Disclaimer: Masashi Kishimoto pemilik Naruto lho. Kalau saya pemilik hatimu ^_^
Warning: AU (seenak kepala aja bikin setting)
#plak
Ehe. Lagi hiatus tapi ide fanfic ini lancar bangeeettt! Nggak tahannnnnn!
Arggghhh... doain semua fic mii berhasil dengan baik deh T^T
.
.
.
Himitsu
Pair: Masih nggak jelas. Sasuhina? Naruhina? Sasunaru? (Plakkk!) ehehe bercanda bro! Ini straight kok! Demi my friend Sabaku no Uzumaki (Dia sukanya Naruhina tapi nggak tahu dah. Ini sasuhina or naruhina)
.
.
.
.
Hinata terbangun dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus terali-terali jendela kamar bernuansa krem itu. Ia bangkit, dan berjalan menuju kamar mandi.
.
.
.
.
Di ruang makan, dilihatnya seorang wanita renta tengah menuang teh kedalam cangkir. Ia tersenyum. "Ohayou, nenek Chiyo." Sapanya ramah.
Wanita itu berbalik dan membalas senyumannya.
"Selamat pagi nona Hinata." Balas si nenek. Hinata menarik kursi dan mulai melahap roti panggangnya. Nenek Chiyo mengambil sisir dan mulai menyisir rambut gadis itu. Rambut panjang berwarna indigo yang lembut.
"Nona kelihatannya sedang senang. Ada apa?"
"Hehe. Nggak ada apa-apa kok, nek."
"Oh, begitu."
Hinata segera menyelesaikan sarapannya dan mengambil tasnya yang telah menunggu diatas meja. Ia mengecup pipi keriput si nenek satu kali.
"Aku berangkat, nek!"
"Hati-hati nona."
.
.
.
.
Hinata melangkah dengan riang. Bibir tipisnya tersenyum senang. Hari ini adalah awal musim semi. Musim kedua yang disukainya setelah musim gugur. Seharusnya hari ini sama saja dengan awal- awal musim semi yang lain, tapi ada yang berbeda dimusim semi tahun ini. Ya, mulai tahun ini, ia resmi menjadi siswa kelas sepuluh Konoha High School. SMU yang terkenal dikotanya, Konoha. Selain itu...
"Ohayou, Hinata!"
...Ia sekelas lagi dengan Naruto.
"Nggg... o-ohayou... Naruto-kun..." Balasnya dengan wajah memerah. Pemuda itu turun dari sepedanya dan tersenyum.
"Wah, sudah lama tidak ketemu ya, Hinata. Tidak kusangka kita akan sekelas lagi."
"Iya."
Naruto menuntun sepedanya sambil terus berjalan disamping Hinata. Sesekali tawa renyahnya terdengar. Memecah keheningan pagi yang sepi. Hinata melirik pemuda itu.
Sebulan saja tidak bertemu membuatnya sangat rindu Naruto.
Pemuda itu masih tampan seperti biasanya. Rambutnya masih tetap kuning cerah bak warna ketiga pelangi. Kulitnya masih berwarna caramel, hanya saja sedikit bertambah gelap. Dan senyumnya yang kekanak-kanakan… senyum yang begitu disukai oleh siapa saja.
Naruto menoleh padanya.
"Ada apa, Hinata?"
"Nghh... nggak ada apa-apa kok, Naruto-kun." Hinata memalingkan wajahnya.
...Ya, dia Naruto Namikaze. Pemuda impiannya.
.
.
.
.
Sesampainya di gerbang sekolah, Naruto berjalan ke arah parkiran sementara ia langsung menuju kelasnya, X D. Shion menyambutnya.
"Ohayou, Hinata!"
"Ohayou , Shion."
Gadis berambut ivory itu duduk disamping Hinata.
"Wah, nggak nyangka, ya. Kita diterima disekolah yang sama. Bisa sekelas, lagi. "
Hinata mengangguk dan tersenyum.
"Iya."
Beberapa puluh menit kemudian, bel berbunyi. Seluruh murid menghadiri upacara awal tahun. Hinata melihat Naruto yang tengah bercanda dengan Lee dan dimarahi oleh Iruka-sensei. Ia tertawa pelan.
