After You Marry Me

A Kyuhyun and Sungmin Story with "Genderswitch Fanfiction"

Remake from "Setelah Kau Menikahiku" by Novia Stephani (Pemenang ke-1 sayembara mengarang cerber femina 2003)

Warning! Genderswitch, TYPO(S), OOC.

.

Summary : Sungmin tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Kyuhyun untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan.

Chapter 1

.

enJOY^^

.

"Aku sungguh-sungguh tak mengerti mengapa orang harus menikah," gerutuku.

Kyuhyun tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?" Aku mengangguk cemberut.

"Apa jawabanmu kali ini?" godanya.

"Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar."

Kyuhyun terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.

"Lalu jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Kyu? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah semakin gencar menteror."

Kyuhyun tersenyum. "Kau benar-benar seperti anak-anak. Jika kau jadi ibumu, apa kau tidak akan khawatir jika anakmu belum juga menikah pada usia hampir kepala tiga?"

"Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya," komentarku.

Alis Kyuhyun terangkat. "Kenapa?"

"Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan."

"Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit."

"Persis!" potongku. "Untuk apa menikah jika yang kita dapatkan hanya kesulitan?"

"Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?"

"Sok tahu," cibirku. "Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah."

"Aku sudah cukup banyak belajar, Ming. Umurku sendiri sudah tiga puluh tahun, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga."

"Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju 'kan jika hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?"

Kyuhyun tersenyum. "Ya, memang."

"Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!"

"Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak ingin menikah. Aku hanya masih menunggu calon yang pas."

Dan aku menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."

"Itu 'kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?"

"Ya, " gumamku enggan.

"Bukan karena kau sama sekali anti menikah."

Aku menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku juga ingin digandeng seseorang saat datang ke pesta."

"Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"

"Gandengan pacar itu lemah. Mudah putus," komentarku pahit. "Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi."

"Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran."

"Kyuhyun!" kuayunkan tanganku, tapi begitu hafal reaksiku dengan gesit ia menghindar sambil tertawa.

"Kau sadar kan jika menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?" tanyanya kemudian, lebih serius.

"Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Jika saja," aku terdiam.

"Apa?"

"Jika saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu jika lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."

"Ming, laki-laki yang seperti itu sedikit sekali."

Aku menggeleng. "Semua laki-laki binatang."

"Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki."

"Kau bukan lelaki, Kyu. Kau malaikat."

Kyuhyun terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

"Kyuhyun!" desisku. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"

"Ming, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat," dan ia kembali terkulai, matanya tertutup, lidahnya terjulur.

"Kyuhyun, Kyuhyun," desahku. "Jika kau memang mau menikah, berobatlah."

Ia tergelak. "Dan kau. Jika kau memang mau menikah, percayalah setidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki."

"Aku tidak bisa, Kyu."

"Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan jika kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan jika kau sengsara kau akan makan semakin banyak. Dan jika makanmu semakin banyak kau akan-"

"Kyuhyun!" walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah lima belas tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.

"Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?" katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. "Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang jika tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu."

"Jangan bicara begitu," cetusku, kembali manyun. "Satu, ini hidupku bukan hidup ibuku. Aku sedih jika ibuku sedih. Tapi jika suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Jika itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu."

"Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah," Kyuhyun membungkuk dalam-dalam.

"Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?"

Aku tertunduk lemas. "Itulah, Kyu," desahku. "Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah."

"Bagaimana dengan keturunan?"

"Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Jika aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Disamping itu, jika pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Kyu? Untuk apa?"

Kyuhyun termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"

"Kau terlalu banyak menonton film romantis ," olokku. "Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?"

"Berapa lama?"

"Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi."

"Imajinasi?"

"Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila."

"Astaga," gumam Kyuhyun. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?"

"Gorila," jawabku sekenanya dan Kyuhyun meledak tertawa.

"Kyuhyun," keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus-menerus."

Wajahnya serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras."

"Kyuhyun, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku. "Aku perlu solusi, Kyu. Bukan ide-ide konyol."

Kyuhyun membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Akhirnya, Kyuhyun bicara dengan hati-hati. "Ming, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidak-percayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidak-mengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Kyuhyun nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"

Kutatap Kyuhyun dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama belasan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya lima lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Kyuhyun yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Jika ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Kyuhyun orangnya.

"Ya. Aku percaya kepadamu."

"Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah."

"Kyuhyun! " potongku tandas. "Ide apa?"

"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. "Kita akan melakukan pernikahan."

"Apa?"

"Simulasi!" lanjut Kyuhyun sesegera mungkin. "Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon..."

"Bulan madu?"

Kyuhyun mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri -simulasi- sambil mempelajari mengapa banyak manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Jika pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"

"Kyuhyun," desisku. "Ini ide terbodoh yang pernah kudengar."

"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Kyuhyun mantap. "Pikirkan, Ming. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian…"

"Serius, Kyuhyun, serius!"

"Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."

"Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan."

"Simulasi," Kyuhyun mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

"OK. Pernikahan simulasi," geramku. "Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai."

"Simulasi."

"Kyuhyun!"

"Minimiii~"

"Oh, Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Kyuhyun segera menjejeriku.

"Ming, kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak ingin pura-pura menikah denganku?"

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. "Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu."

Matanya berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Kyu. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."

"Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Ming," ekspresinya tampak begitu tulus.

"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."

"Pikirkan ibumu, Ming. Jika beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…," ia berhenti saat melihat raut wajahku, "Ibumu akan sangat bahagia, Ming. Pikirkan juga dirimu."

Ia diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun."

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Jika saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Kyuhyun.

"Apa aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.

"Hanya saat setelah pemberkatan, jika pendeta menyuruh. Selebihnya sesekali mungkin, jika orang tua kita diam-diam mengawasi," ia kembali tertawa. "Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Jika kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku..."

"Kyuhyun," teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan, dan Kyuhyun kembali tersenyum.

.

.

.

.

.

ToBeContinued

.

Hai-hai~ masih adakah tanda2 kehidupan JOYers disini?

Semoga masih ada, saya bawa satu cerita tentang OTP kesayangan. emang remake, gs pula. tapi mudah2an masih ada segelintir(?) JOYers yg sudi baca cerita ini. Ada yg udah pernah baca? saya cuman ganti cast-nya aja, sama ada penyesuaian dikit2.

.

Last, review please?