I do not own Naruto.


Jam digital di meja menunjukkan pukul 3.20 a.m, dan Sasuke baru saja bangun―atau terbangun―dari tidurnya dengan badan yang basah oleh peluh. Pria berumur kepala dua itu menelungkupkan wajah yang dipuja-puja oleh banyak manusia pada kedua tangannya. Mencoba mengingat apa yang sudah berhasil membuatnya terbangun sepagi ini, dan mungkin tidak bisa tidur lagi karena matanya tak lagi mengantuk. Bermimpi, tadi dia bermimpi. Tapi Sasuke lupa bermimpi apa. Semakin keras Sasuke mencoba mengingat mimpi macam apa yang baru saja mengacaukan jam tidurnya, semuanya semakin berwarna abu-abu dan memudar. Tidak ada tidak ada… tidak ada gambaran kecil: atau sekelebatan: atau siluet: atau film hitam putih durasi pendek. Tidak ada sama sekali sesuatu yang digunakan untuk mendokumentasikan mimpinya barusan. Tidak ada petunjuk, dia lupa.


Oblivious

By Pearl


Masih jam 8 pagi, masih ada lebih dari empat jam sebelum siang. Hawa pagi di akhir musim dingin masih saja dekat dengan beku. Daripada mandi dan membuat badannya mengigil, Sasuke lebih memilih duduk di kursi piano dan menekan-nekan tutsnya hingga menjadi serentetan nada yang selaras. Siapa tahu dengan begini dia bisa merasa lebih hangat.

Petrouchka. Salah satu nada milik Igor Stravinsky lah yang menemani sarapan paginya hari ini. Tadi sebelum Sasuke berkutat dengan alat musik besar ini dia sudah ke dapur untuk mengambil susu dari lemari es.

Sasuke memainkan serentetan nada itu dengan versinya sendiri, tapi tetap terdengar seperti Pertouchka milik Stravinsky. Permainannya sangat bagus―atau bahkan sempurna untuk ukuran seorang Sasuke yang bukan seorang pemusik. Dia hanya terbiasa bermain piano sejak kecil, seingatnya Itachi lah yang mengajari dasar-dasar berpiano. Selebihnya dia belajar menggunakan buku dan kemampuannya sendiri. Kemudian berkembang seperti sekarang. Banyak orang mengatakan Sasuke cocok bekerja di bidang musik, namun sayangnya dia tidak menyukainya. Bermain piano hanyalah salah satu dari banyak kemampuannya yang dia biarkan menjadi―sekedar―hobi untuk mengisi waktu luang.

Tiba-tiba saja jari-jari panjang dan putih milik Sasuke berhenti menekan tuts, lagu yang dimainkan baru setengah karena tiba-tiba saja dia seolah teringat sesuatu. Ada yang ganjil. Ya… benar sekali. Musik klasik semacam Petrouchka―yang menurutnya terlalu semangat―kurang cocok dengan kepribadiannya yang terlampau kaku, angkuh, dan sombong. Seingatnya, selama dua puluh dua tahun dia bermain piano, lagu-lagu yang dia mainkan selalu dihayati. Tapi barusan tadi… dia menikmati, bukti nyatanya adalah beberapa not digantinya dengan not-not buatannya sendiri. Membuat lagu itu tidak original… tidak Uchiha sama sekali. Tapi entahlah, not-not buatan itu seperti berputar-putar di kepalanya dan meluncur begitu saja seiring tuts demi tuts ia tekan.

Desisan kesal meluncur dari bibirnya bersamaan dengan tertutupnya partitur lagu Petrouchka. Memikirkan soal menghayati atau menikmati bukanlah topik yang pas di pagi hari, karena hanya akan membuatnya sakit kepala dan tidak menemukan solusi apa-apa. Sasuke mencari lagu lain di buku musiknya, namun ketika baru saja membukanya, kertas-kertas partitur berjatuhan ke lantai. Sasuke memutar dua bola matanya secara bersamaan, dalam hati mengutuki kertas-kertas kusut itu karena telah jatuh berserakan di lantai rumah Uchiha yang selalu bersih. Sasuke memundurkan kursi yang dia duduki lalu berjongkok untuk mengumpulkan lembaran-lembaran partitur yang masuk jauh di bawah. Setelah yakin semuanya sudah terkumpul, dia kembali duduk di tempatnya semula. Ketika melihat sederetan not di partitur yang jatuh pandangan Sasuke terpaku. Lagu yang ada di sana bukan karya maestro-maestro jaman dahulu… bukan Mozart, bukan juga Beethoven. Tapi not-not itu terasa familiar di kepalanya.

Tubuh Sasuke membeku seperti es. Apakah dia sendiri yang mengarang lagu itu? Memangnya Sasuke pernah mengarang lagu? Kemampunannya untuk bermain memang sudah sangat baik, tapi dia ragu dia bisa menciptakan nada-nada buatannya untuk sebuah lagu. Seperti ada yang...

