Disclaimer : Masashi Kishimoto
Tokoh : Deidara, Akasuna no Sasori, dan lain-lain sebagainya
Warning : AU, OOC, typo, gaje, garing
Foreword:
Sebagai seorang cowok sejati (versi Deidara-red), Deidara tidak suka segala sesuatu yang berbau gay. Teman-temannya suka bertingkah laku seperti gay, meski Deidara yakin kalau mereka cuma bercanda dan main-main. Bercanda sekalipun, Deidara tetap tidak suka karena sesuatu alasan yang terjadi di masa lalu. Tapi, apakah yang Deidara lakukan kalau sahabatnya sendiri, Sasori, seorang gay? Terlebih lagi, yang disukai Sasori itu adalah dirinya sendiri, bagaimana cara Deidara menanggapi situasi ini?
Sahabatku Seorang Gay
.
.
.
.
.
Tik tok, tik tok...
Sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi,...
.
Suasana kelas riuh rendah seperti pasar ikan di pagi hari, bergemuruh seperti ombak yang menghempas di tepian pantai, penuh celotehan dan canda tawa siswa-siswi Akatsuki Gakuen yang nyeleneh seperti biasa. Anak laki-laki bergelut seperti tiada hari esok, anak-anak perempuan bergerombol dan mengikik dengan melengking-lengking. Semua, kecuali seorang pemuda blonde berkuncir yang berkutat dengan laptop dan beberapa handout diatas meja, rancangan proposal untuk mengikuti lomba pameran seni siswa tingkat nasional. Pemuda bermata azure itu kelihatan tidak senang, dia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan proposal ini dan suasana kelas yang gaduh sangat mengganggu. Sebentar-sebentar, dia mencomot buah jeruk kesukaannya dan memakannya dengan membabi buta, kesal dengan kelas 2-2 yang berisik ini.
Pemuda blonde lain yang berambut jabrik merupakan fokus utama gemuruh riuh kelas pada detik itu. Uzumaki Naruto, nama sang pemuda, telah memutuskan untuk berjoget-joget gaje di depan kelas dengan sapu diantara kaki dan buah apel (?) di tangan kanannya. Pemuda blonde yang sedang sibuk dengan tugas, Deidara, mendengus dan meletakkan handout yang sedang dia pegang. Mata azure-nya mendelik dengan penuh rasa terusik pada onggokan kakek sihir jabrik jadi-jadian yang ada di depannya itu. Naruto seperti menyadari dengusan penuh rasa kesal Deidara dan memutuskan untuk mendatanginya dengan langkah letoy yang dibuat-buat. Cengiran tanpa rasa bersalah terlukis di wajah berkulit tan itu, mata Aquamarine-nya menatap konyol dan berbinar-binar. Deidara tidak mengedip, masih mendelik kesal.
"Dengan buah apel ini, engkau akan tertidur selamanya, Putri-ku.. Dan aku akan menjadi yang tercantik di dunia!.. " Naruto berbicara sambil bergaya, berusaha menggoda Deidara tapi failed, mengayun-ayunkan buah apel(?) yang ada di tangan kanannya.
Deidara tercekik jeruk-nya sendiri. Tepat di depan matanya bukanlah sebuah apel, itu lebih kelihatan seperti….. tomat? Nani kore.
.
"KYAAAAA…. KYAAAAA… KYAAAAAAAAAA…. Deidara-chan adalah seorang putri!...Putri-nya Naruto-chan!" Ino memulai, berteriak melengking di belakang telinga Deidara.
"Eh, eh, eh.. tidakkah terpikir oleh kalian kalau DeiNaru sebenarnya cocok-cocok saja?" Konan menimpali.
"Ha? Jangan bercanda, sepertinya itu kondisinya NaruDei,...!" sambung Tenten.
"KYAAAAAAAAAA…. KYAAAAAA….. KYAAAAAAA" teriak cewek-cewek yang duduk tepat di belakangnya, Tenten, Ino, dan Konan.
Telinga Deidara berdengung perih mendengarkan teriakan melengking gaje cewek-cewek yang duduk di belakang, bulu kuduknya merinding mendengar Naruto memanggilnya "putri-ku". Ingin sekali dia menghardik cecenguk-cecenguk ini, tapi dia sendiri masih sibuk dengan kerongkongan yang keselek jeruk.
"OI, DOBE! KEMBALIKAN TOMAT MAKAN SIANG GUE!" teriak pemuda lain dengan kepala yang kelihatan seperti ekor bebek, muncul entah dari mana sambil mengacung-acungkan tinju. Kemudian Naruto dan pemuda berkepala ekor bebek itu, Sasuke, kejar-kejaran mengelilingi kelas dengan heboh, bunyi kursi dan meja berderit karena tergeser-geser paksa oleh mereka. Anak-anak perempuan lainnya yang terganggu ikut-ikutan memekik.
"KYAAAAA,…. Kau mendengar itu?"
"...SASUKE-KUN MEMANGGIL NARUTO-KUN DENGAN SEBUTAN DOBE! Kyaaa..."
