~The Meaning Of Us~
By: Morning Eagle
Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::
::Cover Image doesn't belong to me::
Just to warn you all :: Canon, OOC, Misstypos...for this story
.
.
.
Chapter 1: Problem
.
.
.
Gadis itu menatap jendela di depannya, mengamati langit biru yang terlalu cerah dan awan putih yang mengambang bebas. Tatapannya kosong, tidak menyiratkan apapun—berharap sebuah bayangan besar melewati jendela kamar dan menghalangi cahaya matahari yang terlalu terik. Ruangan apartemen terlihat kosong dan hening, menyisakan gadis shinigami itu yang terduduk di tengah-tengah ranjang besar. Terlalu besar untuk ditempatinya sendirian.
Gadis shinigami—Kuchiki Rukia—wakil kapten divisi tiga belas dari perkumpulan shinigami Soul Society menghela napas lelahnya, kembali melancarkan peredaran darah di tubuhnya. Matanya mengerjap cepat, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang terlalu sulit untuk ditahan. Terbukti jelas dari kantung mata tebal di bawah kelopak matanya. Sudah beberapa hari ini gadis itu tidak beristirahat ataupun memejamkan mata, walaupun sekedar hanya lima menit saja. Dirinya masih menunggu sabar, hingga ponsel—pendeteksi hollow—di depannya berbunyi nyaring dan membuat adrenalinnya memacu. Mencari-cari tugas yang sekarang sedang diembannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas pagi, memberikan bunyi berdetak seirama yang memenuhi ruang kamar. Tidak banyak yang bisa Rukia lakukan, selain menatapi dinding bercat gading bersih atau meja belajar yang dipenuhi buku-buku berjilid tebal. Bukan manga ataupun majalah fashion terbaru yang seringkali dibacanya saat waktu luang. Buku-buku itu lebih membahas kepada anatomi tubuh manusia dan istilah-istilah asing seperti mediastinum structure ataupun cavum abdominis. Rukia sama sekali tidak ingin tahu arti dari kata-kata aneh tersebut, walaupun tuan rumah-nya sudah menjelaskan kepadanya dengan cara sedetail mungkin. Kurosaki Ichigo—pria muda yang sekarang masih berstatus shinigami daiko, rekan seperjuangannya. Dan apartemen ini adalah miliknya, selama pria itu masih melanjutkan pendidikannya di Universitas Tokyo, jauh dari rumah lamanya di Karakura.
Rukia terlalu lelah untuk mengeluarkan tenaganya, sebagian karena perdebatan tidak penting dirinya dan Ichigo sepanjang malam. Ichigo bersikeras mencegah Rukia melakukan tugasnya seorang diri dan sebaliknya gadis itu masih mempertahankan sifat keras kepalanya. Dan pagi ini Rukia berhasil mengambil—mencuri—lencana shinigami milik Ichigo, yang tidak memungkinkan pria itu meninggalkan tubuh fananya untuk menjadi seorang shinigami. Gadis itu bersikeras untuk membasmi hollow seorang diri, sedikit membanggakan gelar wakil kaptennya di hadapan Ichigo, yang berhasil membuat pria itu jengah.
Tiba-tiba ponsel di depan pangkuannya berbunyi nyaring, menarik perhatian Rukia yang terpusat pada lamunan siangnya. Dengan cepat dia mengeluarkan mod soul miliknya dan menelannya. Jiwanya segera terpisah dari gigainya, yang kini menjadi milik Chappy—pengganti dirinya. Zanpakutou sudah bertengger setia di sisi kiri tubuhnya, sementara kedua tangannya sibuk merapikan baju seragamnya juga lencana wakil kaptennya.
"Aku pergi dulu, tolong jaga tempat ini," perintah Rukia singkat sebelum keluar melalui jendela geser di kamar Ichigo.
