.
Eternally Love
By Punchjongin ©
Kim Jongin – Oh Sehun – Xi Luhan
T
.
.
.
Chapter 1
.
Selasa pagi yang tenang tanpa angin, Jongin duduk di bangku taman sekolah sendirian. Tampaknya hari ini akan hangat, matahari dengan terik yang tidak terlalu menyengat. Seperti biasanya, ia mendengarkan musik yang tersambung dari ponselnya. Hal ini di lakukan setiap istirahat, kadang sambil mengunyah onigiri satuan yang ia beli sebelum berangkat sekolah di minimarket dekat rumahnya. Jongin jarang menginjakkan kaki di kantin, bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali ia menginjakkan kaki di kantin. Menurutnya, makanan di kantin sangat mahal. Satu paket makanan sama jumlahnya dengan seminggu biaya naik bus dari rumah ke sekolahnya pulang pergi.
Jongin tak mempunyai teman. Sifatnya yang pendiam dan bagai hidup dalam dunianya sendiri, menjadi salah satu sebab ia sampai sekarang tak memiliki teman satupun. Jika mereka berbicara pada Jongin, dibalas Jongin dengan jawaban singkat. Yang ia sukai hanya musik. Hanya itu yang ia sukai selain belajar dengan buku-buku pelajarannya.
Pluk!
Sebuah bola terlempar ke arahnya dan jatuh di pangkuannya dengan tiba-tiba. Kepala Jongin yang sedari tadi menunduk dan memejamkan matanya, kini membuka mata dan mendapati sebuah bola basket berada di pangkuannya. Ia mengangkat kepalanya dan melihat sekitar taman sekolahnya.
Seorang lelaki berlari mendekatinya dari arah lapangan basket yang jaraknya tak jauh dari taman itu.
Oh Sehun.
Siapa yang tak mengenal salah satu pemain tim basket sekolahnya itu? Bahkan beberapa SMA di Seoul pun mengenal Sehun karena prestasinya dalam bermain basket yang tak diragukan lagi. Dia adalah salah satu siswa berpengaruh di SMA ini.
"Bisa kau berikan bolanya?" seru Sehun.
Tanpa membuka earphonenya yang masih mengalunkan suara dari Taka, vokalis One Ok Rock, Jongin mengambil bola di pangkuannya dan melemparkan bola basket itu pada Sehun.
"Terima kasih!" Sehun meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya ia berkata pada Jongin.
.
.
.
Suasana kelas II-A ramai karena bel masuk belum berbunyi. Di salah satu meja yang berada di pojok ruangan depan loker-loker kecil berada, Jongin sedang membuka sekotak susu yang ia ambil dari tasnya dan meneguknya beberapa tegukan, lalu meletakkan kotak susu itu kembali di atas mejanya. Kehadirannya sama sekali tak diindahkan oleh teman-teman sekelasnya, selalu seperti itu.
Pada waktu bersamaan, Sehun masuk ke dalam kelas itu dengan menjulurkan lehernya menoleh kesana-kemari mencari keberadaan Luhan, kekasihnya.
Seorang siswi menggeleng menjawab pertanyaan Sehun setelah lelaki itu menanyakan tentang keberadaan Luhan yang tak nampak di kelas itu,
"Aku tak melihat Luhan sedari tadi,"
Sehun mengangguk, ia berpikir sejenak, tetap menggenggam lunch box berisi makanan kesukaan Luhan, nasi goreng kimchi.
Jongin bangkit berdiri sambil membawa kotak susunya dan berjalan ke depan kelas, berniat untuk membuang kotak susunya yang masih menyisakan setengah ke tempat sampah di depan kelasnya. Ketika ia berjalan melewati Sehun, seorang siswi melintasinya dengan memberikan dorongan keras pada bahunya. Jongin hilang keseimbangan dan tak ayal menabrak Sehun yang berdiri. Susu dari kotak susunya tumpah membasahi seragam Sehun, dan kotak makan berisi makanan kesukaan Luhan itu jatuh.
"Ma… Maaf. Aku tak sengaja…"
Sehun terlihat kesal, tapi diam saja. Pribadinya yang dingin memang dikenal selain prestasi dan fisiknya yang sempurna.
Sial bagi Jongin.
Saat itu Luhan memasuki kelas dan mendapati kekasihnya dalam seragamnya terkena tumpahan susu dan juga kotak makanan milik Sehun yang tergeletak di lantai dengan isi yang tumpah.
"Kenapa ini?"
