Characters belongs to : Mashashi Kishimoto

Story belongs to : Hatake Aria

.

.

FROM PASTA TO LOVE

.

NARUTO POV

.

.

Naruto menatap kotak bekal yang berada dihadapan Shizune dengan tatapan memuja.

"Kau mau?"

Anggukan penuh antusias diberikan Naruto sebagai jawaban. Shizune hanya bisa tersenyum tipis melihat kepolosan juniornya tersebut, dua tahun bekerja di perusahaan yang sama dan divisi yang sama membuatnya telah terbiasa dengan sifat kekanak-kanakan milik Naruto. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Shizune langsung saja memberikan garpu miliknya kepada Naruto.

"Tapi Shizune-nee, kau kan belum memakannya, tidak mungkin aku yang memakannya terlebih dahulu, lagipula aku hanya ingin menyicipinya saja, karena kelihatannya spaghetti buatanmu sangat enak," lanjut Naruto enggan mengambil garpu yang diberikan Shizune.

Lagi, sang senpai hanya tersenyum.

"Tidak masalah, kau boleh memakannya terlebih dahulu, dan hei jangan terlalu memuji seperti itu, ini cuma spaghetti biasa dan sausnya juga aku beli yang instan, dan .."

"Tapi Shizune-nee aku serius mengatakan kalau sphagetti buatanmu enak, kemarin aku membeli sphagetti diluar tapi rasanya tidak seenak buatanmu," ujar Naruto memotong penjelasan Shizune.

"Katakan saja kalau kau suka yang gratisan Naruto."

Naruto langsung memasang tatapan protes kepada seniornya bernama Genma yang posisi kubikelnya berada disamping Shizune.

"Enak saja!"

"Aku sering memasak sphagetti ini karena anakku paling suka memakan ini, dan tampaknya dia cuma sukanya makan sphagetti saja, makanya setiap hari aku bangun lebih pagi untuk memasakkan ini buat anakku dan sebagian kubawa untuk bekal di kantor."

Naruto mengangguk singkat, Ia jadi teringat dengan balita cantik berumur satu tahun setengah bernama Kaori, putri kecil sang senpai.

"That's it!"

"Sekarang aku tahu kenapa sphagetti buatan Shizune-nee lebih enak, itu karena Shizune-nee memasakknya untuk orang yang dicintainya, untuk anaknya, karena ada cinta didalam masakannya."

Shizune hanya bisa mengedipkan matanya melihat Naruto yang tengah berorasi, dan Genma hanya bisa mengelus keningnya, suara Naruto yang berisik telah membuat konsentrasinya buyar seketika.

"Ck, Naruto kau berisik, kembali bekerja sekarang!"

.

.

Terkadang menjadi gadis yang carefree dan happy go lucky seperti Naruto membawa kecemburuan tersendiri bagi beberapa orang disekitarnya terutama rekan wanitanya, kemudahannya dalam bergaul dengan semua orang dari berbagai usia, jenis kelamin dan jabatan, serta sikapnya yang bisa menjadi formal dan informal dalam sekejap membuatnya mudah bergaul dengan seluruh karyawan baik atasan maupun rekan sejawat. Sifatnya yang terkadang usil dan bawaannya yang berisik membuat suasana dikantor lebih hidup, belum lagi kebiasaannya di jam istirahat yang berkunjung keberbagai divisi membuatnya mendapat teman lebih banyak.

Tapi tidak akan ada yang menyangka dengan apa yang keluar dari kedua bibir gadis bersurai pirang itu barusan, yang berhasil membuat beberapa karyawan yang masih berada diruangan saat istirahat siang itu menatap tak percaya kepadanya.

"Kelihatannya spaghetti buatanmu sangat enak Itachi-san."

Naruto menatap pria dihadapannya yang refleks mengangkat wajahnya dari kotak bekal diatas meja, kemudian menatap dirinya yang tengah berdiri tak jauh dari meja kerjanya. Pria itu bernama Uchiha Itachi, usianya beberapa tahun diatasnya. Dirinya berada di Divisi Perencanaan yang berada dilantai dua, sementara Itachi berada di Divisi Pemasaran yang berada dilantai tiga. Ia termasuk sering berkunjung ke divisi ini, tetapi biasanya dia hanya datang untuk mengobrol dengan Sakura ataupun bermain game dengan Kiba.

"Kau mau? Kalau begitu ambilah, aku memberikannya untukmu."

Sakura yang sedang meminum kopinya refleks tersedak mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut sang Uchiha. Sedangkan Kiba, langsung mengalihkan pandangannya dari game yang ada di smartphone-nya.

