Disclaimer : Aoyama Gosho, dan segala yang terlibat di dalamnya..
SHIHO PoV
Nama itu lagi. Lagi. Dan lagi. Seakan aku pernah melihatnya. Pernah mendengarnya di suatu tempat. Apalagi, ada sesuatu yang terbersit di hatiku, setiap kali aku mengingatnya. Seakan aku pernah sangat dekat dengannya. Entah kapan, dimana, dan kenapa. Tapi, kenapa aku tidak ingat apapun?
Aku menatap langit-langit plafon di kamarku. Ada bekas-bekas rembesan air hujan disana. Aku menitikkan airmata. Teringat bagaimana perjuangan ayah dan ibuku, hingga mmati mengenaskan. Hinggaku mesti menerima segala peninggalan mereka, dan itulah yang kugunakan untuk membeli rumah kecil di Jepang ini. Hatiku sakit sekali, mengingat aku santai-santai disini menggunakan segala fasilitas dari mereka, tapi membiarkan mereka saat itu direnggut maut. Dan Anelia. Oh, betapa aku rindu padanya. Orang yang sudah kuanggap ibu, setelah orang tuaku meninggal. Mengorbankan dirinya untuk mengirimkanku ke Jepang, sementara Ia mesti berhadapan dengan 'mereka' sendirian. Aku mendesah pelan, lalu melirik kea rah jam weker. Sudah jam 10.00 malam. Mengabaikan rasa pedih di hati ini, aku berbaring dan mencoba menutup mata. Aku tak ingin terlambat ke sekolah di hari pertama, tentu saja.
.
KAITO PoV
Aku melirik jendela diluar, yang menampilkan bekas-bekas rinai hujan tadi pagi, dengan lemas, tak peduli ocehan guru kimiaku yang super gendut yang sedang menjelaskan entah-apa-itu. Aku mendengus. Hari ini akan menjadi hari yang sangat membosankan dan menyebalkan lagi, seperti sebelumnya dan sebelumnya lagi.
KRING! KRING! Tiba-tiba, lonceng berbunyi dengan sangat nyaring, mengagetkanku yang sudah siap-siap tidur di atas meja. Aku menghela napas pelan. Untung saja aku tidak mati stress disini. Aku pun segera berdiri, bersiap menyambut beberapa potong siomay di kantin. Namun, sebelum melangkahkan kaki keluar, sebuah suara memanggilku. Aku menoleh. Dari dua bangku di belakangku, Heiji, sahabatku yang super teledor.
"Huh. Kau mau menyerbu siomay itu sendirian, ya? Serobot start.." omelnya pelan, sembari memasukkan buku-bukunya kedalam tas. Rajin sekali, batinku sebal. Dengan tak sabar, aku menarik tangannya, menariknya menuju kantin.
"He, hei!" protesnya. Aku mengacuhkannya. Dalam hal ini aku benar-benar tak percaya bahwa sabar akan berbuah kebaikan. Sabar menunggu heiji selesai mengepak bukunya tidak pernah berbuah bagus. Siomay kesukaanku bisa habis dalam hitungan detik, dan jika aku menunggunya, kami hanya bisa makan salad.. ugh.. Pernah bahkan perutku mesti berkeruyuk ria karena kehabisan makanan sama sekali. Menyebalkan.
Aku menghela napas sebal. Pengunjung kantin selalu sangat ramai disini, dan bahkan jika kita tidak memasukkan waktu untuk berdesak-desakan, kami tetap akan kehabisan waktu karena penduduk kantin benar-benar membludak. Aku akhirnya mendesah dengan pasrah lalu mulai berusaha mnyerobot antrian. Namun…
"Sudah kami belikan untuk kalian.." tiba-tiba terdengar suara dari belakangku, dengan bernada tak peduli. Aku menoleh. Shinichi, sahabatku yang lain yang berbeda kelas, dan pacarnya Ran, memegang sebuah kantung plastik besar. Aku mengernyitkan kening. Shinichi nyengir, lalu melemparkan sebungkus siomay padaku. Aku menangkapnya dengan heran, tetapi Shinichi hanya mengedikkan kepala, seolah-olah menunjuk sebuah meja panjang kosong di sudut kantin. Aku membelalakkan mata. Aku tahu dia anak orang kaya, tapi untuk mentraktir sekaligus memesan meja dengan khusus? Aku menghela napas. Anak ini memang susah ditebak..
"Kazuha mana, heiji?" tanya Ran tiba-tiba, pada makhluk hitam disampingku. Kazuha Toyama adalah pacar Heiji, dan mengherankan kalau Kazuha tidak ikut makan dengan Heiji. Tapi, Kazuha kan..