"Jongin menabrak Sehun sampai seperti itu," seru salah seorang siswa bernama Taehyung, yang memang dari tadi mengetahui kejadian itu.
Luhan terlihat sangat marah. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras memperlihatkan garis tulangnya.
"Hey, anak miskin tak tau diri! Apa maksudmu melakukan itu?"
Jongin diam saja. Sudah lama ia mengetahui Luhan tidak menyukai keberadaannya. Tapi baru kali ini, Luhan berbicara dengannya. Tubuh Jongin mundur karena Luhan mendorong keras bahunya dengan kedua tangannya.
Luhan masih tak terima, "Kau selalu mencari gara-gara denganku? Setelah kau mengambil peringkat kelasku, sekarang apa yang kau lakukan pada Sehun?"
"Luhan, aku sudah minta maaf…" ujar Jongin, penuh ketakutan.
Tubuh Luhan bergerak maju, tapi Sehun menahannya. "Sudahlah Luhan. Jangan mencari masalah."
"Siapa yang cari masalah?"
"Sudahlah. Lagi pula dia sudah minta maaf,"
Luhan tidak menjawab. Sambil bernapas dalam-dalam, ia memulihkan emosinya. Sehun menarik Luhan keluar kelas, sementara Luhan masih menoleh penuh kebencian pada Jongin yang sedang sibuk membersihkan kekacauan itu.
.
.
.
Mereka pergi ke kantin. Tampak Luhan masih geram karena Jongin. Sementara Sehun yang sudah mengganti bajunya dengan seragam cadangan sedang memakan makan siangnya. Makanan Luhan sama sekali belum di sentuhnya.
"Sudahlah jangan dipikir panjang," Sehun berkata ketika melihat wajah luhan yang masih tampak kesal.
"Aku membencinya. Kim Jongin. Siswa miskin itu, tak seharusnya sekolah disini," tukas Luhan kesal.
Jadi, namanya Kim Jongin, batin Sehun.
Luhan menoleh cepat pada Sehun, membuka suara, "Aku sangat membencinya. Sejak dulu sebelum aku sekelas dengannya, aku selalu rangking satu. Tapi, setelah ada dia, aku jadi nomor dua,"
"Kau iri padanya?"
"Rangking satu itu sangat berarti buatku. Kau tau kan kalau eomma itu perfectionist? Aku juga ingin masuk kedokteran dengan jalur khusus. Kelas satu aku selalu ranking pertama, dua semester berturut-turut, tapi sejak kelas dua dan sekelas dengan Jongin, aku menjadi ranking dua."
Sehun menghentikan suapan yang akan masuk ke dalam mulutnya, ia menoleh ke arah Luhan, "Kau tau kan? Tak selamanya sesuatu itu akan kita miliki. Apalagi masalah ilmu. Kau harus belajar menerima dan berusaha lebih keras, Luhan."
Luhan menoleh ke arah Sehun dengan wajah masamnya, "Kau membela siswa itu daripada kekasihmu sendiri, Oh Sehun?"
Dahi Sehun berkerut, "Aku berkata seperti itu, itu juga untuk kebaikanmu, Luhan. Kau harus belajar bersyukur."
Dengan sekali gerakan, ia beranjak dari kursi dan berjalan menjauhi tempat itu, meninggalkan kantin.
Sebenarnya tak ada gunanya membicarakan masalah itu dengan Luhan. Luhan selalu memiliki managemen emosi buruk dengan temperamental tinggi dan sulit untuk tak tersulut emosinya. Sehun paham betul itu. Siapapun lawan bicara Luhan, sudah pasti akan kalah telak dengan lelaki bermulut seribu itu. Tak jarang, pertengkaran-pertengkaran kecil sering ia alami dengan Luhan di tahun pertamanya menjadi kekasihnya.
.
.
.
Kedai kaki lima di distrik dekat Myeongdong berjajar menawarkan hidangan malam yang menggugah selera. Kebanyakan dari mereka, akan menyantap hidangan tersebut dengan segelas atau sebotol soju untuk mempertajam rasa. Namun, pria paruh baya yang mengenakan jaket parka berwarna hijau pekat khas tentara itu berbeda. Ia tak mengisi perutnya sebelum ia menanggalkan tegukan sojunya dengan amat terampil. Pria paruh baya itu bernama Hankyung.
