisah Hongbin dengan seksama.
"Sebenarnya bisa saja aku meninggalkan appa. Namun bagaimanapun juga appa adalah ayah kandungku." Lanjut Hongbin, tersenyum miris.
"Kau memiliki kisah hidup yang rumit." Komentar Ravi. Hongbin menatap lawan bicaranya, "Menurutmu begitu?" Tanya Hongbin. Ravi menganggukkan kepala.
"Kau tahu? Ketika seseorang merasa terpuruk, ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling sial di dunia ini. Padahal orang-orang di sekitarnya yang terlihat bahagia memiliki masalah mereka sendiri juga. Bahkan di luar sana masih banyak orang yang memiliki masalah yang lebih berat darinya. Jadi sebaiknya kau juga jangan berkecil hati. Karena dengan suatu cara, kau akan tahu dan menemukan penyelesaian masalahmu." Jelas Ravi panjang lebar. Hongbin tercengang mendengar itu. Tentu, ternyata Ravi adalah seorang pendengar yang baik. Yang bukan hanya mendengarkan cerita seseorang tanpa memberi komentar. Namun ia dapat memberikan setidaknya sedikit saran untuk membuat si pencerita merasa lebih baik.
Pria brengsek seperti dia bisa juga memiliki pemikiran seperti itu. Benar, ia juga adalah manusia. Seburuk apapun dia, pada dasarnya ia pasti memiliki hati yang baik.
"Terima kasih atas kalimat motivasimu. Tapi tentang cara orang terpuruk itu menyelesaikan masalah mungkin tidak sesederhana yang kau bayangkan jika kau tidak pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya berada dalam kasus yang membuatnya terpuruk itu."
"Ravi! Aku membutuhkan bantuanmu di sini!" teriak seorang gadis dari arah sofa di sudut ruangan terdekat mereka.
"Tunggu sebentar. Aku akan kembali." Ujar Ravi. Hongbin mengangguk, dan Ravi meninggalkannya.
Setelah memastikan Ravi sudah berjalan jauh darinya, Hongbin segera mengeluarkan bungkus plastik kecil berisi serbuk putih yang diberikan Yongguk.
Ia mencoba untuk membukanya namun sulit, "Sial. Plastik macam apa ini? Kenapa susah sekali dibuka?" keluhnya sambil terus berusaha membuat bungkus kecil itu terbuka. Ia ingin segera mengeluarkan isinya, lalu mengaduknya dalam minuman milik Ravi. Sayangnya jemarinya tidak sanggup untuk membukanya. Bahkan ia mencoba merobeknya menggunakan gigi taring.
"Kau sedang apa?" Tanya Ravi yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Hongbin membulatkan mata.
Sial! Sial! Sial! Kenapa si brengsek ini cepat sekali dengan urusannya?!
Hongbin menoleh setelah kembali memasang tampang datar, "Ini-"
Ravi mengangkat sebelah alis. Menunggu lanjutan kalimat Hongbin.
"Obatku. Aku baru ingat ini adalah saatnya aku minum obat." Jawab Hongbin segera.
"Kalau begitu biar kubantu." Tanpa mengambil tempat duduk terlebih dahulu Ravi langsung mengambil plastik itu dan merobeknya dengan mudah. Membuat Hongbin tercengang. 'Memangnya caraku membukanya kurang apa?' pikirnya.
"Minum obat itu… enaknya jika dicampurkan dengan minuman. Seperti ini." Ujar Ravi dan langsung menaburkan serbuk itu ke dalam gelas milik Hongbin tanpa menunggu persetujuan sang pemilik. Ia lalu mengaduknya dengan cepat.
Hongbin sangat terkejut melihat itu.
Ia menelan ludah.
"Aku sudah membantumu. Kau tinggal meminumnya saja."
Hongbin meraih gelasnya dan tersenyum. Padahal hatinya menangis, "Terima kasih."
Mati aku!
Hongbin terpaksa menenggak minuman itu. Diiringi perasaan takut luar biasa yang menjalar di hati. Dan langsung meletakkan kembali gelas itu setelah ia habiskan.
Ravi menunduk, memposisikan bibirnya tepat di depan telinga Hongbin. Ia berbisik, "Apa kau tidak cukup gila untuk menyetujui orang asing memasukkan obatmu ke dalam minuman keras?" Ravi mengukir senyum licik andalannya. Hongbin mengerutkan kening, terlebih karena ia mulai merasa kepalanya pusing.
Apa maksudnya ia berkata seperti itu?!
"Kecuali… jika itu adalah serbuk obat tidur yang TADINYA ingin kau berikan pada lawan bicaramu." Lanjut Ravi. Hongbin terkesiap. Dan rasa sakit semakin terasa. Ia menautkan kedua alis dan memegangi kepala.
Gawat! Apa ia curiga? Apa ia tahu?!
"Kau pikir aku sebodoh itu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau rencanakan?" ujar Ravi lagi, semakin memojokkan Hongbin.
Hongbin merasa sakit di kepalanya telah mencapai klimaks. Matanya pun terasa semakin berat. Ia meminum obat itu dalam dosis yang terlalu tinggi.
"Dan… oh iya, Hopscotch itu tidak ada. Aku hanya mengarangnya saja. Aku hanya ingin mengujimu. Dan ternyata… kau tidak tahu apa-apa tentang jenis-jenis minuman keras sesuai dugaanku."
Tubuh Hongbin melemas. Tangannya jatuh menggantung bersamaan dengan mata yang perlahan terpejam. Tubuhnya hendak terjatuh ke lantai namun Ravi segera melingkarkan lengannya pada tubuh Hongbin dari belakang.
Tanpa Hongbin tahu, fungsi obat tidur yang diberikan Yongguk sama seperti obat bius total.
Dan berhasil membuat Hongbin kehilangan kesadaran secara total.
"Aktingmu bagus sekali pria manis… kau benar-benar serigala betina. Sayangnya… aktingku yang lebih hebat telah menaklukkannya bahkan membuatmu merasakan senjatamu sendiri…"
-oO-Wrong Guy-Oo-
Ketika Hongbin membuka mata dengan perlahan, ia mendapati dirinya berada dalam sebuah kamar yang luas. Tempatnya nyaman dan bernuansa soft brown. Namun sayang sekali ia tidak tahu di mana itu.
"Sudah bangun rupanya." Ujar Ravi yang baru saja melepas celana dalam yang Hongbin kenakan dan melemparnya asal. Sekarang tidak ada sehelai benangpun yang membalut tubuh Hongbin. Sama halnya dengan Ravi. Mereka dapat melihat keseluruhan tubuh mereka satu sama lain dengan sempurna. Sama-sama seksi dan memiliki abs.
"A-apa yang… telah kau lakukan padaku?" Tanya Hongbin dengan susah payah. Jangankan bergerak, berbicarapun sulit. Pengaruh obat bius itu masih teraplikasikan dalam sistem pergerakan tubuhnya.
"Belum melakukan apa-apa. Seperti yang kau lihat, aku baru selesai melepas semua atribut yang membalut tubuhmu." Jawab Ravi dengan ringannya. Tidak bisa memahami perasaan takut yang luar biasa pada sang lawan bicara.
Ia memposisikan diri di atas tubuh Hongbin, menjadikan kedua lengan kekarnya –yang berada di samping kedua bahu Hongbin sebagai tumpuan di atas ranjang. Hongbin yang tidak berdaya hanya bisa menatap Ravi ketakutan dengan mata sayunya.
"Tolong jangan lakukan, kumohon... Aku tidak menyukai pria..." Hongbin memelas. Terlihat jelas pada mata sendunya.
Ravi menyeringai, "Tenang saja. Aku akan membuatmu menjadikan diriku sebagai pria pertama yang kau sukai." Ravi menekuk kedua kaki jenjang Hongbin –yang tidak lebih jenjang dari miliknya dan melebarkannya. Sehingga akses untuk merasuki tubuh Hongbin sekarang telah tersedia. Hongbin menggeleng-gelengkan kepala dengan susah payah.
"Tidaaak!"
-oO-Wrong Guy-Oo-
Nafas Hongbin terengah-engah. Tanda kemerahan bekas isapan dan gigitan Ravi tercipta di bagian leher dan dadanya. Air liur milik Ravi telah melumuri bagian atas tubuh Hongbin terutama daerah puting yang juga telah diisap, digigit, dan dicubit. 'Lahar' putih kental menyatu dengan darah merah segar yang mengalir di sekitar selangkangannya. Cairan sperma milik Ravi telah tumpah di dalam tubuh Hongbin dan sebagian air cinta itu merembes keluar dari lubang hangat Hongbin. Tubuh mereka lengket. Air mata Hongbin telah membasahi bantal. Ini adalah rasa sakit luar biasa yang tidak pernah Hongbin rasakan seumur hidup. Ia merasa seakan tubuhnya terbagi dua.
Aku sudah hancur sekarang…
Ravi mencengkeram leher Hongbin, hendak mencekiknya. Namun Hongbin tidak bereaksi apa-apa. Ia terlalu lemah saat ini. Ia hanya bisa menatap Ravi dengan mata sayu yang basah bekas air mata. Membuat Ravi merasa tidak tega.
Ia melepaskan cengkeraman itu dan tangan kanannya meraih tangan kiri Hongbin. Mengecupnya kemudian, "Kau tahu? Jika Leo hyung melihatmu ia pasti akan melakukan hal yang sama. Menerkammu dengan kasar seperti ini."
"Leo…?"
"Ya, Leo hyung. Pimpinan kami. The Dark Light. Sekelompok gangster saingan terberat BST. Jadi jika kau mencari Leo hyung, kau salah orang." Ujar Ravi yang terduduk tenang di samping Hongbin.
Hongbin melanjutkan tangisan mengingat bahwa hal yang paling berharga yang ada pada dirinya telah direnggut oleh seorang anak buah The Dark Light. Ia hanya mengalirkan sungai air mata tanpa mengeluarkan suara tangis sedikitpun.
Melihat itu entah mengapa Ravi merasa… entah bagaimana ia menjelaskannya. Perasaan antara bersalah, menyesal, dan iba, menjadi satu.
Ia membuang nafas. Perlahan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh Hongbin. Ketika tangan Ravi baru menyelimuti Hongbin hingga sebatas perut, Hongbin langsung menarik kain tebal itu hingga menutupi dadanya. Dengan menahan rasa sakit di bagian selatan tubuh ia membalik badan untuk menyamping membelakangi Ravi. Membuat Ravi semakin merasa bersalah.
"Maafkan aku Lee Hongbin. Aku tidak bermaksud melakukan ini semua padamu. Aku sedang mabuk tadi." Ujar Ravi.
"Untuk apa kau berkata begitu? Sementara kau sudah biasa menyetubuhi orang-orang yang tidak bersalah, iya kan?!" Hongbin merasa enggan untuk membalik kembali tubuhnya untuk berhadapan kembali dengan Ravi.
"Tidak, tidak. Aku bukanlah seorang pemerkosa. Sejujurnya ini adalah pertama kalinya bagiku. Kau adalah orang pertama yang kusentuh hingga sedalam itu."
Perlahan tangis Hongbin terhenti, "Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Kau adalah seorang pembohong. Di klub semalam kau berpura-pura tidak tahu bahwa aku sedang berakting di depanmu. Bahkan kau mengatakan kata-kata pembangkit semangat padaku. Padahal aku sudah merasa takjub mendengarnya. Ternyata itu semua hanya akting. Kau telah mempermainkanku."
Hening sejenak sebelum Ravi berkata, "Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku tidak memaksamu untuk mempercayaiku. Yang jelas aku telah mengatakannya padamu. Dan untuk kalimat motivasi yang kuberikan, itu semua adalah murni prinsipku."
Ravi bangkit dan mengenakan seluruh pakaian.
"Ketika mendengarkan kisah hidupmu yang menyedihkan, di situ aku tidak melihat kebohongan di matamu. Kau benar-benar menceritakannya dari dalam hati. Jadi… aku berpikir untuk memberimu sedikit… er… ini…" ia meletakkan segenggam tebal uang sebesar satu juta won di atas nakas.
"Jika kau tidak ingin melihatku- er- maksudku, tentu saja kau tidak ingin. Jadi… baiklah, aku akan pergi. What a great one night stand Lee Hongbin. Selamat tinggal." Ucapnya lalu Hongbin mendengar suara pintu ditutup.
Setelah itu, sunyi.
Berbanding terbalik dengan situasi beberapa saat yang lalu ketika suara keras desahan mereka berdua saling menyahut, menggema di seisi ruangan. Salah satu dari mereka mendesah kenikmatan dan pihak lainnya justru mendesah kesakitan.
Hongbin membalik tubuh, "Ssshhh…" mendesis kesakitan ketika mencoba untuk bangkit. Ia terduduk sendirian. Menatap ke arah segenggam uang yang Ravi berikan. "Ia pikir siapa dirinya? Menyentuhku, memberikan uang, dan meninggalkanku begitu saja? Lalu apa yang membuatnya berpikir bahwa aku akan menerima uang itu begitu saja? Ia pikir aku tidak punya harga diri?"
Ia merayap ke tepi ranjang, mencoba meraih celana jeans –yang tergeletak asal di atas lantai, tempat ia meletakkan ponsel. Setelah ia mengambil ponsel, ia segera menghubungi Yongguk.
"Halo Hongbin. Bagaimana? Kau sudah membiusnya?" Tanya Yongguk di seberang.
Hongbin menggigit bibir bawah, "Tidak hyung. Aku tertangkap oleh salah seorang anak buah Leo yang postur tubuhnya lebih tinggi dariku."
"Apa kau bilang? Oleh siapa? Lebih tinggi darimu? Ravi?"
"Ya, Ravi."
"Lalu kau sekarang bagaimana?"
"Ia meninggalkanku."
"Kau di mana?"
"Entahlah. Sebuah kamar hotel tapi aku tidak tahu di mana."
"Bagaimana bisa kau tidak tahu tempat singgahmu saat ini?"
"Sudahlah hyung, jangan bertanya terus. Aku pusing. Besok akan kuceritakan."
"Baiklah."
Sambungan telepon diputus Yongguk. Hongbin menatap nanar ponselnya lalu meletakkannya.
Ia kembali menolehkan pandangan pada uang di atas nakas. Tiba-tiba ia mengingat penderitaan sang ayah. Yang membuatnya mau tidak mau harus menerima uang itu.
"Persetan dengan harga diri. Aku melakukan ini demi appa."
Perlahan ia meraih uang itu lalu memeluknya.
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Aku pulang." Ucap Hongbin dengan lemas ketika memasuki ruang tengah. Sebuah ruangan kecil yang tadinya adalah tempat bagi sang penghuni rumah untuk menonton TV. Hingga suatu hari seorang lintah darat menyitanya. Jadi hanya ada meja rendah dengan dua bantal lebar sebagai alas duduk.
Tuan Lee sedang menduduki salah satu bantal itu sambil menerawang ke luar jendela. Menatap kosong ke arah langit cerah di siang hari. Begitu indah. Sayangnya ia tidak bisa menikmati keindahan itu karena ia melamun.
Hongbin mendudukkan diri di hadapan ayahnya, "Appa…" panggilnya. Lamunan pria paruh baya itu buyar dan menoleh pada putra semata wayangnya yang tampan.
"Dari mana saja kau? Kau tahu ini jam berapa?" Tanya tuan Lee tanpa diiringi intonasi tinggi sama sekali. Raut wajahnya pun datar.
Hongbin menyodorkan segenggam uang pada ayahnya, "Ini untukmu. Kau bisa menyicil hutangmu dengan ini. Lumayan kan?"
Sang ayah meraih uang itu lalu menghitungnya, "Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak ini?"
Hongbin menyemat senyum, "Sudahlah. Kau tidak perlu tahu dari mana uang itu berasal. Yang jelas sekarang uang itu sudah ada."
Tuan Lee melempar tatapan intimidasi, "Apa kau mencuri?" selidiknya. Spontan putranya menggeleng cepat, "Tidak, tidak, appa. Tentu saja tidak. Seseorang memberikannya padaku dengan sukarela."
"Siapa orang itu? Ia baik sekali."
Sekarang Hongbin yang mengarahkan pandangannya ke luar jendela, "Seseorang yang aneh." Dan menoleh lagi pada ayahnya, "Appa, tolong jangan gunakan uang ini untuk berjudi ya? Kumohon…" ia segera mengalihkan pembicaraan, tidak menginginkan ayahnya bertanya lebih jauh tentang dari mana uang itu berasal.
