The Beginning

Gilbert Beilschmidt menemukan anak muda itu di sebelah barat bagian kekuasaannya. Pemuda yang tampaknya sedikit lebih muda darinya itu tengah terkapar, darah melumuri pakaiannya. Napasnya satu-satu, dalam setiap hembusannya seakan mengurangi setiap detik waktu hidupnya. Sebuah bendera dengan lambang yang tidak asing tampak terkoyak di samping tubuh sang pemuda. Pemandangan yang cukup sering dilihat Gilbert, sesosok negara yang menemui kekalahannya. Sekarat, menunggu ajal menjemputnya, menghapus keberadaannya dari dunia ini, dan meninggalkan paragraf baru dalam buku tebal yang disebut manusia sebagai "sejarah". Sejenak ia berpikir apakah lebih baik ia menolongnya atau menelantarkannya begitu saja. Tidak ada gunanya membawa pulang negara yang sudah terkoyak, kehilangan kebanggaannya terutama pengakuan dari negara lain. Lagipula ia mendengar Francis-lah yang mengalahkan anak muda itu. Bukankah kemungkinan besar pria pirang flamboyan itu yang akan mengambil si pemuda?

"Feli-"

Bisikan lemah disertai erangan kesakitan terdengar di telinga Gilbert saat ia berniat berbalik dan meninggalkan sang pemuda. Mendesah malas, Gilbert mendekati sosok yang kini tengah berusaha mengangkat lengannya, berjongkok di sampingnya, menyodok pelan dahi sang pemuda menggunakan jari telunjuknya beberapa kali dengan wajah kesal.

"Hei, makhluk bodoh! Daripada kau berusaha untuk bangkit bukankah lebih baik jika kau menyerah saja? Bahkan musuhmu sudah pergi meninggalkanmu sendirian disini? Jadi apalagi yang kau inginkan, hah? Oree-sama tidak akan membantumu walaupun kau memohon, kau tahu?"

Namun tampaknya sang pemuda tidak bisa mendengar perkataan Gilbert. Yang sang pemuda tahu hanyalah Gilbert yang menggerakan bibirnya dengan cepat. Pandangannya semakin mengabur, yang bisa didengarnya hanya suara napasnya sendiri yang semakin melemah setiap menitnya. Ia tahu ia akan meninggalkan dunia ini. Ia tahu ia akan menghilang dalam hitungan menit. Tidak akan ada yang tersisa terkecuali benda peninggalannya, sedangkan yang lainnya akan hilang. Daerah kekuasaannya, warganya, prajurit yang bertarung di sampingnya dengan visi yang sama, dan satu sosok berharga dengan janji yang takkan pernah ia lupakan.

"Fe—li—ciano…"

Sebuah kata pun terucap. Kata itu harus ia ucapkan, walau detik ini ia tidak tahu apa artinya. Ia tidak tahu mengapa di akhir hayatnya ia ingin sekali mengucapkan kata itu. Janji, kata kedua yang kini bergema di pikirannya yang semakin kosong. Janji apa? Pada siapa? Semakin ia memikirkannya luka di tubuhnya semakin terasa sakit. Ia sudah tidak bisa merasakan kedua kaki dengan lengan kanannya.

Waktunya semakin dekat.

Gilbert sedikit kaget melihat kaki sang pemuda yang mulai terihat—kalau bisa dibilang—tembus pandang. Tidak, pemuda di hadapannya bukanlah sejenis makhluk halus yang tidak disukainya, tapi itu merupakan bukti bahwa pemuda di hadapannya sudah tidak bisa diselamatkan. Sudah hampir berakhir.

Terkecuali jika…

"Jan—ji. . .Feli—ciano. . ."

Kembali kata-kata lemah terucap melalui bibir sang pemuda. Gilbert mendesah berat. Kini ia benar-benar harus memutuskan, dan keputusannya ini haruslah menguntungkan dirinya. Namun nampaknya ia tidak bisa berpikir cukup lama karena kini ia mulai tidak bisa melihat lengan kanan sang pemuda.

"Baiklah… aku mengerti! Hentikan gumamanmu itu! Seharusnya aku tidak lewat sini tadi. . . menyebalkan. . .


Akhirnya re-upload dan re-write cerita ini... Ga nyangka, akhirnya kembali ke fandom Hetalia... mohon R&R nya... dan maafkan kalau masih ada typo, udah lama ga balik ke dunia fic. . . maafkan kalau ada kesesatan, karena bagaimanapun Hetalia punyanya Himaruya-sensei... bukan punya saya, kalau punya saya Pru ama Doitsu udah saya nikahin. . . *dipukul botol bir*

Onto next chapter. . . see u there! xD