Disclaimer © Masashi Kishimoto

.

.

.

Hari pertama masuk sekolah bukan hal menyenangkan bagiku. Harus beradaptasi, harus mengenali tiap orang asing, harus... banyak. Aku akui, aku bermasalah dengan adaptasi dan lingkungan baru. Aku harap dunia ini tak pernah punya hal baru dan aku bisa berhenti cemas.

MOS. Aku sama sekali tak menyukai kegiatan ini. Merepotkan dan menyusahkan. Aku tak mengenal siapapun disini, berterima kasihlah pada kakakku yang membawaku pindah sejauh ini. Dan satu hal yang aku syukuri, ada gadis bertubuh kecil, maksudku kerdil. Aku tak berniat mengejeknya, mengejek tak pernah masuk dalam daftar kesukaanku, Aku hanya ingin bilang gadis kecil itu yang membuatku bisa menandai kelompokku. Aku sangat payah dalam hal mengingat wajah seseorang, kalau ingin tahu.

"Hei, siapa namamu?" Seorang gadis berambut pirang yang duduk dibelakangku menjulurkan kepalanya ke dekatku. Cantik, matanya biru dan terlihat menyala. Tipe orang yang ceria dan selalu bersemangat. Mungkin aku tak akan cocok dengannya, tapi memangnya kenapa membahas cocok tak cocok? "Hei..." dia melambaikan tangannya didepan wajahku memarikku kembali ke alam sadar.

"Ah Sakura, Haruno Sakura..."

"Uhm aku Yamanaka Ino, panggil Ino saja." Aku mengangguk kecil lalu kembali memfokuskan perhatianku pada kakak-kakak anggota OSIS didepan kelas yang sedang menjelaskan entah apa. Kepalaku sakit menahan rasa mulas dan keringat dingin yang menetes satu-satu dari pori-pori tubuhku. Kecemasan aneh yang menyebalkan.

Apa lagi ini? Kegiatan aneh menyebalkan. Jika hanya berniat memperkenalkan para kakak kelas kenapa tidak berdiri dan berhadapan lalu saling sapa. Kenapa harus meminta tanda tangan dan dipersulit dengan syarat? Ini benar-benar kurang kerjaan. Dan sekarang aku sedang berdiri dibelakang rombongan siswa siswi yang sedang mengerumi seorang senior bernama uhm... Sabaku Gaara? Ah entahlah. Daftar anggota OSIS ini hanya ada nama dan kelas, tanpa foto. Dan aku ingat salah satu pembimbing kelasku ada yang berambut merah dan namanya Sabaku Gaara.

"Mmm siapa nama senpai ini?" Tanyaku pada gadis disampingku. Dia menoleh dan menatapku sebentar lalu tersenyum manis.

"Akasuna Sasori." Suaranya lembut dan menenangkan. Sepertinya dia gadis yang baik hati. "Kita sekelas kan? Aku Hyuuga Hinata." Dia mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya sambil meringis. Aku sama sekali tak ingat jika kami satu kelas, tapi karna dia bilang begitu, mungkin memang begitu.

"Haruno Sakura."

"Ah sudah berkurang, ayo maju Haruno-san." Hinata meraih tanganku dan mengajakku maju.

"Sakura saja."

"Ok. Sakura-chan he he." Dia manis. Tipe gadis lembut dan baik hati, seperti seorang putri.

Setelah kami mendapatkan tanda tangan Akasuna senpai, kami melanjutkan dengan meminta tanda tangan dari senpai-senpai lainnya. Bersama Hinata lebih mudah, aku tak perlu susah payah bertanya pada siswa lain siapa nama senpai yang akan ku mintai tanda tangan. Lagi pula Hinata cukup banyak bicara, bukan cerewet hanya pandai bercerita dan membuat suasana akrab.

Puncak acara MOS menyebalkan ini adalah menulis surat cinta. Wow. Apa yang harus ku tulis? Aku orang paling jujur dalam mengungkapkan kata-kata. Pasti akan sangat merepotkan. Jadi disinilah aku. Di meja belajar dengan tumpukan kertas. Aku membeli kertas cantik berwarna kuning, aku tidak menyukai pink. Cukup rambutku yang berwarna pink tanpa ada tambahan pink lainnya. Meski tak suka, aku cukup berusaha membuat surat cinta yang baik. Atau normal? Entahlah.

Dear...

Oh aku harus memilih siapa yang akan ku kirimi surat cinta ini. Penanggung jawab pria untuk kelasku ada dua, Inuzuka Kiba dan Sabaku Gaara. Dua senpai itu bertolak belakang. Gaara yang cool dan... ku dengar kebanyakan siswi di kelasku akan memilih dia untuk dikirimi surat cinta. Karna itulah aku akan memilih Inuzuka Kiba. Akan menyedihkan jika dia tak mendapatkan apapun. Dia pasti akan berlagak baik-baik saja, padahal mungkin tidak. Jadi...

Dear Inuzuka senpai...