"Jika bukan karena berjudi kita akan dapat uang dari mana?" ujar sang ayah.
"Bagaimana jika appa kalah lagi?" wajah Hongbin mulai kusut ketika mengatakannya.
"Doakan saja semoga appa berhasil kali ini."
Hongbin menunduk, "Apa tidak terlalu ironis jika kita berdoa untuk memenangkan perjudian?"
"Jangan banyak bicara. Kau ingin kita bisa makan kan?"
Hening sejenak sebelum Hongbin menjawab, "Tentu appa."
"Ngomong-ngomong soal makan, apa kau sudah makan?" sekarang giliran sang ayah yang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin mendengarkan ceramah putranya tentang perjudian. Hal itu hanya akan membuatnya berpikir bahwa putranya itu menasihati orang tua atau sok bijak.
"Sudah appa. Aku menggunakan sebagian uang itu untuk sarapan dan makan siangku di luar sana tadi." Ungkap Hongbin.
"Baguslah. Aku juga sudah." Tuan Lee melipat uang di tangannya lalu memasukkannya ke dalam saku jaket biru bludrunya yang sudah lusuh "Sekarang aku akan mencoba peruntungan dengan uang ini. Bagaimana denganmu?"
"Aku akan pergi lagi keluar untuk menghirup udara segar. Seperti biasa."
Tuan Lee bangkit dari tempat duduk, "Kalau begitu appa pergi dulu. Anak appa yang tampan, jaga dirimu baik-baik selama appa tidak ada, Oke?" pamitnya. Hongbin mengangguk lemah, "Tentu, jaga dirimu juga appa."
Ketika Tuan Lee sudah berdiri di ambang pintu, ia menoleh pada Hongbin, "Ngomong-ngomong kau wangi sekali. Kau pasti baru saja mandi di luar sana." Setelah itu sang ayah berlalu dari hadapannya.
"Appa! Memangnya sejak kapan aku tidak pernah mandi?!" protes Hongbin.
Tiba-tiba ia mengingat Nahyun, seorang adik kelasnya ketika SMA yang ia pacari. Gadis itu hobi sekali mengatakan bahwa Hongbin sangat wangi seperti bunga Azalea. Itu adalah saat-saat yang indah. Hingga tiba saatnya gadis itu mengetahui tentang kehidupan Hongbin yang serba kekurangan, ia meninggalkan Hongbin untuk berkencan dengan seorang pria kaya. Memperdalam tekanan yang dialami Hongbin.
Ia menghembuskan nafas lelah. Lengkap sudah penderitaan hidupnya.
Mau di bawa ke mana hidupku ini? Sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini?
-oO-Wrong Guy-Oo-
Di markas, Hongbin menceritakan semuanya secara detail pada Yongguk. Sejak ia pertama bertemu Ravi hingga ia ditinggalkan. Kecuali perihal dimana Ravi memberinya uang sebesar satu juta won.
Seperti biasa mereka duduk berhadapan di kursi tempat mereka bernegosiasi.
"Dasar tidak becus!" Yongguk menyorotkan tatapan tajam tanpa henti pada sang lawan bicara.
"Salah hyung sendiri kenapa tidak memberitahuku siapa nama pimpinan mereka?" Hongbin mencoba membela diri.
"Sudahlah, kau memang tidak berguna." Timpal Tao memperkeruh suasana. Ia melipat tangan dan bersandar di ambang pintu.
"Tapi kan aku sudah berusaha sebisaku sampai-sampai aku kehilangan keperjakaanku dalam misi itu." Hongbin tidak terima. Mereka dengan mudah menyalahkanku seperti itu karena mereka tidak merasakan betapa sulitnya perjuanganku, pikirnya.
"Itu adalah resiko karena kesalahanmu sendiri. Kau pantas mendapatkannya." Ujar Sungyeol yang terduduk nyaman di sofa dan berselonjor. Kalimatnya barusan sudah cukup untuk menjadi kalimat terakhir yang bisa membuat Hongbin merasa terpojok.
"Lalu bayaranku?" Hongbin tidak mempedulikan lagi perdebatan yang tidak bermutu baginya.
"Bayaran apa? Aku menjanjikanmu sepuluh juta won jika kau berhasil. Tapi kau malah gagal. Jadi jangan harap." Jawab Yongguk dengan ringan.
"Tapi-"
"Perjanjian tetaplah perjanjian." Kukuh Yongguk menginterupsi perkataan Hongbin.
"Tapi… apakah kau masih mau mempekerjakanku lain waktu?" Hongbin penuh harap. Namanya juga kakak kelas semasa sekolah, siapa tahu saja mau membantu, pikirnya lagi.
"Tidak. Ravi sudah terlanjur mengenali wajahmu." Jawab Yongguk dengan tegas. Berhasil mematahkan harapan Hongbin.
"Jadi… tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk membantumu? Lalu bagaimana denganku? Aku sangat membutuhkan uang itu." Hongbin memelas.
"Kau seharusnya bersyukur aku tidak menyiksamu atas kegagalanmu."
"Apa kau bilang?" sebenarnya Hongbin tidak terlalu takut dengan kata 'siksaan' secara fisik karena setiap kali ia berkelahi ia bisa menangkis pukulan yang diberikan lawan. Bahkan ia mampu membalas dan memenangkan pertarungan. Ia memiliki tubuh yang besar lagipula. Satu-satunya kasus yang membuatnya tidak bisa melawan hanyalah saat ia bersama Ravi. Karena saat itu tubuh Hongbin memang masih berada di bawah pengaruh obat bius yang membuatnya begitu sulit untuk membuat seluruh sistem pergerakan pada tubuhnya berfungsi secara normal.
Yongguk menyodorkan selembar uang sepuluh ribu won pada Hongbin di atas meja, "Ini untukmu. Cukup untuk makan malammu dan ayahmu hari ini kan? Anggap saja ini adalah belas kasihanku padamu. Jadi tolong tinggalkan tempat ini sekarang juga. Kau mengerti?"
"Tapi-"
"Cukup! Harus berapa kali kukatakan bahwa kau itu telah gagal? Apa kau tidak mengerti? Cepat pergi." Yongguk mencoba mempertegas bahwa ia memang benar-benar ingin Hongbin segera berlalu dari hadapannya.
Hongbin mengambil uang itu dengan kasar. Dengan melempar tatapan sengit pada Yongguk ia bangkit. Menatap Tao dan Sungyeol bergantian sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari tempat itu.
Jika bukan karena selama ini Hongbin adalah seorang anak yang baik Yongguk benar-benar sudah menyiksanya sejak tadi. Ya, ia adalah anak yang baik dan tidak pernah mencari masalah dengan siapapun. Jadi setiap kali ia berkelahi penyebabnya adalah sang lawan yang ingin mencari masalah dengan Hongbin.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Cahaya –light namun gelap –dark. Bagaimana menginterpretasikannya? Itulah The Dark Light. Sulit ditafsirkan. Cahaya hanyalah istilah untuk mencapai sebuah keberuntungan bagi kelima anggota The Dark Light yang selalu menang dalam perjudian di manapun mereka melakukannya. Perbandingan angka kekalahan dan kemenangannya? Hanya satu banding sembilan dari keseluruhan permainan yang pernah mereka lakukan. Dan gelap, itu sudah jelas dari perilaku mereka. Berjudi jelas-jelas adalah sebuah kegelapan. Dan itulah mereka. Leo, N, Ken, Ravi, dan Hyuk. Lima orang pria bertubuh tinggi atletis namun percayalah mereka tidak semenyeramkan yang kau bayangkan.
Meskipun dikatakan sebagai gangster mereka tidak pernah mencuri apalagi merampok. Tidak pernah memperkosa apalagi membunuh. Hal paling negatif yang mereka lakukan hanyalah berjudi. Ya, sebut saja mereka itu gangster penjudi. Sama halnya seperti BST. Kedua gangster itu adalah kelompok penjudi terkuat dan mereka bersaing. Bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan di kalangan para penjudi. Mungkin sesekali mereka suka menyiksa orang. Tapi mereka tidak melakukannya begitu saja pada orang yang tidak bersalah. Mereka hanya melakukannya pada orang-orang yang melakukan kecurangan pada mereka dan menurut mereka pantas untuk dihukum. Itupun tidak sampai mati. Hanya supaya orang-orang seperti itu jera.
Mereka hanya menginginkan kebebasan untuk melakukan apapun yang diinginkan. Namun mereka ingin mendapatkan kesenangan itu tanpa bersusah payah. Maka alih-alih mencari profesi yang lazim mereka lebih memilih untuk mendapatkan harta di jalur yang salah.
N memiliki konflik yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Ia memiliki masalah yang begitu berat di keluarga. Jadi ia memilih lari dari ikatan itu. Ia juga memiliki seorang kekasih. Seorang gadis prostitusi bernama Nara. Karena dengan N yang seperti ini mana mungkin ia mendapatkan gadis baik-baik? Kecuali jika ia menipu para gadis dengan mengatakan bahwa ia adalah murni orang yang memiliki banyak harta bukan hasil dari berjudi.
Ken juga meninggalkan keluarga karena ingin lari dari realita yang pahit. Ia mengencani Yooyoung. Seorang siswa SMA biasa-biasa yang ingin menyadarkan Ken dari perbuatannya suatu hari. Ia bisa mendapatkan seorang gadis baik-baik karena mereka memang sudah menjalin hubungan asmara semenjak sebelum Ken menjadi seseorang yang seperti sekarang ini.
Hyuk seharusnya masih duduk di bangku SMA. Namun ia dikeluarkan dari sekolah akibat ketahuan berjudi dengan jumlah uang yang begitu besar sebagai taruhan. Ia melakukan semua itu karena orang tuanya terlalu miskin. Tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya. Kekasihnya adalah seorang adik kelas. Newsun, gadis dari kalangan orang berada. Karena kecintaannya yang mendalam terhadap Hyuk, ia dimanfaatkan. Hampir setiap hari Hyuk menerima uang dalam jumlah besar dari gadis polos yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan Hyuk yang gelap itu.
Pada umumnya, anggota The Dark Light memiliki konflik yang sama yaitu masalah keluarga yang tidak mampu. Seperti kasus N, Ken, dan Hyuk. Namun tidak dengan Ravi. Ia berasal dari kalangan berada. Ia adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya memiliki harta yang melimpah. Ia telah diberi satu perusahaan resort namun ia tidak tertarik untuk berkutat dengan hal seperti itu. Ia hanya menginginkan penghasilan dari perusahaan itu. Maka sebagai pemilik, Ravi mempercayakan perusahaan itu pada manajer eksekutifnya untuk mengelolanya namun penghasilannya tetap mengalir deras pada Ravi. Jadi ia menjadikan perusahaan itu sebagai urusan sampingan. Yang ia prioritaskan tetaplah The Dark Light karena potensi untuk mendapatkan banyak uang dari kelompok itu lebih besar. Bukannya ia masih merasa kekurangan, hanya saja ia juga ingin memiliki identitas yang luar biasa.
Leo, sang pimpinan. Ia memiliki wajah yang unik. Tampan namun menyeramkan. Siapapun yang melihat matanya akan merasa takut. Di antara yang lain ia yang paling tangguh dalam permainan judi. Apapun jenis permainan itu. Itulah dua faktor kuat yang menyebabkan dirinya dijadikan sebagai pemimpin. Konflik yang ia miliki juga berbeda dari anggota The Dark Light umumnya. Keluarganya adalah kalangan menengah. Segala kebutuhannya selalu terpenuhi secara normal dan proporsional. Kedua orang tuanya juga hidup dengan harmonis. Yang menyebabkan dirinya jadi seperti sekarang ini adalah pergaulan. Ditambah orientasi seksualnya yang menyimpang. Ketika orang tuanya mengetahui hal itu ia diusir. Di samping suka berjudi ia juga suka melakukan hubungan seksual dengan banyak pria yang baru ditemuinya. Yang jelas bukan dengan Ken –anggota The Dark Light yang ia sukai. Leo akan melakukannya hanya jika ia dan pria yang baru ditemuinya itu suka sama suka. Ia tidak pernah memaksa. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa The Dark Light bukanlah pemerkosa. Dan Ken hanya tertarik pada lawan jenis. Jadi… apa yang bisa Leo perbuat?
"Bagaimana kalau kita mencoba peruntungan di Las Vegas?" Tanya Ken yang memegang Manhattan botolan. Isinya telah habis setengahnya. Ia kuat dengan jenis minuman keras apapun dan ia menyukainya.
"Ide yang bagus. Ayo kita pergi ke sana kapan-kapan." Tanggap Hyuk setelah menyodok bola dengan tongkatnya di atas meja billiard. Ia kembali berdiri tegak. Mata menyeleksi bola mana yang sebaiknya menjadi target untuk disodok atau dimasukkan ke dalam lubang. Sejak tadi baru ada satu bola yang masuk. Ia memang baru tertarik dan mencoba memainkan bola sodok itu sekarang-sekarang. Biasanya ia lebih suka menyaksikan para hyung-nya yang memainkannya.
"Jangan hanya jadikan ini sebagai wacana. Sebaiknya kita benar-benar menetapkan tanggal untuk pergi ke sana." Ravi membungkuk lalu menyodok bola. Dan barusan ia baru saja berhasil memasukkan dua bola ke dalam dua lubang yang berbeda.
"Ravi benar. Leo, bagaimana pendapatmu?" N sedang asik memainkan game perjudian pada tabletnya. Ia duduk bersila di atas permadani polos dan bersandar dengan nyaman pada sofa yang diduduki Ken.
Leo tidak menjawab. Ia berdiri membelakangi semua anggota. Ia menatap sebuah lukisan besar. Lukisan sebuah pohon besar yang tertanam secara terbalik di atas bukit. Meskipun hanya pohon hal itu memiliki nilai filosofis yang tinggi. Dimana ia mengetahui bahwa orang-orang di sekitarnya memiliki sifat yang begitu mirip dengan pohon itu. Tapi bukan filosofis itu yang Leo perhatikan. Ia melamun dan kebetulan lukisan itu yang menjadi objek dari indera penglihatannya.
Merasa tidak ditanggapi, N menghentikan permainan. Ia menoleh pada Leo, "Jung Taekwoon, apa kau hanya akan menonton visual tidak bergerak itu seharian?" protesnya.
"Hah… ia mulai lagi. Sudahlah hyung biarkan saja ia seperti itu." Ken telah menghabiskan Manhattan-nya lalu mengambil lagi sebotol lagi. Meskipun kuat, sekali minum ia hanya akan menghabiskan dua botol karena ia tidak ingin terlalu sering bolak-balik ke toilet.
Inilah tempat persembunyian mereka. Terletak tidak jauh dari klub dimana Ravi dan Hongbin bertemu. Di bawah tanah juga namun harus melewati beberapa persimpangan yang membingungkan. Seperti labirin. Jika kau tersesat, kau tidak akan menemukan markas ini, keluar pun tidak bisa.
Karena pemandangan di luar sana hanyalah lorong-lorong yang gelap maka tidak ada jendela di sana. Hanya dipasang ventilasi di setiap ruangan sebagai tempat sirkulasi udara yang baik. Tempatnya tidak pengap dan cukup nyaman.
Leo berbalik, berhadapan dengan seluruh anggota, "Tidak akan ada yang pergi ke Las Vegas. Tidak Ken, tidak siapapun." Leo dengan intonasi datarnya. Berhasil membuat semua menoleh padanya.
"Kenapa?" protes Ken. Jika ada yang menolak untuk pergi ke pusat perjudian –terbesar di dunia itu maka ia yang paling tidak terima. Karena itu semua adalah idenya. Dan sudah sejak lama juga ia ingin mengetahui bagaimana rasanya berpijak di negeri orang lain? Mereka sudah memiliki uang yang melimpah lagipula. Jadi apa lagi yang harus mereka tunggu?
"Tunggulah beberapa bulan lagi. Masih ada hal yang harus kita selesaikan." Jawab Leo. Ken menghembuskan nafas lega. Kalimat sang pimpinan barusan tidak benar-benar menutup keinginannya. 'Beberapa bulan lagi' berarti akan terlaksana, hanya butuh waktu. Sebenarnya bisa saja ia pergi sendiri. Namun karena solidaritas dan loyalitas terhadap The Dark Light ia ingin pergi bersama-sama dan bersenang-senang bersama.