"Kan dia masuk RS.. Kamu sendiri, kan yang antar dia ke sana, karena tiba-tiba suhu badannya tinggi sekali.." tanya Shinichi heran, mengangkat alis. Aku meringis. Ran memerah.
"Ma, maksudku.. bagaimana keadaan Kazuha sekarang.."ralatnya cepat-cepat. Heiji hanya mengernyit. "Masih demam tinggi.. Tidak tahu apa yang dimakan anak itu, sampai meriang begitu.."katanya tak peduli. Ran menggelengkan kepala mendengar nada Heiji, tapi aku berani bersumpah melihat kilat kecemasan di mata Heiji. Shinichi, yang sepertinya juga tak melewatkan itu, hanya mendengus.
Lama kesunyian melanda. Hanya terdengar bunyi sendok dan siomay beradu. Tiba-tiba, sebuah siluet lewat didepanku selama sepersekian detik. Aku terpaku. Siluet itu… terlihjat seperti bayangan seseorang yang sangat familiar, seseorang yang sangat kubenci. Aku menatap titik dimana siluet itu menghilang, namun tiba-tiba mataku tertumbuk pada seorang wanita, yang juga menatap arah yang sama denganku. Wanita itu, menggelengkan kepala keras-keras, lalu berbalik menghadapku, tampak terganggu. Aku ternganga.
Kulitnya terlihat sangat putih, memancarkan cahaya yang sempurna. Rambut coklatnya, dengan potongan pendek bergelombang, membingkai wajah lonjongnya yang oriental. Matanya tajam, namun terkesan sangat dingin, membuatku berjengit sedikit. Tapi, itu tak menghentikanku untuk terus menatap gadis cantik itu.
"Dia cantik, kan? Gadis itu?" tiba-tiba terdengar suara dari kursi di depanku. Shinichi nyengir. Aku melongo. Bagaimana mungkin ia tahu aku menatap siapa, kalau dia membelakangi pandanganku? Namun, sebelum aku bertanya, makhluk aneh ini sudah mulai bersuara.
"Reaksi yang sama. Selalu. Setiap menatap wanita itu, seperti ada sesuatu yang menarik mata lelaki untuk mengagumi keindahannya. Aku tidak sulit menebak." katanya, seperti tahu apa yang kupikirkan. Aku mengangkat alis.
"Kalian tahu dia?" Ran tersenyum. "Tentu saja. Dia anak baru, pindah ke kelas kami. Berasal dari Amerika, katanya, lalu hijrah kesini mengikuti ayah ibunya." jawabnya. "Oh, ya.. Kalau tidak salah, namanya.. Mi.. Mi.. loh? Siapa, ya?" Shinichi melanjutkan makannya dengan nada tak peduli. "Shiho?" tebak Heiji tiba-tiba. Aku menatap mereka bertiga.
"Kau juga tahu, Heiji?" tanyaku keheranan. Tapi, Heiji hanya memiringkan kepalanya, menatap Shinichi penuh arti. Yang ditatap hanya mengangkat bahunya sedikit. Aku menghela napas kesal, lalu berdiri, hendak menyapa gadis itu. Ran tersenyum menyemangati padaku. Tapi, Shinichi tiba-tiba menahan tanganku. Aku mengernyit menatapnya.
"Berhati-hatilah. Jangan sampai kau malah hanya akan menyesal telah mengenalnya." katanya, dengan nada yang sangat dingin. Aku menatapnya tak mengerti. Ran mengangkat alis.
"Kau membencinya, Shin?" tanyanya. Shinichi mengacuhkannya.
"Yakinlah sebelum kau mulai mengenalnya. Kau bisa saja akan sangat membencinya sewaktu-waktu." sambungnya. Lalu, ia pun melepas tanganku, dan melanjutkan makan. Aku mengernyit, tapi tanganku mengambil sebungkus siomay yang belum dimakan diatas meja, dan kakiku tanpa sadar membawaku ke hadapan gadis itu. Tanpa aku ketahui, Shinichi dan Heiji bertukar pandang penuh arti, seperti berkata, Dia nekat…
.
SHIHO PoV
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru, pindahan dari Amerika. Masuklah.." kata Bu Omii, wali kelasku yang baru. Aku melangkahkan kaki ke depan kelas. Seketika, seisi kelas melonga dengan takjub. Aku mencibir dalam hati. Anak-anak bodoh…
"Nah, sekarang, perkenalkan dirimu." perintahnya. Aku memutar mataku pelan. Mestikah selalu seperti ini setiap kali aku pindah sekolah? Aku pun segera menarik napas, lalu memasang senyum palsu. Image awal selalu terlihat sangat berpengaruh, apalagi untukku. Dan aku tak mau mencemarinya.
