Naruto © Masashi Kishimoto
Accident or Not? © ZoJu
Warning : OOC, Gaje, super duper aneh, ngaco, Typo (sulit dihilangkan), pasaran…dan sebagainya…
Pair : NaruSaku
.
.
"Ha~h, ini sungguh menjengkelkan!" Ucap Sakura sembari mengacak-acak rambut pink pucatnya tak karuan. Sebelah tangannya mengambil segelas whiskey yang dituangkan sang sahabat ke dalam gelas kaca berisi bongkahan es yang mulai mengecil. Satu tegukan, cairan beralkohol itu berhasil melewati tenggorokannya dengan mulus.
"Apa lagi kali ini?" Tanya Ino―langsung, setelah menuangkan minuman dengan warna biru yang menarik untuk pengunjung yang memesannya, "di kejar deadline? nenek sihir itu bertingkah aneh lagi? mengancam mu lagi?"
"Bukan, ini lebih parah dari itu," tukas Sakura mengedarkan pandangannya pada kerumunan orang yang tengah menikmati alunan musik jazz yang dibawakan sekelompok pemuda. Mengamati pergerakan yang dibuat penonton, membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti hentakan nan lembut khas jazz yang terdengar seperti suara lebah di telinga gadis pink itu—berisik.
Kembali ia menenggak sisa dari minuman dengan warna coklat bening itu. Wanita blonde yang berdiri dibalik meja bar itu masih menunggu jawaban dari Sakura, sedikit mengangkat sebelah alisnya—membentuk sudut.
"Kaa-chan dan Baa-chan…,"
"masih memaksa mu untuk menikah?" Ino melanjutkan kalimat yang sengaja dibuat Sakura menggantung.
"Hmm," Sakura mengangguk dengan malas, tampak jelas wajah frustasi dari wanita berusia 26 tahun itu. Ia menyodorkan gelas transparan yang kini telah tak berisi tepat di hadapan Ino. Meminta untuk diisi lagi, namun wanita pirang itu enggan melakukannya.
"Berhentilah. Lihatlah, wajah mu sudah memerah. Aku tidak mau mengantar mu lagi. Memalukan." Tegur wanita berkuncir itu. Mengingat, Sakura bisa melakukan tindakan-tindakan nekat yang tak dapat diduga saat mabuk. Selalu saja membuat Ino kehabisan kata-kata.
Sudah terbukti, saat mabuk Sakura selalu tak bisa mengendalikan dirinya. Mengejek seorang pria botak dan meneriakinya, muntah di depan pintu apartemen tetangganya, pernah beberapa kali memarahi orang yang ditemuinya di jalanan dan yang terakhir, memarahi sepasang suami istri yang tengah bertengkar. Membuat dirinya menjadi tontonan. Dan yang bersusah payah, tentu saja gadis blonde ini. Paling menjengkelkannya lagi, setelah tersadar tak ada satupun yang diingat gadis bermata emerald itu. Mengerikan bukan?
"Ayolah~ kali ini tak akan terjadi lagi," entah sudah berapa puluh kali kata-kata itu keluar dari bibir mungilnya dan tak pernah ditepati. Ino sungguh meragukan ucapan wanita muda itu, "aku lelah sekali dengan tuntutan kedua wanita itu…" lanjut Sakura.
Tangannya masih diangkat, terus memohon cairan yang mampu menenangkan pikirannya itu—segera.
Lelah, kata itu sudah seperti sebuah kiasan sehari-hari baginya, yang jelas ia sudah tidak dapat menahannya lagi. Ibu dan neneknya terus-menerus menodongnya dengan pertanyaan yang sama.
Kapan kau memperkenalkan calon suami mu?
Kapan aku bisa menimang seorang cucu?
Kapan kau akan menikah?
