Narto © Masashi

Peringatan ; Ketidakjelasan ada di mana-mana, silakan klik tombol 'back' jika tidak berkenan. Jangan lupa tingglkan jejak sebelum itu. my first MC fict.

happy reading

good luck baby good luck to you kkok haengbokhaeya haeneoman boneun nal neo hanabakke-

Sasuke menghentikan aktifitasnya sejenak, memijit pelipisnya pelan saat lagu itu kembali terdengar. Siapapun yang melihatnya pasti tahu, Sasuke tidak sedang dalam suasana hati yang baik. Ia mendengus kasar lalu membanting pulpen keras sebelum pandangannya beralih, dari tumpukan dokumen yang harus ia tuntaskan ke arah ponsel yang sengaja ia taruh sejauh mungkin dari jangkauannya- agar ia tak tergoda memeriksa laman medsos dan melihat betapa cepat followersnya bertambah. Sasuke punya kecenderungan memeriksa ponsel sesering mungkin, sungguh kebiasaan bodoh yang memalukan, dan sekarang ia sedang berusaha untuk mengekang keinginan itu. Tapi nyatanya, dalam setengah jam terakhir, Ponsel itu sudah berdering enam kali. Membuat konsentrasi dan jiwa tenang yang dijunjungnya tersingkir menjauh. Ia benar-benar berharap si penelfon memiliki alasan yang cukup untuk membuang waktu dengan mengganggunya. siapapun itu, dia harus membayar semua kerugian Sasuke karena meninggalkan dokumen investasi dan mengurusi ponselnya. Benar-benar cari mati.

"Sakura?"

Dahi yang tadi berkerut semakin kusut terlihat. Kedua onyx kelamnya memicing sinis sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat telfonnya.

"Hn"

"Sasuke-,"

suara tertahan sakura membuat dadanya berdesir. Nyaris meruntuhkan tembok pertahanan yang sengaja dibangunnya untuk menghalau keberadaan Sakura. Hormon Sialan. Makinya jengkel.

"Sasuke, apa kabar?"

suara Sakura kembali terdengar, lebih merdu dari sebelumnya.

"Baik." jawabnya pelan namun penuh penekanan. Ia perlu meyakinkan sakura bahwa ia baik-baik saja. Kekalahan adalah hal tabu bagi Uchiha. Tak ada toleransi untuk itu, dan ketika takdir terpaksa mengikat mereka dalam kesialan -seperti Sasuke- mereka hanya perlu menegakkan punggung lalu berjalan angkuh seperti biasa.

"Syukurlah," terdengar nafas lega dari seberang. " Sasuke, aku punya dua tiket menonton pacuan kuda di tempat favoritmu akhir minggu ini, hm... aku hanya berfikir, apa kita, apa kau mau-."

"Sakura." potong sasuke cepat.

"Ya?"

"Aku sibuk."

Ruang sunyi mengisi kekosongan di antara mereka.

"Begitu ya?"

"Hn."

"Ah, iya aku lupa, Sasuke memang selalu sibuk."

Sasuke mengepalkan tangannya mendengar nada mengejek dalam ucapan sakura. Tidak ada yang perlu disesali dari kesibukannya. Ia mendapatkan banyak uang dari semua kesibukan itu. Ia juga memberi makan ribuan karyawan dengan dedikasinya. Justru Sasuke jadi tidak mengerti, mengapa Sakura harus begitu sarkas setelah semua yang terjadi.

"Hn. terimakasih."

tok tok

"Masuk."

Sasuke masih menyelesaikan tandatangannya saat pintu besar itu terbuka. seorang wanita cantik berambut merah berdiri gelisah sambil menatapnya khawatir. sesaat kemudian ia mendekati meja Sasuke, berdiri tegak di depannya- menunggu Sasuke mendongakkan wajah. Sayang, sang prodigy jauh lebih tertarik pada deretan angka di depannya daripada wajah si wanita cantik.

"Ada apa Karin?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan, Karin adalah sahabat sekaligus Sekretarisnya. Mereka pernah bersama, dulu. Sebelum akhirnya menyadari kalau menjadi sahabat ternyata lebih cocok untuk mereka. "Kau terlihat seperti ibu mertua, mengerikan."

Karin mendengus sebal mendengar ucapan Sasuke. Ia lalu berjalan menuju sofa panjang dan membanting tubuhnya dengan kasar. "Apa kau tahu dia ada di sini?"

"Siapa?"

Karin memutar bola matanya sebelum mendeath glare sasuke yang terkekeh karena ekspresinya.

"Aku tidak peduli." ucap Sasuke lalu menutup map terakhir yang terbuka. Mencoba setenang mungkin meski ada gemuruh yang ditahannya.

