Kaisoo

.

The story is mine. Only mine. And forever will be mine.

But,

The casts are not belong to me. They have their own life.

.

Lady Wu's Present

Amaranthine

.

.

Ada sebuah cerita aneh tentangnya. Tentangnya yang selalu bernyanyi seriosa di pagi hari, tentangnya yang bermain biola di sore hari, tentangnya yang tinggal dibalik jendela kaca penuh mawar berduri. Jongin tak tahu, tapi mereka berkata tentangnya— tentang seseorang yang nyaris menyaingi silaunya matahari.

Ia akan bersuara indah bahkan sebelum burung-burung mengeluarkan nyanyiannya. Suara yang lambat laun tanpa Jongin sadari menjadi pengingat tersendiri untuk terbangun dari lelapnya mimpi dan langsung menatap bayangan tubuh semampai gadis itu dibalik jendela kaca berhiaskan tumbuhan mawar berduri. Gadis itu tak pernah membuka jendelanya— tidak, ia bahkan tak pernah membiarkan sinar matahari masuk kedalam ruangannya. Ia sangat berbaik hati untuk itu— berbaik hati untuk tak membuat matahari memekik iri karena keindahan silau tubuhnya. Gadis itu— tak pernah membuka jendela.

"Suatu kehormatan untuk bertemu denganmu— Mama." Jongin menunduk hormat. Bersujud menyentuh lantai dengan menjaga keseimbangan agar tak terjatuh ketika melakukan segala ritual yang membuat kakinya berteriak kesakitan.

Wanita itu mengangkat dagunya tinggi. Raut wajah dingin tanpa ekspresi terpancar jelas diantara kecantikan wajah tuanya— kecantikan alami orang-orang Korea. "Angkat wajahmu." Ia berseru.

"Baik, Mama."

Jongin mempunyai kebiasaan baru yang tanpa ia tahu tiba-tiba menjadi sebuah kebutuhan yang harus bisa ia dapati. Sebuah kursi singgasana ditempatkan tepat didepan jendela— lengkap dengan teh hijau panas dan kue cemilan sebagai temannya dalam keheningan, lalu menikmati betapa indahnya alunan biola dari jendela kaca berhiaskan mawar berduri tersebut. Bayangan tubuh semampai akan terlihat dari tempat ia duduk menikmati alunan biola, dan dimanjakan oleh alunan nada-nada selembut embun. Gadis itu memainkan biolanya tepat pukul empat sore— seperti biasa.

Tak ada yang pernah melihat parasnya— jika pun ada hanya segelintir orang saja bahkan bisa di hitung menggunakan jemari. Ia selalu bersembunyi dibalik tembok besar yang dikelilingi oleh tumbuhan mawar berduri. Kuno— mengapa masih ada orang yang memegang teguh adat istiadat Kerajaan Joseon? Mengapa masih ada orang yang menjunjung tinggi sebuah kesopanan menyebalkan zaman dahulu kala? Siapa yang masih membudayakan hal-hal antik seperti itu? Siapa yang masih melakukannya? Tidakkah mereka menyadari betapa cantiknya negeri besi seperti sekarang ini? Teknologi canggih yang tak ada matinya. Namun, mengapa?— Jongin tak bisa menjawab teka-tekinya sendiri.

"Yohanes Jongin Kim."

Namanya.

"Saya, Mama." Jongin menunduk sopan. Menatap lantai kembali tanpa berani bersitatap langsung dengan sepasang mata elang yang kini duduk dikursi singgasana— kursi yang sama seperti dikamarnya.

"Pelayanku membawa sebuah surat lamaran untuk cucuku." Suaranya terdengar angkuh. "Apakah surat itu darimu, Yohanes?"

"Benar, Mama."

Gadis itu bernyanyi, membangunkan Jongin dari lelap mimpi dan membawa ia— tanpa sadar- berjalan mendekati kursi singgasananya sendiri. Jongin menumpukan kakinya satu sama lain, salah satu tangannya memangku dagu agar menatap lebih jelas kepada bayangan semampai dibalik jendela mawar berduri. Nyanyian seriosanya selalu membungkam kicauan berisik dari sang burung, lembut nada yang dimainkannya membuat matahari enggan untuk bersinar pagi itu, dan tanpa pernah Jongin memimpikannya barang sejenakpun— gadis itu membuka jendelanya.