Sedangkan Naruto hanya bisa mengedipkan kedua sapphire nya menatap sang Uchiha, pria yang berada dihadapannya ini telah bekerja di perusahaan yang sama dengannya selama enam bulan, dan selama enam bulan itu belum ada satupun kalimat yang keluar dari bibir Naruto kepada pria bersurai kelam tersebut. Bawaan Itachi yang pendiam dan terkesan tertutup membuat Naruto selalu berfikir dua kali untuk mengajak sang pria mengobrol, walaupun ia termasuk sering berkunjung ke divisi mereka.

Naruto menatap Itachi yang menutup kembali kotak bekalnya yang belum tersentuh dan merapikannya. Pria itu menyodorkan kotak bekal tersebut kehadapan dirinya.

Naruto masih betah diposisi diamnya, otaknya masih mencerna ucapan sang Uchiha yang menawarinya bekal makan siangnya, seakan tersadar Ia pun akhirnya menggelengkan kepalanya pelan seraya melambaikan keduatangannya.

"Tidak-tidak, aku hanya bercanda Itachi-san, silahkan lanjutkan makanmu," ujar Naruto seraya menautkan keduatangannya dibalik punggungnya, Ia pun sudah bergegas pergi namun diurungkannya saat melihat Itachi bangkit dari kursinya dengan kotak bekal ditangannya berjalan menghampirinya.

"Sudah aku katakan, ambilah, ini untukmu."

Kedua sapphire Naruto membulat sempurna saat menatap pria bersurai kelam tersebut menarik tangan kanannya dan meletakkan kotak bekal tersebut diatasnya.

Naruto menggenggam kotal bekal tersebut dengan erat, langkahnya terhenti saat Ia telah berada didepan ruangan kerjanya. Ia langsung duduk dan meletakkan kotak bekal tersebut diatas mejanya, dengan perlahan Ia membuka kotak bekal tersebut, sapphire nya kini fokus menatap sphagetti bolognese yang tertata rapi dihadapannya, mengabaikan tatapan bingung Shizune disampingnya.

Perlahan Ia mengambil garpu dan membuat gerakan memutar pada pasta tersebut kemudian membawanya menuju mulutnya. Sapphire nya membulat sempurna tatkala rasa dari pasta tersebut menyentuh indra perasanya, dan tanpa disadarinya tangan kirinya menyentuh pipinya yang masih menggembung.

"Ini sangat enak!"

.

.

Tidak akan ada yang percaya jika seorang Uchiha Itachi yang dijuluki Ice Prince oleh beberapa fansnya di kantor tersebut bisa tersenyum dan bahkan tertawa, walapun hanya sebuah tawa kecil, dan semua pemandangan itu bisa terjadi berkat seorang gadis bersurai pirang.

"Lalu kau tahu apa yang dikatakan Genma-senpai padaku?"

Naruto menjeda kalimatnya, mencoba memberi efek dramatis pada kalimat yang akan diucapkannya, Ia pun berdehem pelan.

"Dan sekarang kau mencari suaka ke Divisi Pemasaran? Siapa korbanmu kali ini?"

Pria dihadapannya tidak bisa tidak tersenyum melihat dirinya yang menirukan suara Genma, selama ini Ia hanya mengobrol dengan antusias bersama Sakura dan Kiba, dan hanya karena sebuah bekal pasta yang diberikan sang pria, saat ini Ia bisa mengobrol layaknya sahabat akrab dengan Itachi.

"Tentu saja aku menjawab, 'Aku tidak meminta, tetapi diberikan oleh Itachi-san', tapi kenapa tidak ada yang percaya padaku?"

Naruto tetap bercerita dengan antusiasnya, walau tanpa ada kata yang keluar dari bibir sang Uchiha. Itachi hanya menanggapi celotehan Naruto dengan senyum tipisnya.

"Tapi serius, masakanmu ternyata sangat enak Itachi-san, dan aku sudah memasukkannya kedalam list pasta terenak yang pernah kumakan dalam hidupku."

Naruto mengangkat tangan kirinya, kemudian meregangkan kelima jarinya.

"Pertama itu buatannya Shizune-nee," ujarnya seraya memegang jari kelingking kirinya.

"Kemudian buatanmu," lanjutnya lagi sambil memegang jari manisnya.

Ia terdiam sesaat, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Ah tidak-tidak, pasta buatan kalian berdua berada di level keenakan yang sama," ujarnya seraya memberikan sang Uchiha senyuman andalannya.

"Ne Itachi-san, kau mau membuatkannya lagi untukku?"

.

.