"Kenapa tidak kau usir saja? Akan jauh lebih mudah kalau aku tidak melihat kepala merah mudanya setiap hari." Gerutu karin kesal.

"Kau boleh melakukannya kalau kau mau."

Lagi-lagi Karin mendengus kasar, bicara dengan Sasuke, apalagi tentang gadis itu hanya akan menambah kerutan di sudut matanya. Bahkan meski perempuan dari klannya terkenal piawai mempertahankan kecantikan, kerutan tetaplah menjadi masalah. Dia tidak ingin kehilangan banyak kesempatan hanya karena terserang penuaan dini.

"Sebentar lagi pekerjaanku selesai, mau ke club?"

"Masih patah hati eh?" Tanya Karin sambil tersenyum miring, mengejek Sasuke yang kini tengah meregangkan badan. Seharian menyelesaikan proyek resort di Kumo rasanya membuat pinggangnya nyaris patah.

"Omong kosong," gumam Sasuke lalu beringsut menuju kulkas kecil di sudut ruangan. Ia mengambil dua botol kecil minuman isotonik. "Aku Uchiha, ingat?"

"Ya, ya, ya, " Karin memutar bola matanya bosan, "Uchiha yang menyedihkan."

Sakura pernah mendengar, bahwa angin yang berhembus tidak akan kembali ke tempat asalnya. Dulu ia hanya mencibir seseorang -entah siapa, ia tidak ingat- yang mengatakannya saat kelas tengah riuh oleh insiden penolakan Ino atas cinta monyet Shikamaru. Saat itu, Sakura tidak cukup peduli pada kisah ataupun ungkapan itu, ia terlalu sibuk dengan kalkulus yang kebetulan akan diujikan. Tapi, setelah semua semakin terasa sulit untuk dikembalikan ke posisi semula, ia tiba-tiba mengingatnya. Kalimat itu, rasanya terdengar seperti sebuah kutukan. sialnya, lambat laun ia mulai mempercayainya. Ia ingin mengabaikan kalimat itu -seperti dulu- tapi kalimat itu masuk dan terus berputar di kepala layaknya kaset rusak.

"Sakura?"

Suara Bariton yang begitu dikenalnya lembut menyapa pendengaran. Sakura menegang sejenak sebelum memutar badan. Saat ini ia berada di lobi Uchiha corp. -sama seperti kemarin- untuk membuktikan kalau kutukan angin itu bohong -meski nyatanya ia mulai ragu. Lima kaki dari tempatnya berdiri, Sasuke terlihat tampan dalam setelan biru dongker kebesarannya. Sebelah tangannya memegang sebuah bundel. Sedang yang satu tersembunyi di saku celana. Di sebelah Sasuke, Karin berdiri tegak dengan tatapan membunuh dari balik kacamatanya. Sakura tahu apa maksudnya itu, tapi dia tidak peduli. Ada yang lebih penting dari sekadar memusingkan setan merah yang terus mengelilingi pangeran berkuda putihnya.

"Ohayou, Sasuke-kun!"

"Ada rapat jam delapan Sasuke," Suara ketus Karin lebih dulu menginterupsi kalimat Sakura, "Jangan sampai terlambat."

Sasuke hanya mengangguk menanggapi kalimat Karin. Pandangannya masih lurus menatap Sakura -yang justru menatap sosok Karin yang beringsut menjauh. Memberi privasi bagi mereka.

"Ada apa, Sakura?!"

"Aku menghubungimu tapi tersambung di mailbox. Kau mengganti nomormu?"

"Hn."

"Kenapa? Pa-padahal aku cuma mau bertanya apa kau mau kubuatkan Tempura? atau mungkin Sashimi? akhir-akhir ini aku senang memasak-"

"Sakura," potong Sasuke pelan, wajah datarnya tidak pernah sedetikpun meninggalkan manik Sakura. "Aku ada rapat."

"Umm... ya, Sekertarismu mengatakannya tadi." gumam Sakura putus asa. Rasa malu yang dienyahkannya sejak insiden itu lambat laun menyergapnya kembali. Ia mulai menyadari, betapa menyedihkannya ia saat ini. Ia bahkan terlihat lebih buruk dari apa yang biasa dilakukan penggemar Sasuke di sekolah dulu.