"Kyaaaa,... SASUNARU OTP! " teriak trio cewek gaje itu. Deidara akhirnya berhasil menelan jeruknya.
"OOIII, BERISIIK, UN!" teriaknya keras pada cewek-cewek dibelakangnya.
Ino berhenti berteriak dan menggucang-gucangkan bahu Deidara, tidak kelihatan terganggu meskipun sudah dihardik.
"Menurutmu, Sasuke marah karena Naruto memanggilmu dengan sebutan Putri! Tidakkah kau pikir begitu? Ya, kan? Kyaaa…" ujarnya dengan mata berbinar, histeris kembali. Deidara ternganga. Tenten dan Konan mengangguk-angguk pada Ino dan berteriak bareng.
"YA, PASTI BEGITU! KYAA, SASUKE CEMBURU! KAWAIIIIII...!"
"Oi,…. Hmpfgh.." Deidara bersiap untuk menghardik lagi, namun tertahan oleh tangan Ino yang menempelkan telunjuknya ke bibir sambil mendesis 'psssstt', memberikan kode untuk diam. Ketiga gadis itu melihat kearah sudut kelas, dimana Kiba dan Shino yang duduk semeja sedang bertatapan satu sama lain dengan mimik wajah serius. Deidara mau tak mau juga jadi ikut memperhatikan. Aneh sekali, kelas begitu berisik –Sasuke masih mengejar-ngejar Naruto yang mencuri tomatnya-, namun dua orang ini bertatapan satu sama lain seakan-akan di dunia ini tidak terdapat apapun selain mereka berdua. Ketiga gadis itu; Ino, Tenten, Konan, menatap mereka berdua dengan penuh harap, seakan-akan akan ada yang berteriak "YATTA" dan permainan pun selesai, tapi tentu saja itu tidak terjadi. Kiba membuka mulut untuk berbicara, cewek-cewek itu menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Guk guk,… kaing kaing…" Suara itu keluar dari mulut pemuda itu begitu pelan, namun cukup untuk membuat seantero kelas berhenti beraktivitas dan melihat berbarengan ke arah Kiba dan Shino. Bahkan Naruto menjatuhkan tomat Sasuke dan si kepala itik dengan ajaib melewatkan tomat yang menggelinding diantara kakinya begitu saja.
"Nguuung…nguuung…." Shino menjawab, dan semua orang tahu kalau itu bukan bahasa manusia. Kelas masih hening, penasaran terhadap apa yang Shino dan Kiba lakukan.
"Guk guk?" Kiba memandang Shino dengan mata yang berkaca-kaca dengan nada penuh tanya.
"Nguuuuuung…" jawab Shino datar, siapa yang tahu ekspresi muka Shino dibalik kacamata hitam, masker serta hoodie itu.
"Guk guk! nguuuuuuuunggg….." Dan mereka berdua berpelukan dengan bahagia.
'Zzzzzingggg….' Seisi kelas hanya diam membeku, tak yakin mengerti apa yang sedang terjadi dan bagaimana harus bereaksi. Itu sebelum Naruto memecah keheningan memungut tomat Sasuke sambil berteriak"Apel-ku!" dan kejar-kejaran mereka dimulai lagi, begitu juga seantero kelas seakan-akan terbebas dari 'pause' dan masing-masing kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Hanya Deidara dan trio gadis gaje yang membeku sambil menyekap mulut masing-masing, menahan untuk tidak berteriak. Deidara masih mengira-ngira apa yang sedang terjadi, sementara gadis-gadis itu tak tahan lagi, melepas dekapan mulutnya sendiri dan berteriak.
"Kyaaaaaa!,…. "
"Kau lihat itu? Kau lihat itu?"
" Kiba dan Shino romantis sekali…."
"…Meskipun mereka berbeda bahasa…."
"….Tapi, cinta menyatukan mereka…."
"... Siapa yang mengira kalau KibaShino bergitu REAL?"
PLETAK!
"Wadow!"
"... Bukan KibaShino, bodoh! Tapi ShinoKiba!"
"...Whatever-lah, sama saja..."
"…. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"
.
Teriakan terakhir membuat Deidara seakan tersadar pada apa yang terjadi. Kesabarannya habislah sudah.
"HENTIKAAAAAANNNNN! KYAAkYAAAKYAAAKYAAAAA KALIAN ITU BERISIK, TAU!.., BIKIN SAKIT KEPALA,UN!"
.
Ketiga cewek itu berhenti berteriak histeris, kemudian memandang Deidara dengan tatapan aneh seakan-akan Deidara itu makhluk pluto yang mencak-mencak protes tidak setuju karena semua ikan di seluruh bumi ini bisa berenang. Namun, tatapan aneh itu kemudian berganti dengan seringaian usil penuh nista.
"Masih pagi kok sewot banget, Deidara-chan.." Tenten memulai.
Deidara mendengus, cowok mana yang suka embel-embel 'chan' dipakai dibelakang namanya.
Konan celengak-celenguk kanan kiri, kemudian menambahkan.
"Apa kau begitu kesal karena Sasori no Danna-mu belum datang-datang juga?" celetuknya usil.