"Apa yang membuatmu berani melakukan hal lancang seperti ini?" Suaranya terdengar angkuh. Tipikal wanita tua berkuasa yang tangguh.

Jongin semakin merendahkan kepalanya, menunjukkan sisi hormat teramat dalam yang ia rasa. "Saya mencintainya, Mama."

Wajah cantiknya, senyum manisnya, paras yang mengalahkan sinar matahari— Jongin tak ayal melihat jelmaan Dewi turun ke bumi— sejak itu, ia bahkan tak bisa masuk kedalam dunia mimpi.

"Sungguh memalukan."

Telapak tangan Jongin berkeringat dingin, "Maaf— Mama."

Gadis itu bernama Kyungsoo Wu. Perpaduan indah negeri Korea dan China ada pada dirinya. Sajak-sajak memabukkan puisi bahkan tak sebanding dengan kecantikan alami yang ia miliki. Tidak— bahkan seribu kata pemuja yang ada didunia tak akan bisa mengejar kemolekan parasnya.

"Angkat kepalamu."

—ia begitu bersinar, begitu indah, begitu pekat, begitu memabukkan seperti anggur yang telah difermentasi selama bertahun-tahun.

"Aku telah memeriksa latar belakangmu." Wanita tua itu berdiri angkuh, kepalanya terangkat tinggi dengan sorotan mata yang tak pernah goyah sedetikpun. "Kau cukup kaya untuk membeli lima museum sejarah Korea untuk cucuku."

Jongin mengangkat kepalanya layak bangsawan. Membalas sorotan tajam itu dengan tenang dan memperlihatkan bahwa ia memang pantas untuk disamakan dengan harta kekayaan kuno Kerajaan Joseon zaman dahulu. Diantara istiadat, kesopanan, dan kepatuhannya dalam menjunjung tinggi tradisi kerajaan— Jongin tahu, wanita tua itu selalu buta dengan harta. Mengapa? Karena darah yang mengalir dibalik kulit tuanya itu adalah darah keserakahan yang tak akan pernah punah.

"Aku tahu kau tak akan datang jika tak mempunyai senjata yang sempurna untuk melewatiku." Raut wajah tua mengeras. "Berterimakasihlah kepada harta yang kau timbun setiap hari." Ia berbalik angkuh. Hanbok merah darah yang wanita tua itu kenakan bergoyang lembut ketika ia berjalan anggun meninggalkan Jongin. Diikuti patuh oleh dua pelayan yang menjaganya.

Dan ia disana— Gadis semampai yang selalu ia lihat dibalik buramnya jendela kaca, kini berjalan anggun melewati tangga. Ia memakai gaun abu-abu tua dengan lukisan bunga mawar biru yang tersentuh disetiap sisi gaunnya. Rambut hitam (sangat) panjangnya terjatuh lembut melewati satu per satu anak tangga dibelakangnnya, ada sebuah bunga matahari disisi kanan kepala— sebuah hiasan yang bahkan menurut Jongin tak akan sanggup mengalahkan betapa silaunya paras cantik yang ia miliki, kulit seputih saljunya bersinar terang, berwarna kontras dengan bibir mungil merahnya yang bermekaran layaknya bunga Amaranthine. Kecantikan rahasia negeri Korea dan China— kecantikan alami kuno yang tak pernah tersentuh oleh besi berkarat diruang kedokteran.

"My Amaranthine.." Jongin mengulurkan tangan kanannya penuh pemujaan.

—Kecantikan seorang Dewi.

"Senang bertemu denganmu, Yohanes." Ia bersuara lembut —Jongin nyaris bertekuk lutut patuh ketika mendengar ia bersuara, "Sparta Mama banyak membicarakanmu sejak kemarin." Mata birunya berpendar indah sejernih lautan,

Jongin mengecup punggung tangannya penuh pemujaan, "Aku memujamu bahkan hingga ke seluruh sel-sel terkecil yang ada ditubuhku." Ia tersenyum penuh kelembutan, "Jongin—namaku Jongin." Mata Jongin kembali memujanya, "Senang bertemu denganmu, my Amaranthine."

"Kyungsoo.." Bibir merahnya terukir indah, "Hanya Kyungsoo—" Ia berbisik lirih, "Senang bertemu denganmu."

.

.

If there are any questions or other things you want to know, you can leave it in a review.

Last, mind to review?

Love ya,

A fanfiction by Me,

Lady Wu