"Kalau tidak ada yang lebih penting, aku-"

"Ini penting Sasuke," sentak Sakura cepat. "Ini penting untukku. Aku menyesalinya, aku bahkan sudah mengutuk diriku di depanmu. Aku mengakui semua kesalahanku," Sakura mulai kehilangan kendali, cukup sudah ia memakai jalan aman menarik perhatian Sasuke. Laki-laki itu terlalu keras kepala untuk mengakui perasaannya. "Aku hanya tidak mengerti, Sasuke, bukankah setiap orang melakukan kesalahan? bukankah tidak ada yang benar-benar solid di dunia ini? Kau pernah mengatakannya padaku di atap sekolah dulu. Tapi, tapi kenapa sekarang kau menghukumku?. Kau bilang sudah memaafkanku tapi kau masih melihatku dengan pandangan itu. Aku tidak suka Sasuke, aku..."

"Jangan membuang waktumu Sakura," potong Sasuke dengan wajah datar, kelewat datar untuk seseorang yang tengah menahan amarah. "Aku sibuk, dan kisah percintaanmu membuatku muak."

Sakura tertegun sejenak, Sasuke, bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan kalimat keji itu padanya. Ia tahu, Sasuke terkenal bermulut kasar dan selalu tanpa basa-basi. Sakura sering melihatnya membentak karyawan yang malas atau mempermalukan pelayan restoran saat mereka tak profesional, tapi ternyata rasanya lebih sakit saat ia mengalaminya sendiri.

Bulir bening yang susah payah ditahannya menetes satu-satu. Sejak awal ia tahu ini sia-sia. Tapi, bukankah seharusnya sasuke memberinya kesempatan untuk menjelaskan? Ia melakukan semua kebodohan itu bukan tanpa alasan. Ia selalu merasa, Sasuke juga bertanggungjawab untuk kelalaian itu. Sakura hanya berharap Sasuke kembali seperti Sasuke sebelum menjadi seorang bos. Sasuke yang protektif dan mencintainya melebihi apapun.

"Kau mengerti kan, Sakura?" Suara dingin Sasuke kembali terdengar, segaris senyum sinis terbentuk di wajahnya, "Jadi jangan pernah kembali lagi."

Sakura limbung seketika, pikirannya kacau. Ia bahkan tidak ingat bagaimana Sasuke menghilang dari hadapannya. Ia terlalu kalut menghadapi kenyataan. Bahkan meski ia sudah memprediksi itu. Harga dirinya hancur, cintanya apalagi. Ini sepuluh ribu kali lebih menyakitkan sekaligus memuakkan baginya. Kadang ia berfikir, kenapa ia harus melakukan ini. Ia melakukan kesalahan, itu benar. Tapi, memangnya siapa di dunia ini yang tak pernah salah?

"Sakura?"

Sakura mendongak saat selenting suara menyebut namanya. Ia mengerjab beberapa kali untuk memastikan. Ino? Bukankah itu si gadis Barbie. Sial. Diantara semua orang, kenapa harus Ino yang memergokinya. Ia merutuk pelan, harusnya tadi ia langsung saja pergi setelah Sasuke melemparnya ke jurang. Bodohnya dia malah memilih duduk sejenak untuk menenangkan diri.

"Kau Sakura kan?," Sekali lagi Ino menyebut namanya takjub, "Astaga aku senang sekali bertemu denganmu."

Senang? bohong. Sakura tahu dulu Ino mencintai Sasuke. Ya memang saat mereka masih sekolah, tapi tetap saja mengatakan senang kepada mantan rivalmu rasanya sedikit aneh. Tunggu dulu, Ino berkunjung ke Uchiha corp? Jangan-jangan bukan hanya dia yang selingkuh tapi Sasuke juga. Selama ini ia tidak pernah tahu kalau perusahaan Sasuke melakukan kerjasama dengan perusahaan keluarga Ino.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pertanyaan bagus. Sakura, apa yang kau lakukan?

"Kau bekerja di sini?"

Kalau mengemis cinta bisa dikategorikan sebagai pekerjaan maka jawabannya adalah YA!

"Astaga. Jangan-jangan kau mengunjungi kekasihmu ya?"

Mengemis lebih tepat daripada mengunjungi.

"Errrr... Sakura, kau baik-baik saja?"

Aku sangat buruk, jadi pergilah.

"Sakura?"

Sakura kembali mengerjab. Guncangan kecil di bahunya menarik kesadarannya kembali. Ino sudah duduk di sampingnya dengan wajah khawatir. Gadis itu tetap terlihat seperti malaikat, tidak berubah sedikitpun meski hampir enam tahun mereka tidak bertemu.

"Sakura!"

Sekali lagi Ino mengguncang bahunya, kali ini sedikit lebih keras. Suara lembutnya naik beberapa oktaf. Cukup untuk menimbulkan bunyi nguing di telinga kanan Sakura.

"H-hai, Ino."

Sakura akhirnya bisa mengeluarkan Suara. Semburat lega terpancar dari wajah ceria Ino. Membuat Sakura sedikit merasa bersalah sudah berfikir yang tidak-tidak.