"Oh, Sasori no Danna,…. Dimana engkau? Dimana? Aku menunggumu…" sambung Ino dengan suara dramatis yg dibuat-buat.
"Hei, Kau lupa 'un'-nya…."
"Oh iya,! …. 'UN'"
" Sasodei,... Kyaakyaaaaaaaaaaaaaaaaa…" teriak cewek-cewek itu lagi. Deidara merasakan mukanya panas sampai ke telinga, tak menjawab karena terlalu speechless dengan cewek-cewek sinting ini. Teriakan cewek-cewek tersebut berhenti ketika Deidara merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.
"..."
Hening sesaat.
"Cieeee,cieee yang panjang umur…"
Deidara berbalik.
"Ohayou,... bocah.." Sebentukan boneka hidup bertampang bosan menyapa dengan suara datar, mengangkat tangannya dengan malas. Deidara cemberut tak menjawab, berbalik kearah para cewek dan terlambat menutup telinga.
"CIEEEEEEEEEEEEEEEEE…."
"Tuh, Danna-mu udah datang… Nah, sekarang tak ada alasan untuk sewot lagi Deidara-chan..."
Dengan muka yang masih menggelegak, Deidara kembali menghadap Sasori dan meluapkan kemarahannya dengan memukul meja.
"Oi, Danna, tak bisakah kau lakukan sesuatu dengan kelas ini un? Kau itu ketua kelas, kenapa diam saja melihat kelas ribut begini, un?" Sasori tidak bergeming dari tampang zonk boneka-nya dan masih menatap dengan bosan. Samar-samar terdengar bel berbunyi.
"Bel masuk, guys… Kembali ke tempat.." ucapnya sok cool sambil ngeloyor cuek melewati Deidara menuju mejanya di paling belakang. Seketika, terdengar bunyi decit bangku dan meja pertanda para murid bergegas kembali ke tempat duduknya masing-masing. Naruto mengembalikan tomat Sasuke dan sapu pada tempatnya. Kiba dan Shino sudah menghadap ke depan kelas, melipat tangan diatas meja dengan rapi dan patuh. Deidara sweatdrop. Kelas yang luar biasa ribut ini entah kenapa tunduk banget sama ketua kelasnya, Sasori no Danna, seperti pasukan boneka marionette yang dikendalikan oleh benang-benang tak terlihat dan seakan-akan Sasori-lah pawangnya.
"Ketua kelas macam apa sih, un? Selalu datang sedetik sebelum bel berbunyi…" Deidara sih belum puas menggerutu karena digoda trio cewek gaje itu dan berniat melampiaskannya pada Sasori. Lagian, memang salah Sasori kan? Seandainya saja Sasori datang lebih awal, kelas mereka akan tertib lebih cepat dan proposalnya tentu sudah selesai sekarang kalau dibuat dalam kondisi yang lebih kondusif.
"Aku tidak suka menunggu... "jawab Sasori datar.
Deidara mengernyit. So, what?
"... Meskipun itu menunggu bel berbunyi.." sambung Sasori datar. Deidara terhenyak mendengar jawaban omong kosong Sasori.
"Lagipula aku duduk sendiri, tak ada yang menungguku. Jadi, aku pun tak membuat siapapun menunggu…" sambungnya lagi. Deidara berdecih, kemudian menghadap ke depan kelas. Dari sudut matanya, Deidara melihat Konan and the genk yang sepertinya menguping nyengir-nyengir setan, menaik-naikkan alis sambil bertukar pandang satu sama lain kemudian dengan kompak melirik kearahnya, seperti sedang berpantomim mengatakan 'cieee cieeeee' (lagi) kepadanya.
Deidara menarik napas. Dulu memang dia semeja dengan Sasori, tapi dia yang menyuruh Sasori pindah karena tidak tahan diledek cewek-cewek gaje itu; Ino, Tenten dan Konan, yang menyebut diri mereka sebagai 'Trio Fujoshi'. Deidara tidak habis pikir dengan cewek-cewek ini, yang selalu menggila melihat interaksi cowok dengan cowok senormal apapun. Oke, Naruto yang kejar-kejaran dengan Sasuke sambil menaiki sapu dan mengacung-acungkan tomat (yang dia anggap apel) serta dua orang bertatapan dan berbicara tidak dengan bahasa manusia seperti Kiba dan Shino mungkin jauh dari sebutan normal. Tapi, trio Fujoshi ini tetap menggila sewaktu Neji membantu Lee latihan Taekwondo atau pada saat Lee membantu Neji mencarikan kutu rambutnya. Oke, mungkin ini juga tidak begitu normal. Tapi, trio Fujoshi ini juga menggila pada suatu hari yang cerah sewaktu Yahiko membawakan Nagato bento satu rantang besar. Apa anehnya dengan membawakan sahabatmu yang hanya tinggal kulit dibalut tulang satu rantang bento? Itu adalah pertanda sahabat yang baik, meskipun Deidara sedikit yakin bahwa membawakan bento ke sekolah untuk teman mungkin bukan merupakan hal yang terlalu normal bagi anak laki-laki.