Naruto menatap jajaran makanan instan di rak sebuah mini market yang tak jauh dari apartemennya. Tampaknya malam ini Ia akan memutuskan memakan makanan instan kembali, Ibunya yang berada dikampung halaman pasti akan marah kalau mengetahui anak gadis sematawanyangnya kebanyakan menghabiskan uangnya untuk membeli makanan instan daripada membeli bahan makanan untuk dimasak sendiri, dan wanita bersurai merah itu akan kembali berkata bahwa tinggal di Tokyo sendirian bukanlah ide yang bagus. Bukannya Naruto tidak bisa memasak, yah setidaknya Ia bisa memasak masakan sederhana, tetapi karena kesibukan kerjanya Ia jadi lebih suka membeli makanan instan atau makan diluar, dan Ia telah memiliki beberapa tempat favorit dimana Ia terkadang membawa temannya untuk makan bersamanya.

Saat jemarinya menyusuri aneka bento sampai keujung rak makanan instan, tanpa sadar tubuhnya berbenturan dengan seseorang disampingnya, refleks wajahnya diarahkannya untuk menatap seorang pria yang sangat dikenalnya.

"Itachi-san."

Sang pria menoleh, ekspresi terkejut terpancar diwajahnya.

"Naruto?"

Naruto kembali menegakkan tubuhnya yang semula sedikit membungkuk, Ia menatap Itachi yang tampak terkejut menatap dirinya.

"Aku baru tahu kalau kau juga tinggal didaerah sini?"

Pria itu menggeleng pelan.

"Ah tidak, tadi aku berencana mengunjungi temanku yang tinggal disini, tetapi ternyata dia sedang tidak berada di apartemennya."

Naruto memegang ujung dagunya dengan tangan kirinya seraya mengangguk kecil.

Naruto melirik Itachi yang menatapnya dan rak makanan instan secara bergantian.

"Jangan katakan kalau kau sering memakan makanan instan."

Naruto refleks tertawa kecil sembari menggaruk pipi kanannya dengan jari telunjuknya, Ia jadi malu saat salah satu kebiasaan buruknya diketahui rekan kerjanya, terutama orang itu adalah Uchiha Itachi.

"Ng, kau tahu kan, terkadang aku pulang terlalu malam dan karena terlalu lelah jadi aku lebih memilih makanan instan, dan makan sendirian diluar kupikir sedikit membosankan."

Naruto menundukkan wajahnya, batinnya merutuki kalimat yang baru saja diucapkannya, dirinya seperti sedang curhat kepada Itachi.

Perlahan Naruto kembali mengangkat wajahnya, Ia menautkan keduatangannya dibalik punggungnya. Sebuah senyuman diberikannya pada sang Uchiha.

"Itachi-san, apa kau sudah makan malam?"

Naruto menatap Itachi yang menggelengkan kepalanya singkat.

"Hei, bagaimana kalau kita makan diluar, apa kau suka ramen? Karena aku akan mengajakmu ke tempat ramen paling enak di kota ini."

Naruto menatap Itachi yang masih betah dalam diamnya.

"Tenang saja, aku yang traktir."

Dengan itu Ia menarik pergelangan tangan sang Uchiha dan membawanya keluar dari mini market tersebut.

Naruto menyodorkan daftar menu sesaat setelah keduanya duduk berdampingan di sebuah kedai ramen bernama Ichiraku Ramen, tempat favorit Naruto.

"Kau mau pesan apa?" ujarnya seraya menatap sang Uchiha yang tampak bingung menentukan pilihannya.

"Seluruh ramen milik paman Teuchi sangat enak, kau bisa mencoba Miso Ramen, atau .. "

Naruto dengan antusiasnya menjelaskan seluruh menu favorit dari kedai ramen tersebut, dan akhirnya Miso Ramen menjadi menu pilihan Itachi.

"Aku jamin, kau tidak akan kecewa dengan rasanya, dan pasti setelah ini kau akan ketagihan makan ramen disini."

Dan beberapa saat kemudian, dua mangkuk ramen tersaji dihadapan Naruto dan Itachi. Kuah kaldu dari ramen milik paman Teuchi menambah kehangatan di malam penghujung November yang terasa sangat dingin.

.

.

Berawal dari pasta kemudian ramen, membuat hubungan Naruto dan Itachi semakin akrab, ditambah sifat Naruto yang mudah bergaul dengan siapa saja menjadi faktor pendukung kedekatan keduanya. Kini setiap Ia datang ke Divisi Pemasaran, tujuannya bukan hanya mengobrol dengan Sakura maupun Kiba. Bahkan terkadang Itachi juga ikut larut dalam obrolan ketiganya.

Jangan mengira Naruto berkunjung ke Divisi Pemasaran hanya untuk mengobrol hal yang tidak penting, kebanyakan isi obrolan mereka berkaitan dengan pekerjaan.