"Melamun di pagi hari tidak baik, Otouto." Tepukan pelan di pundak dan suara lembut milik Itachi membuat jiwa Sasuke kembali pada raganya.

"Berisik, Aniki." Dia menyingkirkan tangan besar kakak lelakinya dari pundak, "aku tidak sedang melamun. Hanya sedikit―berpikir."

"Oh, baguslah. Tapi jangan berpikir terlalu keras, nanti kepalamu bisa pecah." Itachi beranjak dari sisi Sasuke dan berjalan menuju dapur. "Mau kubuatkan roti bakar?" teriaknya lagi hingga suaranya terdengar di telinga Sasuke.

"Ya."

Di dapur, Itachi segera menyiapkan panggangan, beberapa lembar roti tawar, dan mentega. Bahan siap jadi itu di taruh di lemari khusus dengan pinggiran dilapisi sesuatu agar semut tidak bisa masuk. Itachi trauma menyimpan makanan di lemari biasa, baru sehari menginap di sana, esok paginya sudah menjadi tambang makanan bagi semut. Semut jaman sekarang sudah berubah, tak lagi mengerubungi hal-hal manis saja.

Itachi berbaik hendak mengambil pisau yang digunakan untuk meratakan mentega pada seluruh permukaan roti, tapi gerakannya berhenti ketika sudut matanya menangkap bayangan Sasuke berdiri di ambang pintu. Sasuke. Melihatnya. Dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Ada yang aneh dengan wajahku, Otouto? "

Sasuke membuang pandangannya pada sandal rumah yang dia kenakan untuk mengalasi kedua kakinya. "Tidak." Jawabnya singkat.

Dua detik Itachi balas memandang adiknya, lalu segera melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat terinterupsi: mengambil pisau: meratakannya pada roti: meletakkannya di panggangan: lalu menunggunya sambil meminum susu. Rutinitas sarapan pagi seperti inilah yang paling Itachi sukai.

Itachi membuka lemari es dan mencari-cari botol susu segar yang baru saja kemarin ia beli di supermarket sambil bersiul-siul bahagia. Tangannya cekatan mengambil gelas bening di rak, kamudian menuangkan cairan berwarna putih itu hingga terisi setengahnya. Dia memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Sasuke dalam hal minum susu. Itachi lebih suka menuangkannya di gelas dan menikmatinya perlahan-lahan, sedangkan Sasuke lebih sering meminumnya langsung dari botol hanya karena malas mencuci gelas.

Pria berambut hitam panjang itu baru saja akan meneguk susu di tangan kanannya―

"Aniki, apa aku pernah mengarang lagu?"

―suara Sasuke―lagi-lagi―membuat gerakannya terhenti. Mata obsidian miliknya menatap obsidian lain dengan heran.

"Kenapa memangnya?" Itachi balik bertanya. Ekspresi bahagia yang tadi menghiasi wajahnya hilang entah kemana.

"Aku menemukan lagu…" Sasuke menelan ludahnya, "di buku musik."

Itachi bergeming, susu murni yang masih tersisa di mulutnya tiba-tiba terasa hambar.

"Apakah kita yang membuatnya?" tanya Sasuke lagi. Itachi masih tidak memberikan jawaban apapun. Badan tegap sang kakak lalu berbalik memunggungi Sasuke lalu berjalan menuju tempat cuci piring, meletakkan gelas berisi sisa susu yang tadi hendak diminumnya dan mengisi dengan air dari kran, membuat susu itu bercampur bersama air.

"Benar," Jawab Itachi pelan, kedua obsidiannya jatuh pada air yang perlahan mengalir masuk ke dalam gelas, "kita mengarang lagu itu… sekitar tiga tahun lalu, Sasuke."

Kemudian hening. Suara gemericik air yang jatuh ke dalam gelas lah yang mengisi kekosongan di antara mereka. Sasuke masih berdiri di ambang pintu, sedangkan Itachi masih berdiri memunggungi adiknya, bahkan gelasnya juga belum tercuci.

.

Sasuke baru saja melepas kaus yang kemarin dikenakannya untuk tidur lalu melemparnya ke dalam wadah cucian kotor yang ada di kamar mandinya namun suara ketukan pintu dan panggilan dari Itachi membuatnya berhenti.

"Sasuke, kau sudah mandi?" Suara Itachi menembus pintu kaca buram yang menjadi penghalang antara ruang cuci dan kamar mandi.

"Ya, sudah." Jawab sang adik sekenanya, lalu melanjutkan membuka celana tidurnya dan melemparnya menuju wadah yang sama.

"Mau kugosok punggungmu?"

"Hei!―"

"Tenang, aku tidak mungkin jatuh cinta hanya karena membantu menggosok punggungmu." Kata Itachi dengan diselingi tawa kecil.

"Aku tidak bilang begitu."