"Baik pyon!" Chappy tertawa lebar melihat kepergian tuannya dan kembali ke kesibukan awalnya—menonton tivi layar datar di ruang tengah.
(**)
(**)
(**)
"Rukia! Aku pulang!" Pria itu memasuki apartemennya—Kurosaki Ichigo. Matanya mencari-cari sosok teman sekamarnya, atau lebih tepat disebut sebagai gadis mungilnya. Penunjuk kepunyaan yang permanen dan terlalu posesif.
Kakinya melangkah ke ruang tengah, menemukan tivi menyala terang di tengah-tengah ruangan yang hampir gelap, ditinggalkan matahari sore. Alisnya berkerut kesal, begitu menemukan tubuh mungil yang tertidur melingkar di sofa hitam barunya. Itu Rukia, tapi bukan Rukia. Ya, hanya tubuhnya yang milik gadisnya, bukan jiwanya. Chappy tertidur pulas dengan air liur yang menetes di ujung mulutnya.
"Hei," tegur Ichigo, menatap tajam Chappy yang berguling tidak nyaman dalam tidurnya. "Hei! Bangun—"
Tiba-tiba Chappy membuka matanya lebar dan meloncat agresif ke arah Ichigo. Belum sempat pria itu bereaksi, mod soul liar itu sudah bertengger di tubuhnya, dengan tangan yang melingkar di leher dan lengan kanannya. Dia menyerang Ichigo telak, hingga tubuhnya tersungkur jatuh ke lantai kayu.
"Ahh! Lepaskan!"
"Kau pencuri pyon!" Chappy berusaha mengeratkan pegangannya seerat mungkin, menjatuhkan Ichigo hingga tidak berdaya. "Kau harus diberi pelajaran pyon!"
"Arrgghh!" Ichigo berteriak kesal dan membalas sergapan mendadak dari mod soul gila itu. Tubuhnya berusaha menarik lepas dari pelintiran Chappy, dan terbebas dari cekikkan di leher.
Dengan beberapa gerakan mudah, Ichigo bisa keluar dari serangan mengerikan itu. Tapi, Chappy tidak tinggal diam. Dirinya kembali hendak menyerang Ichigo, sebelum pria itu menjatuhkannya ke lantai dan mengunci gerakkannya. Kini Chappy terbaring dengan wajah menghadap lantai, sementara tangan Ichigo menahan punggungnya untuk tidak bergerak liar.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Ichigo marah.
"Rukia-sama menugaskanku menjaga tempat ini pyon! Dan aku harus memusnahkanmu segera pyon! Pencuri pyon!"
"Ini tempat tinggalku! Dan ini sudah ketiga kalinya aku menjelaskan hal ini!" Dan ketiga kalinya Chappy menyerang Ichigo di saat lengah.
Chappy tertegun sesaat, menghentikan rontaannya. Wajahnya menengok ke belakang, menemukan raut wajah Ichigo yang sekarang semakin memelototinya. Dia mengenalinya—raut menyeramkan itu—tapi tidak bisa mengingat namanya dengan jelas.
"Ah, aku mengenalmu pyon!" Akhirnya Chappy mengerti, dan juga untuk ketiga kalinya.
"Dan hentikan kebiasaan aneh menambahkan kata pyon itu!" gerutu Ichigo, perlahan menjauhkan tangannya dari punggung Chappy. "Dimana Rukia?"
"Rukia-sama sedang menjalaskan tugasnya pyon," jawab Chappy yang sudah duduk bertekuk lutut di depan Ichigo.
Pernyataannya sedikit tidak masuk akal untuk diterima Ichigo. Selama lencana shinigami penggantinya tidak berbunyi, maka tidak ada hollow di sekitar sini, tapi—
Dengan cepat Ichigo merogoh saku celananya dan tidak menemukan badge miliknya. "Dimana lencana shinigami—Rukia!"