Setiap kali berkunjung ke Ame—yah, Sakura memang tinggal terpisah dengan ibu dan neneknya. Tekad yang kuat untuk menjadi seorang reporter membuatnya harus merintis karir di tempat yang bisa mendukungnya pula—kedua wanita itu selalu saja tidak bosan-bosannya melontarkkan pertanyaan itu. Kalaupun menelpon, yang ditanyakan bukan bagaimana kabar mu? bagaimana pekerjaan mu? apa kau sehat-sehat saja? yang didapatinya malah pertanyaan yang mampu mambuat hatinya menciut.
Sudahkah kau menemukan pasangan yang tepat?
Sakura selalu berfikir ia tidak saja harus menemukan pasangan yang tepat untuknya, tapi juga pria itu harus mampu menahan tekanan yang akan diberikan kedua wanita lanjut usia itu nantinya. Sejujurnya pun ia ingin segera melepas masa lajangnya. Mengingat usianya sudah terbilang matang—yah, sangat matang.
"Bukankah lebih baik kau menurutinya saja," anjur Ino, "menurut ku…Sai pria yang baik," tutur Ino memberi penilaian pada pria bermabut klimis yang sudah atau lebih tepatnya baru tiga bulan ini menjalin hubungan dengan sahabatnya itu.
"Sudah!" Sambar Sakura cepat.
Walaupun hubungannya dengan Sai masih terbilang seumur jagung, namun Sakura tadinya cukup yakin dan menaruh harapan yang tinggi pada pria itu. Berpikir bahwa Sai adalah pria yang tepat untuknya. Pria yang tepat untuk menghadapi kedua wanita paruh baya itu.
"Aku sudah melakukannya, membawanya dan memperkenalnya pada mereka,"
"Lalu?" Ino terlihat begitu antusias. Iris blue sky-nya berbinar penasaran.
Sakura meletakan gelas kaca yang masih tanpa isi. "Memalukan, mereka berdua duduk di hadapannya,"
Perlahan Sakura mulai menjelaskan kejadian yang sebenarnya enggan untuk ia ceritakan. Mengambil jeda sejenak dan dengan cepat tangan kanannya menyambar segelas whiskey yang di tuangkan Ino pada seorang pria di sebelahnya. Meminumnya tanpa sungkan.
"Hey!" Aksi protes di tujukan pria berambut ikal itu pada Sakura—wanita yang telah mencuri minumannya."Apa-apaan ini!"
"Sakura kau— Maaf tuan," Ino menundukan kepalanya, memohon maaf atas kesalahan yang dibuat sahabatnya.
Dengan cepat ia kembali menuangkan cairan bergelembung dan beraroma tajam itu untuk menggantikan minuman milik pria berambut ikal tersebut, sebelum pria itu menjadi murka, "sekali lagi maaf," dengan sopan Ino kembali menundukan kepalanya.
"Tch," pria itu mengambil minumannya dengan kasar. Beruntung ia tidak menarik ulur masalah ini. Sedikit omelan di tujukan pada Ino, kemudian mengambil tempat duduk menjauh dari si pink.
Lagi, si gadis blonde menundukan kepalanya.
"Kau ingin aku dipecat ya…." kata Ino sedikit berbisik tajam.
Sakura sama sekali tak ambil pusing dengan omelan Ino, dengan santai melanjutkan kisahnya setelah berhasil meneguk cairan memabukan yang sangat diinginkannya, lagi.
"Jika waktu itu kau ada dan melihatnya, maka itu akan terlihat seperti adegan film. Dimana ada dua orang jaksa yang menginterogasi tersangkanya. Hampir tak sedikit pun memberikan cela bagi sang terdakwa untuk mengelak," wanita yang kini tengah menuju tahap tak sadarkan diri itu kembali mengacak-acak rambut pink pucat yang memahkotai kepalanya.
"Maksud mu, ibu dan nenek mu? Dan…terdakwa itu, Sai?" Tanya Ino memperjelas sembari merapikan meja bar.
Sakura membalasnya dengan anggukan.