"Jadi kau mau?"

"Tentu saja…."

"Kalau begitu buka pintu―"

"Dalam mimpimu, ecchi aniki." Sahut Sasuke dingin. Kemudian terdengar protesan Itachi dari balik pintu kaca buram, namun Sasuke tidak menggubrisnya. Dia berdiri di bawah shower dan menyalakannya hingga suara Itachi teredam oleh gemericik air yang menghantam tubuhnya dan lantai kamar mandi.

Yang ia mau saat ini adalah mendinginkan kepalanya yang pening perkara lagu asing yang dia temukan di antara partitur tadi pagi. Sasuke masih belum percaya Itachi yang mengarang lagu itu. Bukannya dia menuduh Itachi berbohong, hanya saja ia meragukan kemampuan bermusik kakaknya karena dia hampir lupa kapan terakhir kali melihat sang kakak bermain piano.

Itachi terlalu sibuk untuk bermain musik, dia paham itu dengan benar karena urusan kantor kakaknya tidak bertoleransi memberikan waktu walau hanya untuk memainkan satu atau dua lagu di pianonya.

Sasuke bersandar pada dinding kamar mandi lalu mendongak, membiarkan air shower menghantam wajahnya.

Sepertinya kamar mandi memang tempat yang pas untuk menyendiri dan berpikir.

.

Satu setengah jam adalah waktu yang dibutuhkan Sasuke untuk mandi hari ini, kalau saja jari-jarinya belum mengeriput dan tubuhnya mulai mengigil dia takkan menyudahi mandinya dan butuh waktu lebih dari itu. Sasuke berjalan ke dapur hanya menggunakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya serta satu handuk kecil dia gunakan untuk mengeringkan helaian rambut di atas kepalanya. Dia membuka lemari es dan mencari susu kemasan di antara wadah-wadah makanan sisa yang dimasukkan begitu saja oleh Itachi. Butuh tenaga ekstra untuk Sasuke dapat menjangkau susunya yang diletakkan Itachi di sudut lemari es karena dia harus mengeluarkan wadah-wadah makanan sisa yang mendingin―bahkan hampir membeku. Setelah berhasil mengeluarkannya, Sasuke langsung meneguknya sampai isinya tinggal separuh dan membawa sisanya dengan tangan kanan. Sasuke membawanya ke ruang tengah, dimana ada Itachi yang sedang duduk sambil menonton berita di televisi.

"Aniki,"

Itachi melirik adiknya yang baru saja duduk di sampingnya. "Hm?"

"Apa kita berlangganan susu kemasan?"

"Hm, agen mengantarkannya tiap dua hari sekali." Jawab Itachi tanpa memandang Sasuke, berita di televisi rupanya cukup menarik perhatiannya.

"Oh…." Sasuke mengangguk paham. Kemudian ia ikut menonton berita yang disiarkan oleh televisi di hadapan mereka.

Beberapa detik berlalu, Sasuke bicara lagi, "Aniki?"

"Hm?"

"Bisa kau minta pada agen susu ini untuk mengirimkan yang rasa coklat?"

Itachi tidak menjawab, malah menoleh pada Sasuke dan memberinya tatapan heran.

"Rasa coklat?" Sepasang obsidian menyipit keheranan, ia menatap pemilik obisidian lain dengan tatapan aneh seolah-olah Sasuke baru saja mengucapkan mantra terlarang.

"Tidak bisa?"

"Bukan―"

"Huh?"

"Sejak kapan kau suka susu rasa coklat? Ah maksudku…."

Giliran Sasuke yang terdiam. Sejak kapan, huh? Ada yang salah dengan susu rasa coklat? Sejak kapan…

"Sejak dulu… mungkin?" jawabnya pelan dan berhati-hati, takut kalau ucapannya membuat Itachi memandanginya dengan tatapan aneh seperti tadi.

"Baiklah, aku akan mengatakan pada agen untuk mengirim rasa coklat juga."

"Yeah."

"Yang penting sekarang, keringkan rambutmu dan pakai baju! Bukan salahku kalau kau nanti masuk angin, jangan harap aku mau merawatmu."

Oh, hampir saja lupa kalau Sasuke baru selesai mandi dan belum memakai baju.

"Kau kejam, Aniki." Kata Sasuke sebelum beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Itachi tertawa renyah.


To be continued


Kemana perginya Naruto? Narutonya masih saya simpan untuk chapter(s) depan. Diusahakan chapternya nggak banyak-banyak (soalnya saya sendiri ntar males ngetiknya), diusahakan juga updatenya cepat (soalnya masih ada liburan), diusahakan nggak hiatus di tengah jalan (merasa bersalah karena fic multichap saya hampir semua hiatus), diusahakan lagi minim typo or dsb. Fic ini percobaan pertama setelah lumayan lama nggak nulis, jadi ya masih kaku…

Terimakasih sudah membaca. Review?