"Kau terlihat kacau, apa terjadi sesuatu?" Ucap Ino sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Punggungnya tegak lurus seolah ingin menegaskan bahwa Ia telah melakukan penilaian dengan akurat. Sakura menelan ludah pelan demi menghindari tatapan penuh selidik Ino. Meski mereka tidak pernah dekat, Sakura tahu Ino ahli dalam hal ini. Ayahnya adalah seorang Psikiater handal dan kakaknya adalah seorang ilusionis. Sakura tidak yakin hubungan dua profesi itu tapi sepertinya Ino banyak belajar dari keduanya. kepiawaiannya bahkan sudah terbukti sejak mereka masih di bangku sekolah.

"Lama tidak bertemu Ino, apa kabar?"

Ino tersenyum segaris lalu mengibaskan poni sampingnya, "Seperti yang kau lihat, aku baik," ucapnya tanpa merubah posisi. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?"

Pertanyaan itu lagi, sial. "Aku ada sedikit urusan, tapi sudah selesai." ucap Sakura setenang mungkin, "Senang bertemu denganmu Ino, tapi aku harus pergi, maaf."

Sakura berdiri lalu bergegas menjauh, ia tidak mau terlibat pembicaraan tidak penting dengan mantan rivalnya itu. Kenyataan Ino terlihat semakin luar biasa saja sudah membuatnya terpukul, apalagi kalau ada kenyataan-kenyataan lain yang harus ia tahu.

"Hey, Sakura, kau mau kemana?"

Teriakan Ino masih tertangkap pendengarannya sesaat sebelum ia keluar gedung Uchiha Corp. Biar saja Ino menganggapnya sombong, saat ini ia benar-benar tidak ingin berbicara dengan siapapun. Yang ia butuhkan hanya kamar pribadinya dan sebaskom es krim untuk meluruhkan sakit yang ia rasa. Persetan dengan yang lain. Lain waktu semoga ia memiliki kesempatan untuk menjelaskannya pada Ino

"Hoi, Sasuke-kun...," Ino yang muncul tiba-tiba membuatnya menjadi pusat perhatian. Berbagai ekspresi menyambut kedatangannya.

"Wah, apa rapatnya belum selesai? Maaf ya kalau mengganggu."

"Cih. Dasar tukang cari perhatian."

Karin mendengus sebal melihat Ino yang kini duduk di sampingnya. Ia tidak tahu kalau Ino akan datang hari ini. Setahunya gadis itu sedang ada di luar negeri. Karin tidak pernah menyukai Ino. Bahkan kalau ia harus membuat daftar hal-hal yang wajib dihindari, Ino ada di urutan teratas. Sayang sekali, keluarga Yamanaka dan Uchiha bersahabat sejak lama. Sehingga kemunculan Ino yang kadang tak terduga di sekeliling Uchiha selalu dianggap wajar. Dulu Ino bahkan biasa di antar jemput sekolah bersama Sasuke. Sungguh menyebalkan.

"Hey, senpai, jangan begitu. Nanti kau cepat tua lho," Ucap Ino sambil tertawa renyah. "Iya kan Sasuke."

"Hn."

"Berisik." gerutu Karin sambil memalingkan wajah.

"Ah, Obito-san. Saya rasa seperti itu saja. Minggu depan saya akan meninjau langsung perkembangan resort bersama perwakilan tim desain interiornya."

"Baik, Uchiha-sama. kalau begitu saya permisi."

Sasuke hanya mengangguk, Obito adalah penanggungjawab pembangunan resort di Kumo. Dulu, Ia merupakan bawahan Fugaku, ayahnya. Sasuke beruntung, setelah ayahnya memutuskan mundur, Obito tetap mau bertahan. Sebelum pembangunan resort Obito banyak memberi masukan agar musim semi yang Sasuke inginkan untuk resortnya bisa terinterpretasi di setiap ruangan. Sasuke menyetujui semua saran itu, apalagi setelah Sakura mengatakan menyukai konsepnya. Ya, resort itu, awalnya memang ia dedikasikan untuk Sakura, tapi apa mau di kata, bahkan sebelum ia sempat meminta Sakura menggunting pita pembukaan, Sakura lebih dulu menggunting harapannya.

"Hey Sasuke-kun, aku datang jauh-jauh dari Tokyo bukan untuk melihatmu melamun, tau."

Suara Ino menginterupsi lamunan tentang Sakura. Ia hanya menoleh sedikit tanpa memberi ekspresi lebih.

"Sudah enam tahun menghilang kau masih jadi penggemar Sasuke? Cih."

"Karin."