Ah, sudahlah.. pikirnya kesal dan Deidara mulai mencomot jeruknya sembunyi-sembunyi. Jeruk adalah buah-buahan lezat yang bisa meredakan stress, begitu jawab Deidara ketika ada yang bertanya kepadanya kenapa dia suka sekali makan jeruk. Tapi, pelajaran Kakashi sensei begitu membosankan sehingga dia iseng-iseng menulis sesuatu di kertas kecil dan memberikannya kepada Konan yang duduk di belakangnya.
.
Kenapa sih kalian suka ngeledek cowok sama cowok, un?
.
Tak lama kemudian, Konan mengembalikan kertas tersebut kepada Deidara, tentu saja juga dengan sembunyi-sembunyi. Deidara cepat-cepat melihat isinya.
.
Hmmm.. Entahlah. Karena kalian begitu serasi satu sama lain.
.
Meremas kertasnya, Deidara mendelik tak percaya ke belakang, kearah Konan yang sudah nyengir-nyengir setan bersama Tenten.
"Mana mungkin ada cowok yang 'serasi' satu sama lain, un! Tidak ada hubungan antar cowok yang seperti itu.. Masa jeruk makan jeruk, un?" bisiknya agak terlalu keras. Kakashi sensei sampai mengintip dibalik buku icha-icha eh buku pelajaran mereka.
"Kau itu contoh bagus jeruk makan jeruk, Deidara-chan. Seperti kau dan Sasori-san." bisik Tenten nyengir, usil.
"Kenapa bawa-bawa Sasori, un? Aku dan Sasori no Danna tidak seperti itu, un..."
"..."
"Ehem, ehem... 'Danna'..." goda Ino.
"Diam, un!"
" Tapi, kau tetap seperti jeruk makan jeruk. Lihatlah, kau selalu membawa dan makan jeruk dimana-mana…"
"Aku memang suka jeruk. Tapi, aku bukan jeruk, un!"
"Kau jeruk. Lihat warna rambutmu!"
"Rambutku warnanya kuning, un, bukan oranye.. Enak saja bilang orang seperti jeruk, un."
"Oh iya, kuning ya.. Jeruk lemon, dong…"
"..."
"Wah, iya bener! Jeruk lemon…"
"..."
"Lemon makan lemon, dong…"
"…..."
" Deidara-chan lemon? Mmmm….. kyaaaaaa….. Cocok! Cocok!"
PLETAK!
"Wadow!"
"Oi nak, pikiranmu!"
"Kenapa pikiranku?"
"# $#$%%^&$^$%$# , UN? Oi tunggu! kenapa aku jadi lemon, un! Enak saja, un!"
.
"Deidara!" Kakashi sensei akhirnya nongol total dari buku yang sedang dipegangnya, menegur dengan suara rendah yang datar, menatap tajam.
"Makan-makan dan ngobrol di kelas. Detensi. Berdiri di luar pintu!"
"….."
"Ta-tapi, un! Aku tidak mengobrol sendiri, un! Mere…."
"… Diam! Jangan membantah!..." hardik Kakashi sensei.
"… Dan cepat keluar.." tambahnya lagi.
Deidara tak punya pilihan lain selain pergi keluar kelas dan berdiri disana, dalam hati mengutuk kesal kenapa hanya dia yang dihukum, padahal trio Fujoshi itu juga mengobrol, bahkan lebih heboh lagi dengan 'kyakyakya'- nya yang bikin sakit telinga itu. Tapi, dia tak terlalu protes, pelajaran Kakashi sensei selalu membosankan sehingga berdiri disini mungkin lebih menyenangkan daripada di dalam kelas mendengarkan ceramahnya yang bahkan bisa membuat burung hantu mengantuk di malam buta.
…
Berkonsentrasi kepada kerikil yang ada di depannya, Deidara masih tidak habis pikir dengan trio Fujoshi itu. Cewek mana yang suka menjodohkan cowok dengan cowok? Tak masuk akal. Mereka kan cewek, apa mereka tidak merasa tersaingi kalau ada cowok yang suka sama cowok? Itu tidak seperti dia peduli, hanya saja Deidara tidak suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan gay. Lucu saja, mana ada cowok yang suka sama cowok. Cowok beneran itu suka sama cewek, seperti aku, pikir Deidara yang sangat menyukai salah satu grup idola di televisi yang terdiri dari cewek-cewek cantik yang seksi.