Inilah hidup seorang Hinata Hyuuga. Seorang putri keluarga Hyuuga yang merupakan pemilik Hyuuga Corporation. Perusahaan dengan ruang lingkup luas. Mencakup perindustrian dan kegiatan ekspor-impor. Walau pun begitu, Hinata lebih suka tampil sederhana. Ia tidak suka diantar sopir dengan Mercedes yang setia mengintip dari balik bagasi. Ia tinggal dirumah sederhana miliknya hanya bersama dengan seorang pembantu yang telah tua dan seorang supir merangkap tukang kebun. Atau lebih tepatnya tukang kebun merangkap supir. Ia tak suka terlihat glamor. Meski itu sudah menjadi kodratnya sebagai seorang 'nona besar'. Kakaknya, Neji Hyuuga adalah pewaris utama keluarga Hyuuga. Ia tinggal dirumah utama Hyuuga namun kini sang kakak tengah berada di Iwagakure untuk sementara waktu. Hinata hanya tahu bahwa kakaknya tengah mengerjakan tugas dari perusahaan.
Hidupnya jauh dari kata 'susah'. Terlalu berlebihan malah. Ia selalu dimanja sebagai 'putri' di keluarga itu.
Bahagia.
Tentu saja. Itulah kata-kata yang mampu menjelaskan tentang hidupnya.
Hanya saja ia tidak tahu.
Kenyataan sesungguhnya, di balik hidupnya yang 'bahagia' itu.
.
.
.
"A-apa...?" Hiashi menjatuhkan gagang telepon yang tengah digenggamnya. Pria disebelahnya mengambil telepon itu dan menyerahkannya kembali pada nya.
"Ja-jadi... ia menghilang?"
"Benar. Kami tidak dapat menemukan keberadaannya. Juga Itachi." Terdengar sebuah suara berat menjawab diseberang sana.
"Mustahil. Bukankah kalian kubayar untuk menjaganya!" Katanya marah.
"Maafkan kami. Kami tidak tahu akan terjadi seperti ini karena kami sedikit lengah."
"Huh!" Hiashi membanting gagang telepon itu dengan kesal. Ia berjalan menuju beranda. Pria dibelakangnya mengikuti.
"Tidak kukira akan jadi seperti ini..." Desahnya pelan.
"Tapi, kita harus segera menemukan pengganti tuan muda Neji, tuan besar. Karena kalau tidak..."
"Aku tahu..."
Pria itu menatap langit. Cerahnya angkasa tak secerah suasana hatinya saat itu.
"...Kalau kita tidak segera menemukan pengganti Neji. 'Mereka' akan menyerang..."
Sang pengawal mendekat. Rokoknya yang masih tersisa setengah batang dimatikannya begitu saja.
"Jadi...?"
"...Terpaksa... "
"Jangan-jangan..."
Hiashi berbalik dan menatap pengawalnya.
"Hinata... akan menjadi pengganti Neji, untuk sementara..."
.
.
.
.
Bel pulang berdentang. Hinata segera berkemas-kemas. Naruto menghampirinya.
"Hinata. Ayo kita pulang bareng."
Wajah Hinata bersemu.
"Nggg... Boleh..."
"Ok. Yuk keluar."
Didepan sekolah, tiba-tiba Hinata dikejutkan oleh keberadaan beberapa orang pria dengan jas hitam yang berdiri sigap di pintu gerbang. Seingatnya mereka adalah pengawal ayahnya. Ia dapat mengetahui itu dari lambang api biru yang tersemat di dada kiri mereka. Lambang perusahaannya.
"Ada apa?" Tanyanya pada salah satu dari mereka. Naruto menatapnya bingung.
Mereka membungkuk.
"Maaf, nona Hinata. Tapi atas perintah tuan besar Hiashi, kami diperintahkan untuk menjemput nona segera kembali ke rumah utama."
"Eh, tapi kan..."
"Maaf, tapi ini perintah."
"Itu..."
Orang-orang itu segera memasukkan Hinata kedalam mobil. Gadis itu memberontak namun ia tak kuasa menandingi kekuatan mereka.
"Apa-apaan ini!" Jeritnya kesal.
"Maaf nona."
"Hei! Lepaskan Hinata!" Naruto berusaha merangsek diantara para pengawal itu. Namun salah seorang dari mereka memukulnya sehingga ia terpelanting jatuh.
"Narutoooo!"
Mobil-mobil itu melaju pergi. Meninggalkan Naruto yang masih terduduk kesakitan disamping sepedanya.
.
.
.
.
.
"Lepaskan akuu!" Jerit Hinata tidak terima. Orang-orang itu membawanya masuk kedalam rumah besar itu. Rumah yang tidak ubahnya seperti sebuah istana. Lengkap dengan taman dan kolam yang sangat indah dan berkesan mewah.
"Heiiii!"
"Sudah cukup. Kalian boleh pergi." Terdengar sebuah suara dari arah atas tangga.
"A-Ayah...?"