Ketika mendengar kata 'hal' dari bibir Leo yang langsung terbesit dalam benak Ravi adalah BST. Dan ngomong-ngomong soal BST ia jadi teringat pada Hongbin. Hingga saat ini ia tidak pernah mengatakan apapun perihal Hongbin pada Leo. Lagipula ia tidak berniat untuk menemui lagi pria yang telah ia setubuhi itu.
Jika itu bisa membahayakan hidup Hongbin, tidak akan kubiarkan Leo tahu.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Flashback
"Kukira kalian hanya gangster penjudi. Kukira kalian tidak pernah membunuh siapapun. Lalu apa namanya 'memiliki niat untuk menghabisi pimpinan The Dark Light' itu kalau bukan membunuh?" Hongbin mencoba menyadarkan ketiga anggota BST.
"Kita tidak pernah bisa mengalahkan mereka."
"Jika ingin mengalahkan mereka, bermainlah dengan sehat hyung."
"Kesempatannya hampir tidak ada. Mereka selalu menang melawan kita."
"Kalau begitu lawan orang lain saja. Kalian pasti menang."
"Jika seperti itu kita tidak akan dapat pengakuan dari semua orang."
"Apalah artinya pengakuan bagi kalian? Kukira kalian tidak terlalu mempermasalahkan itu. Yang penting mendapatkan uang yang banyak dari orang-orang. Lagipula kalian sudah dapat pengakuan kan di kalangan kalian bahwa kalian adalah salah satu gangster penjudi yang tangguh."
"'Salah satu', bukan 'yang paling'."
"Memangnya apa arti semua itu untukmu?"
"Itu adalah jalan gangster kami."
Flashback off
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Appa…" Hongbin baru memasuki ruang tengah rumah. Ia langsung duduk di hadapan sang ayah yang seperti biasa melamun.
Lamunan itu buyar, "Hongbin? Akhirnya kau pulang juga. Aku ingin memberitahumu sesuatu." Tuan Lee menyemat senyum tulus. Ia terlihat sedang bahagia.
"Aku juga." Hongbin terlihat lesu. Karena ia tidak yakin bahwa ia akan menyampaikan kabar gembira kepada sang ayah.
"Apa itu?" Tanya tuan Lee yang masih enggan untuk melepas senyum.
"Appa duluan." Hongbin tidak mau kalau ia yang mengatakan lebih dulu sang ayah batal memberikan kabar gembira itu.
Tuan Lee menarik napas sebelum menjawab, "Baiklah. Begini, aku menang lagi dalam perjudian. Jadi aku ingin mengajakmu untuk makan di restoran mahal." Jelasnya dengan antusias. Karena sebuah keberuntungan akhir-akhir ini ia selalu memenangkan perjudian. Sehingga selain bisa menggunakan uang itu untuk berjudi ia juga bisa membayar hutang-hutangnya sedikit-sedikit pada para lintah darat yang memiliki urusan dengannya. Tidak hanya itu, sekali-sekali ia juga ingin menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan putranya tentu saja.
Hongbin tersenyum miris, "Kedengarannya menyenangkan." Kontradiktif dengan kalimat yang ia lontarkan barusan.
"Apa yang ingin kau katakan?" Tuan Lee tidak melupakan pernyataan sang putra sebelumnya.
Hongbin menggigit bagian bawah bibir, "Tapi… appa tidak akan marah?"
Tuan Lee mengerutkan kening, "Tergantung. Jika kabar itu baik tentu aku tidak akan marah."
Hongbin menunduk. Tiba-tiba menjadi takut untuk mempertemukan tatap dengan sang ayah, "Kalau begitu aku tidak akan bilang."
"Memangnya apa sih? Katakan aja." Tanya tuan Lee penasaran. Lama-lama ia jadi kesal juga dengan putranya yang plin-plan ini.
Hongbin menelan ludah, "Aku…"
Tuan Lee menaikkan sebelah alis menunggu lanjutan kalimat sang putra, "Ya?"
"Aku hamil." Hongbin semakin menundukkan pandangan karena memberikan peryantaan semacam begitu tidaklah mudah.
Senyum bahagia yang sempat terukir di wajah tuan Lee seketika menghilang, "Apa kau bilang?"
"Aku hamil appa." Hongbin kali ini akhirnya bersedia untuk menatap mata sang lawan bicara. Namun suaranya memelan.
PLAKKK!
Tuan Lee menampar wajah putranya sekuat tenaga. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal ini. Selama ini Hongbin menjadi anak yang baik. Tapi sekarang? Ia baru saja mendapat kabar langsung dari putranya sendiri bahwa putranya itu bukan lagi anak yang baik. Karena secara tidak langsung Hongbin mengakui bahwa ia telah melakukan seks bebas dengan sesama jenis. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah salahnya. Semua terjadi begitu saja ketika Hongbin berada dalam sebuah misi demi mendapatkan uang untuk sang ayah.
Hongbin memegangi pipi kiri yang sakit. Jantung berpacu dengan sangat cepat, lebih cepat daripada batas normalnya.
Tuan Lee bangkit dari tempat duduk dan berdiri tegak di hadapan sang putra. Ia berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk wajah Hongbin, "Siapa yang melakukannya?! Katakan!" bentaknya membuat Hongbin semakin terkejut dan merasa sangat takut.
Hongbin mendongak, "Tolong dengarkan penjelasanku dulu appa!"
"Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Pergi kau dari sini sekarang juga!" telunjuk tuan Lee mengarah ke pintu keluar.
Hongbin terkesiap. Ia memegang tangan sang ayah, "Maafkan aku appa, aku-" namun tuan Lee langsung menghempaskan dengan kasar.
"Jangan pernah membiarkanku melihat wajahmu lagi Lee Hongbin. Kau sangat menjijikan. Aku tidak sudi memiliki anak sepertimu." Tuan Lee memalingkan muka. Menunggu kepergian sang putra. Ia merasa sangat kecewa. Tidak tahu bahwa selama ini Hongbin bahkan merasa lebih kecewa padanya. Namun Hongbin tidak pernah mengatakannya.
"Appa…" Suara Hongbin sedikit bergetar.
Ia ingin menangis namun ia menahannya.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Hongbin berjalan dengan lesu di trotoar. Ia tidak tahu tujuan sekarang. Ia merasa bingung. Katakanlah sekarang ia sebatang kara. Sang ayah sudah tidak lagi masuk hitungan keluarga karena telah mengusirnya. Ia juga sudah tidak memiliki kakek dan nenek. Ditambah kedua orang tuanya adalah anak tunggal. Ia benar-benar sendirian. Ia tidak tahu harus menumpang tempat bernaung di mana? Markas BST? Tidak. BST bukanlah sekumpulan orang baik-baik. Mereka bisa membullynya kapan saja. Lalu… rumah teman-temannya? Juga tidak. Sudah lama ia tidak bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Ia terlalu sibuk mengurusi urusan sendiri untuk mencari uang tanpa bantuan seorang teman. Ia memiliki satu teman baik tapi anak itu sudah pindah ke Jepang.
Memikirkan itu semua membuatnya merasa tertekan. Yang lebih membuatnya bingung bagaimana ia mencari uang? Bagaimana ia akan menghidupi dirinya?
Ia hendak sampai di persimpangan. Mungkin hanya sekitar 20 langkah lagi. Tapi sebelum itu ia melihat seseorang berjalan dari arah persimpangan itu. Berhasil membuatnya membulatkan mata dan langkahnya terhenti.
Kim Wonshik…?!
Saat ini Hongbin mengahadap ke Utara –arah persimpangan itu, dan Ravi terus berjalan ke arah Barat sehingga Ravi tidak berpapasan dengan Hongbin. Tentu, jadi Ravi tidak melihatnya sama sekali.
Hongbin hanya diam terpaku hingga ia melihat seorang pria yang mencurigakan berjalan mengikuti Ravi secara diam-diam. Pria itu membawa sebuah properti berupa kursi kayu.
Hongbin mengerutkan kening.
Untuk apa ia membawa barang seperti itu di jalan begini?
Ia melihat pria itu mengangkat kursinya tinggi-tinggi dan hendak memukul Ravi.
Sekali lagi Hongbin membelalak.
Ia berlari menghampiri Ravi, "Kim Wonshik!"
BRAKKK!
"Hngh!"
Ravi menoleh ke belakang dan mendapati Hongbin mengeluarkan darah dari dalam mulut. Sekarang Ravi yang membulatkan mata. Hongbin terjatuh di pangkuannya.
Sebenarnya saat itu bisa saja Hongbin menahan properti itu dengan lengannya yang kuat. Tapi ia tidak sempat mungkin karena terlalu panik.
"Lee Hongbin!" Ravi mengguncang-guncangkan tubuh lunglai Hongbin.
Ia juga mendapati pria mencurigakan tadi berlari sejauh mungkin.
Kursi kayu yang tadinya akan dipukulkan pada punggung Ravi dengan sekuat tenaga justru malah menghantam punggung Hongbin dengan sangat keras. Hingga kursi itu hancur.
Sialan! Si brengsek Juwon itu mengikutiku hingga kemari!
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Bagaimana kondisi Hongbin sekarang dokter? Apakah ia baik-baik saja?" Ravi di lorong rumah sakit menunggu selama sekitar setengah jam.
"Tidak ada tulang yang patah. Entah jenis makanan apa saja yang suka dikonsumsi oleh pasien sehingga ia memiliki tulang-tulang yang begitu kuat dan kokoh. Tapi ia mendapatkan memar yang serius di punggungnya." Jelas sang dokter. Membuat kedua kaki Ravi melemas. Ia jadi merasa bersalah. Kalau bukan karena menyelamatkannya dari hantaman benda keras itu kondisi Hongbin tidak akan jadi seperti ini.
"Tapi anda tidak perlu khawatir karena pasien baik-baik saja. Memar itu akan segera sembuh asalkan pasien banyak beristirahat."
Ravi menghela nafas lega, "Ah… syukurlah."
"Dan di luar itu mohon perhatikan kesehatan dan asupan gizi pasien untuk menjaga supaya janin dalam kandungannya baik-baik saja." sang dokter membuat Ravi menjadi bingung.
"Apa? Janin apanya? Maksudmu Hongbin-"
"Pasien sedang hamil. Usia kandungannya sudah mencapai bulan ke-empat, apakah anda tidak mengetahuinya tuan?"
Empat bulan? Apakah mungkin anak yang dikandungnya itu…
"Dan kita harus bersyukur bahwa pukulan itu hanya menimpa bagian belakang tubuh pasien, bukan bagian depannya. Karena jika yang terkena pukulan itu adalah bagian depan tubuhnya bisa saja pasien langsung mengalami keguguran pada saat itu juga."
"Apa?!"
Dokter itu mengangguk, "Tadinya kondisi janin itu normal dan kuat. Namun akibat kecelakaan tersebut janin itu sekarang menjadi rapuh. Dengan kata lain pasien memiliki kandungan yang lemah. Ditambah menurut hasil pemeriksaan tadi pasien mengalami tekanan yang begitu berat dalam pikiran. Orang-orang di sekitar pasien harus lebih berhati-hati lagi dan menjaganya sebaik mungkin."
Usia kandungan itu… sudah sejauh empat bulan? Kenapa kau menjaganya sejauh itu? Kenapa tidak kau gugurkan saja?
-oO-Wrong Guy-Oo-
Dokter mengatakan bahwa Hongbin harus beristirahat lebih lama. Jadi ia menyuntikkan obat bius pada Hongbin. Dan dalam kondisi Hongbin yang tidak sadar itu Ravi membawanya pulang. Pulang ke tempat persembunyian.
Setelah memarkirkan mobil di basement ia berjalan menuju lorong bawah tanah yang gelap. Ia ingin membawa Hongbin di punggungnya namun karena ia merasa kesulitan maka ia membawa tubuh Hongbin ala pengantin.
Ia mulai menapakkan langkah di sebuah persimpangan dengan kegelapan tingkat maksimal. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Matanya seolah terpejam. Di sinilah 'permainan' labirin di mulai. Namun ia sudah hapal jalurnya, jadi ia melewati perjalanan di labirin itu tanpa mengalami kesulitan.
Ketika sampai di sebuah jalan buntu ia menyentuhkan telapak tangan kanan pada tempat yang sudah disediakan sebagai sidik jari. Dinding beton itu bergeser ke kiri menampakkan sebuah pintu yang bergeser ke kanan. Pintu itu berukuran besar, terbuat dari metal, dan mengkilap. Cahaya dari dalam markas itu mulai menerangi lorong di belakang Ravi yang tadinya sangat gelap itu.
Ia berjalan masuk dan pintu kembali menutup setelah ia menekan sebuah tombol yang dilapisi bahan metal yang terletak tepat di samping ambang pintu.
Semua anggota The Dark Light yang berkumpul di ruang tengah itu terkejut melihat Ravi membawa seseorang yang terpejam.
Spontan Leo bangkit dari tempat duduk dan berjalan menghampiri Ravi, "Siapa pria ini? Apa kau sudah gila membawa orang asing ke dalam sini?!"
"Ia bukan orang asing hyung. Ia telah menyelamatkan nyawaku. Kumohon biarkan ia tinggal di sini untuk sementara." Ravi berhasil membuat semua terdiam.
"Menyelamatkan nyawamu? Memangnya apa yang terjadi padamu hingga ada orang yang menyelamatkanmu? Atau… jangan bilang… Juwon…" N menggantungkan kalimat. Yang lainnya berpikiran sama dengannya tentang pria yang disebut Juwon itu.
Ravi mengangguk sebagai jawaban.
Ada jeda kesunyian selama tiga detik hingga seseorang bersuara, "He was right, hyung. Ia tidak sebodoh itu untuk membawa sembarang orang kemari." Ken menimpali kalimat Ravi sebelumnya, membuang topik tentang Juwon yang sudah biasa meneror Ravi.
"Lagipula jika pria itu memang telah menyelamatkan anggota kita-"
"Apa kalian yakin pria ini tidak sedang menjebak kita?" Leo menginterupsi N.
"Percayalah padaku hyung..." Ravi memohon.
"Bukankah kita harus saling percaya?" sekarang Hyuk yang menimpali. Tapi Leo malah menatap tajam wajah Hongbin yang terlihat damai itu. Wajah Hongbin pucat namun jujur saja Leo merasa terpesona. Sehingga tatapan tajam itu berubah menjadi tatapan takjub.
Semua orang ikut terdiam menunggu keputusan sang pimpinan. Hingga akhirnya Leo kembali membuka mulut, "Baiklah." Semuanya tersenyum terutama Ravi.
"Terima kasih banyak hyung." ucap Ravi. Tapi Leo tidak menjawab. Tersenyum pun tidak. Ia langsung berlalu menuju suatu ruangan tempat kucing besarnya bermain.
Ketiga anggota lain memperhatikan Ravi yang membawa tubuh Hongbin ke dalam kamarnya.
"Sebenarnya siapa pria itu? Ravi hyung sebelumnya tidak pernah bercerita apa-apa tentang teman-temannya." Ujar Hyuk. Kedua hyung-nya mengedikkan bahu.
"Never mind. Nanti juga kita tahu." Ujar Ken. Dan tanpa ambil pusing lagi akhirnya mereka melanjutkan aktivitas masing-masing.
N yang mengasah kemampuan dengan memainkan game perjudian. Ken yang menambah wawasan dengan menonton sebuah acara yang diadopsi dari ensiklopedi sambil meminum sebotol Manhattan. Dan Hyuk yang sedang membaca buku biografi Justin Bieber idolanya.
Sementara itu Ravi meletakkan Hongbin di atas tempat tidur dan menyelimutinya.
Ia berdiri di samping Hongbin dan terus mengawasi.
Hingga pria lemah itu membuka mata perlahan. Ravi mengukir senyum, "Kau sudah bangun. Syukurlah…"
Bola mata Hongbin menelusur ke segala arah memperhatikan ruangan di sekitarnya.
Ia bangkit dan terduduk.
Ravi mendekatkan wajah pada Hongbin, "Apa kau sudah merasa lebih baik?"
Hongbin yang melihat wajah Ravi begitu dekat langsung menyorotnya dengan tatapan tajam. Di luar dugaan ia langsung mencengkeram leher Ravi dengan kedua tangan dan bangkit dari duduknya.
BRAKKK!