Tidak ada yang spesial, aku hanya ingin membuatmu lebih baik karna...

Buang. Itu bukan surat cinta. Tapi penghinaan, aku akan bermasalah nanti. Aku pusing. Ini karangan yang lebih sulit dari membuat kesan berlibur dirumah nenek. Aku kesal. Tapi tugas tak akan selesai dengan digerutui.

Halo, Inuzuka senpai...

Ku rasa aku menyukaimu. Kau ceria -sebenarnya berisik- dan ramah serta baik hati -ini hanya karanganku, aku tak mengenalnya jadi tak mungkin aku tahu dia baik hati atau tidak-. Aku tak akan berkhayal kau menerimaku tapi... aku akan senang jika kau juga menyukaiku -aku mau muntah-.

Sejak pertama kali aku melihatmu, kau selalu menjadi sosok positif dimataku. Maksudku, auramu mengagumkan -apa tidak masalah aku tulis begini? Ini bohong-. Aku mendengar banyak yang akan mengirim surat pada Sabaku senpai, tapi aku memilihmu. Karna ku pikir kau sedikit lebih mudah dan ceria dari dia, dan setidaknya sainganku tak banyak. Dan bla bla bla.

Aku menulis entah apa yang lewat sekilas dikepalaku. Ini mengkhawatirkan dan parah. Tapi siapa yang peduli? Kertas ini hanya akan jadi bahan lelucon dan penghuni tempat sampah. Dua lembar, ku putuskan itu jumlah yang cukup. Tanganku akan pegal dan perutku semakin mual jika aku menulis lebih dari ini. Oh hidupku penuh dengan keluhan. Yah semacam kegiatan sampingan selain cemas.

"Kumpulkan surat cinta kalian." ucap senpai perempuan yang aku lupa namanya. Kelemahanku selanjutnya selain susah mengingat wajah orang.

kelelahanku sudah sampai puncaknya. Kegiatan akhir MOS tadi sangat menguras tenaga. Aku tak suka melakukan hal yang tak penting versiku. Sudahlah. Mandi mungkin akan mengembalikan moodku yang melayang entah kemana tadi.

Aku membeku menatap selembar kertas berwarna kuning dimeja belajarku. Seketika itu juga keringat dingin dan kecemasanku meningkat. Harusnya ini tak masalah, tapi aku merasa hampir menangis. Satu lembar surat cinta itu tertinggal, jadi yang kumasukkan dalam amplop hanya lembar terakhirnya saja.

Aku yakin wajahku sudah pucat. Meski otakku berulang kali memutar rekaman kata 'baik-baik saja' tapi sebagian otak lainnya meningkatkan kecemasanku. Kecemasanku menang, aku berlari keluar kamar setelah menyahut lembar kuning itu.

"Nee-san! Nee-san!" Teriakku tak sabar. Kecemasanku nyaris berubah menjadi kepanikan.

"Aku tidak tuli Saki." Sahut Karin jengkel sembari mendekatiku.

"Antar aku ke sekolah." Ucapanku mungkin seperti sesuatu yang aneh karna wajah Karin benar-benar terlihat bodoh saat ini. "Nee-san..."

"Kau bahkan baru pulang Saki."

"Ada yang tertinggal. Antarkan saja." Ucapku tak sabar yang membuatnya mengangkat bahu lalu menyambar kunci mobilnya.

Karin hanya menghela nafas jengkel setelah mendengar alasanku dalam perjalanan ke sekolah. Dia menggerutu betapa anehnya sikapku. Harusnya dengan sikap cuek yang cenderung jutek aku tak perlu memikirkan masalah surat cinta yang tertinggal. Tapi masalahnya secuek apapun aku, perasaan cemas, panik dan ceroboh juga termasuk ke dalam sifatku. Intinya aku memang orang aneh. Aku mengaku. Untung saja salah satu senpai yang aku kenal masih ada di sekolah hingga masalah surat cinta sialan itu selesai.

Aku sedang menuju kantin ketika tak sengaja mendengar ucapan salah satu senpai yang mengatakan surat cinta terbaik ditulis oleh seorang siswi bernama Matsuri. Para senpai itu terkikik seolah surat terbaik berarti surat terlucu. Aku memutar mataku, sepertinya Matsuri itu menulis dengan sungguh-sungguh. Tapi itu bagus. Persetan.

Hari pertama belajar, kami mendapat wali kelas penguasa matematika. Aku benci matematika, tapi aku berpura-pura suka. Aku tak mau bermasalah dengan wali kelasku. Dia wanita yang terlihat garang, bisa saja dia seorang yang suka memberi hukuman kejam. Aku tak suka hukuman. Sekarang aku justru bertanya-tanya, kenapa aku hampir tak menyukai segala hal? Apa sebenarnya yang aku sukai?

"Aku ingin kalian duduk bukan dengan teman SMP." Ucap Konan Sensei, aku mengingat namanya karna tertulis di papan. Aku tak masalah dengan itu, tentu saja karna di sini aku memang tak mengenal siapapun, apalagi teman SMP.