Ichigo berlari ke kamarnya, meninggalkan Chappy yang masih tertegun diam. Dirinya mencari-cari sosok Kon yang mungkin sedang tertidur di dalam lemari bajunya. Langkahnya terhenti sesaat, begitu menyadari Kon tertinggal di Karakura—di kamar lamanya. Ichigo membawa Kon untuk berjaga-jaga saat kepulangannya ke Karakura beberapa hari yang lalu dan akhirnya melupakan boneka binatang itu yang sekarang sedang menangis meraung-raung karena ditinggalkan seorang diri.
"Sial!" Tidak ada pilihan lain yang bisa diambil Ichigo. Segera dirinya berlari meninggalkan apartemennya dan memilih mencari gadis mungilnya secara manual. Berlari ke pusat Kota Tokyo.
Chappy kembali naik ke atas sofa hitam Ichigo dan kembali tertidur, di saat Ichigo sudah meninggalkan apartemen tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Yang pasti dia butuh tidur sekarang, karena otot-otot di tubuhnya yang terasa kaku dan lebam. Mataya terpejam erat dan dengkuran terdengar nyaring mengisi ruang tengah yang becampur dengan siaran berita di televisi.
(**)
(**)
(**)
"Mae, Sode no Shirayuki!" Zanpakutou putih bersinar terang di tengah-tengah hiruk pikuk pusat kota. Putih bersih dan terasa dingin—seputih es murni yang belum terekspos dunia luar. "Tsugi no mai. Hakuren."
Rukia berhasil mengalahkan hollow terakhirnya, dari sekerumpulan hollow yang menyerang Tokyo secara tiba-tiba. Mereka berpencar ke berbagai arah, yang menyulitkan dirinya melacak lokasinya. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, menyadarkan gadis itu akan waktu yang terbuang banyak hari ini. Juga matanya yang semakin terasa berat. Lagi-lagi mulutnya menguap lebar, dan air mata menggenang di sudut matanya.
Tangan kanannya memasukkan Sode no Shirayuki kembali ke sarungnya, sebelum segera ber-shunpo melewati gedung-gedung tinggi di pusat kota. Di sini sangat berbeda dengan Karakura, yang lebih sederhana dan tidak banyak orang berlalu-lalang. Lampu di pusat kota terang untuk ditangkap mata mengantuknya, menyulitkan langkahnya yang kembali gontai tidak seimbang.
Seperti sebuah takdir ataupun harapan, matanya menangkap warna tidak asing di sudut jalan—di antara sekumpulan orang yang hendak menyebrang jalan. Warna jingga yang dikenalnya, entah kenapa berbeda dari warna jingga mencolok lainnya. Pria itu tergesa-gesa, berlari sepanjang jalan sambil mencari-cari sesuatu yang tidak tampak. Rukia menemukan Ichigo di dalam perjalanan pulangnya. Dan perasaannya mengatakan ini bukan hal baik untuknya.
Rukia memilih turun dan menghampiri sosok Ichigo di sudut jalan berikutnya, dimana tidak banyak orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tangannya menarik pria itu tepat pada waktunya, ke arah jalan sempit di antara bangunan mini market dua puluh empat jam dan toko aksesoris tua.
Tubuh Ichigo terhentak ke samping dan hampir meneriaki orang yang menariknya. Niatnya diurungkan saat dirinya menatap sosok Rukia dalam baju seragam shinigami-nya.
"Ichigo—"
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, hah?!"
Rukia tersentak kaget begitu Ichigo membentaknya. Pria sangar itu tidak pernah sekalipun memarahinya serius, bahkan membentaknya dengan suara keras. Matanya menatap Rukia tajam, menakuti gadis itu dalam berbagai hal.
"Kau yang mengambil lencana milikku," lanjut Ichigo, menekankan kata-katanya tajam. Rasanya seperti menelan racun bagi Rukia. "Tanpa itu aku tidak bisa menjadi shinigami!"