"Kalian lihat hasil pencapaian kalian minggu lalu?" ujar Naruto seraya menunjuk tabel excel pada layar komputer Kiba, dengan Itachi dan Sakura yang berdiri disampingnya.

"Target minggu lalu tidak tercapai."

Naruto menatap Sakura yang tampak ingin memprotes perkataannya, target yang tidak tercapai minggu lalu adalah segmen milik Sakura dan Kiba.

"Targetnya terlalu besar, divisi mu seharusnya mem-breakdown targetnya lebih realistis."

Naruto menatap Itachi yang tengah memegang ujung dagunya dengan salah satu tangannya.

"Kita tidak bisa mengatakan kalau target yang diberikan terlalu besar, Kau dan Kiba telah membuat angka itu sebagai target pada LAG Measure kalian, seharusnya kalian coba lihat kembali Lead Measure dan komitmen kalian minggu lalu, apakah seluruh aktivitasnya terlaksana, dan coba buka kembali file WIG kalian, nah seharusnya ini dievaluasi, menurutku Lead Measure yang kalian buat tidak terlalu menendang untuk mencapai sasaran, kemudian ... "

Naruto menatap Itachi yang berdiri disampingnya, pria itu menjelaskan pada Sakura dan Kiba dengan bahasa yang lebih simpel dan mudah dimengerti oleh keduanya. Ia sekarang tidak heran, kenapa pria itu sangat cepat mendapatkan promosi, ternyata selain memiliki wajah yang tampan, Ia juga dikaruniai otak yang cemerlang.

.

.

"Kapan kau mau memasakkan spaghetti untukku?"

Naruto menatap Itachi yang tengah memeriksa jajaran arsip, keduanya saat ini sedang berada di ruangan arsip. Ia tidak menyangka bertemu Itachi diruangan ini.

"Aku akan memberikanmu resepnya dan kau bisa memasaknya sendiri di apartemenmu."

Naruto mendecak pelan, bahkan pria itu menjawab pertanyaannya tanpa sedikitpun menoleh kearahnya.

"Tapi rasanya berbeda, aku sudah pernah mencobanya."

"Mungkin karena resepnya ada yang kurang atau tata cara memasaknya berbeda."

Lagi, pria itu tidak menatapnya saat kembali menjawab perkataannya.

"Aku kan ingin memakan masakanmu." lirih Naruto pelan sembari berjalan menjauhi Itachi, Ia kembali fokus pada arsip yang sedang dicarinya. Ia yakin ucapannya barusan tidak akan didengar sang Uchiha.

Naruto menatap judul bindex pada rak paling atas, itu dia arsip yang tengah dicarinya. Namun karena letaknya yang terlalu tinggi membuatnya harus berjinjit untuk dapat menggapai arsip tersebut.

Ia berjinjit namun tak juga tergapai, Ia berjinjit lebih tinggi lagi dan kali ini ujung jarinya berhasil menyentuh bindex tersebut, dan Ia melompat sebagai aksi finalnya. Ia memang berhasil mengambil bindex arsip yang diinginkannya, namun bukan hanya satu bindex yang terambil, beberapa bindex yang berjajar rapat ikut terjatuh. Refleks Ia menundukkan kepalanya dan menutup kedua matanya, seolah pasrah dengan tumpukan bindex yang akan menimpanya.

Naruto bisa mendengar suara bindex dan lembaran kertas yang berjatuhan, tapi Ia sama sekali tidak merasakan sesuatu menimpa tubuhnya. Perlahan Ia membuka matanya dan mengangkat wajahnya, sapphire nya langsung membulat sempurna tatkala bertemu dengan sepasang oniks kelam milik Itachi. Pria itu menggunakan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi dirinya, tanpa disadarinya rona merah menghiasi wajahnya karena jarak mereka yang sangat dekat.

"Kau sadar kan, kalau tubuhmu pendek dan tidak bisa menggapai arsip di rak paling atas?"

Naruto mengangguk pelan, dengan wajah keduanya yang sangat dekat membuatnya sedikit sulit bergerak.

"Jadi kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan lain kali jika tidak bisa mengambil arsip di rak paling atas?"

Naruto kembali mengangguk.

"Hm, lain kali aku akan mengambil kursi untuk memanjat."

.

.

Plak,

Naruto menampar kedua pipinya.

"Tidak, kau tidak boleh menyukai pria itu, ingat Naruto, dia itu Uchiha Itachi, rekan kerjamu, professional lah sedikit," ujarnya bermonolog.

Naruto kembali menatap langit-langit kamarnya.