Hiashi Hyuuga menuruni tangga. Dibelakangnya, seorang pria mengikuti. Orang-orang itu melepasnya.
"Ukh..." Hinata meraba pergelangan tangannya yang memerah.
Hiashi membantunya berdiri.
"Kau tidak apa-apa, Hinata? Maafkan aku. Tapi aku harus segera memanggilmu pulang."
"Tapi nggak seharusnya ayah menyeretku begitu! Apa yang akan dikatakan teman- temanku nanti?" Hinata mengerutkan alisnya.
"Sekali lagi maaf Hinata, tapi kalau tidak begini kau tidak akan mau pulang."
Hinata merengut.
"Memangnya ada apa, ayah? Kenapa ayah menyuruhku pulang?"
"Lebih baik kita bicarakan diruang keluarga saja."
Mereka berdua berjalan menuju ruang keluarga. Hinata menatap punggung ayahnya dari belakang. Seingatnya, sang ayah tidak pernah memaksanya. Baru sekali ini ia mengalami hal seperti tadi.
Ditarik paksa dari sekolah dengan sangat memalukan.
Tiba-tiba ia teringat pada Naruto. Ia menepuk dahinya. Tadi ia meninggalkan Naruto begitu saja. Ahhhhhh...
Bagaimana caranya menghadapi pemuda itu besok?
Mereka sampai diruang keluarga. Hiashi duduk di salah satu sofa diruangan itu. Para maid dengan sigap menghidangkan kue dan teh dihadapannya.
"Duduklah."
Hinata mematuhi perintah ayahnya dan duduk diatas sofa dihadapan sang ayah.
"Sebelumnya. Kau harus tahu, Hinata. Tentang keluarga kita..."
"... keluarga kita?"
Hiashi menghirup teh yang dituangkan oleh seorang maid. Ia menghela nafas.
"Kau tahu kan Hinata. Keluarga Hyuuga adalah pemilik sah Hyuuga Corporation. Perusahaan Ekspor-Impor terbesar di Konoha. Tak hanya itu, kita juga menguasai berbagai sentral perbelanjaan di Konoha ini... dan juga beberapa kota lain."
"Aku tahu ayah... lalu ada apa...?"
Hiashi beranjak dari tempat duduknya. Ia membelakangi Hinata.
"... Hyuuga Corporation... perusahaan besar dengan tanggungan lebih dari 7000 pekerja. Dengan omset penjualan yang sangat besar, dan juga mendunia... tapi, dibalik kesuksesan kita... kita juga mengalami berbagai macam masalah..."
"Masalah...?"
"Semakin besar suatu perusahaan, jumlah orang yang iri pada perusahaan itu akan semakin banyak. Maka akan semakin banyak pula masalah yang timbul. Entah itu persaingan bisnis, persaingan memperebutkan lokasi penjualan yang strategis, dan sebagainya... hal itu juga terjadi pada perusahaan kita. Dan untuk mengatasi masalah itu, ayah menciptakan organisasi... untuk melindungi perusahaan..."
Hinata memiringkan kepalanya tidak mengerti.
"Maaf, tapi bisakah ayah menjelaskannya dengan lebih sederhana?"
Hiashi berbalik dan menatapnya.
"Untuk melindungi Hyuuga, ayah menciptakan 'Blue Fire'. Organisasi mafia yang bekerja untuk mengurus hal-hal seperti itu..."
Hinata menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"... Ma-mafia?"
Hiashi mengangguk.
"Demi untuk melindungi perusahaan ini. Dan melenyapkan para pengganggu yang ingin menghancurkan Hyuuga Corporation. Ayah mendirikan organisasi yang bekerja di balik bayang-bayang perusahaan kita. Blue Fire."
"Ja-jadi selama ini... kita..."
"Benar... Kita memelihara organisasi terlarang dibalik perusahaan kita yang diakui pemerintah."
Pengawal pria itu menyerahkan sebuah gulungan kertas pada Hiashi.
"Terimakasih, Asuma..." Kata pria itu pelan.
Ia membuka gulungan kertas itu dan melanjutkan.
"... Blue Fire, terdiri atas berbagai klan ... yaitu Hyuuga, Sarutobi, Uchiha, Yamanaka, Inuzuka dan beberapa klan lagi. Masing-masing klan memiliki wilayah kerja, dan tugas masing-masing. Dengan sistem yang terorganisir, Hyuuga Corporation bisa tetap berdiri..." Kata pria itu sambil menunjukkan gambar-gambar lambang dari masing-masing klan yang ia sebutkan tadi.
"Lalu... kenapa, ayah baru mengatakannya padaku sekarang...?"