"Sudah kukatakan—aku bisa melakukannya sendiri, Ichigo," bisik Rukia sedikit takut, kali ini tidak bisa membalas hentakannya.
"Tapi itu tanggung jawabku! Seharusnya kau mengerti hal itu!"
"Dan ini adalah tugasku!"
"Kau masih memiliki tugas penting di Soul Society daripada di sini, fukutaicho! Ishida dan diriku sudah cukup untuk menangani hal ini!"
Seperti ditusuk ribuan jarum di dada, Rukia merasakan sakit yang menghentakkan jantungnya. Dia tidak suka hal itu, di saat Ichigo mengucapkan gelarnya dengan penekanan berlebihan. Seakan-akan pria itu tidak menyukai dirinya lagi, membuangnya sendirian di kotak kardus pinggir jalan.
Tanpa perlu menunggu jawaban Rukia, Ichigo sudah pergi meninggalkannya dan kembali berjalan ke jalan utama. Rukia masih terdiam di sana, berusaha memahami perasaan yang berkecamuk di dadanya, di setiap debaran jantungnya. Rasanya sakit juga perih. Dia tidak terluka di saat membasmi hollow-hollow beberapa saat yang lalu, tapi mengapa tubuhnya terasa sakit di setiap incinya? Mengapa air mata kembali hendak keluar di pelupuk matanya?
Kaki lemasnya segera berlari dan mengejar sosok pria itu, yang ternyata sudah terlambat untuk digapai. Ichigo sudah menghilang, di antara kerumunan orang-orang yang berjalan cepat di sekitar dirinya—menelan sosok pria berambut jingga yang mencampakkan dirinya.
(**)
(**)
(**)
Rukia mengintip ke balik pintu kamar, takut sekaligus segan. Dirinya menemukan sepatu Ichigo yang tertata berantakan saat memasuki apartemen beberapa saat yang lalu, menjawab semua pertanyaan yang memasuki benaknya di perjalanan. Ichigo sudah pulang sebelum dirinya.
Suara pancuran air terdengar samar-samar di balik pintu kamar mandi—yang terletak di kamar utamanya. Rukia sudah berdiri di depan pintu hampir tiga puluh menit lamanya, setelah kembali ke tubuh gigai-nya dan memasukkan mod soul Chappy ke dalam tempat asalnya. Dirinya masih mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Meminta maaf? Tapi untuk alasan apa? Menjelaskan semuanya? Tapi apakah Ichigo mau mendengarkan dirinya?
Rukia mendesah lelah dan memilih duduk di sofa ruang tengah yang kali ini terasa keras untuknya. Kedua tangannya memeluk lututnya erat, sementara kepalanya bersandar di atasnya. Jari-jari kakinya bergerak gelisah, tidak mau menunggu ketidakpastian yang berusaha menggerogoti relung jantungnya. Perasaan bersalah begitu kental terasa, tapi sebagian tersamarkan oleh kekeras kepalaan dirinya.
Suara pancuran air akhirnya berhenti, membangunkan Rukia paksa dari rasa kantuknya. Dirinya kembali menunggu disaat Ichigo akan kembali memarahinya, ataupun mereka kembali berdebat akan tugas membasmi hollow di antara keduanya. Mulutnya kembali terbuka lebar—menguap—sementara jari-jarinya mencubit kulit tangannya untuk tidak tertidur. Matanya lebih memilih menatap jam dinding, melihat jarumnya yang berjalan memutar.
Tik tok tik tok.. Semenit berlalu.
Tik tok tik tok.. Lima menit yang berat berlalu.
Tik tok tik tok.. Dua belas menit.
Tik tok tik tok.. Dua puluh menit—
Matanya perlahan terpejam, karena tidak tahan untuk tetap tersadar. Terlalu lama menunggu dan tubuhnya benar-benar membutuhkan istirahat. Kepalanya disandarkan di atas lututnya, sementara matanya mulai tertutup rapat. Rukia tidak menyadari sepasang mata yang memerhatikan dirinya dari balik pintu kamar. Ichigo, terus mengawasi gadis mungilnya dalam diam, selama dua puluh menit lamanya.