"Sebenarnya tidak masalah juga sih berpacaran dengan rekan sekantor, Ino di Divisi Keuangan saja berpacaran dengan Sai, bahkan keduanya berada di Divisi yang sama."

Naruto kembali terdiam.

"Ck, kalaupun aku suka kepadanya, belum tentu dia memiliki perasaan yang sama."

"Tapi .., tadi tanpa ragu-ragu dia menjadikan dirinya tameng untuk melindungiku, dan uh .., pasti rasanya sangat sakit tertimpa tumpukan arsip seperti itu."

Naruto kembali teringat dengan kejadian siang tadi diruang arsip.

"Jangan-jangan Itachi-san juga ..."

Naruto buru-buru menggelengkan kepalanya, Ia tidak berani berfikir lebih jauh lagi. Perlahan Ia menarik selimutnya sampai keleher, kemudian menutup perlahan kedua sapphire nya. Dan dalam tidurnya Ia pun tersenyum, malam itu Ia bermimpi pria bersurai kelam itu berjalan berdampingan dengannya, dengan seorang balita berada didalam gendongannya.

.

.

Naruto menatap surat perjalanan dinas yang berada diatas meja Itachi, saat ini Ia kembali menghabiskan sisa jam makan siangnya diruangan Itachi.

"Kau mendapat dinas ke Osaka?"

Naruto menatap Itachi yang mengangguk singkat sembari menatap dirinya yang duduk disampingnya. Naruto bersyukur saat ini Kiba sedang keluar, sehingga dirinya bisa menggunakan kursi kerja Kiba yang bersebelahan dengan milik Itachi.

"Kapan kau akan berangkat?"

Naruto menatap Itachi yang kembali mengambil surat perjalanan dinas miliknya.

"Sepertinya akan diundur, tapi aku belum tahu kapan."

Naruto mengangguk.

"Kau tahu, saat kau di Osaka nanti kau harus mencoba takoyaki yang dijual didepan gerbang Osaka Castle, itu adalah takoyaki terenak yang pernah kumakan seumur hidupku, terus juga jangan lupa makan okonomiyaki di Chibo Restaurant yang ada di Dotombori, tapi sebagai tips kau harus datang satu jam lebih awal dari jam makan malam, supaya tidak lama mengantri, terus kau juga harus menyicipi cheese cake dari Rikuro Oji-san, rasanya sangat lembut dan fluffy."

Naruto memegang kedua pipinya dengan kepalanya yang Ia miringkan, Ia tengah membayangkan seluruh makanan enak itu berada di dalam mulutnya.

"Apa isi dikepalamu hanya ada makanan?"

Ucapan singkat Itachi yang menohok membuat Naruto tersadar dari lamunannya. Ia hanya mengerucutkan bibirnya menanggapi perkataan Itachi.

"Dan jangan lupa, kau harus membelikanku pocky ukuran jumbo dan Pringles rasa okonomiyaki pulang dari Osaka."

Naruto menatap Itachi yang hanya mendengus pelan mendengar seluruh permintaannya.

"Dan satu lagi,"

Naruto menjeda kalimatnya, yang membuat atensi pria itu kembali fokus pada dirinya.

"Kapan kau akan memasakkan spaghetti untukku?"

.

.

Naruto tidak bisa menyangkal lagi kalau Ia benar-benar telah jatuh cinta pada pria bermarga Uchiha tersebut.

Dan disinilah Ia saat ini, duduk dihadapan pria yang disukainya. Senyum bahagianya tidak pernah sirna sejak Ia menginjakkan kakinya diruangan Divisi Pemasaran tersebut, terlebih yang membuatnya tersenyum seperti itu adalah karena pria yang disukainya itu tengah menyodorkan kotak bekal berisi spaghetti bolognese kehadapannya.

Akhirnya pria itu memasakkan spaghetti untuknya.

"Itadakimasu!"

Ujarnya riang seraya merapatkan keduatangannya, Ia kemudian melirik Itachi yang menatapnya dengan sebelah tangannya yang digunakannya untuk menopang wajahnya.

Naruto mengambil garpu dan membuat gerakan memutar pada pasta tersebut kemudian membawanya menuju mulutnya.

Perlahan senyuman dan ekspresi ceria itu menghilang dari wajahnya tatkala rasa pasta itu ditangkap oleh lidahnya.

Ia kembali memutar garpunya dan memasukkan pasta itu kedalam mulutnya, sampai seluruh isi dari kotak bekal itu habis tak tersisa. Perlahan Ia meletakkan garpunya, menutup kembali kotal bekal tersebut.

"Terimakasih untuk makan siangnya," ujarnya seraya tersenyum

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Naruto benar-benar berdoa Ia bisa berhasil menirukan senyuman Shimura Sai.