Konan sensei memastikan kami mematuhi aturannya dengan melihat data diri kami. Dan aku duduk dengan seorang pria berkulit putih -cenderung pucat-, rambutnya darkblue dan mencuat. Keren. Itu penilaianku dalam sekali lihat. Pendiam, penilaianku dalam dua kali lihat. Setidaknya duduk dengan pria ini akan menjamin privasiku, dia terlihat tidak suka mengurusi urusan orang lain. Jika aku duduk dengan teman perempuan mungkin kepalaku akan sedikit sakit diawal-awal. Aku tak menyukai pertanyaan, tapi pasti itu yang keluar dari mulut tiap anak perempuan.

Sesi perkenalan. Membuatku ingat nama Yamanaka Ino dan Hyuuga Hinata yang duduk sebangku dan berjarak dua meja dariku. Aku duduk diurutan ke dua dari belakang. Dan aku sangat berusaha keras mengingat nama teman sebangkuku. Akan sangat tidak sopan jika aku tak mengingat nama teman sebangku 'kan?

Dalam beberapa hari menjadi bagian dari kelas ini membuatku mengerti jika kelas ini merupakan kelas paling berisik. Kelas dengan jumlah pria lebih banyak. Kelas dengan tingkat pembangkangan tinggi. Dan kelas paling menyebalkan bagi para sensei dan senior. Dan yang paling menyebalkan, aku adalah bagian dari kelas ini.

"Sasuke... Mau ke kantin sama-sama?" Dengarkan suara manis manja Ino. Gadis ini terlalu mencolok dengan mendatangi mejaku -maksudku meja Sasuke- setiap ada kesempatan. Alasan yang digunakan sangat banyak. Dari yang biasa sampai tak biasa, dari yang normal sampai aneh.

"Hn." Dan dua konsonan yang menjadi langganan kata yang keluar dari mulut teman sebangkuku. Entahlah. Terkadang 'hn' itu memiliki banyak arti. Karna saat ini pria disampingku tidak beranjak dari kursinya. Berarti kali ini arti 'hn' itu tidak mau.

"Ayolah Sasuke..." rengek Ino. Dia pintar mengartikan kata aneh itu. Mengagumkan.

"Pergilah dengan Sakura." Aku menoleh tak percaya menatap Sasuke. Kenapa dia melibatkanku? Harusnya dia bisa melihat jika aku belum selesai mengerjakan PR yang harus dikumpulkan seusai istirahat. Mendengar teriakan cempreng di depan sana ditambah percakapan mereka sudah cukup membuatku mengerutkan dahi lebih dalam untuk berkonsentrasi agar bisa selesai, tak akan bagus jika PR ini ku tinggal ke kantin. Kakashi sensei orang ramah yang kejam.

"Tidak." Aku takjub saat mendengar suaraku bercampur dengan suara Ino yang juga mengucapkan kata 'tidak'. Aku tersinggung dia menolakku, tapi seharusnya tidak karna aku sedang sibuk.

"Jangan tersinggung Saki..." Ino seperti cenayang bisa membaca pikiran orang lain. Dan sejak kapan dia memanggilku Saki? "Kau sibuk. Aku tahu itu. Jadi Sasuke, ayo ke kantin. Aku sedang ingin membuat iri para gadis kelas lain." Tanpa peringatan Ino menarik tangan Sasuke membawanya ke kantin. Ino benar, meski aku tak terlalu memperhatikan, Sasuke disukai banyak gadis dari kelas lain. Tapi herannya tak ada gadis yang seperti itu di kelas ini. Mereka menatap Sasuke biasa saja tanpa kilauan terpesona seperti gadis-gadis dari kelas lain. Ada yang aneh dari kelas ini. Dan sialannya aku juga termasuk ke dalam keanehan itu.

"Sakura-chan, mau ku antar?" Aku menoleh. Naruto yang sedang memakai jaket dan menenteng helmnya berjalan disampingku. Dia menawariku tumpangan. Ah aku berangkat sekolah selalu diantar Karin, tapi pulang naik bus. Karin tak akan bisa menyempatkan diri menjemputku, dia selalu bilang pekerjaannya menumpuk.

"Kau akan rugi Naruto, dadaku tidak besar." Ucapku malas. Aku pernah tak sengaja mendengar pembicaraan Naruto dengan beberapa pria di kelasku kalau dia menyukai membonceng gadis berdada besar. Dia beberapa kali membonceng gadis-gadis seperti dalam kriterianya itu.

"Ha ha kau mendengar dari siapa?"

"Dari mulutmu." Naruto tertawa lagi. Dia tipe mesum, tapi selalu bisa membuat para gadis merasa spesial. Sekarang dia sedang melakukannya padaku, mengantar pulang memang bukan hal besar. Tapi aku merasa cukup senang dengan tawarnya mengingat kami tidak akrab.

.

.

.

tbc...

.

.

.

Keyikarus

29 November 2017