Dunia memang sudah gila, pikir Deidara. Banyak gay muncul dimana-mana, malah ada orang yang mengidolakan kaum gay segala, seperti trio Fujoshi sinting itu, menggelikan sekali. Kalau dahulu menyukai sesama jenis dianggap tabu dan mereka jarang menampakkan diri secara terang-terangan, tidak begitu dengan zaman sekarang. Mulai banyak yang berpacaran sesama jenis terang-terangan, malah mulai banyak yang berani menggoda sesama jenis di mall-mall tertentu. Tidak sekali-dua kali Deidara disapa dan dipelototi dari atas sampai bawah oleh cowok-cowok gede bermuka mesum. Deidara sebal sekali, dia berpikir apa ada yang salah dengan penampilannya sehingga orang-orang itu menganggap bahwa dia mungkin bagian dari... 'mereka'?. Deidara berperawakan biasa, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, berkulit agak tan, mempunyai rahang yang agak tegas. Dia pikir dia lumayan ganteng, tapi bersikeras kalau wajahnya itu cowok banget dan sama sekali tidak 'kewanita-wanitaan' atau semacamnya sehingga bisa diasosiasikan dengan gay. Memang sih, rambutnya pirang panjang dan halus tergerai sepunggung dengan poni yang menutup mata kiri-nya dan dikuncir sebagian, tapi dia tidak berpikir kalau itu 'keperempuan-perempuanan'. Sejak kapan hanya perempuan yang boleh berambut panjang, un? Semua laki-laki di Jepang semenjak zaman dahulu mempunyai rambut panjang yang halus dan indah, hanya pada zaman sekarang yang tidak karena pengaruh Barat. Jadi, menuduh laki-laki keperempuan-perempuanan karena mempunyai rambut panjang itu nggak benar, un, gerutu Deidara sebal.
Deidara memang mempunyai mata biru azure yang indah dan cemerlang, berbentuk seperti bulan setengah sempurna dan garis matanya seperti mempunyai smokey eyes yang 'alami', tapi suaranya sendiri rendah dan gahar seperti halilintar, tak ada yang bisa mengkategorikan suara seperti itu dengan seorang gay. Deidara iri sekali dengan sahabatnya, Sasori. Sahabatnya ini, -seingatnya-, tak pernah diganggu cowok-cowok usil seperti dirinya. Padahal sahabatnya ini jauh lebih moe, menurut Deidara. Dengan kulit pucat, rambut semerah darah, mata besar seperti boneka, dan tinggi yang 'seada-ya', Sasori jauh lebih cantik dan imut, menurut Deidara. Meskipun dia mengakui kalau mungkin saja semua orang takut menggoda Sasori karena yang bersangkutan selalu memasang tampang datar yang rada-rada mengerikan. Mungkin dia harus belajar tentang bagaimana membuat tatapan menyeramkan dulu dari Sasori supaya tidak diganggu cowok-cowok usil lagi? Deidara pernah bertanya dengan polosnya kepada Sasori tentang bagaimana cara membuat tatapan dingin mengerikan seperti itu, tapi Sasori hanya tertawa pelan kemudian bilang kalau dia tak bisa mengajarkannya karena dia memang sudah lahir dengan tatapan mata yang seperti itu.
Ada lagi satu pengalaman mengerikan tentang hal ini waktu dia kelas satu. Saat itu, dia, Sasori dan Konan satu kelompok dalam proyek Fisika dan memutuskan untuk membahasnya di sebuah kafe. Waktu itu baru Deidara dan Konan yang datang dan mereka sampai lebih awal, sementara Sasori belum datang karena si boneka hidup selalu datang tepat waktu, tidak pernah kurang dan tidak pernah lebih. Beberapa meja dari meja tempat mereka duduk, ada dua orang om-om memperhatikan mereka lekat-lekat dengan muka mesum dan tanpa malu. Deidara marah sekali, berani-beraninya om-om itu memelototi Konan dengan tidak etis, padahal Konan jelas-jelas pergi dengan dia, seorang cowok. Deidara melepas jacket-nya dengan jantan, menyuruh Konan yang keheranan meletakkan jacket tersebut diatas rok-nya yang tidak terlalu pendek, lalu balas mendelik garang kepada om-om itu yang malah semakin tidak berkedip memandang mereka. Parahnya, Om-om tersebut bangkit dari duduknya dan mendekati mereka. Setelah dekat, Deidara mulai menyadari kalau salah satu om-om tersebut berambut kelabu dan salah satunya lagi bermata satu, matanya yang lain tertutup perban beserta sebagian tangannya. Om-om yang cukup tua untuk dipanggil kakek.
"Hai, ganteng…" sapa kakek berambut abu-abu tersenyum mesum.
"..."
"… Seharusnya kau melepaskan jacket-mu dari tadi, kau jauh lebih ganteng sleeveless begini.." tambahnya sambil mengedipkan mata.
"..."
Deidara tercekat dengan wajah pucat sementara Konan susah payah menahan tawa, ternyata kakek-kakek itu tidak bermaksud menggoda Konan, melainkan dirinya. Tidak mungkin. Oh, tidak...
"Mau bergabung dengan kami?" goda kakek bermata satu, mengulurkan tangannya.
"..."
Untung saja Sasori datang tepat pada waktunya, secepat kilat memelintir tangan keriput kakek itu.
"Adowwww!….. " rintihnya kaget.
"Pergi,… atau kupatahkan tanganmu!…" bentak Sasori, mengerikan sekali. Mata hazel Sasori kelihatan siap mencabik-cabik para kakek itu dengan sekali tebas. Para kakek mesum itu memohon-mohon minta ampun, dan ketika Sasori melepaskan tangannya, mereka berdua langsung kabur terbirit-birit.