.

.

"Kau ada hubungan apa dengan si Uchiha itu?"

Naruto refleks mengangkat wajahnya menatap Ino.

"Iya, kelihatannya kalian berdua sangat akrab sekali."

Dan kali ini Hinata yang ikut berkomentar.

Naruto kembali fokus pada ramen instan dihadapannya, kali ini Ia menghabiskan jam makan siangnya di pantry bersama dengan rekan-rekan wanitanya.

"Bukannya aku juga sangat akrab dengan Sai maupun Kiba? Sesama rekan kerja sudah sewajarnya kita akrab bukan?"

Naruto mendengar Ino mendecak pelan.

"Kau tahu apa maksudku Naruto? Maksudku ..."

Naruto menatap Ino yang mengurungkan niatnya melanjutkan perkataannya. Gadis dengan surai pirang pucat itu melambaikan tangannya dihadapannya.

"Baiklah-baiklah, aku pikir kau suka pada si Uchiha itu."

Naruto berusaha membuat raut wajahnya setenang mungkin dan tidak berekspresi berlebihan, untuk membuat Ino yakin jika asumsinya barusan adalah salah.

"Karena setahuku Uchiha Itachi itu memiliki kekasih."

Dan kali ini Naruto tidak bisa untuk tidak mengeluarkan ekspresi terkejutnya, dan akhirnya Ia tahu kenapa rasa pasta yang dimakannya berbeda dengan pasta yang pernah diberikan Itachi diawal padanya.

Sudah jelas, berbeda orang yang dituju, maka akan berbeda pula rasanya. Dan itu membuat Naruto kembali teringat pada sebuah haiku yang pernah dibacanya.

i don't need any

flower's petals to know that

you do not love me

.

.

Naruto menatap layar smartphone-nya. Ia kembali membaca pesan sang Ibu, tampaknya kali ini Ia harus menuruti permintaan sang Ibu.

Ia menghela nafasnya panjang, sebelum akhirnya Ia berjalan mengambil kopernya yang disimpannya disudut kamarnya.

Tampaknya Ia harus mulai membereskan barang-barangnya.

.

.

Naruto menatap restaurant Izakaya yang berada tak jauh dari kantornya, tanpa disadarinya kakinya melangkah menuju restaurant tersebut.

"Naruto!"

Refleks Naruto menoleh kebelakang, dilihatnya Itachi yang sedang berlari kecil kearahnya. Perlahan Ia tersenyum kecil.

"Ne Itachi, kau mau menemani aku minum, aku yang traktir."

.

.

Naruto meletakkan gelas sake nya yang sudah kosong, kemudian tangannya kembali menggapai botol sake dan perlahan menuangkannya kedalam gelasnya yang sudah kosong. Ia kembali mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, perlahan cairan itu masuk kedalam mulutnya.

"Lebih baik kau berhenti minum sekarang."

Naruto melirik Itachi yang tengah menatapnya. Perlahan Ia kembali meletakkan gelas sake nya yang telah kosong diatas meja.

"Kau tenang saja, aku tidak akan mabuk hanya karena tiga botol sake ini," ujarnya seraya melambaikan tangannya pada pria disampingnya.

"Wajahmu sudah memerah, kau mulai mabuk."

Naruto mengerucutkan bibirnya tatkala botol sake yang hendak diambilnya berhasil diambil oleh Itachi.

"Kau sangat menyebalkan, baiklah itu untukmu, aku akan memesan lagi."

Naruto memalingkan pandangannya dari Itachi.

"Paman, aku minta satu botol lagi."

Dan tak lama kemudian, Naruto kembali mendapatkan sake yang diinginkannya, dan kali ini tangannya lebih cepat menggapai botol sake tersebut dari sang Uchiha.

"Ahh.., sudah lama aku tidak minum seperti ini," ujar Naruto sesaat setelah menegak habis sake yang baru dituangnya.

Naruto menatap ekspresi Itachi yang tampak kesal padanya.

"Ne Itachi, ayo kita bermain game."

Pria itu sama sekali tidak memberikan reaksi tertarik, sehingga membuat Naruto mengguncang pelan tubuhnya.

"Nama permainannya Kiss, Marry, Kill."

Naruto dengan keduatangannya yang masih setia menggenggam lengan Itachi, menatap pria itu yang sedang menaikkan sebelah alisnya.

"Setelah kau mencium orang tersebut, menikahinya, kemudian kau membunuhnya? Aku baru tahu kau memiliki jiwa psikopat."

Naruto mendecak pelan.

"Bukan seperti itu permainannya, disini kau akan diberikan tiga orang yang berbeda, kemudian kau harus menentukan ..."