Hiashi membuang nafas.
"Sebenarnya, aku tidak ingin kau mengetahui hal ini sampai saat usiamu mencapai dua puluh tahun nanti. Tapi, sebuah kejadian yang sangat tidak terduga telah terjadi..."
"Apa itu...?"
"Seperti yang kau ketahui, kakakmu Neji seharusnya kini berada di Iwagakure guna menyelesaikan 'permasalahan' di cabang Iwagakure. Tapi, tadi aku menerima kabar bahwa ia telah menghilang..."
Hinata terhenyak.
"A-apa? Kak Neji menghilang?"
Hiashi mengangguk.
"Mobil yang dikendarainya jatuh ke jurang. Ia dan pengawalnya, Itachi, menghilang begitu saja. Aku telah menyuruh orang-orang ku untuk mencari mereka berdua lagi tapi sampai saat ini belum ada kabar apapun dari mereka."
Hinata bangkit dari tempat duduknya.
"Jadi, ayah mau bilang bahwa aku harus menggantikan kak Neji?" Tanyanya tak percaya.
"Sayangnya, itu benar."
Hiashi menghampiri Hinata dan menepuk bahu putri pertamanya itu.
"Hinata, sekarang ini situasi di luar tengah kacau. Selain itu, perusahaan yang memakai sistem mafia seperti kita tidak hanya satu, tapi puluhan bahkan ratusan. Selama kita tidak memiliki pengganti Neji, perusahaan bisa saja hancur. Karena itu Hinata, ayah mohon... hanya sampai kakakmu ditemukan, gantikanlah Neji..."
Hinata menepis tangan ayahnya.
"Kenapa harus aku…? Bukankah ayah bisa menyuruh orang lain yang lebih mampu daripada aku? Aku sama sekali tidak mengerti tentang mafia, yankee atau sejenisnya, ayah..."
Sang ayah menggeleng.
"Harus keturunan langsung dari keluarga Hyuuga lah yang menjadi pemimpin Blue Fire. Kakakmu menghilang, sementara Hanabi masih terlalu kecil untuk tugas seperti ini. Harapan ayah hanya padamu Hinata."
"Kenapa tidak ayah sendiri yang memimpinnya?"
"Tidak bisa. Ayah sudah terlalu tua untuk bertarung. Lagi pula, ayah telah melatihmu, kan? Hal itu ayah lakukan untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini."
"Ukh..."
Hinata kehabisan kata-kata untuk menentang niat sang ayah.
"Tenang saja. Kau tidak sendirian. Ayah telah memilih asisten yang cocok untukmu."
"Asisten...?"
"Semua pemimpin dari klan kita memiliki asisten yang bertugas membantu pekerjaan kita. Asisten ayah adalah Asuma dari klan Sarutobi..." Pria bernama Asuma itu tersenyum dan membungkuk pada Hinata.
"... asisten kakakmu adalah Itachi dari klan Uchiha, dan seperti yang kau ketahui, ia juga menghilang bersama Neji..."
"Lalu, siapa yang akan menjadi asistenku...?" Tanyanya ragu. Tentu saja. Tak pernah sekali pun ia berpikir untuk terlibat dalam urusan seperti ini. Ia bahkan sedikit berharap kalau ini hanyalah mimpi dan ketika ia terbangun, ia akan mendapati dirinya tengah berbaring di tempat tidurnya yang hangat dan nyaman.
Hiashi mengangguk pada Asuma. Pria itu mengerti dan membuka pintu ruangan.
Seorang pemuda berambut raven dan bermata onyx nampak berdiri diam didepan pintu. Matanya yang sewarna malam menatap Hinata.
"Namanya Sasuke dari klan Uchiha. Ia lah yang akan menjadi asistenmu..."
Hinata menelan ludah.
Pemuda itu membungkuk hormat.
"Salam kenal Nona Hinata. Nama saya Sasuke Uchiha. Saya akan bekerja sebaik mungkin..."
TBC
Fuwahhh~
Chappi satu selese~~~ XDD
Hem... sebenernya saya juga gak yakin kapan saya bisa up datenya...
Maaaaaaaafffff...
Saya nggak tahan lagiiiii buat publish fanfic ini... 0
Gomen minna sannnnn!
Nah, jadi, bagaimakah hidup Hinata setelah menjadi Yankee- ojou(?) ?
Bagaimana hubungannya dengan Naruto?
Bisakah ia bertahan dengan pengawal barunya, Sasuke?
Dan... bisakah ia menghadapi kenyataan yang jauh lebih berat dari dugaannya?
Saksikan di chapter berikutnya!
