Fanfiksi ini berdasarkan—Leap (Ballerina) yang ditulis oleh Eric Summer, Laurent Zeitoun dan Carol Noble, serta diproduksi oleh L'Atelier Animation.
Saya tidak mendapatkan keuntungan materiil apapun atas pembuatan fanfiksi ini.
satu; Louis; mimpi-mimpi yang terbakar
.
.
.
i.
"Pergilah."
Bila ada satu kata yang bisa meremukkan hati seorang Louis Merante, maka kata itu adalah yang diucapkan Odette pada suatu senja di Paris, ketika Louis dan sepasang kaki terlatihnya menginjakkan kaki di kamar dengan bau antiseptik yang pekat.
Kata itu diucapkan pelan, merupa bisikan yang hampir ia anggap sebagai ilusi dari mimpi buruknya beberapa waktu lalu.
(Mimpi dengan api, merah yang mendominasi di segala sisi; dengan kelima jemarinya yang tak mampu meraih perempuan yang ia kasihi; dengan tetes air mata dari Sang Angsa Panggung yang menyadari; sayapnya telah patah dan tak bisa kembali digunakan lagi)
"Pergilah."
Tapi, perempuan yang duduk di atas ranjang rumah sakit dengan mata cekung dan rahang tirus itu kembali menggerakkan bibirnya pelan untuk mengucap kata itu—seakan menyadarkan Louis bahwa yang ia dengar bukanlah sekadar mimpi, namun adalah realita itu sendiri.
Tidak.
Louis hanya berdiri di samping ranjang perempuan itu, jelas menunjukkan penolakkan dengan sikap layaknya seorang pria terhormat. Ia hanya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela, sekali pun yang terdengar di udara adalah suara napasnya yang seakan bersahutan dengan milik perempuan itu. Berkebalikan dengan kesunyian ganjil di antara mereka, ia bisa mendengar suara-suara di kepalanya berteriak, memohon dengan pasrah, tolong jangan katakan itu, Odette.
Pria itu tidak pula melakukan apapun selain menatap sisi wajah perempuan yang bahkan tak melihat matanya ketika mengatakan, "Tidak ada apapun lagi yang tersisa di sini, Monsieur."
Suara perempuan itu terdengar rapuh, seakan menahan seluruh perasaan yang ia miliki dalam pita suaranya sebagai pertahanan terakhir.
Tapi, sampai akhir, Louis tetap tidak bisa mengatakan apapun untuk menghilangkan sendu pada perempuan itu.
Bibirnya kelu, padahal dalam hatinya, ia berulang kali mengatakan ini belum berakhir Odette. Pria itu juga tidak bisa melakukan apapun sekali pun dalam pikirannya, hal pertama yang ia ingin lakukan adalah membawa perempuan itu ke dalam rengkuhannya—untuk memberikan kenyamanan, meyakinkannya, bahwa semua akan baik-baik saja.
.
.
.
(Tapi, semua tidak baik-baik saja.)
.
.
.
Perempuan itu kehilangan kaki untuk menari—untuk menjadi hidup.
Walaupun Louis tanpa ragu akan memberikan sepasang kakinya untuk perempuan itu—atau bahkan seisi dunia, atau apapun, apapun untuk mengembalikan sinar kehidupan pada mata perempuan yang dikasihinya itu, ia tahu, itu semua takkan berarti.
Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur Odette, atau mengembalikan semua yang terjadi, atau membawa mereka ke dalam waktu sebelum panggung dimana Odette terakhir menari ditelan api.
Hari itu, mimpi-mimpi Odette telah terbakar dan menjadi abu di udara.
Semua sudah terlambat.
.
.
.
"Pergilah," ulang Odette. Kali ini, membuat dada Louis seakan ditimpa seluruh baja yang digunakan untuk membuat Menara Eiffel di luar sana karena—
.
.
.
—Odette mengatakannya dengan nada memohon (—yang tak pernah sekali pun Louis dengar dalam hidupnya keluar dari mulut perempuan itu) serta air mata yang mengalir di pipi.
.
.
.
Maka, dengan satu anggukan penuh penghormatan, Louis Merante pun berbalik dan mengangkat tongkatnya untuk membawa sepasang kakinya keluar dari kamar Odette.
Buket bunga di balik punggungnya ia genggam erat-erat.