"Berapa usia mu? Apa pekerjaan mu? Kenapa menyukai puteri ku?" Ucap Sakura dibuat-buat agar terlihat mirip dengan ibunya, "itu pertanyaan yang wajar, tapi…jika pertanyaannya…apa kau dulunya playboy? Kenapa kau selalu tersenyum seperti itu? Kenapa memilih menjadi pelukis? Masa depan yang suram nantinya," lanjut Sakura menirukan gaya bicara sang nenek.
"Haa~, Baa-chan…apa dia sungguh ingin melihat cucu satu-satunya ini melepas masa lajang? Kenapa Melakukan itu?" Rajuk Sakura.
Ia membenamkan wajahnya pada pangkuan tangannya, membiarkan Ino terbahak-bahak di atas penderitaanya.
"Hahahaha…sudah ku duga nenek mu itu punya selera 'humor' yang unik!" Wanita pirang itu tak dapat menahan tawanya, yang akhirnya membuat sakura melemparkan sapu tangan miliknya pada wajah si pirang.
"Lalu, bagaimana dengan Sai?" Lanjut Ino setelah berhasil menguasai dirinya.
Wajah Sakura tertekuk dalam sekali, ada sedikit perasaan sesak yang menyelinap dalam rongga dadanya. Kecewa, marah, sedih dikumpulnya menjadi satu. Dan dengan sebisa mungkin mencoba menyembunyikan perasaan itu.
Gadis itu kembali mengangkat wajahnya berusaha terlihat setegar mungkin, meskipun jelas sekali itu tidak bisa.
"Hmm, setelah 'sidang' itu selesai, dia jadi susah dihubungi. Aku bahkan belum bertemu dengannya sampai saat ini. Dia pria yang baik." Ucap Sakura lirih—termenung sesaat, memebiarkan manik zamrudnya menerawang di antara botol-botol minuman yang berjejer rapi di rak dinding—di balik meja bar.
"aku…merasa bersalah padanya," kembali wanita bermata emerald itu menghabiskan segelas whiskey. Guratan-guratan cemas mulai nampak di wajahnya.
"dan kecewa…" lanjut Ino tanpa sungkan.
Begitulah sifat gadis pirang itu. Selalu saja mengucapkan apa yang ada dipikirkannya tanpa memberi pertimbangan sedikitpun. Tapi justru itu yang membuat Sakura merasa nyaman. Sikap kritis dan terus terang tanpa menyembunyikan setiap maksud ucapannya adalah sikap yang jarang dimiliki seseorang. Membuat Ino menjadi seorang sahabat sekaligus pengkritik yang baik.
"Bagaimana aku harus menjelaskan pada Kaa-chan dan Baa-chan? Apa aku harus mengatakan bahwa, pria yang baru saja a-k-a-n menjadi calon suamiku melarikan diri karena begitu merasa terintimidasi oleh mereka?" Sakura kembali mengeluapkan rasa kesalnya.
Ino hanya bisa menghela nafas, lalu ia kembali melayani pesanaan, dengan lincah tangannya menuangkan cairan beralkohol dari botol yang berbeda—mencampurnya menjadi satu. Mencemplungkan beberapa bongkahan es kedalamnya, sedikit memberikan aksen hiasan pada minuman hasil racikannya―terlihat menyegarkan.
Mengamatinya dalam diam, itulah yang dilakukan Sakura.
"Lucu juga," ucap Ino setelah memastikan minuman itu pada yang memesannya, "mereka menuntut mu untuk segera menikah, tapi bersikap seakan menekan lagi seperti itu," tutur gadis blonde sedikit bingung.
"Aku juga tidak mengerti,"
Sakura mengambil sebongkah es berbentuk dadu kecil, memasukan kedalam gelas yang digenggamnya. Menggoyang-goyangkan gelas itu, membiarkan bongkahan beku itu membagi hawa dingin pada sisa whiskey-nya, lantas meneguk minuman beraroma tajam itu, menyisakkan bongkahan es yang baru saja di masukkannya bergerak mengelinding dalam gelas yang di letakkannya pada meja bar.