"Argh!" Punggung Ravi membentur dinding. Hongbin memojokkan Ravi masih dengan posisi tangan mencekik Ravi dengan penuh kebencian. Ravi memegangi kedua pergelangan tangan Hongbin namun cengkeraman Hongbin yang begitu kuat tidak bisa lepas hingga membuatnya terbatuk-batuk. Ia ingin menendang dada Hongbin saat itu juga namun ia tidak cukup gila untuk melakukan semua itu.
Beberapa bulan yang lalu Ravi 'menyerang' dan menyakiti Hongbin yang tidak berdaya. Sekarang Hongbin memiliki begitu banyak energi untuk menghabisi Ravi.
"Ravi! / hyung!" seru N, Ken dan Hyuk bersamaan ketika memasuki kamar. Datang karena mendengar keributan.
Mereka berusaha melepaskan tangan Hongbin dari Ravi yang terlihat mulai kehabisan nafas.
Leo yang baru memasuki ruangan spontan menghampiri.
Ia menarik tubuh Hongbin dan menghempaskannya dengan kasar. Hingga akhirnya tangan Hongbin terlepas dari Ravi.
BRAKKK!
"Argh!" kali ini Hongbin yang memekik. Punggung memarnya membentur sisi dinding yang lain kamar dengan sangat keras. Hingga ia merosot ke lantai.
Ravi membulatkan mata, "Hyung! Apa yang kau lakukan?!"
Hongbin menggeliat, meraung-raung kesakitan. Rasa sakit yang luar biasa di bagian punggung.
Ravi segera meletakkan Hongbin kembali di atas tempat tidur dengan hati-hati. Meskipun sulit karena Hongbin memberontak. Dan di atas tempat tidur Hongbin masih bertingkah layaknya orang kesetanan.
Ken, Hyuk, dan N hendak mendekati mereka berdua untuk menolong tapi Leo memberikan isyarat menggunakan tangan menegaskan 'biarkan saja, Ravi bisa melakukannya sendiri'. Jadi mereka hanya bisa menuruti apa kata sang pimpinan. Mereka percaya bahwa Leo tahu yang terbaik. Mereka merasakannya dari pengalaman.
"Tenanglah Lee Hongbin…" Ravi mengelus-elus puncak kepala Hongbin mencoba menenangkan melalui sentuhan afeksi yang lembut itu.
Perlahan rasa ngilu di punggung Hongbin memudar karena rasa sakit itu hanya sekilas dan ia berhenti menggeliat. Namun nafasnya masih sedikit memburu.
"Kenapa adegan yang dilakukan Ravi hyung terlihat seperti seorang gay?" bisik Hyuk pada Ken dan bisa didengar N dan Leo. Mereka tidak menanggapi karena terlalu sibuk memperhatikan dua orang pria di hadapan mereka itu.
"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Ravi. Hongbin memperhatikan wajahnya dan napasnya mulai teratur.
"Kalian lihat apa yang telah pria ini perbuat pada Ravi?" Tanya Leo sarkastik. Hongbin mengalihkan pandangan pada Leo dan bertanya-tanya dalam hati, 'siapa orang-orang ini?' Yang ia lihat mereka semua memasang tiga pasang piercing di telinga seperti halnya Ravi sebagai identitas.
"Jika kau ingin mengatakan sesuatu katakanlah perlahan. Seharusnya kau tidak boleh banyak bergerak. Memar di punggungmu sangat parah." Ravi menggenggam kedua telapak tangan Hongbin namun yang digenggam langsung menghempaskan.
Ravi menghembuskan karbondioksida dengan berat, "Aku tahu kau marah. Tapi kita harus mengklarifikasi semua ini agar masalah selesai sehingga kau merasa tenang dan tidak menyakiti anak kita…" setelah duduk di kursi kecil samping tempat tidur Ravi mengelus-elus permukaan perut Hongbin yang terlihat agak membuncit. Keempat orang lainnya yang ada di ruangan itu terkejut setelah mencerna kalimat dan perlakuan Ravi.
"Kau baru saja menyakiti wanita hamil hyung." bisik Ken pada Leo.
N menyikut lengan Ken, "Ia seorang pria!" ralatnya. Ken menggaruk-garuk bagian belakang kepala karena salah bicara. Di situ juga mereka menyadari yang dikatakan Hyuk tadi itu benar bahwa Ravi adalah seorang gay.
"Apa kau menginginkan anak itu?" Tanya Ravi hati-hati. Baru kali ini ia melihat Hongbin sekasar itu tadi. Ia tidak ingin kejadian seperti itu terulang kembali. Bukannya ia takut diperlakukan kasar oleh Hongbin. Yang ia khawatirkan justru Hongbin akan menyakiti diri sendiri dengan kekasaran itu.
Tadinya Hongbin merasa sakit di bagian perut juga namun ketika Ravi mengelus-elus perut itu ia merasa lebih baik. Ia benci ini tapi ia tidak menghempaskan tangan Ravi kali ini.
"Pertanyaan bodoh. Tentu saja aku tidak mau. Memangnya kau pikir siapa yang telah membuatku menjadi begini?" ujar Hongbin sinis.
Keempat orang lainnya hanya memperhatikan. Tidak beranjak ke manapun karena merasa perlu untuk mendengarkan perbincangan antara Ravi dan Hongbin sehingga mereka tahu permasalahannya. Siapa tahu mereka bisa menolong Ravi?
Ravi melepas sentuhan dari perut Hongbin dan menopangkan kedua lengan pada tepi ranjang, "Kalau kau tidak menginginkan anak itu lalu kenapa kau tidak menggugurkannya saja?" Ravi malah bertanya balik.
"Aku bukan seorang pembunuh. Usianya sudah empat bulan, kau tahu apa artinya itu? Ia telah bernyawa. Ia tumbuh di dalam tubuhku. Ia hidup. Dan lebih dari itu ia bukan sekedar makhluk hidup, tapi ia anakku. Aku tidak mau membunuh darah dagingku sendiri."
"Anak kita. Ayah dari anak itu adalah aku. Dan aku adalah orang yang kau benci. Jadi jika kau tidak menggugurkannya berarti kau masih peduli padaku."
"Jangan terlalu percaya diri. Dan tidak ada kata 'kita'." Hongbin mencibir.
"Lee Hongbin, aku ingin membayar semua kesalahanku padamu di masa lalu." Ujar Ravi tulus. Dapat dilihat dari intonasi dan sorotan matanya.
"Sudah terlambat. Aku sudah terlanjur menjadi seperti ini." Jawaban Hongbin terdengar miris. Sejak awal ia mendapati dirinya mengandung anak dari seorang gangster penjudi ia sudah merasa patah semangat dalam hidup. Oleh ayahnya yang suka berjudi saja ia sudah merasa begitu kecewa. Sekarang malah anak yang dikandung Hongbin memiliki ayah seorang penjudi? Sungguh ironis.
"Tidak ada kata terlambat. Jika kau memberiku kesempatan." Ravi menegaskan. Ia tidak hanya ingin meluruskan masalah namun ia juga ingin meluruskan jalan pikiran Hongbin. Ia tahu ia telah melakukan sebuah kesalahan yang begitu fatal karena kehadiran anak itu tidak bisa dibatalkan. Tapi setidaknya semua orang tahu seberapa besarpun masalahnya mereka harus bisa menemukan pemecahannya.
"Aku tidak mau." Kukuh Hongbin. Ravi ingin memukul wajah Hongbin saat itu juga. Namun ia tetap berusaha untuk bersabar.
"Kumohon… aku akan berusaha untuk membahagiakanmu…"
"Kau adalah manusia yang paling kubenci di dunia ini."
"Lalu kenapa tadi kau menolongku? Jika kau memang benar-benar sebenci itu padaku seharusnya kau biarkan saja pria itu memukulku. Bukan malah melindungiku dengan punggungmu."
"Jangan terlalu percaya diri. Aku melakukannya karena aku tidak suka melihat ada orang yang terluka."
Hongbin bangkit dan terduduk, "Aku akan keluar dari sini." Ia mengalihkan pembicaraan karena baginya topik yang tidak menyenangkan itu kian alot.
Mendengar itu semua anggota The Dark Light kecuali Leo tertawa dalam hati.
'Mana mungkin kau bisa lari dari sini sendirian' batin mereka bersamaan.
"Kau tahu? Tadi aku baru saja membawamu ke rumah sakit. Dan dokter bilang kau masih harus banyak beristirahat untuk pemulihan memar di punggungmu. Jadi tinggallah di sini untuk sementara. Kau mau kan?"
Hongbin hanya terdiam. Tidak menampakkan bahwa ia sedang berpikir namun kenyataannya ia sedang mempertimbangkan. Hingga akhirnya ia menjawab, "Aku akan tinggal di sini untuk sementara demi diriku. Bukan untuk mengikuti kemauanmu."
Ravi mengukir senyum lega, "Baguslah. Kalau begitu sekarang kau istirahat saja." Ia mendorong kedua bahu Hongbin perlahan. Membaringkannya kembali. Ia menyelimuti Hongbin dengan selimut tebalnya dan Hongbin memejamkan mata. Berusaha untuk melepas penat yang ada dalam pikiran.
Kelima anggota The Dark Light berjalan keluar dari ruangan itu.
"Kau memperkosanya, Kim Wonshik?" Tanya Leo dengan intonasi yang menyeramkan.
Ravi menunduk, "Aku tidak bermaksud begitu." Ia berujar lesu.
BRAKKK!
"Hngh!"
"Leo! / hyung!" seru ketiga anggota lainnya bersamaan ketika melihat Leo mencekik Ravi hingga punggungnya membentur dinding. Mereka bertiga mencoba melepaskan sentuhan kasar itu.
"Apa yang telah kau lakukan?! Bukankah tidak ada kata 'memperkosa' dalam prinsip dan kamus kita?!" bentak Leo penuh amarah.
"Leo, lepaskan Ravi! Kau bisa membunuhnya!" bentak N, namun Leo mengabaikan.
"Uhuk! Maafkan a-aku hyung aku tidak t-tahu apa yang merasukiku s-saat itu…" Ravi terbata-bata. Cengkeraman itu sama kuatnya dengan yang dilakukan Hongbin tadi.
"Stop it hyung. Sadarlah, jangan seperti ini…" Ken mendekap tubuh Leo perlahan.
Ia tahu Leo menyukainya, jadi ia melakukan itu. Siapa tahu bisa meluluhkannya.
Merasakan pelukan dari seseorang yang disukai, perlahan Leo melepaskan tangan dari Ravi.
Ravi terbatuk-batuk sambil memegangi leher yang hari ini sudah dua kali dicengkeram kasar orang-orang kuat di sekitarnya. N mengelus-elus pundak Ravi mencoba menenangkan.
Ken melepas pelukan. Leo berbalik untuk melihat wajah Ken yang langsung berbicara padanya, "I know, terkadang kita memiliki masalah dengan anggota kita sendiri." Ia menggantungkan kalimat. Leo hanya mendengarkan, "Tapi kita harus bisa menyelesaikan secara baik-baik. Bukan dengan kekerasan. Itu hanya akan merenggangkan hubungan baik yang telah kita bangun selama ini."
Leo tidak menjawab. Ia kembali membalik badan untuk berhadapan dengan Ravi. Tatap mereka bertemu, "Kau janji akan bertanggung jawab?" Tanya Leo seolah-olah ia adalah ayah atau kakak dari Hongbin.
Ravi mengangguk antusias, "Tentu hyung. Aku janji akan bertanggung jawab. Aku akan memberikan segalanya untuk kebahagiaan Hongbin. Aku akan menjaga Hongbin dan anak kami sepenuh hati." jawabnya. N, Ken, dan Hyuk merasa lega. Mereka juga merasa bangga memiliki anggota yang bertanggung jawab seperti Ravi.
"Untuk kekasaranku tadi aku minta maaf." Ucap Leo dengan intonasi datar andalan. Meskipun begitu ia mengatakan dengan tulus. Namun memang seperti itulah gaya bicaranya.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Kau tidak akan melakukan itu tanpa alasan."
"Dan aku minta maaf karena telah menyakiti pria itu tadi. Aku tidak tahu kalau ia membawa makhluk dalam tubuhnya."
Tanpa sepengetahuan mereka Hongbin mendengarkan seluruh pembicaraan. Tentu, mereka berbicara tepat di depan pintu kamar Ravi.
"Jadi ia adalah Leo? Dan mereka adalah The Dark Light yang suka dibicarakan itu? Dan aku berada di… tempat persembunyian mereka yang selama ini dicari orang-orang…?" gumam Hongbin. Ia berpikir bahwa The Dark Light ternyata tidak sejahat yang ia bayangkan selama ini. Terlebih setelah ia mendengar kalimat yang dilontarkan Ravi bahwa ia akan bertanggung jawab. Jika pimpinan gangster lain pasti sudah menyuruh anggotanya untuk meninggalkan orang yang telah dihamilinya. Agar gangster itu tidak terbebani. Tapi tidak dengan Leo. Ia justru menerapkan sistem yang membuat anggota di bawahnya bekerja tanpa meninggalkan tanggung jawab pribadi.
"Kelihatannya aku akan menjadi seorang kakak. Senangnya…" Hyuk berujar antusias.
"You're gonna be the uncle, idiot! Sadarlah dengan umurmu."
"I'm still High-School-aged though."
Leo membuka topik baru, "Sudahlah. Sebaiknya kalian bersiap-siap untuk perjudian yang akan kita hadapi malam ini karena kita akan bertaruh sebanyak… 15 juta won…"
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Maafkan aku teman-teman. Aku tidak bisa bergabung dalam perjudian malam ini. Aku harus pergi ke Jeju untuk mengadakan sebuah rapat dengan para investor resort-ku dan memeriksa kondisi tempat itu." Ravi mengatakan itu dengan berat hati. Memang sudah lama juga ia tidak memantau The Ravi's Ray Resort –nama perusahaan itu.
Ia telah melepas seluruh piercing di telinga. Jika ia lupa melepasnya ketika berada di Jeju, bisa habis imejnya di hadapan para investor.
Ken yang sedang menonton acara ensiklopedia favoritnya mengalihkan pandangan sebentar pada adiknya itu, "How strange. You usually didn't give a damn about the company."
"But you know Imma be a father soon though. Jadi aku akan lebih rajin bekerja untuk menjadi ayah yang baik bagi anakku kelak."
"Pergilah. Kau memang calon ayah yang bertanggung jawab. Dan sekali-kali kau memang perlu turun tangan untuk mengurus perusahaan itu." jawab N. Yang lainnya –kecuali Leo mengangguk tanda setuju. Leo juga setuju. Ia hanya tidak bereaksi saja.
"Kalau begitu sekarang aku akan pulang untuk menggunakan jet pribadiku untuk pergi ke sana."
Ravi memasuki kamar. Ia menghampiri Hongbin yang sudah bangun dari istirahat. Hongbin duduk mengumpulkan nyawa. Meskipun baru tertidur selama satu jam tapi ia merasa kepalanya pusing karena sebelumnya sudah terlalu banyak tidur. Terlebih karena dokter memberi obat bius.
"Aku sudah mengatakan ini pada mereka tapi kupikir aku juga harus mengatakan padamu. Bahwa aku akan pergi ke Jeju sekarang. Aku harus mengurusi perusahaan resort-ku."
Hongbin terkejut dalam diam.
Perusahaan? Benarkah? Jika Ravi adalah orang berada, lalu untuk apa ia berjudi?
"Aku akan segera kembali."
Pergi saja sana. Kalau kau tidak kembali lagi itu lebih baik.
"Sampai jumpa Lee Hongbin." Ravi ingin menyentuh Hongbin ketika berpamitan. Tapi ia yakin Hongbin akan langsung menepis sentuhan itu. Jadi ia mengurungkannya dan berlalu dari hadapan Hongbin.
"Tolong jaga dia baik-baik selama aku tidak ada." Pinta Ravi pada teman-temannya begitu ia keluar dari dalam kamar. Ia langsung berjalan ke arah pintu keluar.
"Tentu." Jawab Hyuk.
"Aku pergi." Ravi menekan tombol metal di samping pintu. Pintu itu bergeser ke kiri. Menampakkan dinding beton yang bergeser ke kanan. Dinding dan pintu itu menutup kembali ketika Ravi menyentuhkan telapak tangan pada sisi dinding yang lain di luar.