Dan akhirnya Rukia tidak bergerak—tertidur pulas. Ichigo yang merasa bersalah, karena meninggalkan gadis itu sendirian di tengah kota juga membiarkannya tertidur seorang diri di ruang tengah. Emosi labilnya merusak segala nalar dan akal sehatnya. Kepalan tinjunya tidak bisa melakukan apapun, untuk meluapkan kegelapan dalam hatinya, sekedar untuk merusak tembok kamarnya.
Perlahan Ichigo keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan ke arah Rukia tertidur. Matanya menatap sendu, menangkap kelelahan yang terasa begitu berat sedang ditahan oleh shinigami kecil itu. Rukia tidak pandai berbohong, apalagi di depan Ichigo. Mereka sudah saling mengenal begitu lama, melebihi seorang teman dan di bawah sepasang kekasih.
Kekasih? Apakah Ichigo bisa berharap pada satu kata magis itu? Romansa yang sebelumnya tidak pernah terbesit dalam benaknya. Otaknya selalu dipenuhi kata-kata rumit dalam buku pelajarannya, masalah perkuliahan, juga masalah hollow yang belum kunjung mereda. Hubungannya dengan Rukia—mungkin masih berjalan seperti dulu, tidak berubah banyak.
Tanpa disadari, jari-jarinya menyentuh puncak kepala Rukia, merasakan kelembutan rambut hitamnya. Mulutnya semakin berkedut masam, menarik helaan napas panjangnya. Dengan hati-hati tangannya terulur untuk menjangkau tubuh Rukia, mengangkatnya dalam gendongannya. Gadis itu masih tertidur lelap, tidak menyadari tubuhnya terangkat dari sofa dan dibawa dalam genggaman kuat yang melindungi. Ichigo membaringkan Rukia di kasurnya, membiarkannya bergelung sambil mendengkur halus. Dia menarik selimut tebalnya, menutupi tubuh gadis itu hingga ke bahunya.
Tatapan terakhir diberikannya, kali ini kekecewaan tidak luput dari pancaran sinar matanya. Sebelum akhirnya dia berjalan keluar, memilih tidur di sofa dingin yang menemani kekosongan dalam dirinya. Tidak lupa lencana shinigami miliknya dimasukkan ke kantong celana, berjaga-jaga akan sinyal hollow yang berbunyi di tengah malam. Karena dia tahu, matanya tidak akan terpejam malam ini, kecuali untuk menatapi jam dinding yang terus berdetak. Ichigo masih marah. Dan amarahnya itu tidak akan mereda hanya dalam beberapa jam saja. Sampai dia menemukan solusinya, pilihan utamanya adalah menghindari Rukia—menjaga emosinya diambang batas normal.
(**)
(**)
(**)
Pagi itu matanya mengerjap, mendengarkan kicauan burung dari luar sana. Sinar matahari membuat matanya terbuka lebar, lalu kembali menutup dengan cepat. Mulutnya mengerang, sementara tangannya tertarik ke atas seperti kucing. Tubuhnya benar-benar kaku, seperti habis mendapatkan latihan fisik seharian tanpa henti.
Tiba-tiba dia menyadari sesuatu, hingga bangun terduduk di atas ranjang. Rukia melotot terkejut, menyadari dirinya tertidur di kamar Ichigo—di ranjangnya. Selama dirinya menumpang di apartemen Ichigo, mereka memang menghabiskan waktu tidur di tempat yang sama. Tapi tidak pernah bersamaan. Rukia tertidur di malam hari—sementara Ichigo terjaga untuk belajar untuk kuis esok hari. Pagi harinya Ichigo sudah tertidur di kasur empuknya—sementara Rukia baru saja pulang dari tugasnya membasmi hollow secara diam-diam, tanpa pengetahuan pria sangar itu. Dan saat ini—pagi hari—Rukia tertidur di sana, tanpa ada tanda-tanda keberadaan Ichigo di kamarnya.