Perihatin, itu yang ditunjukkan Ino saat ini. Bahkan bukan hanya Sai, tapi beberapa pria yang sempat dipacari Sakura sebelumnya pun mengundurkan diri dengan teratur setelah berhadapan dengan ibu dan nenek Sakura.
"Bersabarlah, lagi pula jika Sai betul-betul mencintaimu, tidak seharusnya ia meninggalkan mu seperti ini, bukan?" Ujar Ino, "dan masih banyak pria diluar sana yang lebih baik darinya…" Ino berusaha menghibur Sakura dengan kalimat yang malah membuat si pink semakinterlihat menyedihkan.
"Yah…," Sakura hanya bergumam sembari mengangguk-anggukan kepalanya, memaksakan dirinya untuk tersenyum.
"Yups, seperti inilah Sakura yang kukenal, SEMANGAT!" ucap Ino expressive meninjukan kepalan tangannya ke atas. Masih berusaha memberi dukungan untuk sang sahabat.
"Mmm…Sakura…Sakura…," panggil Ino mengguncang-guncangkan pundak wanita berambut soft pink yang mulai tak menampakan 'kehidupan'.
Sakura tertunduk lesu. Sebagian helaian pink pucat menutupi paras cantiknya, terayun seiring dengan gerakan kepalanya—sedikit bergerak ke kiri dan ke kanan dengan pelan.
"Hmm…hmmm…hegh―" gadis pink itu hanya bergumam tak jelas.
"Ha~h, shit! Terjadi lagi…."
Sepertinya malam ini pun Ino akan dibuatnya bekerja keras lagi.
.
.
Malam berganti pagi, namun langit belum sedikitpun berubah. Warna biru yang teramat kelam masih mendominasi langit. Bulan dengan lengkungan seperti sabit masih mempertahankan cahayanya ditemani beberapa bintang kecil samar-samar terlihat asyik memainkan cahaya kecilnya. Sungguh menyedihkan, pemandangan itu harus tersisihkan oleh warna-warni lampu yang berasal dari gedung pencakar langit dan beberapa tempat yang lebih mendominasi pusat Konoha. Hingar-bingar memamerkan kerlap-kerlip cahayanya.
Sebuah jam pada tugu yang terletak pada sebuah taman kecil di tengah kota menunjukan pukul satu pagi―tepat.
Seorang wanita blonde dengan susah payah memapah wanita yang tak lain adalah sahabatnya—berjalan keluar dari bangunan dengan lampu kerlap-kerlip yang menghiasi di depannya. Aroma alkohol yang kental menguar dari sang wanita yang dipapah.
Tok…tok…tok…tak…tok tak…
High heels yang menjadi alas kaki kedua wanita itu beradu dengan trotoar jalan, memperdengarkan bunyi yang tak berirama. Ino harus terus mengawasi setiap pergerakan Sakura yang menjadi tak terkontrol. Perlahan menyeretnya ke tepi trotoar. Tangan kirinya terangkat, mencoba menghentikan kendaraan beroda empat yang selalu menjadi langganan mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi.
Langkah wanita yang dipanggil Sakura itu terlihat sempoyongan, sesekali ia meracau tak jelas. "Hey pig, kau…hegh—akan mengantar ku lagi hegh—ya…," ucap Sakura dengan sesegukan, "kau memang hegh— yang terbaik!" Lanjut wanita muda itu sembari mengangkat kedua jempolnya—tersenyum lebar.
"Diamlah dan jangan banyak bergerak. Kau membuat ku semakin kesulitan," tegur Ino menarik lengan Sakura yang hampir saja terjatuh. "kemana taksi-taksi itu, kenapa dari tadi belum ada yang berhenti juga?" Gerutu Ino kesal.