Hankyung menuang botol soju kelimanya di gelas, tapi tak ada setetes pun yang keluar dari botol. Ia pun menggebrak meja dengan botol soju tersebut. Karena tingkah lakunya yang mengganggu saat kesadarannya mulai dikuasai oleh alkohol, ia sering mendapat teguran atau usiran dari pemilik kedai itu.
Hankyung mulai berteriak, "Soju! Soju! Aku minta soju lagi!"
Kangin, pemilik kedai itu menoleh. Beberapa saat kemudian, seorang pegawainya menghampiri Hankyung dan membawa sebotol bir.
Si pembuat ulah itu lagi, batin Kangin jengah.
.
.
.
"Buka pintunya!"
Jongin sedikit ketakutan mendengar teriakan suara ayahnya. Jongin yang tengah menyeterika pakaian seragam itu buru-buru bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, Hankyung berdiri terhuyung dan tercium alkohol dari aroma tubuhnya. Pria paruh baya itu tidak dapat menahan berat tubuhnya sendiri.
Di luar pintu, hari sudah gelap. Rumah mereka diliputi keheningan.
Jongin memandang ayahnya dengan ekspresi sulit diterka, "Aboji mabuk lagi?"
"Bajingan! Lama sekali membuka pintunya!"
Tatapan tajam Hankyung menelusuk ke dalam mata Jongin. Tangannya terangkat, dan,
Plak!
Tangan pria paruh baya itu menampar Jongin dan memukulinya secara membabi buta. Seolah Jongin bukan anaknya dan orang tak dikenal. Jongin terkapar di depan pintu dengan tangan yang melindungi wajahnya. Hankyung terus memukulinya.
"Aku ini Jongin! Aboji! Aku Jongin!" seru Jongin dengan beberapa kali menghindar dari pukulan ayahnya dengan berguling ke lain arah.
Hankyung hanya tertawa lebar sedangkan Jongin tak berdaya terkapar di bawahnya.
.
.
.
Rahang Sehun mengeras ketika mendengar suara yang ada di seberang. Beberapa waktu lalu, Yifan, sahabatnya yang merupakan ketua tim basket sekolahnya menelpon ke ponselnya dan mengatakan pada Sehun jika ia melihat Luhan dengan Chanyeol sedang bermesraan di salah satu café. Rupanya, kejadian beberapa lalu ketika ia tak sengaja melihat Luhan dengan Chanyeol itu kembali terulang. Kali ini bukan dia yang melihatnya, namun Yifan. Bahkan, sebelum menghubunginya, Yifan mengirimkan foto Chanyeol sedang mencium Luhan, intens.
"Jika dia berbuat yang macam-macam, kau bisa mengatakan padaku besok di sekolah,"
Klik!
Sehun menutup teleponnya dan melempar ponsel keluaran terbaru itu di atas tempat tidurnya. Ia pun melemparkan tubuhnya ke tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya dengan cemas.
Memakan waktu cukup lama bagi Sehun berpikir apa yang baru saja dia dengar dan memahami apa yang dikatakan Yifan. Berapa lama ia berpikir? Selama merenung begitu dalam, Sehun serasa kehilangan sensasi terhadap waktu. hanya jantungnya yang berdetak keras dengan irama teratur. Sehun mengunjungi relung-relung dalam dirinya, menyurusi waktu secara terbalik bagaikan ikan berenang dari hilir ke hulu sungai. Dijumpainya pemandangan yang telah ia kenal dan aroma yang masih ia rasa.
Segaris cahaya tipis masuk entah dari mana tiba-tiba menembus dirinya. Terasa aneh, seolah-olah dirinya menjadi transparan. Pada saat itulah Sehun tersadar.
.
.
.
Hankyung ketiduran di sofa. Ketika terbangun, Hankyung mendapati tubuhnya bersimbah keringat. keringat dingin dengan bau tak sedap. Dia menggelengkan kepalanya yang pening dan berat untuk memperoleh kesadaran dan duduk di pinggiran sofa itu. Jam dinding putih yang menempel di sebelah sebuah lukisan di ruangan itu menunjukkan angka sebelas.
Pandangannya menelisik dengan cermat setiap sudut ruangan itu. Walaupun ia sendiri belum bisa melihat gambaran keseluruhan karena pengaruh alkohol, Hankyung ingin menangis tapi air matanya tak kunjung keluar ketika ia melihat tubuh Jongin yang bersandar di dinding memejamkan matanya. Tubuh anaknya itu terlihat lemas dan semakin kurus. Wajahnya pun penuh luka lebam. Kemudian, ia berdiri dan menghampiri anaknya dengan tubuh yang terhuyung.