Sasuke menyela cepat, kadang Karin sedikit berlebihan kalau sudah menyangkut Ino dan club penggemar. Mungkin karena trauma masa lalu.

"Hahaha... Senpai bisa saja, aku kan bukan remaja lagi. Aku kesini hanya kebetulan kok. Iya kan Sasuke."

"Hn."

"Jangan percaya padanya Sasuke," sela Karin jengkel, "Kau ingat, permen karet yang menempel di rambutku dulu? Yang membuatku harus memiliki potongan rambut aneh? Dia pelakunya."

"Ya ampun senpai, itu kan sudah lama sekali," ucap Ino sembari pura-pura kaget, "Ingatan senpai bagus ya. Tapi kali ini aku datang bukan karena Sasuke kok, sumpah."

"Lalu?"

"Karin."

"Biar saja Sasuke, aku jadi ingin tahu bagaimana kalian bisa tetap bersama setelah putus. Bukankah Sasuke jalan dengan-," Ino berfikir sejenak, ingatannya kembali pada pertemuan singkatnya dengan Sakura di lobi tadi, "Sa-kura?"

Ruangan tiba-tiba hening. Wajah Sasuke menegang mendengar nama Sakura disebut. Sedangkan Karin refleks melirik ke arah Sasuke. Ino memandang keduanya bergantian.

"Ada apa?" tanya Ino lagi, "Umm... aku bertemu dengannya di lobi."

"Hei ketua club penggemar, kau tidak datang jauh-jauh hanya untuk menyelidiki atau menguntit Sasuke kan?" Suara Karin kembali terdengar cadas. Kali ini lebih bersifat pengalihan, agar Ino tidak lagi membahas Sakura. Untunglah Ino cukup peka dengan situasi seperti ini.

"Tentu saja tidak," ucap Ino sumringah, "Sasuke itu masa lalu senpai, hari ini aku menemani kekasihku."

"Hah? A-apa?" Karin tersentak cepat. "Siapa?"

Dagu Ino bergerak ke arah seseorang yang sedari tadi mereka abaikan. Terang saja, orang itu juga terlihat tidak peduli. Ia masih sibuk menggambar sesuatu.

"Shimura-san?"

"Aku lebih senang menyebutnya Yamanaka-san. Itu lebih cocok untuknya." gumam Ino sambil terkikik pelan.

"Bagaimana mungkin? Sasuke, apa kau tahu sesuatu?"

"Hn."

"Astaga. Menyebalkan sekali. Kalau aku tahu dia ada hubungan denganmu, aku akan memaksa Sasuke untuk menolak kontraknya. Sial."

Ino kembali tertawa mendengar gerutuan Karin. Kalau dipikir-pikir, ini terasa seperti reuni para musuh. Kalau saja Sakura ada di sini pasti jauh lebih seru. Dulu, Sasuke sangat populer. Sayangnya, saat memasuki semester akhir di tahun kedua, ia menaikkan status pertemanannya dengan Karin. Senior galak yang memiliki haters dimana-mana. Kabar tak sedappun merebak. Ada yang mengatakan Karin memohon pada Sasuke dan berpura-pura bunuh diri agar Sasuke menjadikannya kekasih. Ada pula yang mengatakan Sasuke sengaja memilih karin untuk menyingkirkan club penggemar pimpinan Ino. Dan masih banyak isu aneh lainnya. Yang jelas semua itu semakin menambah daftar gadis yang membenci Karin. Pada akhirnya, Sakuralah yang datang sebagai malaikat penolong. Sakura dengan setumpuk pengetahuan dan rumus-rumus rumitnya akhirnya keluar sebagai pemenang. Awalnya Sakura hanya tidak senang waktu belajarnya terganggu oleh penggemar Sasuke. Setiap hari, kursi dan meja Sakura penuh dengan ancaman dan makian karena duduk terlalu dekat dengan idola mereka. Mungkin karena muak, Sakura menantang siapapun untuk adu kepintaran dengannya, termasuk Karin. Kalau dia kalah, ia akan pindah sekolah, tapi kalau dia menang, siapapun yang datang ke kelasnya dengan alasan Sasuke akan ditangani komite disiplin. Tidak ada yang berani menantang si jenius pemegang sabuk hitam Taekwondo. Perseteruan itu berakhir diam-diam. Sasukepun terselamatkan tanpa harus mengotori tangan.

"Jadi, bagaimana kalian bisa bertemu?"

"Bagaimana ya?" Ino berfikir sejenak, sebelah tangannya menopang dagu. "Aku juga tidak tahu kalau eksmud Konoha yang Sai maksud adalah Sasuke. Saat itu aku hanya senang, akhirnya bisa melihatnya pulang ke rumah. Seumur hidup dia tinggal di luar negeri."