Hyuk memasuki kamar Ravi, "Apa kau butuh sesuatu?" tanyanya.
"Aku ingin mandi." Jawab Hongbin to the point.
"Tapi kau akan merasa sakit ketika menggerakkan lengan untuk menggosok punggung. Karena ketika kau menggerakkan lengan ke belakang, otot-otot di punggungmu akan ikut bergerak."
"Tapi aku ingin mandi. Sekarang sudah malam kan? Aku merasa tidak nyaman jika tidak mandi setelah tidur yang panjang."
"Kalau begitu aku akan membersihkan badanmu."
Hongbin mengerutkan kening, "Apa?"
"Tunggu saja. Akan kuambilkan air hangat." Tanpa menunggu persetujuan Hongbin ia langsung berjalan menuju dapur.
Di dapur ia mengambil sebuah wadah berdiameter 30 senti yang terbuat dari bahan stainless steel. Dan mengisinya dengan air panas dari dispenser yang dicampur dengan air dingin dari kran bak cuci piring. Setelah itu ia mengambil handuk kecil sebagai lap-nya.
Ia membawa itu melewati para hyung-nya.
"What are you gonna do with those stuffs?" Tanya Ken.
"I'll get Lee Hongbin showered."
"Biar aku saja." Leo mengambil lap dan wadah berisi air itu dari tangan Hyuk dan memasuki kamar Ravi.
"Ada apa dengannya? Tidak biasanya. Biasanya ia tidak peduli." Heran N ketika memperhatikan sosok pimpinan mereka yang menghilang di balik pintu kamar Ravi.
"Jangan-jangan… ia menyukai Lee Hongbin? Pria itu kan memiliki wajah rupawan." Ujar Ken curiga.
"Jangan berpikir macam-macam. Mungkin ia hanya ingin membayar kesalahan yang telah menyakiti pria itu." Hyuk hanya mengambil pendapat dari prasangka baiknya.
"Benar juga. Ia tidak akan tiba-tiba bersikap peduli terhadap seseorang tanpa alasan." Ujar Ken yang pikirannya jadi sedikit terbuka oleh kalimat anggota termudanya itu.
"Lagipula Leo menyukaimu kan? Menurutmu apakah pria seperti Leo mudah untuk berpaling?" ujar N pada Ken.
"Tutup mulutmu. Aku tidak peduli ia menyukaiku atau tidak."
Sementara itu Hongbin terkejut melihat Leo yang datang karena ia ingat kalimat semacam 'Leo adalah seorang pria yang akan menerkammu seperti seekor singa –seperti namanya, Leo.
"Jangan takut. Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu." Leo meletakkan wadah dan handuk kecil itu di atas nakas.
Ia menyingkirkan selimut yang masih menutupi kaki Hongbin. Setelah itu ia membantu Hongbin menanggalkan seluruh pakaian dan menyisakan boxer. Hongbin merasa malu.
Melihat tubuh Hongbin, Leo memang ingin 'memakan'nya saat itu juga. Meskipun ia sudah puluhan kali melakukan hubungan badan dengan puluhan pria yang berbeda ia tidak pernah merasa bosan dan selalu ingin mencoba merasuki tubuh indah yang belum pernah ia rasakan. Namun dalam kasus ini ia tidak akan meminta Hongbin untuk bersetubuh dengannya. Kalaupun ia memintanya sudah pasti Hongbin akan menolak.
Ketika melihat bagian belakang tubuh Hongbin, Leo terkejut. Ia melihat memar yang serius di sana.
Ia mencelupkan handuk kecil itu pada air yang ia bawa. Memelintirnya. Lalu hendak mengusap wajah Hongbin.
Hongbin telah memjamkan mata.
Alih-alih langsung mengusap wajah itu Leo malah diam terpaku. Sejak awal ia melihat Hongbin ia memang sudah merasa terpesona. Apalagi sekarang ia melihat wajahnya dari dekat. Dan Hongbin sedang memejamkan mata seolah menunggu sebuah kecupan di bibir.
Leo memperhatikan bibir tipis itu dan menelan ludah. Ia bisa saja menerkamnya sekarang juga. Namun ia tidak cukup gila untuk melakukan itu.
Akhirnya ia mengusap wajah itu dengan handuk kecil yang ia bawa.
Setelah wajahnya dibersihkan, Hongbin membuka mata. Membuat tatap mereka bertemu.
Leo memperhatikan mata bening Hongbin namun Hongbin tidak memprotes. Hingga mereka tenggelam dalam suasana hening.
Ketika tersadar, Hongbin sedikit menunduk. Leo pun langsung berpaling dengan perasaan canggung.
Setelah itu Leo langsung mengambil sikap dengan membersihkan bagian leher, pundak, dada, perut, dan punggung Hongbin dengan sesekali mencelupkan handuk kecil itu ke dalam air dan memelintirnya.
"Ah…" Hongbin meringis ketika Leo menyentuh punggungnya.
"Maaf. Aku akan melakukannya dengan lebih hati-hati." Ujar Leo. Ia pun melanjutkan sambil berkata, "Aku minta maaf karena telah mendorong tubuhmu dengan kasar hingga punggungmu membentur dinding dengan keras. Aku tidak tahu kalau kau memiliki memar separah ini."
Hongbin tidak menjawab.
Leo menghembuskan nafas berat. Biasanya ia yang tidak merespon ketika seseorang berbicara. Sekarang justru orang lain yang melakukan itu padanya. Jadi sekarang ia baru memahami bagaimana rasanya tidak ditanggapi. Setelah pengalaman ini mungkin ia akan berusaha untuk mengubah sifatnya –yang suka tidak merespon ucapan orang lain. Jika tetap tidak bisa berubah mungkin sifat itu memang sudah bawaan.
Ia melanjutkan aktivitasnya hingga seluruh bagian punggung Hongbin terlihat bersih.
Berlanjut ke bagian lengan. Leo menelusuri lengan Hongbin hingga ia mencapai punggung telapak tangan. Ia menyentuh telapak tangan Hongbin dengan tangan kiri dan membersihkan sela-sela jemarinya.
Sepertinya akan indah jika jemari kita bisa saling bertautan... tapi… memangnya kau mau…?
Leo melanjutkan ke bagian kedua kaki Hongbin.
Setelah itu selesai sudah.
Leo membuka lemari Ravi dan mengambilkan celana dalam, t-shirt putih, dan celana jeans biru.
Tasku yang berisi seluruh pakaianku… pasti aku menjatuhkannya ketika menolong Kim Wonshik…
Leo hendak membuka boxer yang dikenakan Hongbin, "Aku bisa melakukannya sendiri." Ujar Hongbin. Membuat Leo terhenti.
Ia bangkit. Hongbin pun bangkit hingga mereka berdiri berhadapan, "Berbaliklah." Pinta Hongbin. Leo patuh. Ia berbalik tanpa mengatakan apapun.
Hongbin melepas sisa pakaian yang membalut bagian bawah tubuh dan mengenakan seluruh pakaian yang diberikan Leo kecuali t-shirt. Karena ia merasa kesulitan.
"Bisakah kau menolongku dengan kaos ini?" pinta Hongbin. Leo kembali berbalik dan menghampiri Hongbin. Membantunya memakai t-shirt itu.
"Kami memiliki parfum yang berbeda. Kau ingin memakai milik siapa?"
"Milik Kim Wonshik saja."
"Baiklah. Jadi aku tidak perlu keluar dari sini untuk mengambilkannya." Leo mengambil botol parfum dari atas meja dan menyerahkannya pada Hongbin.
Hongbin menyemprotkan ke bagian dimana ia biasa memakai parfum dan menyerahkannya kembali pada Leo.
Leo meletakkan kembali parfum itu. Mengambil wadah berisi air yang tadi ia bawa lalu mengambil seluruh pakaian Hongbin, "Jika kau membutuhkan sesuatu panggil kami saja. Dan oh iya, aku Jung Taekwoon. Biasa disapa Leo." Ia hendak pergi.
"Terima kasih."
"Tak masalah." Leo akhirnya benar-benar menghilang di balik pintu.
Hongbin menarik leher t-shirt yang ia pakai. Menghirup aroma parfum yang tadi ia semprotkan.
"Sangat maskulin. Tapi…" Ia ingat. Ia mencium aroma ini ketika Ravi menyetubuhinya. Bau alkohol tidak dapat menyembunyikan aroma tajam Trey Songz di indera penciuman Hongbin saat itu.
Kenangan yang buruk.
"Bodoh. Aku menyesal memakai parfum ini." Ia merutuki kebodohannya sendiri.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Kriiing…
Hyuk meraih ponsel di saku jaket jeansnya dan menerima panggilan, "Halo."
"Oppaaa." Sapa orang di seberang dengan riang.
"Ada apa Newsun sayangku…?"
"Aku sudah mentransfer sembilan juta won. Periksalah rekeningmu segera."
"Terimakasih baby... Aku pasti akan segera menggunakan uang itu."
"Jangan lupa janjimu untuk mengajakku ke taman hiburan besok."
"Tentu saja sayang… Aku tidak akan lupa. Lagipula oppa-mu tercinta ini sudah sangat merindukan Choi Yoonsun si gadis tercantik dan terimut di dunia ini." Goda Hyuk pada sang kekasih. Ia tidak pernah lelah untuk berkata gombal setiap kali bertemu atau berkomunikasi dengan Newsun. Itu bukanlah hal yang berat baginya selama ia masih bisa menerima sejumlah besar uang dari kekasihnya itu.
"Ah~ kau ini. Berhentilah berkata begitu."
"Tapi kau senang kan?"
"Sangaaat senang."
"Kalau begitu bersiap-siaplah besok jam 6 sore. Aku akan ke rumahmu untuk menjemputmu."
"Baiklah oppa."
"Sampai jumpa besok baby."
"Sampai jumpa." Newsun memutuskan sambungan.
Hyuk kembali memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, "Kau dengar itu? Newsun sudah memasukkan uang lagi ke dalam rekeningku. Lumayan. Bisa menambah taruhan kita untuk perjudian sekarang." Ujarnya pada Leo. Saat ini ia hanya berdua dengan Leo karena N dan Ken pergi keluar untuk membeli makan.
"Berapa yang ia berikan?"
"Sembilan juta."
"Baguslah."
Tiba-tiba mereka melihat Hongbin berjalan keluar dari kamar Ravi.
"Kau mau ke mana?" Tanya Hyuk.
"Aku ingin ke toilet." Jawab Hongbin dengan lesu.
Hyuk menunjuk sebuah pintu menggunakan dagu, "Masuklah ke pintu itu. Di ruangan itu ada dua pintu yang berseberangan. Kau pilih yang di sebelah kiri. Kau akan memasuki sebuah koridor dan di dalamnya ada dua pintu yang berdampingan. Kau bisa memilih yang mana saja. Dua-duanya adalah kamar mandi."
"Terima kasih." Ujar Hongbin dan memasuki pintu pertama.
Di ruangan itu ia melihat sebuah meja makan berbentuk persegi panjang dengan delapan kursi. Terdapat lima set alat makan lengkap di atas meja. Terdapat juga sebuah dispenser di sudut ruangan. Ia melewatinya begitu saja untuk menuju pintu di dinding sebelah kiri.
Ia membuka pintu itu dan memasuki sebuah koridor. Ia melihat dua pintu yang bersebelahan di dinding sebelah kanan. Ia memilih pintu dekat ujung koridor dan membukanya.
Ia memasuki kamar mandi itu dan merasa takjub. Ia melihat bathtub besar berbentuk persegi empat. Ia juga melihat sebuah layar plasma yang menempel di dinding di hadapan bathtub itu. Itu adalah layar komputer untuk memilih musik. Ada sepasang speaker berbentuk pipih di kedua sisi komputer itu.
Sementara itu N dan Ken yang habis berbelanja makanan memasuki ruang tengah. Mereka membawa beberapa plastik putih besar di kedua tangan mereka. Ya, ini adalah hari Selasa. Jadwal berbelanja untuk hari Selasa dibebankan pada N dan Ken. Hanya Leo satu-satunya anggota yang tidak masuk ke dalam jadwal berbelanja karena ia tidak ingin terlalu banyak berbaur dengan orang lain selain dengan para penjudi.
"Saatnya makan malam. Ayo bantu aku menyiapkan semua ini." N berjalan ke ruang makan. Di sana ia memasuki pintu di dinding sebelah kanan. Itu adalah pintu dapur.
Ia mengambil beberapa piring besar dan membawanya ke ruang makan.
Mereka berempat memindahkan semua makanan yang masih panas itu ke atas piring dan menatanya hingga tersusun rapi.
Setelah Hongbin selesai, ia keluar dari koridor. Memasuki kembali ruang makan. Ia melihat keempat anggota The Dark Light telah berkumpul di sana menempati tempat duduk masing-masing. Di atas meja telah terhidang galbi, tteokpoki, kimbab, jjampongmyeon, strawberry cheesecake, pudding, dan setoples besar chocolate chips cookies. Hongbin merasa lapar.
"Lee Hongbin, have a seat next to me please." Ken menyentuh kepala kursi di sebelah kanannya. Itu adalah tempat duduk Ravi.
Hongbin tersenyum simpul lalu menduduki kursi itu. Ia juga duduk dekat Leo yang menempati kursi 'raja'. Ia berhadapan dengan N yang duduk di sebelah kiri Hyuk.
"Kau boleh memilih semua makanan ini. Biar kuambilkan satu-persatu untukmu." Hyuk meletakkan makanan ke atas piring Hongbin.
Apakah The Dark Light itu benar-benar sekelompok gangster? Kenapa mereka begitu baik…?
-oO-Wrong Guy-Oo-
Jadwal mencuci piring hari Selasa adalah Hyuk. Tapi ia tidak melakukannya sendirian. Hongbin menawarkan diri untuk membantu. Ia cukup tahu diri dan tahu bagaimana cara bersikap pada orang-orang yang telah berbuat baik padanya. Meskipun mereka sebenarnya bukanlah orang baik-baik –hanya karena mereka suka berjudi.
Ketika berada di medan perang The Dark Light memang sekelompok pria yang begitu manly, maskulin, dan berkharisma. Namun ketika berada di luar medan perang mereka melakukan aktivitas normal seperti yang dilakukan Hyuk itu.
Ketika jam yang menempel di dinding ruang tengah menunjukkan pukul sembilan malam keempat anggota The Dark Light telah bersiap-siap. Mereka telah memakai celana formal, kemeja putih berlengan panjang, rompi hitam, dasi kupu-kupu, jas hitam, dan ditutupi mantel hitam yang menjuntai hingga ke lutut mereka. Jangan lupa topi hitam bundar ala penjudi dan sepatu kulit yang mengkilap. N, Ken, dan Hyuk, masing-masing menjinjing kopor –yang penuh dengan uang di tangan mereka sedangkan Leo yang tidak membawa kopor sesekali mengisap rokok elektrik yang ada di tangan kanannya.
"Will BST come?" Tanya Ken.
Mendengar kata 'BST' Hongbin spontan menolehkan pandangan pada si pembicara.
"Sure. Mereka tidak akan mungkin melewatkan event perjudian besar ini. Karena acara ini seperti festival. Dan kudengar akan ada pelelangan gadis-gadis perawan untuk lebih memeriahkan lagi acaranya." Jelas N, mengatakan informasi yang ia tahu.
"Apakah akan ada pelelangan lelaki-lelaki perjaka juga untuk para perempuan atau para gay?" Tanya Hyuk.
"Entahlah. Tapi biasanya ada. Memangnya kenapa? Kau ingin laki-laki top, atau bottom?" gurau Ken.
"Berhentilah menjadikan gay sebagai lelucon. Sebaiknya sekarang kalian jelaskan lebih detail tentang event itu." pinta Leo. Manusia satu ini memang sulit sekali diajak bergurau. Kapan terakhir kali anggota The Dark Light melihat pimpinan mereka ini tertawa? Setahun yang lalu? Mereka juga tidak pernah melihatnya tersenyum tulus. Hanya senyum licik yang kadang-kadang terukir di wajahnya.
"Ini adalah festival perjudian dengan tema Gamblauction yaitu singkatan dari gambler dan auction. Acara ini diselenggarakan di sebuah gedung bawah tanah bernama Gambrel Gambler. Letaknya sekitar delapan kilometer dari sini. Sebenarnya gedung itu sudah lama tapi baru difungsikan lagi sekarang." Jelas Hyuk yang paling awal mengetahui informasi tentang acara itu.