"Jongin?"
Jongin mendongak untuk melihat wajah ayahnya. Senyum pilu mengembang ke arah ayahnya. Wajah itu seakan berkata jika ia baik-baik saja pada ayahnya. Luka memar bekas pukulan Hankyung tadi membuat ayahnya itu semakin merasa bersalah.
"Apa aku memukulmu lagi?" tanya Hankyung panik.
Pandangan Jongin yang lurus dan kosong ke arahnya, membuat ia mendesah pelan. Pandangan itu sangat di pahami oleh Hankyung. Ia menjambak rambutnya sendiri dengan keras dan berteriak.
"Aboji minta maaf, Jongin. Seharusnya kau sembunyi, jangan menemui Aboji ketika mabuk!" Hankyung menangis mendekap anaknya. Ia mengelus pundak Jongin.
Jongin tersenyum simpul, , "Aku sudah memaafkan Aboji," ujarnya yang terdengar hampa.
.
.
.
Murid-murid yang berlomba memasuki kelas mereka masing-masing atau sekedar bercakap dengan teman-temannya menjadi pemandangan sehari-hari Yongsan International High School. Seragam putih dan bawahan kotak-kotak cokelat menjadi pakaian tetap mereka setiap hari.
Hampir seluruh siswa kelas II-A menyaksikan pertengkaran hebat Luhan dan Sehun. Pertengkaran itu terjadi setengah jam sebelum bel masuk. Mereka bertengkar di ambang pintu masuk kelas itu.
Jongin yang sedang memakan sarapan onigiri tunanya tak mengindahkan pertengkaran yang menjadi pusat perhatian itu. Beberapa memar terlihat di wajah Jongin. Itu sudah biasa terjadi. Walaupun sering melihat wajah Jongin yang memar, namun teman-teman sekelasnya tak ada yang bertanya kepadanya. Mereka pikir, itu hanya kenakalan remaja lelaki yang biasanya membuat keributan.
"Sehun! Dengar penjelasanku!"
"Aku punya saksi. Yifan. Dia saat itu disana dan melihat siswa sekolah sebelah itu menciummu."
Luhan tersentak, matanya melebar, "Astaga!" Luhan mengacak rambutnya berantakan, "Dia teman baik dari kecil. Kenapa kau selalu mempermasalahkan Chanyeol!"
"Kau itu naif Luhan! Apa kau tak bisa membedakan sayang dan nafsu?"
Wajah Luhan mendingin, sorot matanya tiba-tiba berubah, "Jadi itu tanggapanmu tentang persahabatanku dan Chanyeol! Kalau begitu…" Luhan menghela napas, "…kita putus saja!"
Luhan ingin berlari masuk ke dalam kelasnya, namun tangan Sehun mencegahnya, "Luhan, tunggu dulu. Apa maksud perkataanmu baru saja?"
Sehun memandang wajah Luhan dalam. Dari air mukanya tidak bisa diterka apakah lelaki itu mengerti apa yang baru saja diucapkannya.
Luhan memincingkan mata, lantas menganyam jemari kedua tangannya diudara."Karena kau sudah menuduh aku selingkuh dengan Chanyeol. Supaya tuduhanmu itu benar, aku akan membuktikannya. Aku akan berkencan dengan Chanyeol!"
Sehun hilang akal. Ketika ia mengedarkan pandangannya kesekitar, ia menemukan sosok Jongin. Seketika, sebuah ide terlintas dibenaknya.
"Kalau begitu, aku akan berkencan dengan Jongin!"
Langkah Luhan terhenti, ia menoleh kembali ke arah Sehun, "Aku akan berkencan dengan dia!"
Seluruh siswa yang menyaksikan pertengkaran itu mengikuti gerak jari telunjuk Sehun sedang menunjuk siswa berkulit tan yang tengah membuka bungkus onigiri ketiganya. Merasa dirinya diamati, Jongin dengan perlahan mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Mendapati seluruh pasang mata yang berada di ruang kelasnya itu tertuju padanya, ia kembali menunduk dan memakan onigiri dalam diam.
"Aku akan berkencan dengan orang yang kau benci, Xi Luhan."
Mata Jongin melotot. Ia tersedak oleh onigirinya ketika mendengar suara lantan seorang Oh Sehun.
.
.
.
TO BE CONTINUED
A/N:
Ini terinspirasi oleh karya Agnes Jessica - Pura-Pura Pacaran
-punchjongin-