Sasori terlihat agak kesal untuk berkomentar, meskipun Deidara tidak begitu yakin karena Sasori memang selalu bertampang seperti itu. Dia sendiri butuh waktu lama untuk menenangkan diri dari 'horor' yang baru saja dihadapinya. Sementara Konan sudah sedari tadi sibuk dengan smartphone-nya, memberikan live report kepada dua temannya sambil histeris-histeris sendiri. Melebih-lebihkan tentang bagaimana aksi heroik Sasori si 'seme' menyelamatkan 'uke'-nya dari godaan preman-preman berbadan gede dengan jurus taekwondo paling berbahaya. Keesokan harinya, dia dan Sasori diledekin trio Fujoshi habis-habisan dan bahkan mendapatkan penghargaan sebagai Best Couple of The Month versi mereka.
.
.
.
Dasar cewek-cewek konyol, gumam Deidara sambil menghembuskan napas, mengingat memori muram di kala itu.
Cewek-cewek itu tidak tahu betapa mengerikannya diledek-ledekin dengan sesama jenis, pikir Deidara sebal. Awalnya Deidara memang tidak peduli dengan ledekan-ledekan macam ini, ledekan gay itu hanya canda gurau belaka. Tapi, suatu kejadian telah merubahnya total.
Sewaktu di Sekolah Menengah Pertama, Deidara masuk ke klub seni dan dekat dengan seorang senpai. Senpai ini membuat karya seni yang indah, sebuah ukiran bola mata yang mengesankan, karena itu Deidara menghormatinya dan selalu mengikuti senpai ini kemana saja. Itachi-senpai, begitu namanya. Tapi, semua orang-orang di sekitarnya selalu meledek mereka berdua sebagai gay. Deidara tidak peduli, dia mengiya-iyakan ledekan semua orang karena berpikir kalau semua itu lucu. Malah tidak jarang dia iseng tiba-tiba megang tangan Itachi atau bergelayutan di leher senpai-nya hanya untuk membuat suasana menjadi riang.
Tapi, Itu dulu. Sebelum kejadian itu. Tiga tahun lalu di sore itu, pada hari kelulusan anak kelas tiga.
Flashback on
Mata azure itu menatap tidak percaya pada mata onyx di depannya. Ruangan klub seni kosong, hanya ada mereka berdua di sore itu.
Hening.
"Aku suka padamu…" bisik pemuda tampan bermata onyx hitam itu memecah keheningan. Pendek, tegas dan yakin.
"…"
Deidara menatap tidak berkedip mata Itachi yang juga tidak berkedip. Menit demi menit berlalu dan Deidara sedikit berharap kalau ada yang berteriak "April Mop!", tapi tentu saja tidak ada. Pada kondisi biasa, dia biasanya akan tertawa dan bergelut dengan sang senpai seperti biasanya, tapi tidak untuk kali ini.
Sesuatu di mata sang senpai menyiratkan kalau dia tidak sedang bercanda.
"Aku mau pulang, un.." ucap Deidara akhirnya, melewati Itachi begitu saja, karena dia tak tahu lagi harus merespon bagaimana. Mungkin ini hanya candaan seperti biasa, tapi anggap saja kalau dia sudah terlalu capek bercanda karena sudah terlampau sore. Diluar dugaan, Itachi menarik tangannya dengan paksa dan memojokkannya ke dinding, menahan kedua bahunya sehingga tak bisa bergerak.
"Oi, Itachi-senpai apa-apaan, un? Ugh, Sakit, un!" Deidara memberontak dengan memaksa. Dia terdiam begitu melihat mata onyx itu yang masih menatap tajam padanya…
"Aku serius…"Itachi berbisik, tapi tegas.
Deidara tak peduli, dia panik dan tidak percaya pada apa yang dilakukan senpai-nya. Kalau ini lelucon, benar-benar tidak lucu!
"Lepaskan, un!" berontaknya lagi, tapi tak membuahkan hasil. Itachi terlalu kuat. Bahkan, Itachi sekarang sudah mengunci kedua tangan Deidara diatas kepalanya. Tangannya yang lain mendekap mulut Deidara. Dua lututnya mengunci kedua kaki Deidara sehingga yang bersangkutan tak bisa bergerak.
"Kau… Menyukaiku juga, bukan?" tanya Itachi, dekat sekali ke wajah Deidara, begitu dekat sehingga Deidara bisa merasakan hembusan napasnya.
"Hmmmppfgh…." Deidara menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga, sambil berontak melepaskan diri dari Itachi, tapi sia-sia.
"Kau tidak jujur dengan hatimu. Tidak mengakui kalau menyukaiku, tapi selalu mengikutiku kemana saja. Jangan memberontak seperti itu,…aku jadi semakin menginginkanmu…" ucapnya dengan nada datar yang memaksa. Lalu, tangan yang tadi dipakai untuk membekap Deidara turun ke kerah baju pemuda blonde itu dan merobeknya paksa sehingga dua buah kancing bajunya terlepas.