"Jadi semua lukisan yang di pasang di resort itu milik Sai?" Suara Karin terdengar tidak percaya. Sejujurnya, Karin bukannya menyangsikan kemampuan Sai, ia mempercayainya, tentu saja. Pilihan Sasuke pastilah yang terbaik. Ia hanya kurang bisa menerima bagaimana Pirang bodoh macam Ino bisa mendapatkan kekasih high qualifigh seperti Sai? Ini benar-benar kenyataan yang kejam.

"Sai-kun...," Ino membangunkan kekasihnya yang belum juga menyadari apa yang terjadi, "Aku di sini, singkirkan dulu kertas itu. Kau membuatku cemburu tahu."

Sai mendongak perlahan lalu memamerkan senyum sempurna pada kekasihnya, "Oh, hai nona cantik. Kenapa lama sekali? Kami sudah menunggumu."

"Ck. Sai," Ino berdecak sebal, selalu saja seperti itu. Tiap kali Sai berhadapan dengan gambarnya, entitas lain seolah tak terlihat. "Aku sudah datang dari tadi."

"Oh. Maaf ya, darling."

Karin merenggut melihat adegan tatap-tatapan penuh cinta makhluk di sampingnya. Yang benar saja, tidak bisakah mereka saling menebar feromon di dalam kamar? Ini di kantor. Huh, sungguh tidak peka.

"Sasuke,"

"Hn."

"Kau yakin akan ke Kumo bersama mereka?"

"Hn."

"Kurasa Kau bakal mati kepanasan."

"Sasuke-kun...,"

Sasuke menghentikan aktifitasnya sejenak mendengar namanya disebut dengan suffiks 'kun'. Alisnya tertaut, panggilan mendayu terdengar selalu menjijikkan di telingannya. Ia beruntung baik Karin maupun Sakura tidak pernah memanggilnya seperti itu. Ah, Sakura. Kenapa gadis itu tidak mau keluar dari kepalanya?

"Kau tidak sibuk kan?"

Sasuke mendongak saat suara itu kembali terdengar. Kepala pirang Ino menyembul dari balik pintu disertai senyum yang dimanis-maniskan. Sasuke menaikkan sebelah alisnya -curiga. Hari ini tidak ada jadwal rapat atau apapun dengan Sai, jangan bilang -

"Kau berhutang sesuatu padaku." ucap Ino lagi sambil melenggang masuk. Tubuh tingginya terlihat semakin menjulang dengan bantuan hak lancip di kakinya. Sasuke heran kenapa Ino tidak memilih jadi model saja. Dengan tubuh seperti itu pasti tidak sulit untuk menjadi terkenal.

"Keluar kau, brengsek."

Karin yang tiba-tiba muncul mencekal tangan Ino kencang. Bersiap menyeretnya keluar. " Sasuke maaf, aku tadi menemui Shino, aku tidak tahu kalau ada pengganggu datang. Sekarang, ayo keluar nona manis." ucap Karin menirukan gaya Sai saat memanggil Ino.

Ino memicing tidak suka, tapi sedetik kemudian ia kembali tersenyum. Sebelah tangannya ia gunakan untuk melepas cekalan Karin.

"Maaf ya senpai, aku ada urusan dengan Sasuke, lagipula ini jam makan siang, jadi tidak masalah kan," ucap Ino sambil melenggang santai mendekati meja kebesaran Sasuke. "Ngomong-ngomong, kau itu sekretarisnya kan, bukan bodyguard. Jangan terlalu berlebihan, aku bisa curiga tau."

Karin yang gusar mendekati Ino dengan wajah marah. Membuat Sasuke terpaksa meluruskan punggung untuk mengantisipasi. Sasuke tahu, tidak akan ada hal baik terjadi saat Karin dan Ino bertemu. dan itu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun yang lalu. Hanya saja, ia tidak pernah berharap tertimpa kesialan dengan seringnya terjebak di permusuhan mereka berdua.

"Beraninya kau mengatakan itu," Suara Karin lebih terdengar seperti geraman, "Dengan apa kau bisa melawanku, hah?"

Ino mendecih pelan sebelum melipat tangannya di depan dada. "Aku punya rambut panjang yang indah dan stiletto 12 centi untuk membuatmu tersingkir senpai, berhati-hatilah."

Sasuke yang masih duduk di kursi nyaris tersedak tawa mendengar kalimat Ino. Itu benar, Ino punya semua untuk menyingkirkan orang yang dia inginkan. Tapi Ino tidak pernah seculas itu.

"Kau..." kilatan amarah jelas terlihat di mata Karin. Tangannya mengepal siap untuk menerjang.