"Namaku Shiho Miyano. Aku pindahan dari Amerika, mengikuti ayah ibuku yang pindah tugas. Salam kenal, semuanya!" kataku, dengan suara yang diriang-riangkan. Seketika para lelaki meleleh, seperti yang biasanya terjadi. Aku menyeringai puas dalam hati. Kesan yang sangat bagus.
"Bagus sekali, Miyano!" kata Bu Omii, yang sepertinya juga tampak terkesan. Aku menggelengkan kepala dengan sebal, lalu segera kembali memasang senyum santun. "Silahkan kamu duduk disana!"janjutnya, sembari menunjuk bangku kosong paling belakang di barisan pertama. Aku tersenyum palsu, lalu berjalan menuju bangku itu. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dingin dari belakangku. Aku menoleh. Dari bangku ketiga disampingku, seorang lelaki.
"Akting yang bagus." Aku menatapnya dengan sangat terkejut, mengetahui lelaki itu tahu kenyataan The-Fake-Smile. Ba, bagaimana… Tiba-tiba, ia menoleh. Aku terpaku tak bergerak. Wajah itu tampan, tapi terlihat sangat misterius, efek dari matanya yang sangat dingin. Dia tersenyum kecil.
"Aku bukan anggota 'mereka', tenang saja.."sambungnya. Aku melongo. Berapa banyak lagi yang dia tahu?
"Kudo, Miyano, berhenti mengobrol! Dan kamu, Miyano, silahkan duduk ditempatmu!" seru sebuah suara dari depan kelas tiba-tiba. Aku mengerling ke depan kelas, lalu kembali menatap lelaki ini, yang sepertinya bernama 'Kudo'.
"Kafe The Last Wood, sepulang sekolah." bisiknya, lalu berbalik menatap papan tulis yang kosong melompong. Aku memandangnya dengan heran, tapi sebuah seruan datang lagi, dengan nada yang lebih tinggi. Aku menatap sang guru dengan wajah sebal, yang tertutup senyum santun, seperti yang tadi kulakukan, lalu duduk di bangku paling belakang. Namun, sepanjang pelajaran, aku memikirkan kata-kata 'Kudo' itu. Satu-satunya lelaki, yang—aku baru tersadar—tidak terlihat tergila-gila padaku, seperti yang lain.
Aku memandang heran tulisan jepang—tulisan kanji namanya, kalau tidak salah—yang sepertinya menuliskan daftar menu. Haaahhhh.. Kenapa aku tidak tanya Anelia saja soal ini? Dia keturunan Jepang, dia pasti tahu.. Eh, tapi.. aku kan juga keturunan Jepang, tapi baca ginian saja aku tidak tahu..
Tiba-tiba, terlihat sebuah siluet melintas, tepat didepanku. Aku memandang titik tempat siluet itu menghilang, berusaha mencari jejak-jejak sang pembuat bayanagn. Tapi, benar-benar sulit dicari, melihat kantin ini sangat penuh. Aku terpaku. Perasaan familiar itu lagi. Apa maksudnya?"
Aku segera menggelengkan kepalaku keras-keras, mengusir bayangan itu dari kepalaku. Sekarang bukan saatnya memikirkan hal-hal yang tidak jelas. Apalagi di sini, di kantin yang sesak dan seseorang menatapku dari belakang. Aku mendengus dan menoleh. Wajahnya tak terlalu terlihat, tapi kentara kalau cowok itu sangat tergoda akanku. Aku mengernyit dengan sebal, lalu kembali menatap menu membingungkan didepanku. Namun, ada seseorang yang tiba-tiba menyentuh bahuku. Aku menoleh, dan segera terpaku.
Lelaki yang tadi. Dengan ekspresi wajah yang lembut. Aku ternganga sedikit. Ah, dia memang tampan, tetapi bukan itu yang kukagetkan. Ekspresi itu. Wajah itu, Mata itu. Terlihat benar-benar mirip dengan gadis itu!
"Siomay. Mau? " tawarnya, sembari menyodorkan sebuah bungkusan padaku. Namun, telingaku tak lagi berfungsi dengan baik. Aku terlalu takjub akan lelaki ini.
A/N: Gimana? Bagus? Membingungkan? Mengherankan? Misterinya dah kelihatan? atau terlalu buka kartu? katakan dngan review!
Multichapter baru! Semakin banyak anda mereview, aku akan semakin cepat mengupdate!