Deidara tetap memberontak sekuat tenaga dan entah bagaimana berhasil meloloskan kakinya dari jepitan lutut pemuda berambut hitam itu lalu menendangnya kuat-kuat tepat di selangkangan. Tanpa menoleh ke belakang lagi, Deidara langsung menyambar tas nya dan melarikan diri pulang , meninggalkan Itachi yang merintih kesakitan.
Flashback off
.
Itu terakhirnya Deidara bertemu Itachi, yang kabarnya melanjutkan SMA ke luar negeri atau entahlah, Deidara tidak peduli dan sama sekali tidak menyesal. Tapi, semenjak kejadian itu, Deidara menjadi sangat berhati-hati dengan lelucon-lelucon 'gay'. Deidara menghindari berteman dekat dengan perempuan karena takut dibilang 'keperempuan-keperempuanan' sehingga menarik perhatian kaum penyuka sesame jenis. Deidara juga takut berteman terlalu dekat dengan laki-laki karena siapa tahu mereka akan jadi Itachi ke-2. Begitulah Deidara menjalani tahun terakhir di sekolah menengah pertamanya, menjaga jarak dengan siapa saja.
Menginjak bangku SMA, Deidara berusaha melupakan semua pengalaman buruk ketika SMP dan mencoba berani untuk membuka diri dan mencari sahabat baru, pada akhirnya dia bersahabat dengan Sasori. Dia dan Sasori dekat dengan cepat karena sama-sama menyukai seni. Sasori menyukai seni yang bersifat konvensional, indah, tapi rumit dan tahan lama. Deidara yang menyukai seni abstrak yang spontan dan liar tak terduga tidak sepakat dengan Sasori, tapi dia mengakui selera dan kemahiran Sasori sehingga memanggilnya dengan sebutan Sasori no Danna. Kadang-kadang Deidara memang takut kalau hal yang sama di masa lalu akan terjadi lagi pada persahabatannya dengan Sasori, tapi dia tak melihat kemungkinan itu. Sasori sepertinya tidak peduli dengan apapun kecuali seni, sehingga Deidara merasa nyaman berada dekat dengannya. Karakter Sasori yang 'imut-tapi-gahar' juga membuat Deidara merasa aman bepergian dengannya kemana-mana, tanpa harus diusilin cowok-cowok ganjen. Memang sih, perbedaan pendapat dan gaya bicara Sasori yang datar-datar sombong sengak dan nohok gampang sekali membuat Deidara meledak dan membuat mereka cekcok, tapi Deidara tak berpikir kalau itu masalah besar. Sasori juga selalu memanggilnya anak kecil, padahal jelas-jelas dia sendiri lebih pendek dan bertampang lebih seperti anak kecil dengan mata bulat besar, kulit pucat dan rambut merah, tapi Deidara tidak terlalu keberatan, toh biasanya juga 'anak kecil' ini yang melindunginya, bukan?
Deidara juga lama-lama kebal dengan ledekan Trio Fujoshi yang selalu histeris melihat interaksi para cowok se-'normal' apapun, seperti pada waktu Sasori mengambilkan penghapusnya yang terjatuh. Ketika Deidara menanyakan apa istimewa-nya mengambilkan penghapus orang lain yang terjatuh, trio Fujoshi mengatakan kalau mengambilkan penghapus yang terjatuh itu istimewa kalau Sasori yang melakukannya, karena Sasori merupakan tipe anak ansos yang tidak akan peduli meskipun langit dan bumi bertukar letak. Deidara bersikeras kalau itu berlebihan dan Sasori tidak se-ansos itu bahkan sebenarnya cukup care, buktinya dia mau bertindak sebagai ketua kelas mereka. Namun, Trio Fujoshi berbalik bersikeras kalau Sasori care hanya kepada Deidara dan dia jadi ketua kelas bukan karena dia mau, tapi karena anak-anak lain hanya patuh kepada Sasori entah karena alasan apa. Speechless, Deidara ingin sekali meledakkan cewek-cewek gila ini dengan lempung warisan nenek moyangnya, tapi mengurungkan niat karena ...meledakkan CEWEK bukan hal yang dilakukan seorang COWOK, un, gumam Deidara sok cool.
Deidara pada akhirnyamemutuskan untuk menyerah dan berkesimpulan kalau percuma saja berdebat dengan trio cewek gila ini, meski dia setuju dengan alasan akhir kalau anak-anak mematuhi Sasori, entah bagaimana.
.
.
"TING, TONG!"
Lamunan Deidara memudar ketika bel berbunyi menandakan pelajaran pertama dengan Kakashi-sensei telah berakhir. Siapa sangka begitu cepat? gumam Deidara.
"TING, TONG! TING, TONG! TING, TONG!"
.
.
Pelajaran kedua, ketiga, dan keempat berjalan dengan begitu cepat sehingga tanpa disadari bel sudah berbunyi kesekian kalinya menandakan waktu pulang telah tiba.
.
.
.***
Sepulang sekolah,…
.
"Ha? Apa ini?" Sasori membolak-balik lembaran-lembaran desain yang ada di tangannya, dahinya mengerinyit.
"Apanya yang 'apa ini', un? Tentu ini ide aku untuk lomba pameran seni yang kita ikuti, un!" Deidara menjawab dengan cemberut.