Naruto kemudian melepaskan cengkramannya pada lengan Itachi.

"Sudahlah lupakan."

Naruto kembali tersenyum tatkala sebuah ide melintas dipikirannya.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita bermain 'If We Got Married'?"

"Aku tahu tatapanmu, tentu saja ada permainan seperti itu," lanjut Naruto seolah tahu isi pikiran Itachi.

"Cara bermainnya sangat mudah, kau hanya menceritakan bagaimana kehidupan kalau seandainya kita menikah, itu saja."

Naruto menatap Itachi yang memutar kedua bola matanya bosan.

"Terserah, kalau begitu kau mulai duluan."

Naruto berdehem pelan.

"Pertama, kita akan menikah di sebuah gereja, kau tengah menungguku di altar, dan saat aku masuk kedalam gereja dan berjalan menuju altar kau menangis,"

"Tunggu dulu, kenapa aku harus menangis?"

Naruto mengerucutkan bibirnya saat Itachi menginterupsinya.

"Tentu saja kau harus menangis, kau terharu karena melihatku sangat cantik dalam balutan gaun pengantin dan kau juga terharu karena merasa menjadi pria paling beruntung bisa menikahiku," ujar Naruto seraya menggerakkan kedua tangannya.

"Baiklah, terus .."

"Hm..,"

Naruto memegang ujung dagunya dengan tangan kirinya.

"Ah, terus saat aku hamil, ditengah malam aku ingin memakan ramen Ichiraku, lalu walau kesal kau tetap pergi ke kedai ramen paman Teuchi, tapi sayangnya kedai paman Teuchi sudah tutup, dan kau menggedor paksa pintu kedai paman Teuchi."

"Tunggu, kau men-skip malam pengantin kita?"

Naruto memukul lengan pria disampingnya dengan wajahnya yang memerah.

"Ecchi."

Naruto kembali mengerucutkan bibirnya menatap Itachi yang tertawa kearahnya.

"Bisakah kau diam terlebih dahulu, agar aku bisa menyelesaikannya, nanti akan ada giliranmu."

"Baiklah-baiklah."

"Hm, sampai dimana tadi? Ah, lalu ternyata kita memiliki bayi kembar berjenis kelamin laki-laki, dan kedua bayi kembar kita mewarisi warna rambut dan bola matamu, wajah mereka sangat mirip denganmu, tapi salah satu anak kita sifatnya mewarisi sifat ku yang ceria, hm .., lebih baik sang adik yang mewarisi sifatku, sedangkan sang kakak mewarisi sifatmu yang tenang cenderung pendiam."

Naruto kembali menceritakan imajinasinya pada pria disampingnya, sesekali Ia tersenyum dan tertawa dan berfikir pasti sangat menyenangkan sekali jika semua itu benar-benar bisa terwujud.

"Baiklah sekarang giliranmu."

Naruto menatap Itachi yang akhirnya berhenti tertawa, dia heran, apa sebegitu lucunyakah cerita imajinasi 'kehidupan pernikahan mereka' ala dirinya sehingga membuat pria bermarga Uchiha itu tak berhenti tertawa.

"Tidak-tidak, ini sudah larut malam, aku akan mengantarmu pulang."

Naruto mengerucutkan bibirnya menatap Itachi yang kini tengah berdiri dan menarik lengannya, memaksanya untuk berdiri.

Perlahan Ia menundukkan wajahnya kemudian menghela nafasnya kasar, bahkan walau cuma khayalan pria itu tidak mau menikah dengan dirinya.

Naruto menghapus air mata yang tak disadarinya lolos dari kedua sapphire nya.

"Ne Itachi, kau tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang sendiri," ujarnya seraya melepaskan lengannya dari cengkraman Itachi, sesaat Ia melihat ekspresi diwajah Itachi berubah.

"Kau mabuk, aku akan mengantarmu pulang."

Naruto yang telah berhasil melepaskan lengannya dari cengkaram Itachi perlahan menggelengkan kepalanya.

"Sudah kukatakan aku tidak mabuk, aku bisa pulang sendiri."

"Na .."

"Ah, taksi!"

Sesaat kemudian, taksi yang dipanggil Naruto berhenti. Dengan hati-hati gadis bersurai pirang itu masuk, pintu taksi pun otomatis tertutup. Ia menurunkan kaca jendela, menatap pria bermarga Uchiha itu untuk terakhir kalinya.

"Itachi, ja ne!" ujarnya seraya melambaikan tangan dan memberikan senyuman terakhirnya.