Ken melihat mantel Leo yang ritsletingnya terbuka dan matanya mengarah pada dasi yang Leo kenakan.
Ken meraih dasi Leo lalu memperbaiki posisinya, "Masih sedikit miring. Kalau kau merasa masih belum bisa memakainya dengan benar seharusnya kau mengenakannya sambil bercermin hyung." Wajah mereka begitu dekat. Leo terus memperhatikan wajah setengah Kaukasia itu.
Setelah selesai Ken menutup ritsleting mantel itu hingga menutupi dada, "Malam ini begitu dingin. Kau harus memakai mantelmu dengan benar. Kau baru boleh membukanya di dalam gedung nanti."
Terima kasih karena telah memberikan perhatian padaku… Lee Jaehwan…
"Lee Hongbin. Jika kau lapar, masuklah ke dapur. Di sana ada banyak sekali makanan. Jika kau merasa bosan, kau lihat sendiri ada banyak media hiburan di ruangan ini. Jika ada masalah, hubungi kami. Nomor ponsel kami semua ada di atas meja telepon. Sinyal di sini cukup bagus untuk ukuran sebuah tempat yang terletak di bawah tanah." Jelas N.
"Baiklah."
"Just do what you wanna do. Make yourself at home." Ujar Ken.
"I get it." jawab Hongbin.
"Jaga dirimu baik-baik. Kami akan kembali dalam tujuh jam. Tepat sebelum matahari terbit." Ujar N.
"Kami pergi dulu." Hyuk telah berdiri di depan pintu keluar.
"Semoga kalian beruntung."
Tunggu dulu. Sejak kapan aku mendukung sebuah perjudian?
"Terima kasih." Ucap Ken.
Hyuk menekan tombol pintu dan pintu itu bergeser. Dinding yang menutupinya pun bergeser dan menampakkan warna hitam. Itu adalah lorong yang sangat gelap. Terlalu gelap untuk tempat berjalan manusia.
Mereka berjalan keluar dan dinding serta pintu itu kembali menutup setelah Hyuk memberikan sidik jarinya di dinding bagian luar.
Hongbin memperhatikan ruangan sekitar. Ada delapan pintu yang letaknya saling berjauhan di sana. Pintu keluar, pintu ruang makan, lima pintu dengan nametag masing-masing anggota The Dark Light –yang ia yakini sebagai kamar mereka berlima, dan satu ruangan yang pintunya tidak pernah ditutup.
Ada tiga kursi sofa dengan keseluruhan kuota sembilan orang, karpet besar, meja billiard, lemari penyimpanan, rak buku, DVD player, Playstation 4, sepuluh speaker home theater, dan dua LED TV layar sentuh. Yang satu difungsikan untuk TV dan satu lagi sebagai komputer.
Hongbin berjalan ke dapur.
Kondisinya normal seperti dapur biasanya. Ada kompor, kitchen set, dan bak cuci piring. Di sana ia juga melihat sebuah lemari es besar dua pintu yang tingginya melebihi tinggi badannya.
Ia membuka kedua pintu lemari es itu lalu merasa takjub. Ternyata yang kiri temperaturnya panas sebagai tempat menyimpan makanan yang harus selalu panas. Dan ia melihat ada ayam kalkun panggang di sana. Di sebelah kanan –yang bagiannya dingin berjejer rapi sekitar 20 kaleng bir, kotak susu berukuran besar dan minuman lainnya, es krim, coklat batang, buah-buahan segar, telur, dan mentahan bahan masakan.
Ia menutup kembali lemari es itu lalu berjalan ke arah lemari kabin.
Ia membuka dua pintu kabin bagian atas dan melihat banyak bungkus ramen, kotak sereal, makanan ringan, toples berisi permen, dan beberapa Manhattan botolan di sana. Sementara di bagian bawah terletak microwave dan mesin pembuat kopi. Sedangkan peralatan memasak dan mesin-mesin dapur lainnya ada di dalam lemari bagian bawah.
Memangnya di sini siapa yang suka memasak…?
Ia melanjutkan perjalanan ke tempat terakhir.
Ruangan yang-pintunya-tidak-pernah-ditutup.
Di dalam ruangan itu ada tempat tidur kecil, karpet, lemari, bola pingpong, boneka karet yang bisa berbunyi, bola benang wol, dan setumpuk koran bekas. Terdapat pintu toilet juga di sana.
"Meow."
Hongbin melihat seekor kucing putih dan berbulu sangat lebat sedang mencakar-cakar dus makanan kucing ber-merk 'CATaclysmic' di sebelah mangkuknya. Ada dua mangkuk makanan kucing berwarna biru di sana. Yang satu bertuliskan Food dan yang lainnya bertuliskan Milk.
Ia menghampiri kucing itu dan berjongkok, "Kau lapar?" tanyanya.
Choker kulit hitam melingkari leher kucing itu. Hongbin membaca tulisan yang tercetak di bandul yang ada pada sabuk kecil itu, "Leon…? Namamu Leon? Hai Leon. Aku Lee Hongbin." Ia membuka dus makanan kucing itu lalu menumpahkan isinya ke mangkuk Leon hingga terisi penuh. Bentuk makanan itu seperti sereal yang berbentuk ikan-ikan kecil.
Kucing itu memakan makanannya dengan lahap. Membuat Hongbin terhibur melihatnya.
"Untuk ukuran seekor kucing kau memiliki kamar yang luas dan bagus. The Dark Light pasti begitu menyayangimu." Ujarnya sambil mengelus-elus kepala dan punggung Leon. Bulu-bulu kucing itu begitu lembut.
"Kau beruntung memiliki majikan sebaik mereka."
Seberapa antusias pun Leon memakan makanannya mangkuk itu tidak bergeser sedikitpun. Hongbin merasa ada yang janggal.
Apa yang membuat mangkuk ini terus menempel di lantai? Apakah lem?
Ia mencoba untuk menarik mangkuk itu namun ia tidak bisa mengambilnya. Yang ada mangkuk itu malah berputar sendiri dengan perlahan ke arah berlawanan jarum jam.
Perlahan juga lantai dekat karpet bergeser dan menampakkan tangga menuju ke bawah. Ruangan di bawah sana dipasang penerangan yang bagus sehingga seluruh anak tangga dapat terlihat dengan jelas.
Hongbin menautkan sepasang alis.
Tangga untuk apa ini?
Karena penasaran ia berjalan menuruni tangga itu hingga sampai di lantai bawah. Berdiri di sebuah koridor dengan panjang sekitar sepuluh meter dan di ujung koridor itu terdapat sebuah pintu.
Tanpa rasa takut ia membuka pintu itu dan memasuki sebuah ruangan.
Ruangan kosong.
Tidak ada apa-apa di sana.
Dinding ini tidak seperti beton.
Ia menekan-nekan tembok di depannya.
Tanpa disadari barusan itu ia telah menekan sebuah spot dan dinding itu bergeser ke kiri. Menampakkan sebuah pintu brankas berukuran 3x3 meter. Di sampingnya terdapat layar monokrom bertuliskan angka digital. Angka itu menunjukkan angka 11,451,212,760,000 won. Artinya brankas itu dipenuhi uang tunai senilai yang tercantum pada layar.
Ia membulatkan mata dan sekujur tubuhnya bergetar.
Ya ampun… aku tidak pernah melihat uang sebanyak ini… Ini lebih menyeramkan dari film horror…
Tidak pernah ada yang tahu –termasuk dirinya bahwa The Dark Light menimbun harta sebanyak itu. Hasil dari perjudian mereka selama ini.
"Meow."
Suara Leon membangunkan Hongbin dari keterkejutannya. Ia menoleh, "Kau mengikutiku ke sini?" ia mengambil Leon dan membawa kucing itu di pangkuannya. Leon bersandar nyaman di dadanya. Sepertinya kucing itu mulai menyukainya.
"Ayo kita keluar dari sini. Tempat ini sangat menyeramkan. Aku merasa tidak sanggup untuk berdiam diri lebih lama di sini." Ia berjalan kembali ke kamar Leon. Membiarkan kucing itu melanjutkan aktivitas makan malam.
"Jika cara untuk membuka lantai itu adalah dengan menarik mangkuk ini, maka untuk menutupnya kembali aku harus…" ia menekan mangkuk itu dan benda itu berputar searah jarum jam. Acara makan malam Leon sedikit terganggu.
Lantai itu menutup kembali seperti semula.
Setelah mangkuk itu berhenti berputar, kucing itu kembali memakan makanannya.
Jangan bilang… kalau mangkuk yang satunya lagi… memiliki fungsi yang sama…?
Ia menarik mangkuk lainnya dan benda itu berputar.
Sekarang apa lagi?
Ia mendengar suara tepat dari atas kepala. Ia mendongak. Melihat langit-langit ruangan yang bergeser membuka.
Ketika itu boneka-boneka empuk berjatuhan dari sana dan menimpanya. Ia terkekeh, "Ternyata mainanmu Leon. Kukira akan ada hal menyeramkan lainnya. Tidak ada tombol-tombol rahasia lagi kan di dalam boneka-boneka ini?" ia memegangi boneka itu satu-persatu.
"Habiskan makananmu. Aku akan mengambilkan susu di dapur."
-oO-Wrong Guy-Oo-
Leo memasuki kamar Ravi untuk melihat keadaan Hongbin.
"Leon?" gumamnya ketika melihat kucingnya tertidur di dekat wajah Hongbin yang juga sedang tertidur pulas.
"Kucing nakal."
Aku saja tidak pernah tidur bersama Hongbin. Kenapa kau mendahuluiku Leon…?
Namun tanpa disadari ia tersenyum. Senyuman tulus yang hampir tidak pernah dilihat siapapun.
Ia bersyukur karena keadaan pria asing yang sedang tinggal di tempat persembunyiannya itu baik-baik saja. Entah bagaimana hasil perjudian tadi. Sukses atau gagal. Yang jelas ketika melihat wajah damai Hongbin ia merasa tenang.
Leo melangkah keluar dengan perasaan lega. Tidak tahu bahwa semalam –tepatnya sekitar tujuh jam yang lalu Hongbin mengalami sebuah petualangan singkat yang meninggalkan kesan.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Setelah sarapan dengan sereal, Hongbin duduk di depan TV untuk bergabung dengan The Dark Light. Mereka menonton berita tentang perkembangan dunia. Hongbin membawa Leon di pangkuannya.
Leo merebut Leon darinya.
Ia menatap protes pada Leo, "Hei, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak melihat ia terduduk nyaman di pahaku?"
"Kau tidak boleh dekat-dekat lagi dengannya hingga anakmu itu lahir." Ujar Leo datar.
"Memangnya kenapa?"
"Jika bulu-bulunya terhirup olehmu itu tidak baik untuk bayimu."
"Ya sudah. Ambil saja kucing itu. Lagipula ia bukan milikku." Hongbin ngambek ala-ala gadis pra-menstruasi dan memalingkan muka dari sang lawan bicara.
"Jangan marah. Aku melakukannya demi kebaikanmu juga kan?" Leo menurunkan Leon dari pangkuannya lalu mendorong-dorong tubuh kucing itu. Memintanya untuk pergi ke kamarnya. Leon begitu saja patuh.
Kucing itu diberi nama Leon karena itu adalah hadiah ulang tahun dari N untuk Leo. N yang memberi nama. Ia menyatukan nama Leo dan N.
"Bolehkah aku merasakan bayi itu?" Tanya Hyuk yang duduk bersebelahan dengan Hongbin.
Hongbin mengangguk, "Tentu." Ia tidak keberatan dengan permintaan itu.
Hyuk menempelkan telinga pada perut Hongbin selama beberapa detik, "Aish… kenapa tidak ada reaksi apapun? Apa dia mati?"
N menjitak kepala Hyuk, "Auw, sakit hyung!" Hyuk langsung mengusap-usap puncak kepala yang sakit.
"Makanya kalau bicara jangan sembarangan. Namanya juga janin yang baru berusia empat bulan. Apa yang kau harapkan dari jabang bayi semuda itu? Salto?"
Anggota termuda mereka itu memajukan bibir, "Maaf… aku kan tidak pernah berada di sekitar orang hamil. Jadi mana kutahu perihal seperti itu?"
Hongbin terkekeh, "Tidak apa-apa. Kau tidak bermaksud berkata begitu kan tadi?"
Hyuk mengangguk, "Kira-kira menurutmu calon dongsaeng-ku ini laki-laki atau perempuan?" ia sudah melupakan rasa sakit di kepala.
"Berhentilah bertingkah sok muda seperti itu. Kau itu akan jadi paman bukan kakak." Ken masih saja tidak terima kalau Hyuk ngaku-ngaku akan menjadi seorang kakak.
"Aku memang masih muda. Masih anak-anak. Tidak seperti kalian ahjussi-ahjussi tua." Balas Hyuk memeletkan lidah.
"Tarik kembali kata-katamu itu Han Sanghyuk." N menyorot dongsaengnya itu dengan tatapan tajam.
"Tidak masalah. Han Sanghyuk akan menjadi kakak satu-satunya untuk anakku kelak." Hongbin tidak bermaksud membela. Ia hanya berpikiran bahwa Hyuk memang masih cukup imut untuk mempunyai seorang adik bayi.
Lagi, Hyuk memeletkan lidah pada kedua hyung-nya.
Ia lalu mengetuk-ngetuk perut Hongbin dengan telunjuk, "Dongsaeng-ah, annyeong~ kau sedang apa di dalam sana?"
Melihat itu para hyung-nya di sana yang tadinya kesal jadi merasa gemas padanya. Karena ia adalah anggota termuda di sana, terkadang perbuatan tertentu semacam barusan bisa membuatnya jadi menggemaskan.
Hyuk mengelus-elus perut Hongbin, "Tumbuhlah dengan sehat di dalam sana. Jangan nakal, nanti ibumu kelelahan. Dan… cepat besar ya supaya kau cepat lahir. Aku sudah tidak sabar untuk bermain denganmu." Lalu ia mengecup perut itu.
"You seem really look forward to the baby." Komentar Ken.
"Makanya, buatlah sendiri dengan Newsun." N tertawa setelah mengatakan itu.
"But I want a younger sibling, not a child." Jawab Hyuk.
"Tapi suatu hari kau juga akan punya anak." Ujar Hongbin.
"Benar juga."
"Ngomong-ngomong bagaimana acara festival tadi malam?"
Ken memperbaiki posisi duduk sebelum bercerita, "Tidak usah ditanya. Hasilnya kami mengalahkan semua lawan. Kami merasa puas karena membawa pulang uang sebanyak 6 kali lipat dari jumlah uang yang dibawa."
"Kedengarannya bagus."
"Lee Hongbin, apa kau tidak merasa jenuh berada di sini? Siapa tahu kau ingin pergi keluar untuk menghirup udara segar? Jangan sampai kau merasa tertekan karena terus-terusan berada di sini." Hyuk mengganti topik.
"Tidak. Lee Hongbin tidak akan pergi ke manapun sementara ini. Kondisinya belum pulih benar." Leo yang menjawab setelah beberapa lama tidak bergabung dalam perbincangan. Entah mengapa jika menyangkut Hongbin ia tidak bisa jika hanya diam tidak menanggapi.
"Sebenarnya aku sudah merasa lebih baik. Tapi sejauh ini aku tidak keberatan berada di tempat ini. Lagipula aku belum 24 jam berada di sini. Jadi mana mungkin aku merasa tertekan?"
"Kau saja yang keluar sana! Ini adalah minggu ketiga bulan ini. Artinya sekarang adalah jadwalmu untuk pergi ke laundry. Lihat semua cucian ini sudah menunggu untuk dibersihkan." N menunjuk tas-tas besar di lantai menggunakan wajah.
"Iya sih. Tapi Ravi hyung yang juga mendapat jadwal hari ini sedang tidak ada. Cucian kita kan banyak sekali. Masa aku mau membawa semua ini sendirian?"
"Aku akan menemanimu." Ujar Leo tanpa pikir panjang.
N mengerutkan kening, "Leo? Kau serius?" selain tidak ada dalam jadwal berbelanja Leo juga tidak ada dalam jadwal pergi ke laundry. Jadi N begitu terkejut dengan pernyataan Leo barusan. Tidak hanya N tapi Ken dan Hyuk juga.
Ya, Leo banyak berubah.
Ia jadi lebih rajin.