Rrrrrr~rrrrrr~
Bunyi getar terdengar dari balik tas kulit milik Sakura, sedikit menggelitik tangannya yang mendekap erat tas ber-merk tersebut. Gelagapan, tubuhnya merenspon getaran itu.
"Hegh―A-apa ini? Ah, ponsel ku, ponsel ku!" Dengan panik wanita bermata emerald itu mengobrak-abrik isi tasnya.
"Sakura…apa yang kau lakukan?" Tanya Ino sedikit kesal.
"Ponsel ku~" jawab Sakura masih mengaduk-ngaduk isi tasnya.
Disaat seperti ini saja, gadis pink itu bisa tersadar. Ino mendengus kesal.
"Hahaha…dapat,"
Sakura mengangkat ponselnya seakan-akan itu adalah lotre besar. Mungkin Sai pikirnya, namun harapannya itu harus terpupus saat ia berusaha memeperjelas penglihatannya dan munculah nama yang tidak diinginkan—tertera pada layar ponsel. Manik zamrud itu terus menatap kecewa layar ponselnya yang memunculkan tulisan 'Mom'.
Enggan ia menjawab panggilan melalui mobile itu.
Ino hanya menatap si wanita pink yang berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Dengan tatapan kosong, Sakura membiarkan ponsel itu terus bergetar dalam genggamannya.
"Siapa?" Tanya Ino penasaran.
Bruk
Belum sempat Sakura menjawab, tubuhnya tiba-tiba terdorong dengan keras ke depan. Genggaman pada pada ponselnya melonggar, alhasil ponsel itu meluncur dengan bebas di jalan dengan lalu lintas yang masih lumayan padat.
Sebuah tangan besar dengan sigap menarik tubuh gadis pink yang hampir terperosok, mendekat pada tubuh kekarnya. Bersamaan dengan itu ponsel berlayar sentuh milik Sakura terlindas mengenaskan oleh sebuah truk yang melintas dan terus melaju.
Ino mengangkat sebelah tangannya menutup mulutnya yang terbuka―tak percaya. Gadis bartender itu menatap bergantian ke arah ponsel dan sosok yang menyebabkan kecelakaan itu. Dan jangan ditanya lagi, karena ini akan menjadi masalah yang sangat besar.
"Ma-maaf," Suara baritone itu terdengar sungguh-sungguh dan menyesal.
Ino menatap pria itu sedikit melotot, seakan berkata―jangan bicara lagi dan lebih baik kabur saja.
"Hegh― ponsel ku~" terdengar lirih, kalimat pendek itu diucapkan Sakura.
Secepat kilat ia membalikkan tubuhnya. Mata emerald itu bertemu dengan manik safir di hadapannya. Siap menumpahkan amarahnya.
"KAU! KAU TAHU BERAPA HARGA PONSEL ITU? AKU BAHKAN BELUM MELUNASKAN CICILANNYA!"
Suara itu menggema di ruas jalan, menimbulkan keributan di pagi buta yang dengan pasti menarik perhatian beberapa pejalan kaki juga beberapa tunawisma yang tadinya terlelap dalam tidurnya. Mereka mulai menatap dengan heran bercampur kesal.
"Maaf…," ucap pria itu lagi.
Tangan mungil itu bergerak cepat menarik kerah baju sang tersangka, mendorong mundur tubuh pria itu. "KAU! BAGAIMANA BISA KAU MENGUCAPKAN MAAF SEMUDAH ITU!"
"Tenang dulu nona, aku tidak sengaja," Pria itu sedikit mendengus―tapi tetap berusaha bersabar― sembari memandangi wajah gadis di hadapannya yang memerah.
Hidung pria itu merenspon aroma whiskey dari sang gadis yang hanya beberapa senti darinya. Ia bisa memastikan kalau gadis di hadapannya ini sedang di bawah pengaruh alkohol. Dengan bijak(?) ia memutuskan untuk membiarkan sang wanita meneriakinya lagi.