Senyuman diwajah Naruto perlahan sirna sesaat setelah taxi yang dinaikinya melaju meninggalkan Itachi, dan didalam taxi disepanjang perjalanannya Ia menangis, Ia menangisi cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

.

.

Satu persatu sahabatnya memeluknya secara bergantian.

"Aku akan merindukanmu Naruto."

Naruto menatap Sakura yang tengah menghapus airmatanya dengan tissue.

"Oh, siapa lagi teman bermain game ku?"

Naruto memutar kedua bola matanya bosan menatap Kiba.

"Kiba, kita masih bisa bermain bersama, kau tinggal menghubungiku dan memintaku agar aku online."

"Aku pasti akan merindukan celotehanmu."

Naruto menaikkan sebelah alisnya menatap Genma yang tengah mengacak rambutnya.

"Bukannya senpai selalu mengataiku berisik, dan menyurhku untuk diam?"

"Naruto ... "

Dan kali ini Shizune memeluknya dengan erat sembari menangis. Shizune adalah rekan kerja yang sudah dianggapnya seperti kakak kandungnya sendiri.

"Hei-hei, aku hanya pulang kembali ke Hokaido, kenapa kalian menangis seperti ini? Ck, walau aku tidak bekerja lagi disini bukan berarti kita tidak bisa bertemu lagi kan? Sesekali aku akan mengunjungi kalian disini, atau kalian bisa mengunjungiku ke Hokaido."

"Karena itu, aku tidak akan mengatakan 'good bye' melainkan 'see you'."

.

.

Naruto menatap boarding pass miliknya, sebentar lagi waktunya untuk boarding. Ia menghela nafasnya kasar, sebenarnya Ia belum berpamitan pada satu orang lagi, yaitu pada Uchiha Itachi.

Di hari terakhirnya di kantor, pria itu malah sedang berada di Osaka. Ia sempat berfikir, mungkin Ia akan berpamitan pada pria itu melalui telfon, tapi Ia baru sadar, Ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel pria itu. Bukankah mereka berteman? Tetapi kenapa mereka tidak pernah saling bertukar nomor handphone?

Suara panggilan boarding akhirnya menyadarkan Naruto dari lamunannya, Ia pun segera mematikan ponselnya dan menyimpannya kedalam tas miliknya.

.

.

Satu minggu sudah Ia berada di Hokaido, kampung halamannya. Ibunya meminta dirinya untuk kembali ke Hokaido dan membantunya mengurus toko manisan yang merupakan warisan turun menurun dari keluarga sang Ibu. Semenjak kematian sang ayah tiga tahun yang lalu, sang Ibu mengurus toko seorang diri. Saat Naruto lulus kuliah, Ia telah berencana untuk kembali ke Hokaido, untuk tinggal bersama sang Ibu, Namun sang Ibu tahu, dirinya ingin sekali mencoba bekerja di sebuah perusahaan besar sesaat setelah Ia lulus dari Universitas Tokyo, dan dengan sekali test, Ia berhasil masuk disalah satu perusahaan ternama di kota Tokyo tersebut.

Dua tahun, dua tahun dirasa Naruto telah cukup untuk merasakan menjadi pekerja kantoran, kini Ia kembali membantu sang Ibu meneruskan usaha toko kue tradisional warisan leluhurnya.

"Naruto, Ibu akan pergi berbelanja sebentar, persedian bahan kita sudah menipis."

Kushina menghentikan langkahnya sesaat setelah Ia membuka pintu toko.

"Kau berani kan, Ibu tinggal sendiri?"

Naruto mengerucutkan bibirnya.

"Ibu, umurku sudah 24 tahun, aku bukan anak kecil lagi."

Sang Ibu tersenyum, kemudian menatap kembali sang anak sambil berkacak pinggang.

"Baiklah, kalau begitu Ibu pergi dulu."

Naruto melambaikan tangannya pada sang Ibu, sebelum sosok sang Ibu menghilang berbarengan dengan pintu yang ditutup. Naruto menghela nafasnya, Ia kemudian mengambil majalah dan membacanya, mencoba mengusir rasa bosan.

Sling ..,

Naruto refleks mengangkat wajahnya untuk menyapa pengunjung tokonya tatkala mendengar suara bel berbunyi pertanda ada seseorang yang membuka pintu tokonya.

"Selamat da .., Itachi?"

Sapaan Naruto terhenti tatkala Ia melihat sosok Itachi tengah berdiri dipintu tokonya. Pria itu tampak berusaha mengatur nafasnya, bahkan keringat terlihat menghiasi keningnya.

"Naruto .."

Naruto menatap Itachi yang masih berusaha mengatur nafasnya.

"Naruto, aku mencintaimu! Maukah kau menikah denganku?"

.

.

FIN

.

.

.