"Kalian berdua, sudah cukup dramanya."

Suara dingin Sasuke membuat keduanya mengalihkan pandangan ke arahnya. Mereka terlihat keberatan Sasuke ikut campur.

"Sasuke..."

"Tidak pa-pa Karin, kebetulan ada yang ingin aku bicarakan dengan Ino."

Wajah Karin terlihat cemberut mendengar kalimat Sasuke. Di pihak lain Ino terdengar sumringah sembari mengibaskan ekor rambutnya sombong.

"Kau juga, Ino," desisnya cepat, tidak ingin terlihat pilih kasih."Kalau ingin bertemu di kantor, tolong buat janji. Itu prosedure yang harus di taati."

"Baiklah Sasuke-kun. Aku mengerti." Suara mendayu Ino kembali terdengar. Membuat Karin mendengus jijik. Dengan kaki tersentak Karin berbalik dan meninggalkan mereka.

Ino berbalik cepat saat Karin menutup pintu dengan keras.

"Jadi tuan muda Uchiha, kau ingin aku yang bertanya atau kau yang menjelaskannya dengan sukarela?"

"Omong kosong apa itu?"

"Sasuke."

"Itu bukan urusanmu Ino. Ngomong-ngomong, bukankah hari ini kau harus kembali ke Tokyo?"

"Aku membatalkannya," jawab Ino cepat, "Sasuke."

"Bagaimana dengan Sai?"

"Sasuke-nii..."

Sasuke mendengus kesal mendengar Ino memanggilnya seperti itu. Sial. Ia tahu apa maksudnya. Itu berarti ia harus menuruti semua keinginan Ino. Panggilan itu dibuat Sasuke untuk menghibur Ino yang nyaris depresi setelah kematian ibunya hampir 15 tahun lalu. Ia tidak pernah mengira akan tertimpa banyak kesusahan karena sikap sok dewasanya itu.

"Aku menyesal telah membuatmu pulang Ino."

Ino tersenyum lebar penuh kemanangan. "Ayolah Sasuke-nii, aku kan tidak minta apa-apa." ucapnya sambil duduk di sofa panjang di tengah ruangan, "Lagipula, malam ini aku akan bertemu bibi Mikoto, kau tidak mau kan kalau aku mengorek informasi darinya."

Sasuke mengerinyitkan alis mendengar ancaman Ino. Dasar Ino, dari dulu dia paling tahu cara memenangkan pertaruhan. Dalam hal ini, dia bahkan jauh lebih mengerikan dari Itachi.

"Jadi Sasuke-nii, apa kau berminat untuk diaduk bersama adonan red velvet bibi Mikoto? Aku sudah berjanji akan membuat beberapa loyang malam nanti."

Sasuke kembali menautkan alisnya, sesaat kemudian helaan nafas panjang tanda kekalahan terdengar dari tempatnya duduk. Ino berbinar girang mengetahui tanda itu.

"Jangan menyela, jangan bertanya dan yang terpenting- "

Sasuke menimbang sejenak, haruskah ia menceritakan semua? Itu akan sedikit memalukan untuk sisa hidupnya. Tapi kalau tidak, sisa hidup itu juga tidak akan tenang dari terror Bossy di depannya.

"-Jangan tertawa. Oke?"

Bola mata Ino menyipit cepat mendengar kalimat terputus Sasuke, tapi sesaat kemudian ia mengangguk mantap.

"Sakura selingkuh."

Bibir Sasuke terkatup rapat setelah mengucakan kalimat itu. Tangannya tiba-tiba berkeringat. Ini adalah kali pertama ia menceritakan kesialannya pada orang lain. Karin memang tahu, tapi itu hanya karena ia menemukan perselingkuhan Sakura saat bersama Karin menghadiri pertemuan klien. Setelahnya, ia bersyukur Karin tidak secara gamblang mendesaknya bercerita. Ia sangat menghargai pengertian semacam itu.

"Lalu?"

Suara penuh minat Ino membangunkan lamunannya.

"Lalu?" Sasuke mengulang ucapan Ino dengan intonasi berbeda. Linglung dengan keadaan. Dilihatnya Ino memutar mata bosan.

"Ayolah Sasuke, cerita tidak berakhir hanya dengan kalimat Sakura selingkuh kan?" Ino mendecih tak sabar, menyebut kata selingkuh seolah tidak ada apa-apa di sana. "Maksudku, bagaimana kau mengetahuinya? Apa ada bukti? atau jangan-jangan hanya hasutan si setan merah itu?"

"Karin tidak seperti itu, Ino."

"Ya, baiklah," Ino kembali memutar matanya, "Aku tidak benar-benar menuduhnya Sasuke-nii, itu hanya pancingan agar kau mau membuka mulut kasarmu itu."