'Bukankah aku tertidur di ruang tengah?' pikir Rukia dalam hati, mengeratkan kepalan tangannya pada selimut di pangkuannya.
Setelah tidak berhasil memikirkan jawabannya, Rukia memilih turun dan berjalan keluar kamar—setidaknya mencari Ichigo. Decitan pintu terdengar nyaring dalam keheningan, ketika matanya mencari-cari ke setiap sudut ruang tengah. Tidak ada. Ichigo tidak ada di sana. Bahkan, reiatsu liarnya pun tidak terjangkau dalam radius sekitar apartemen. Dia sudah pergi.
Rukia mendesah, lelah juga kecewa. Dirinya kembali mencari-cari, siapa tahu Ichigo meninggalkan notes di lemari es ataupun meja kopi di ruang tengah. Tapi, tidak ada. Seakan-akan dirinya lenyap ditelan bumi.
Suara perutnya berbunyi seketika, memberi sinyal bahwa belum ada asupan makanan apapun yang masuk ke tubuhnya sejak kemarin sore. Rukia memutuskan untuk mencari susu ataupun makanan dingin di dalam lemari es, yang bisa meredam rasa laparnya. Dan di meja makan adalah jawabannya—sepiring roti ham yang ditutupi oleh plastik makanan. Tangannya mengangkat piring itu dan sebuah kertas terjatuh dari bawahnya ke atas meja makan. Itu notes, yang diberikan Ichigo kepadanya. Namun, hanya bertulis—
'Susu ada di dalam kulkas. Jangan sisakan makanannya.'
Hanya itu, tidak ada penjelasan apapun sejak kejadian kemarin malam. Mengecewakan, karena dirinya terlalu berharap Ichigo akan mengatakannya langsung kepadanya. Walaupun, sekedar memanggil namanya ataupun mengatakan 'aku akan segera kembali', itu akan membuat dirinya lebih tenang.
Tidak ada pilihan lain, selain duduk dan menyantap roti itu dalam kesendirian. Dirinya kembali mendesah, di saat matanya menangkap seberkas sinar mentari pagi masuk melalui jendela dapur, menerangi kesenduan pagi harinya.
Mulutnya berhenti mengunyah, sementara dia menggumamkan sesuatu, "Seandainya Kon ada di sini." Bahkan, kesunyian pun membuatnya rindu akan singa berisik yang selalu memberikannya semangat. Kini pagi sudah mulai berganti siang, menyisakan ruang kosong untuk dirinya merenung.
***to be continued…
.
.
.
Author's notes:
Fic baruku yang berupa multi-chapter! Fic ini kubuat di sela-sela mengetik Black Rosette, karena cerita ini lebih ringan juga berada di bawah 3000 words setiap chapternya. Ini juga karena kerinduanku mengetik fic canon, walaupun disini benar-benar menyeleweng, alias OOC. Semoga kalian suka dengan fic ini, yang mungkin tidak termasuk angst? Aku benar-benar bingung untuk membuat tema itu, aku harap bisa tercapai ^^
Apartemen Ichigo berada di pusat Tokyo, sementara Karakura berada di bagian barat Tokyo (menurut sumber Bleach Wikipedia ^^). Ichigo mengambil jurusan kedokteran di salah satu Universitas Tokyo, bersama Ishida Uryuu. Setting fic ini tidak melibatkan Arc terakhir (Perang Berdarah 1000 Tahun), tapi diambil setelah episode fullbringers.
Playlist for this fic:
Ailee: Rainy Day
Wheesung feat Gummy: Special Love
Foxes: Let Go For Tonight
These song doesn't belong to me…