Deidara saat ini berada di apartemen Sasori, berdiskusi tentang lomba mereka. Lomba pameran seni pelajar tingkat nasional ini diikuti oleh tim yang terdiri atas dua orang dan bisa ditebak, Sasori merupakan teman satu timnya.
"Kau saja belum membuat apa-apa, jangan belagu Danna, un.." ujar Deidara ketus, ketika melihat Sasori yang semakin lama semakin mengernyit melihat desain-nya.
"Tck,.. ini sebenarnya lumayan,…" kata Sasori pada akhirnya. Dia terdiam sesaat. Deidara tersenyum bangga dalam hati meskipun Sasori hanya berkata 'lumayan'.
"Tapi,…kurang 'dalam'. Terlalu simple dan sepertinya kurang terencana…." sambungnya lagi, dengan nada pongah seperti biasa. Senyuman bangga dalam hati Deidara memudar dengan cepat.
"Mana ada seni yang 'terencana', un!" Deidara berkata meninggi, naik darah.
"Cih, seni itu indah karena kompleksitasnya! Jangan terlalu gampang dibaca dan dicerna orang, dan jangan terlalu random sehingga tidak bisa dimengerti orang juga!"
Mereka pun mulai berdebat.
"Aku tidak masalah dengan orang-orang buta seni yang tak bisa menghargai seni-ku, un…"
"Kalau begitu, kita tak akan menang, bocah!…"
"Aku tak peduli menang, un! Aku hanya ingin berkarya…"
"Tck,... Aku peduli. Tunggu, mari kita buat seperti ini…." ujar Sasori dan dia mulai mencorat-coret.
Setelah menghabiskan banyak sekali kertas untuk corat coret menambahkan dan mengurangi desain disini dan disana, merencanakan ini dan itu, membuat perhitungan waktu dan lain-lain sebagainya ditambah dengan perdebatan setengah jam setiap sepuluh menit, akhirnya rancangan proyek pameran mereka jadi juga setelah proses penggabungan ide yang kompleks. Waktu terasa begitu cepat berlalu dan tak ada yang menyangka kalau sekarang sudah pukul 2 pagi. Deidara merangkak ke tempat tidur Sasori, ngantuk dan lelah sekali.
"Ckckck, baru segitu sudah mengantuk? Dasar anak kecil!" ledek Sasori.
"Ini sudah jam2, Danna, un! Kau itu zombie atau apa sih, un…" balas Deidara cemberut.
"Kau tidur duluan saja. Aku akan memperbaiki ini sedikit lagi." Kata Sasori.
Deidara hanya samar-samar mendengarkan suara Sasori. Perlahan-lahan menjelang kesadarannya menghilang, Deidara merasa bersyukur sekali mempunyai sahabat yang pintar dan selalu bisa diandalkan seperti Sasori dan ingin persahabatan mereka tetap berlangsung selamanya, apapun yang terjadi. Memang Sasori no Danna sering meledeknya seperti anak kecil dan mempunyai sifat pongah setengah mati, tapi Deidara merasa bahagia bisa mengenal Sasori. Sahabatnya itu memberikannya rasa aman, entah bagaimana.. Deidara mengingat betapa dulu dia kesepian ketika kelas tiga SMP karena menutup diri dari orag-orang, ketakutan, tapi sekarang tidak lagi. Dia mempunyai sahabat yang bisa diandalkan, Sasori. Yang selalu memberikannya rasa aman dan perlindungan. Deidara tidak tahu harus memberikan apa sebagai gantinya, mungkin suatu hari nanti dia juga bisa melakukan sesuatu untuk sahabatnya, entah apa. Tak lama kemudian, dia tertidur.
.
.
.
Belum lama tertidur, Deidara bermimpi. Ada sesuatu di bibirnya, lembut dan manis. Yang mengingatkannya kepada buah jeruk kesukaannya. Tidak hanya itu, dia merasakan sensasi aneh di perutnya, seperti ada banyak kupu-kupu yang terperangkap di dalamnya.
Dan, semua ini terasa begitu nyata.
.
.
Beberapa saat kemudian, Deidara menyadari kalau memang begitulah kenyataannya.
Tersadar dari tidurnya, mata azure Deidara membuka dan terkejut mendapati sepasang mata Hazel yang mengatup dalam jarak yang sangat dekat, dibingkai oleh poni bewarna semerah darah. Satu tangan sahabatnya itu mendekap bahunya dan satu tanganlagi di dagunya. Yang paling mengejutkan Deidara adalah bibir mereka yang terkunci rapat.
.
.
Sasori no Danna, apa yang kau pikir kau lakukan, un?
TBC
A/N
Halo semuanya..
Selamat datang di fic terbaru saya yang gaje ini.
Ide pembuatannya datang begitu saja dan mohon maaf dengan segala ke -OOC-an dan ke-gaje-an yang ada.
Jangan lupa Read sampai habis dan Review ya, biar Author tahu dimana yang kurang dan chapter depannya akan bisa lebih baik.
Arigatou,^^
Happy Reading!