"Sakura…," Ino berusaha menarik sahabatnya itu. Ingin membantu Sakura tapi tak mampu melihat tatapan orang-orang yang mulai bergunjing, "ayolah kita bicarakan ini baik-baik. Sebentar lagi matahari terbit loh," bujuk Ino.
"GANTI! AYO CEPAT GANTI!" Masih dengan teriakkan ia berkata. Lebih erat ia mencengkram kerah pria itu.
Pria itu mengernyitkan keningnnya "Ganti?" ucapnya, "baiklah…,tapi tidak bisa sekarang—"
Belum sempat sang pria menyelesaikan ucapannya tiba-tiba saja Sakura menggeledah blazer sang pria dan tentu saja tanpa permisi.
"Hey, no-nona, apa yang kau lakukan?" Sang pria mulai bereaksi tak nyaman, berusaha mendorong tubuh Sakura menjauh.
"Dapat," Sakura tersenyum lebar menatap sebuah ponsel yang baru saja di dapatinya dari saku blazer sang pria. Ponsel yang sama persis dengan miliknya.
"Hey, itu ponsel ku...,"
"Tentu saja," ucap Sakura tersenyum licik, " aku akan menggunakannya sampai kau, hegh—bisa mengganti ponsel ku!" kata Sakura menekankan pada kalimat terakhirnya. Mata wanita pink itu menyipit berusaha memperjelas penglihatannya yang menjadi sedikit kabur.
"S-sakura…" Ino terperangah, karena sudah ia duga cepat atau lambat kejadian seperti ini akan terjadi, lagi.
"Tunggu nona…itu—"
"TAKSI!" Teriak Sakura tiba-tiba, dan berhasil. Sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Dengan cepat ia berjalan semponyongan menarik lengan Ino yang berusaha menutupi wajahnya dengan syal yang dikenakannya. Sebelum akhirnya Inolah yang memapahnya masuk ke dalam taksi.
Blam
Suara dari pintu taksi yang ditutup dengan kasar mengagetkan sang pria yang masih berdiri terpaku. Sesaat kemudian ia hanya melihat taksi yang melaju dengan tatapan kosong. Lebih tepatnya ia terlalu kaget dengan peristiwa yang baru saja menimpanya.
Sungguh, diluar kendalinya.
"Naruto…, " tegur seorang pria bermata obsidian yang baru saja keluar dari gedung—seperti sebuah motel.
Berjalan mendekat, pria bermata obsidian itu mengikuti arah pandang sang empunya nama yang tak bergeming, "pacar mu yang lain?" tanya pria itu santai.
"Sasuke…,"
"Hn,"
" ponsel ku…"
"Hn ?"
.
.
Tit. Tit. Tit.
Alarm—yah, sudah dipastikan alarm dari sebuah jam weker—terus saja mengeluarkan suara yang bagi sebagian orang sangat menjengkelkan, begitu pula bagi sang gadis bersurai pink. Malam yang diharapkan sang empunya alarm masih panjang harus pupus takala benda penunjuk waktu itu selalu berbunyi dengan nyaring, terngiang-ngiang di gendang telinga. Bahkan mimpi indah pun harus terhenti saat bunyi itu kian merasuk.
Pagi yang indah telah merekah. Tapi tidak bagi Sakura.
Sakura yang masih berharap langit di luar sana masih gelap total harus kembali terusik saat seberkas cahaya hangat menyusup dari celah-celah horden menyapa kulit porselennya. Sebelah kelopak matanya sedikit membuka dengan paksa, membalas sapaan hangat itu. Perlahan ia mengangkat punggungnya mengubah posisi tidurnya menjadi terduduk. Melakukan sedikit peregangan pada tubuhnya yang terasa sedikit sakit. Mata emerald itu berhasil membuka lebar saat sendi pada punggungnya berbunyi seiring dengan rasa nyeri.