"Dia dengan Hyuga, maksudku Neji, Hyuga Neji, " Sasuke menelan ludahnya yang sedikit tercekat mengingat peristiwa malam itu. "Aku melihat mereka berdua keluar dari sebuah toko aksesoris, tapi aku tidak menanyakan apapun padanya. Saat itu, sebisa mungkin aku berasumsi kalau Neji hanya meminta Sakura memilihkan kado untuk Hinata. Aku hampir melupakan adegan Neji mengusap kepala Sakura seandainya aku tidak melihat Sakura mengenakan gelang aneh dari biji-biji -" Sasuke diam sejenak, film romantis Sakura dan Neji terputar kembali di kepalanya. " -Aku tidak tahu biji apa itu, tapi saat makan malam aku melihat Itachi mengenakan gelang yang sama. Aku terkejut, dan hampir bertanya seandainya ia tidak bilang Izumi membelikannya gelang couple keberuntungan itu sebagai hadiah pernikahan pertama mereka."

"Sakura bisa saja menyimpan gelang yang satu untukmu Sasuke. Kau hanya perlu bersabar."

"Aku melakukannya, Ino." bentak Sasuke kasar. Nyaris membuat Ino melompat karena kaget. Sasuke memang bermulut kasar, tapi dia tidak suka membentak. Ini jelas adalah sebuah kemajuan.

"Aku menunggu hampir sebulan. Tidak, harusnya tepat sebulan seandainya aku tidak mendengar bajingan itu memuji kemampuan Sakura di ranjang. Sial, aku hampir saja berlari dan menghancurkan rahangnya seandainya Karin tidak mencekalku."

Mata Ino membulat tak percaya mendengar kalimat Sasuke yang terdengar menahan amarah di sana-sini. Sakura tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Meski mereka tak pernah benar-benar dekat, Ino percaya Sakura adalah gadis yang baik. Ino bisa melihatnya.

"Aku mengiriminya pesan tentang perselingkuhannya dan bagaimana seharusnya hubungan kami. Setelah itu aku mengganti nomor ponselku."

"Jadi kau tidak pernah membicarakan masalah ini secara langsung?" Ino memekik tidak percaya. Sasuke mengusap wajahnya gusar.

"Tentu saja tidak, bukankah semua sudah jelas?"

Lagi-lagi Ino memutar bola matanya dramatis, "Kalian laki-laki selalu mengambil keputusan sendiri. Sungguh menyebalkan." Ino bangkit dari duduknya lalu mengibas rok lipitnya pelan, seolah ada debu di sana. "Baiklah, kurasa sudah cukup. Sampai bertemu di rumah nanti Sasuke-nii."

Sasuke mengangkat sebelah alisnya, "Jadi? Tidak ada nasehat? Ku kira kau akan menghabisiku dengan ceramah bossymu itu."

Ino yang kini telah berada di depan pintu terkikkik pelan. Ia kembali memutar badan agar bisa melihat Sasuke yang masih duduk di tempat semula.

"Bicaralah dengannya Sasuke," Ucapnya dengan senyum mengembang, "Kalaupun harus berakhir, buatlah kenangan indah sebelum kalian berpisah."

Sebelah alis Sasuke kembali terangkat, "Apa kau menyumpahiku."

"CK. Patah hati membuatmu semakin mudah marah. Lakukan saja apa yang kubilang, lagipula, Sakura punya hak untuk diberi kesempatan bicara. Iya kan?"

Sasuke membuang muka malas, kalau semua bukti sudah menjurus ke skandal perselingkuhan itu, penjelasan model apa lagi yang akan diterimanya. Ia justru merasa, bicara hanya akan menyakitinya lebih jauh.

"Sasuke?"

Suara Ino kembali terdengar, memaksa Sasuke kembali mengarahkan pandangan padanya.

"Jangan jadi pengecut, oke?" ucap Ino sambil tersenyum bengkok lalu menyelinap keluar. Meninggalkan Sasuke dengan wajah menegang. Pengecut? Apa ia benar-benar seperti itu? Sial. Sepertinya memang begitu. Ia menolak bertemu Sakura bukan karena ia tidak mau. Sasuke hanya terlalu takut mendengar konfirmasi kebenaran dari Sakura. Ia tidak akan sanggup melihat atau mendengar Sakura meng-iya-kan perselingkuhannya. Ino benar, Ia memang pengecut.

TBC

mohon reviewnya teman-teman. fict ini hanya berjumlah lima bagian. jadi tidak perlu khawatir saya tidak menyelesaikannya. ok. terimakasih sudah mampir.

Luph, Beb