Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: typo, etc.

...

"Nii-chan lihat, mawarnya bagus." Seru Hinaata saat menyentuh buanga mawar berwarna merah darah di pekarangan rumahnya.

"Hinata-sama, jangan!" teriak Neji melarang, tapi terlambat. Hinata sudah lebih dahulu memegang tangkainya yang penuh duri.

"Hinata-sama, tenanglah. Jangan menangis. Durinya sudah kucabut. Sekarang sudah tidak sakit lagi." Bujuk bocak berumur sepuluh tahun itu.

"Hiks, bunga mawarnya jahat. Sakit sekali Nii-chan." Rengek Hinata sesunggukan.

Neji menyentuh jari Hinata yang sedikit membengkak dan menggenggamnya.

"Tidak apa-apa, Hinata-sama. Sekarang sudah tidak sakit lagi kan?" Hinata mengangguk dengan wajah memerah.

"Hinata-sama, maafkan Nii-chan karena telah membawamu ke sini." Kata Neji sembari mengerling ke arah semak mawar miliknya.

"Tidak apa-apa, Nii-chan. Tapi aku tidak suka bunganya." Jawab Hinata sembari menggembungkan pipinya.

"Kalau dengan Nii-chan, apa Hinata-sama juga tidak menyukai Nii-chan?"

Hinata menangkupkan tangannya di wajah Neji, "Iie, Hinata suka Nii-chan." Jawab Hinata yang membuat jantung Neji beerdetak cepat.

"Tapi aku benci mawar!"

...

~ 15 Tahun Kemudian ~

Suara pecahan gelas membangunkanku dari tidur. Sesuatu di dapur pecah. Jangan-jangan, Hinata-sama.

"Ugh, Neji-nii sudah bangun?" sapanya saat aku tiba di dapur dengan terengah-engah.

"Gommen, tadi gelasnya tergelincir dan pecah." Jelasnya sambil mengumpulkan pecahan kaca yang tersebar.

"Ukh!"

Tidak! Tangan Hinata-sama berdarah.

"Hinata-sama, tangan anda." Kataku panik dan segera menggenggam tangannya.

"Gommen Hinata-sama, maafkan saya." Ucapku berkali-kali.

"Nii-chan, tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil." Katanya lembut. Aku memandangnya intens. Mengamati wajahnya yang manis dan senyumannya yang lembut. Dan juga wajahnya yang memerah, membuatku semakin menggila.

"Neji Nii-chan."

"Hinata-sama..."

"Sakit, Nii-chan."

"Eehh? Gomen Hinata-sama." Kataku saat tersadar telah menggenggam tangannya terlalu erat.

Jangan salahkan aku. Kesadaranku selalu hilang saat berada di dekat Hinata-sama.

...

"Hyuuga-sama, pemerintah sudah memberikan izin untuk membangun hutan lindung di kawasan Tokyo sebelah selatan." Laporan sekretarisku hanya kuanggap angin lalu saat ini.

"Ino, bisakah kau membatalkan proyek penanaman bunga mawar di kawasan taman hiburan?" tanyaku lesu.

Ino berhenti dan menatapku tajam.

"Ada apa Neji? Bukankah ini proyek impianmu sejak dulu?"

Aku menghela nafas.

"Hinata benci mawar, sedangkan taman hiburan adalah tempat di mana aku bisa menghabiskan banyak waktu bersamanya. Kau bisa menebak reaksinya bila mawar ditanam di taman hiburan." Jelasku dengan putus asa.

"Hey, itu kan sudah lima belas tahun yang lalu. Siapa tahu Hinata sekarang sudah tidak membenci mawar lagi."

"Ayolah Ino, kau pasti mengerti perasaanku. Ubah saja jadi proyek penanaman bunga lavender."

"Tidak!" bantah Ino tegas. "Hanya karena lavender mirip dengan warna rambut Hinata bukan berarti Hinata menyukai bunga itu." Penjelasan Ino membuatku ternganga tanpa sadar.

"Lagi pula dari bibit yang kita miliki tidak mencukupi bila kita ganti dengan bunga lavender." Tambahnya yang membuatku langsung memijit kening, aku lupa bagian yang itu.

"Tapi Hinata selalu menerima bunga lavender dariku saat ulang tahunnya."

"Itu kau yang terlalu takut untuk membawakannya bunga mawar. Coba saja berikan bunga mawar padanya, sekaligus untuk menyatakan perasaanmu padanya."

Aku terperangah sedangkan Ino menatapku, meyakinkan.

"Mawar? Perasaanku?"

...

Bunga pilihan Ino jelek sekali, jadi langsung kubuang buket bunganya dan kupetik setangkai mawar dari semak mawarku, tempat di mana Hinata menangis tertusuk duri lima belas tahun yang lalu.

"Hinata-sama."

"Okaeri, Nii-chan." Sambut Hinata saat membukakan pintu.

"Um, tadaima." Jawabku gugup.

"Hinata-sama..." panggilku ragu.

"Uhm, ada apa Nii-chan?" tanyanya saat kami memasuki ruang tamu.

Dengan ragu kuserahkan bunga mawar yaang kubawa.

Hinata-sama tampak terbelalak.

Sudah kuduga, dia masih tidak menyukai mawar. Ah, ralat, membenci.

Tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur.

"Tanjoubi omedeto, Hinata-sama." Ucapku pelan.

"Aishiteru..."

Hinata-sama menangis dan mengambur ke pelukanku. Bunga mawar yang ada di tanganku kini berpindah ke tangannya.

"Aishiteru Nii-chan."

Kini giliranku yang terbelalak.

"Hinata-sama?" aku menatap Hinata-sama dengan pandangan tidak percaya.

Sementara Hinata-sama tertawa ringan.

"Ha'i Nii-chan, aku mencintaimu. Dan aku tidak menyangka, bunga yang dulu kubenci inilah yang membuatku begitu." Ujarnya sembari mencium mawarnya.

Aku masih menatapnya tidak percaya.

"Saat melihatmu meluangkan waktu untuk merawat semak mawarmu, aku melihat betapa kau menyayangi mawarmu. Dan saat kau menghabiskan waktu bersamaku, aku merasakan kau juga menyayangiku sama seperti saat bersama bunga mawarmu."

Air mata timbul di ujung kelopak mata Hinata-sama.

"Aku merasa sama berharganya dengan bunga mawarmu. Oleh karena itu, aku perlahan-lahan mencintaimu dan menerima semua perjodohan ini."

Aku mengusap air mata yang kini telah membasahi wajah Hinata-sama.

"Hinata-sama..."

"Berhentilah memanggilku begitu, Nii-chan. Karena minggu depan kau akan menjadi suamiku." Kelakarnya dengan senyuman lembut.

"Kau juga berhenti memanggilku dengan panggilan 'nii-chan'." Balasku.

"Neji-kun.."

"Hinata-chan..."

Dan juga mawar.

...

Owari

...