Krek
"Ahk, apa yang kulakukan semalam?" gumamnya sembari bergerak perlahan meraih jam weker yang masih saja berkicau, dan kali ini kedua manik zamrud itu hampir saja meloncat keluar dari kerangkengnya tepat saat angka pada weker itu menunjukan pukul 08.11—pagi tentunya.
Buk
Jam naas itu di banting di atas kasur hingga tak lagi mengeluarkan suara.
"AAA…APA INI? Kenapa jam ini selalu tidak tepat waktu." Histeria di pagi hari yang tidak pernah absen.
Sakura selalu merasa bahwa jam mungil itu mempermainkannya—tentu saja itu tidak mungkin. Dan dengan gerakan secepat kilat ia bergerak menuju kamar mandi, siap membersihkan diri dengan secepat kilat pula.
.
.
"Sepatu! Di mana sebelahnya lagi…ah, itu dia,"
Cepat sekali Sakura menempatkan telapak kakinya pada dasar sepatu berhak dengan warna cream senada dengan jas yang baru dibalutkannya pada tubuh rampingnya.
Tangannya dengan cekatan mengumpulkan beberapa map dan catatan seperti laporan yang dengan cepat dimasukan ke dalam tas tangan kesayangannya. Kegaduhan kembali tercipta dalam apartemen mungilnya saat ia berlari kesana kemari entah mencari sesuatu yang kiranya dapat mengganjal perut kosongnya.
Pilihan yang tepat, roti gandum dengan selai cokelat dimasukannya kemulut dengan tidak anggun. Meneguk susu instan—yang didapatinya dari kulkas—langsung dari kemasannya, kemudian melemparkannya ke meja pantry. Tanpa dijelaskan pun dapat disimpulkan bahwa keadaan ini tepat sekali untuk disebut, kacau balau….
Kembali tergesa-gesa, ia siap melangkah keluar dengan lembaran roti ditangannya kirinya.
"Ah, ponsel ku," gadis pink itu berhenti tepat di depan pintu apartemennya.
Membuka tas kulit miliknya, tangannya kanannya dimasukan ke dalamnya, mencari-cari benda yang di sebut ponsel itu.
"ada." Ucapnya saat jemarinya dapat menjangkau ponsel yang terselip di antara map dan peralatan make-up-nya. Sedikit melongok untuk memastikannya lagi.
"Aneh…," gumam Sakura. Ia memandangi ponsel itu dengan seksama, "kenapa nenek sihir itu tidak menelpon? Biasanya dia akan meneror ku dengan teriakan, berkoar-koar dengan kecaman dan ancaman karena aku…TELAT LAGI!"
Tanpa aba-aba, gadis pemilik lingkaran zamrud itu membuka pintu apartemenya. Berlari sekuat tenaga. Siap menyambut hari yang melelahkan. Dengan serangkaian kejadian yang tidak dapat diduga.
~~TBC~~
Lagi, sebuah fic dengan pair NaruSaku, dan Multichap lagi. Yah, yang sebelumnya belum berani zo apdet. Tadinya fic ini pair-nya…DeiSaku, tapi setelah melakukan semedi dan hypersomnia yang cukup lama, juga pendapat-pendapat negative yang masuk, maka dengan berat hati…menggantinya jadi NaruSaku dah.
Naru: apa maksudnya dengan berat hati? #dideathglareNaru
Okaii, dengan ringan hati….
Padahal pengen banget buat DeiSaku. Idenya yah, masih seperti biasa…pasaran. Dan lagi karena zo masih harus banyak belajar jadi…kesalahan, keganjalan dan sebagainya yang jauh dari kata bagus, masih di jumpai di sini. Jadi lagi…zo mohon bantuan, kritikan, saran atau masukan, yang memungkinkan zo untuk lebih bisa berkembang dengan lebih baik lagi…. Flame juga boleh ko'…
Review ?
Plizzz…