Leo mengangguk sebagai jawaban.
"Tumben sekali. Ada apa?" Tanya Ken.
"Hanya ingin jalan-jalan."
"Baiklah. Semua pakaian kotor sudah dikumpulkan kan? Ayo kita pergi sekarang hyung."
Hyuk dan Leo membawa tas-tas besar –yang penuh dengan pakaian kotor- di lantai. Setelah itu mereka berlalu dari hadapan yang lainnya.
Kriiing…
Ken meraih ponsel dari saku jaket dan menjawab telepon, "Hello."
"Oppa…"
"Ada apa, Yooyoung?"
"Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara." Pinta Yooyoung dengan lesu.
Ken menatap N dan menghembuskan nafas berat sebelum menjawab, "Baiklah."
"Kutunggu kau di Kafe Caftan sekarang."
"Aku akan segera ke sana."
"Terima kasih."
Ken memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket begitu orang di seberang itu memutuskan sambungan.
"Kau mau ke mana?" Tanya N.
"Menemui Yooyoung. Ada yang ingin ia bicarakan."
"Halah. Paling juga dia hanya akan memintamu untuk berhenti berjudi, untuk yang keseribu kalinya."
"Entahlah. Apapun itu aku akan pergi sekarang."
"Aku ikut."
"Kalau kau ikut yang ada nanti dia tidak mau bicara."
"Aku ikut keluar saja bodoh. Di luar sana aku akan keluyuran sendirian. Siapa tahu dapat partner untuk bermain Mai Mai di mall."
"Ini masih jam sepuluh. Adhesion Polis baru saja buka. Kau tidak akan menemui Nara?"
"Pagi-pagi begini dia biasanya masih tidur. Pelanggannya suka 'memakan'nya hingga dini hari. Jadi pasti dia masih merasa lelah."
"Kau yakin bukan karena kau ingin ada teman berjalan di lorong karena kau takut hantu?"
"Tutup mulutmu Lee Jaehwan."
Ken terkekeh, "Alright. Let's go."
"Lee Hongbin, kau tidak apa-apa ditinggal lagi sendirian di sini?"
Hongbin hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ingat ini Lee Hongbin. Sebaiknya kau mengikuti apa kata Leo untuk tidak dekat-dekat dengan Leon."
"Aku mengerti."
"Kalau begitu kami pergi dulu." Ucap Ken berjalan menghampiri pintu keluar.
"Selamat bersenang-senang."
Mereka mengikuti jejak Hyuk dan Leo untuk berlalu dari hadapan Hongbin.
Leon yang tahu-tahu sudah berada di dekat Hongbin mengelus-eluskan kepala pada kaki Hongbin dengan manja.
Ia mengangkat tubuh kucing itu, membuat wajah mereka saling berhadapan, "Maaf Leon. Untuk sementara ini kita tidak boleh terlalu dekat. Ini yang terakhir oke?"
Hongbin membawa Leon ke kamar Leon dan meletakkan kucing itu di tempat tidur.
Ia berjalan keluar dan Leon mengikuti langkahnya. Namun sebelum kucing itu ikut keluar Hongbin langsung menutup pintu kamar kucing yang sebelumnya tidak pernah ditutup itu.
"Meow."
-oO-Wrong Guy-Oo-
Ken menduduki kursi di hadapan seorang gadis manis yang meminum Latte Art. Gadis yang memiliki perawakan tinggi itu juga telah menyediakan secangkir Mocaccino panas untuk Ken karena sudah tahu apa yang disukai kekasihnya itu. Ken menyukai coklat dan Mocaccino mengandung banyak unsur coklat di dalamnya.
Ken mengukir senyum formal, "Sudah lama menunggu?"
"Tidak juga." Jawab gadis ber-eye-smile itu. Ia tersenyum lesu. Akhir-akhir ini gadis itu memang tidak pernah bergairah setiap kali melakukan pertemuan dengan sang kekasih.
"Syukurlah kalau begitu."
"Minumlah dulu."
"Terima kasih."
Ken menyeruput kopi panas itu perlahan lalu meletakkan lagi di hadapannya, "So, what are you gonna say?"
Yooyoung menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan, "Oppa… kau tahu kan kalau membeli sesuatu dengan uang hasil perjudian itu tidak baik?"
Ken mendengus, "Sudah kuduga. Kau akan membuka topik ini lagi. Meskipun dengan kalimat yang berbeda tapi aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini." ia memalingkan muka. Melihat ke arah manapun yang penting bukan pada kekasihnya itu.
Gadis itu menarik tangan Ken yang menganggur di atas meja lalu menggenggamnya, "Apa kau benar-benar mencintaiku?"
Ken kembali menatap sang lawan bicara, "Ya. Tapi aku juga mencintai profesiku." Ia tidak melepaskan genggaman tangan lentik yang lembut itu.
Yooyoung menunduk, melepaskan sentuhan di tangan Ken dan mulai meneteskan air mata. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara.
Ken meraih wajah Yooyoung dan menghapus air mata itu, "Aku minta maaf. Sebenarnya aku tidak mau menyakiti hatimu. Tapi aku benar-benar merasa dilemma."
"Kembalilah menjadi Lee Jaehwan yang kukenal dulu oppa…"
"Aku tidak bisa mengabulkannya. Jadi jika kau selalu merasa tertekan dengan perangaiku sebaiknya kau mencari pria lain yang lebih baik dariku." Ken sendiri bahkan terkejut akan melontarkan kalimat itu. Selama ini ia selalu menjaga perasaan kekasihnya itu.
Yooyoung menautkan sepasang alis, "Apa kau bilang?"
"Kau pantas mendapatkan pria yang lebih baik. Bukan aku yang selama ini hanya bisa membuatmu terluka."
Ia bangkit menghampiri Yooyoung. Meraih wajah gadis itu sehingga gadis itu mendongak. Wajah keduanya berhadapan.
Mereka saling menatap dalam.
"Sudahlah, tidak usah lagi mempertahankan hubungan yang rapuh ini. Jika terus dipaksakan kau sendiri yang akan merasa tersiksa."
Ken membungkuk untuk mendekatkan wajah mereka, "Betapa indah masa-masa bersamamu selama ini Lee Yooyoung. Tapi sekarang selamat tinggal…"
Ia memejamkan mata dan bibir mereka bertautan dengan lembut.
Setelah sentuhan singkat itu terlepas Ken meninggalkan Yooyoung.
Mereka memiliki perasaan yang sama saat itu.
Sama-sama hancur.
Meskipun terlihat seperti seorang bajingan, pada akhirnya Ken terpaksa melakukan itu untuk kebaikan Yooyoung.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Hongbin membuka pintu lemari penyimpanan serbaguna.
Matanya tertuju pada sekotak rokok bertuliskan 'C-in-C Strawberry'.
Apakah rokok rasa stroberi yang sangat mahal ini milik Leo?
Ia mengambil satu batang dan menyelipkan benda itu di bibir. Meraih pemantik api yang terletak di sebelah kotak rokok itu lalu menyalakannya. Membakar bagian ujung rokok di bibirnya itu kemudian mengisapnya dalam-dalam.
Tak lama ia telah mengepulkan asap dari mulut. Sesekali mengetuk-ngetukkan batang rokok itu ke asbak yang tersedia di atas meja untuk membuang abunya.
Sudah lama aku tidak merasa bagai melayang di udara seperti sekarang ini…
Tiba-tiba pintu keluar terbuka dan keempat anggota The Dark Light tiba bersamaan. Spontan mereka terkejut melihat apa yang dilakukan Hongbin.
Leo langsung menghampirinya dan merampas batang bernikotin itu dari bibirnya. Mematikan rokok itu di asbak.
"Jangan lakukan itu lagi."
Hongbin hanya mendelik pada Leo.
Sial. Baru saja aku merasakan kesenangan yang sesungguhnya barusan
"Jangan khawatir Lee Hongbin. Kami punya sesuatu yang bisa menghiburmu." Hyuk mengangkat tangan yang membawa tas-tas belanjaan berbahan kertas dengan lambang brand-brand terkenal dan mahal.
"Apa itu?"
"Beberapa stel pakaian untukmu. Modelnya macam-macam dan masing-masing pakaian ini dibeli di toko yang berbeda-beda di Adhesion Polis. Kau pasti suka karena aku yang memilihkannya. Tapi Leo hyung yang membayar, sih."
Hongbin menyemat senyum antusias, "Benarkah?"
"Kami juga membelikan sepatu, alat-alat mandi, dan parfum untukmu." Lanjut Hyuk.
-oO-Wrong Guy-Oo-
"Mungkin satu pertanyaan atau saran lagi, untuk strategi penaikan kembali profit dan income resort ini?" ujar seorang gadis cantik yang berdiri di samping proyektor yang menampilkan sebuah slide.
Seorang gadis lainnya yang duduk di sisi kanan mengangkat satu tangan.
"Silahkan nona."
"Nama saya Choi Sooyoung perwakilan sponsor dari perusahaan Nivea. Saya ingin bertanya. Apakah anda memiliki rencana untuk membuat satu atau beberapa kamar yang memiliki gaya yang berbeda dengan resort lainnya sebagai terobosan baru? Hal itu akan memicu ketertarikan para pengunjung. Lagipula setiap resort harus memiliki ciri khas tersendiri seperti Paradise Ranch, Seaes Resort, Shinsung Resort, dan C&P Resort Youth Hostel dengan interior yang sederhana namun mencolok."
"Kebetulan kami sedang merencanakan hal itu. Untuk style-nya apakah itu nuansa Eropa atau New Zealand masih berada dalam pertimbangan. Terima kasih atas pertanyaannya nona Choi." Jawab Ravi.
"Sekarang nona Park Minha selaku sekretaris tuan Kim akan membacakan konklusi dari pertemuan hari ini. Silahkan nona Park." Ujar Hyemi, gadis yang berdiri di samping poyektor itu. Hyemi adalah manajer eksekutif The Ravi's Ray Resort.
"Baiklah, konklusi untuk hari ini, prosentase penurunan income dibandingkan bulan sebelumnya, Paradise Ranch sebagai saingan terbesar karena keunikan dan ciri khasnya, ada ruangan yang tidak dibangun dari beton sebagai kamar istimewa di sini, rencana untuk membeli alat-alat elektronik baru, memasang mesin-mesin otomatis untuk barang-barang tertentu, membuat kontrak dengan Park Hyoshin atau Kim Bum untuk iklan selama sebulan, membuka cabang di Gyeongju atau Tongyeong, bekerjasama dengan para investor dan sponsor yang telah hadir di sini yaitu dari Hyundai; Starbucks Coffee; Nivea; Pizza Hut; dan Panasonic, dan membagikan laba sebanyak tiga persen kepada masing-masing perusahaan yang menaruh saham."
"Terima kasih nona Park. Untuk ke depannya kita akan kembali mengadakan rapat berikutnya minggu depan pada pukul satu siang untuk membahas tentang elektronik dan mesin apa saja yang akan dibeli, artis mana yang akan diikat kontrak untuk iklan dan berapa honor yang sesuai, dan kota yang akan dijadikan sebagai lokasi untuk membangun cabang." Manajer The Ravi's Ray Resort yang juga sedang menjadi chair person itu saling melempar senyum formal dengan Ravi.
"Terima kasih kepada tuan Kim Wonshik selaku pemilik The Ravi's Ray Resort atas strategi yang luar biasa dan telah menjadi pembicara selama 30 menit dan menjawab semua pertanyaan dari peserta rapat dengan detail dan memuaskan. Dan terima kasih kepada seluruh investor dan perwakilan pimpinan besar dari perusahaan-perusahaan brand terkenal sebagai sponsor yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri rapat besar ini. Semoga kita dapat segera menyelesaikan konflik dari follow-up yang telah ditentukan. Dan kami segenap kru dari perusahaan ini berterimakasih juga atas perhatian dan kerjasama anda sekalian. Saya cukupkan pertemuan sampai di sini. Selamat sore dan sampai jumpa minggu depan." Lanjut sang manajer.
Riuh tepuk tangan terdengar membahana di dalam ruang rapat yang dihadiri oleh 30 peserta itu. Semua orang satu-persatu meninggalkan ruangan setelah berjabat tangan dengan Ravi dan semua perwakilan pimpinan perusahaan resort itu.
Ravi meninggalkan ruangan, memasuki lift menuju lantai dimana ruang kantornya berada. Di belakangnya ia diikuti Park Minha, sang sekretaris cantik yang membawa berkas-berkas penting di tangan.
Ketika memasuki ruangan Ravi langsung duduk di 'singgasana' dan menghembuskan nafas lelah. Sang sekretaris meletakkan semua berkas di atas meja kerja Ravi. Meja kerja yang membatasi mereka berdua. Gadis itu berdiri di hadapan bosnya itu meskipun ada kursi di sana. Tidak ada yang berani duduk di sana jika Ravi belum mengizinkan.
"Anda telah bekerja keras tuan Kim."
"Entahlah nona Park. Aku tidak yakin."
"Untuk seseorang yang tidak pernah berurusan dengan perusahaan ini sebelumnya penampilan anda begitu menawan ketika memimpin rapat tadi. Mana mungkin anda merasa tidak yakin?"
"Penampilanmu tadi juga bagus."
"Terima kasih tuan. Lalu… untuk dokumen-dokumen yang sempat ditinggalkan tadi bagaimana?"
"Bawa kemari. Akan kutandatangani seluruh berita acara yang telah mereka selesaikan."
"Tapi tuan ini sudah saatnya bagi anda untuk beristirahat."
"Baiklah kalau begitu. Kau juga harus pulang sekarang. Jam kerjamu telah habis. Tapi aku ingin besok pagi semua dokumen berita acara itu sudah berada di atas mejaku ini bersamaan dengan terhidangnya secangkir kopi."
"Akan saya laksanakan tuan."
"Dan tolong panggilkan nona Pyo Hyemi kemari. Aku ingin bicara dengannya."
"Baik tuan."
"Kau boleh pergi sekarang."
"Terima kasih tuan Kim, selamat sore." Gadis itu membungkuk memberi hormat. Lalu meninggalkan ruangan.
Sambil menunggu sang manajer datang Ravi meraih gagang telepon di atas meja dan menekan tombol-tombol yang akan terhubung pada Leo.
Sambungan diterima dari seberang, "Halo."
"Halo hyung. Bisakah aku bicara dengan Lee Hongbin?"
Leo menyerahkan ponselnya pada Hongbin.
"Ini aku." Jawab Hongbin dengan malas.
"Selamat malam Lee Hongbin."
Hongbin tidak menanggapi.
"Kelihatannya kau masih marah padaku. Tapi… tidak apa-apa. Aku akan tetap berbicara padamu. Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap kau menjaga dirimu dengan baik. Kuharap mereka juga menjagamu dengan baik. Aku masih berada di Jeju. Mungkin aku baru kembali ke sana minggu depan. Lee Hongbin tolong bicaralah. Aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja."
"Kau ingin aku bicara apa."
"Ah syukurlah. Ternyata kau benar-benar mendengarkanku. Baiklah kalau begitu. Aku akan memutuskan sambungan. Sampai jumpa minggu depan." Ia benar-benar menutup telepon ketika menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak menunggu jawaban Hongbin karena tahu bahwa pria itu tidak akan menanggapi. Ia membuang nafas berat.
Dan saat itu juga ia mendengar suara ketukan di pintu.
"Silahkan masuk."
Hyemi memasuki ruangan, "Anda memanggil saya tuan?"
"Ya. Duduklah. Aku hanya ingin berbicara sebentar sebelum kau pulang. Kau tidak keberatan kan?"
"Tidak tuan."
Gadis itu duduk di hadapan Ravi, "Apa yang ingin anda bicarakan tuan?"
"Aku ingin pulang ke rumah. Tapi aku harus profesional. Aku tidak bisa lagi meninggalkan perusahaan ini seenaknya dan terus-terusan memintamu untuk menanganinya karena kita sedang mengalami masalah yang rumit di sini."
"Saya mengerti tuan. Tapi anda juga harus bisa bersikap lebih tenang karena ini adalah hal yang wajar bahwa seberhasil apapun suatu perusahaan suatu hari pasti akan menghadapi sebuah konflik. Anda tidak perlu khawatir. Kita sedang berada dalam proses pemulihan income. Anda harus percaya bahwa semua masalah ini akan segera berakhir selama kita mengusahakan dengan baik."
"Aku tahu itu. Tapi aku juga punya kehidupan di luar sana. Kau tahu sendiri kan kalau aku tidak menjadikan perusahaan ini sebagai prioritas utama? Sekarang coba kau bayangkan minggu depan kita masih harus mengadakan pertemuan lagi dengan para investor itu. Setelah kita mendapatkan hasil dari rapat minggu depan pun kita masih harus mengurusi banyak hal yang pastinya akan menyita banyak waktu."
"Tidak perlu panik tuan. Itu semua adalah bagian dari usaha kita. Karena jika ingin mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang diekspektasikan, ada sesuatu yang harus kita bayar. Ada sesuatu yang harus kita korbankan. Dalam hal ini sesuatu yang dimaksud itu adalah waktu, tenaga, pikiran, dan uang."
"Aku tahu itu. Tapi bisakah kau mengatakan sesuatu yang lebih menghiburku?"
"Saya hanya ingin mengingatkan satu hal bahwa masalah elektronik, mesin, interior, dan urusan kontrak dengan artis terkenal, bahkan masalah tempat membuka cabang, bisa anda percayakan pada saya. Tugas anda sebagai pemilik perusahaan di sini adalah sebagai otak. Anda adalah seseorang yang sangat hebat yang telah diberi kepercayaan oleh orang tua anda untuk menjadi pemilik perusahaan sebesar ini. Orang tua anda tidak akan menyerahkan sebuah perusahaan pada sembarang orang. Sementara saya sebagai pimpinan tertinggi di sini setelah anda bisa menjadi konsultan bagi anda. Dan semua keputusan ada di tangan anda. Dan biarkan para karyawan dan pelayan di sini sebagai mesinnya. Setelah semua dikerjakan, anda akan melihat hasil dan anda juga yang akan memberikan ide-ide baru untuk perubahan ke arah yang lebih baik."
"Aku juga tahu itu."
Kau hanya tidak tahu saja bahwa di atasku aku juga memiliki seorang pemimpin. Otaknya sangat luar biasa dalam menentukan strategi dalam berjudi…
"Ingat ini tuan. Anda membuat konsep dasar, saya beserta direksi lainnya mengembangkan dan saya memberi aba-aba pada para pegawai untuk melaksanakan prosedur. Setelah itu anda hanya tinggal melihat hasil dan menerima penghasilan sebagai buah dari kerja keras otak anda yang luar biasa itu. Anda telah membuktikan melalui kalimat yang anda lontarkan yang berisi seluruh strategi anda, dalam pertemuan tadi."
"Menggunakan otak untuk mengurus perusahaan ini tidaklah mudah. Begitu banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Ya ampun. Kenapa cari uang di jalan yang benar itu susah sekali sih? Lebih mudah mendapatkan banyak uang ketika aku berjudi. Bahkan uang yang kudapatkan lebih banyak dari sana."
"Anda benar tuan. Tapi berjudi itu resikonya lebih besar. Sebaiknya tenangkanlah pikiran anda. Karena sebenarnya masalah ini tidak serumit yang anda bayangkan. Hanya saja anda mengkhawatirkan semuanya terlalu jauh."
"Memang, sebagai seorang pimpinan yang profesional tidak seharusnya aku membawa-bawa masalah di rumah ke perusahaan ini. Tapi yang namanya hati tidak bisa bohong. Ketika aku memiliki masalah di luar sana aku jadi tidak bisa berpikir jernih di sini. Hal itulah yang telah mempengaruhi pikiranku jadi terlalu panik seperti ini."
"Saya mengerti tuan. Keluarga adalah segalanya. Anda tidak dapat melupakan mereka di manapun anda berada."
"Aku yakin keluarga yang kumaksud ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku tidak pernah ambil pusing tentang kedua orang tuaku. Yang kumaksud adalah keluarga kecilku. Maksudku sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah."
Ekspresi wajah gadis itu berubah seketika tersenyum cerah, "Sungguh tuan? Kapan anda menikah? Siapa perempuan beruntung itu? Kenapa saya tidak pernah mengetahui hal itu?"
"Sebenarnya ia seorang laki-laki. Dan kami belum menikah."
Hyemi merasa salah bicara, "Oh. Maaf tuan."
"Orang tuaku juga belum tahu. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sehingga aku tidak tahu kapan harus mengatakannya pada mereka."
"Coba saja hubungi orang tua anda tuan. Sesibuk apapun mereka pasti ada waktu luang juga kan? Seperti anda sekarang ini."
Ravi tersenyum miris, "Maaf aku malah jadi bercerita padamu."
"Saya tidak keberatan tuan. Siapa tahu saya bisa memberikan saran pada anda?"
"Terima kasih nona Pyo Hyemi. Kau memang seorang manajer yang baik." Dan untuk yang kedua kalinya hari ini mereka saling melempar senyum formal.
Sementara itu di sisi The Dark Light, Hyuk sudah bersiap-siap untuk pergi keluar.
"Hyung aku pergi dulu ya."
"Where are you going?" Ken tidak menunjukkan kesedihan. Ia menyembunyikan perasaan sakit di hatinya yang baru saja berpisah dengan gadis yang selama ini bersamanya.
"Fulfilling my promise to go to the amusement park with Newsun of course."
"Pergilah. Jaga sikapmu pada gadis itu. Dia adalah aset berharga bagi kita karena bisa memberi sejumlah besar uang secara cuma-cuma kapan saja." ujar N.
-oO-Wrong Guy-Oo-
Hari berikutnya Leo mengajak Hongbin untuk jalan-jalan. Karena ia yakin bahwa kondisi Hongbin saat ini sudah benar-benar pulih.
"Kau sudah tahu kan kalau ini adalah tombol untuk membuka pintu?" Leo menunjuk sebuah tombol berlapis metal yang terletak di dekat ambang pintu.
Hongbin hanya mengangguk kepala sebagai jawaban.
Leo menekan tombol itu, membuat pintu terbuka.
"Akan kuberitahu bagaimana caranya keluar dari sini."
Ia menggenggam telapak tangan Hongbin dan membawanya melangkah ke dalam lorong.
Akhirnya… aku bisa menggenggam tanganmu yang lembut ini. Meskipun tidak sampai menautkan jemari tapi dengan hanya menyentuhnya saja aku sudah merasa nyaman…
"Pintu ini tertutup ketika kami memberi sidik jari di sini seperti ini." Ia menyentuhkan telapak tangan pada tempat yang telah disediakan di dinding bagian luar.
"Nanti akan ku-setting ulang pemindai sidik jari ini. Aku akan memasukkan sidik jarimu juga di sini sehingga kau juga bisa menggunakan pintu ini sendiri."
Pintu dan dinding itu menutup membuat keadaan lorong itu gelap total.
Sejak tadi ketiga anggota The Dark Light yang lain terus memperhatikan apa yang dilakukan Leo dan Hongbin. Mungkin karena berbagai adegan dan interaksi dua orang itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka.
N menggeleng tidak percaya, "Sangat terlihat. Kalau Leo menyukai Hongbin."
"Correct. Since Lee Hongbin has been here, Leo Hyung becomes more talkative and gives more smile." Mata Ken tidak terlepas dari pintu dimana Leo dan Hongbin menghilang.
"Lee Hongbin telah membawa pengaruh besar pada Leo hyung hingga ia berubah seperti itu." komentar Hyuk.
Sementara itu di sisi Hongbin dan Leo…
"Aku tidak bisa melihat sama sekali." Hongbin sedikit… ketakutan. Sampai-sampai jantungnya berdegup secara kurang ajar.
"Tenang saja aku akan membimbingmu. Dan aku akan selalu bersamamu. Jadi kau tidak perlu merasa takut." Ujar Leo dengan tenang. Siapa tahu dengan seperti itu Hongbin juga jadi terbawa tenang.
Hongbin percaya sepenuhnya pada Leo. Mereka mengeratkan genggaman tangan, "Ada 11 tahap untuk bisa mencapai dunia luar sana. Pertama, dari sini kita berjalan lurus sebanyak lima langkah." Leo menjelaskan sambil membuat langkah dengan membawa Hongbin di belakangnya.
"Tidak perlu berjalan sebanyak lima langkah juga kan yang penting sampai di persimpangan untuk mengambil jalan lainnya?" Mereka saling berbicara namun tidak dapat melihat wujud satu sama lain. Melihat anggota tubuh sendiri saja tidak bisa.
"Tidak. Jika jumlah langkah kakimu tidak pas, kurang atau lebih meskipun hanya satu langkah, dinding-dinding lorong akan bergeser sendiri. Membuat bentuk persimpangan yang berbeda dan itu akan menutup akses untuk keluar. Karena kami memasang sensor langkah kaki di semua jalan yang terhubung dengan seluruh dinding di dalam labirin ini."
"Jika hal itu terjadi apakah dinding-dinding ini akan kembali seperti semula?"
"Ya. Dalam waktu 20 menit semuanya akan kembali seperti sedia kala. Tapi jika kau salah mengambil langkah sejak awal nalurimu pasti akan membawamu ke jalan yang sudah berubah itu. Lalu kau tidak akan tahu bahwa jalan di belakangmu akan berubah dalam waktu 20 menit. Dan akhirnya kau tidak akan bisa keluar."
"Mengerikan."
"Kita sampai di persimpangan. Ada dua arah, kiri dan kanan. Tahap kedua berbelok ke kiri dan berjalan lurus sebanyak 12 langkah."
"Ini terlalu gelap. Kenapa tidak membawa lampu senter saja?"
"Kita tidak membutuhkannya. Tidak peduli kau bisa atau tidak bisa melihat dalam kegelapan ini, satu-satunya cara untuk keluar dari sini tetaplah dengan tahap-tahap yang telah ditentukan."
"Ini sangat rumit."
"Sekarang kita berada di persimpangan lain. Ada lima jalan. Kiri, kanan, depan, arah jam dua, dan arah jam sebelas. Tahap ketiga pilih jalan di arah jam dua. Tapi jika kau merasa sulit untuk mengidentifikasi letak arah itu kau bisa merotasikan tubuhmu dengan sudut 80 derajat ke arah jarum jam. Itulah arah jam dua. Kemudian berjalanlah sebanyak 11 langkah."
Leo semakin mengeratkan genggaman tangan dengan Hongbin, "Di sini kita menghadapi persimpangan dengan tiga jalan. Kanan, arah jam sepuluh, dan arah jam satu. Tahap keempat ambil jalan ke kanan dan berjalan sebanyak tujuh langkah."
Yang bisa dilakukan Hongbin saat itu hanyalah mendengarkan dengan seksama dan mengikuti langkah yang Leo buat.
"Dari sini ada empat jalan. Kiri, kanan, arah jam sebelas, dan arah jam satu. Tahap kelima pilih jalan di arah jam sebelas. Atau lebih mudahnya rotasikan tubuhmu dengan sudut 70 derajat ke arah berlawanan jarum jam lalu berjalan sebanyak 20 langkah."
Ya ampun. Sampai kapan aku harus berjalan dalam kegelapan ini…?
"Sekarang kita sudah bisa melihat cahaya di ujung dua jalan di depan kita ini. Tahap keenam ambil yang kanan kemudian berjalan sebanyak sepuluh langkah. Itu adalah cahaya asli dari lampu yang dipasang orang lain di lorong umum. Sedangkan yang kiri adalah cahaya palsu yang kami buat sendiri. Lalu untuk berjalan ke sana meskipun tinggal berjalan lurus kita harus tetap menghapal berapa langkah kau harus berjalan. Supaya kau tahu berapa langkah yang harus diambil dari lorong bercahaya itu untuk sampai ke persimpangan ini saat kau ingin kembali ke tempat persembunyian."
Mereka menelusuri jalan itu hingga mereka berada di lorong bawah tanah umum. Dengan kata lain mereka telah keluar dari labirin tadi. Dan mereka melepas genggaman tangan. Leo merasa berat hati harus melepas sentuhan itu. Tapi bagaimana lagi? Mereka sudah berada di jalan umum yang memiliki penerangan yang lumayan –karena temaram. Artinya Hongbin sudah tidak lagi membutuhkan genggaman tangan.
Akhirnya… aku keluar juga dari kegelapan yang panjang itu…
"Jadi selama ini setiap kali kalian keluar dari dalam tempat persembunyian untuk pergi ke dunia luar kalian selalu melewati jalan itu? Dengan cara tadi? Sulit dipercaya."
"Itu memang satu-satunya akses dari markas ke dunia luar dan begitu juga sebaliknya."
"Apa kalian sendiri yang menciptakan labirin itu? Benar-benar membingungkan."
"Ya. Kau akan lebih memilih untuk berpetualang di dalam labirin rumah kaca dan labirin di Jeju daripada labirin gelap The Dark Light."
"Dan begitu labirin itu selesai dibuat, kalian langsung hapal jalan di dalamnya dalam sekali mencoba?"
"Tentu. Kami yang membuatnya, kenapa harus tidak hapal saat itu juga?"
"Benar juga."
"Bagaimana denganmu? Apakah kau bisa mengingat jalan tadi?"
"Akan kuusahakan."
Ketika Hongbin tersadar sesuatu, "Tunggu dulu. Aku tahu jalan ini."
"Benarkah?"
Gambar pada peta yang pernah diberikan Yongguk masih menempel pada ingatannya, "Ya, jika berbelok ke kanan kau akan sampai di sebuah klub malam yang tersembunyi dan tidak memiliki nama."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku pernah ke sana."
"Jangan bilang kalau kau dan Ravi bertemu di sana dan itu adalah pertemuan pertama kalian."
"Itu semua benar."
"Pantas saja."
"Mulai dari sini aku tahu jalan keluarnya. Kita harus berbelok ke kiri lalu setelah itu melewati tiga persimpangan dan satu tikungan. Kemudian naik tangga dan akhirnya sampai di sebuah gang yang diapit dua buah gedung pencakar langit."
Hongbin memiliki ingatan yang bagus. Padahal ia baru satu kali pergi ke klub itu dan tidak pernah keluar lagi sendirian. Karena ketika ia sadar ia sudah berada di dalam sebuah kamar hotel bersama Ravi. Orang biasa tidak akan bisa menghapal jalan yang rumit itu dengan cepat seperti Hongbin. Dengan ingatan luar biasa seperti itu bisa dipastikan kalau Hongbin juga akan segera hapal jalan menuju tempat persembunyian The Dark Light.
"Kau benar. Tapi tahap terakhir kita bukanlah tikungan itu karena kita akan mengambil mobil di basement. Jadi sebelum tikungan itu kita akan belok kiri untuk mengambil satu jalan persimpangan lagi. Menuruni tangga dan akhirnya sampai di basement 5 tempat semua kendaraan kami diparkirkan."
"Kalian punya tempat parkir sendiri?"
"Bukan. Basement itu milik gedung perusahaan yang mengapit gang di atas lorong ini." Jelas Leo membawa Hongbin berjalan ke basement. Dan akirnya mereka berdiri di depan mobil-mobil sport mewah ber-merk Lamborghini dan motor-motor sport besar ber-merk Ducati yang berjejer rapi.
"Lima mobil dan empat motor sport ini masing-masing milik kami. Satu motor sedang dipakai Ravi untuk pergi ke rumahnya dua hari yang lalu."
"Kalian royal sekali."
"Tidak begitu. Sebenarnya suatu waktu kami berlima bisa pergi ke tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan. Jadi masing-masing dari kami memiliki satu mobil dan satu motor. Mobil hanya digunakan ketika musim hujan, atau ketika kami harus membawa banyak barang. Jika kami berlima pergi ke tempat yang sama kami akan menggunakan mobilku."
"Mobilmu yang mana?"
"Ini." Ujar Leo, menunjuk mobil berwarna hitam dengan aksen tiga garis vertikal berwarna merah, yang melintang dari bagian depan, melewati atapnya, hingga ke bagian belakang.
"Dari sini ke sana secara berurutan adalah mobil dan motor milik Ken, Hyuk, N, dan Ravi."
Mobil milik Ken berwarna putih, milik Hyuk berwarna silver, mobil milik N berwarna merah, dan milik Ravi berwarna cokelat gelap. Begitupun dengan motor-motornya. Warnanya sama dengan warna mobilnya.
"Berdasarkan ramalan cuaca tadi, sepanjang hari ini akan selalu cerah. Kita naik motor saja."
-oO-Wrong Guy-Oo-
.
Bersambung
.
