Wife's Before Story

.

.

.

Kim Namjoon x Kim Seokjin

Boys Love / Romance / School Life

.

.

.

happy reading ^^

.

.

Seokjin sedang kesusahan berjalan di koridor sekolah dengan puluhan buku tugas kelas yang ada di tangannya ketika ia merasakan seseorang berlari cepat melewatinya. Seokjin tidak mempedulikannya karena tumpukan buku yang membuat tangannya kebas lebih butuh perhatian untuk segera sampai di ruang guru atau Seokjin tidak akan dapat waktu makan siang. Seokjin sudah berjalan sangat hati-hati untuk tidak bersenggolan dengan siapapun demi menyelamatkan buku-buku itu, dan juga waktunya. Dan bagian yang paling menyebalkan adalah, percuma jika kau sudah berhati-hati tetapi tidak dengan orang lain di sekitarmu. Kejadiannya secepat kedipan mata saat Seokjin baru sadar bahwa seseorang telah menabrak bahunya dengan keras yang menyebabkan anak-anaknya berserakan di sisinya yang sudah terduduk.

Seokjin melihat dari balik kaca mata bulatnya seseorang yang -entah sengaja atau tidak- menabraknya hanya berdiri memperhatikan buku-buku yang berantakan kemudian mengalihkan perhatiannya pada Seokjin. Hanya itu. Tidak melakukan apapun. Bahkan tidak minta maaf. Dan melenggang pergi begitu saja. Kim Namjoon, Seokjin bergumam dalam hati. Seokjin kenal, tidak, Seokjin tahu betul seperti apa pemuda bernama Kim Namjoon. Heol, siapa orang di sekolahnya yang tidak kenal Kim Namjoon? Maka karena tidak ingin punya urusan berkepanjangan dengan pemuda Kim si tersangka, Seokjin bergegas merapikan kembali buku tugas kelasnya.

Koridor tentu saja sedang tidak sepi karena istirahat makan siang, tetapi bahkan tak seorangpun memberikan perhatian pada Seokjin setelah Namjoon beranjak dari hadapannya. Seokjin sadar suasana di koridor mendadak sepi bahkan seolah waktu berhenti berputar saat kejadian. Semua orang berhenti dari segala kegiatan mereka, menduga-duga apa yang akan dilakukan si berandalan sekolah nomer satu kepada si pemuda paling nerd seantero sekolah. Tapi kembali riuh saat langkah pertama Namjoon membalikan badan meninggalkan Seokjin dan bukunya yang berserakan. Seokjin sempat melirik jam tangannya sebelum berdiri dan bergegas menuju ruang guru. Hanya tersisa lima menit sebelum jam makan siang berakhir dan Seokjin memutuskan untuk membeli sekotak banana milk selepas mengantar buku-buku itu.

Seokjin sudah biasa mengisi perutnya hanya dengan sekotak susu atau sebungkus roti. Bahkan terkadang tidak mengisi perutnya sama sekali. Murid nerd seperti Seokjin sering menjadi bulan-bulanan kejahilan murid lain yang menganggapnya aneh, yang berakhir dengan kehilangan jam makan siang. Sekalinya Seokjin dapat duduk di salah satu meja kantin sekolah, pun harus dilaluinya dengan sekelompok murid yang gemar mengusik ketenangannya.

Seokjin adalah pemuda kelas dua salah satu sekolah menengah atas di Seoul. Pintar luar biasa karena teman bermainnya buku pelajaran sekolah dan buku ensiklopedia. Selalu ada di peringkat pertama dari semua siswa angkatannya setiap ujian akhir semester. Penampilannya selalu rapi dengan kemeja sekolah yang dimasukkan ke dalam celana bahannya, lengkap bersama semua atribut yang wajib dikenakan. Kaca mata bulat Seokjin sudah bertengger manis di hidung mancungnya saat sekolah dasar. Seokjin termasuk anak intovert. Hah, tidak ada bagian dalam diri Seokjin yang bisa menghindarkannya dari bully yang dilakukan murid sekolahnya. Ditambah dengan anggapan sebelah mata anak-anak yang menganggap bahwa nilai yang didapatkan Seokjin bukan karena kemampuannya tapi karena Seokjin yang anak seorang salah satu penyumbang dana untuk sekolahnya.

Seokjin sudah biasa mendengar hal-hal buruk yang digosipkan tentangnya, begitu pula dengan semua perlakuan buruk yang ia terima, tapi beruntung Seokjin termasuk tidak peduli meskipun terkadang terlampau melewati batas. Seokjin pernah sekali pulang dengan keadaan yang kacau. Seragam sekolahnya tidak ada yang luput dari guyuran tepung dan air bekas cuci kantin sekolah.

Saat itu hari ulang tahunnya. Tak satupun dari mereka yang bahkan mendekat untuk mengerjainya seperti biasa. Hari-hari Seokjin di sekolah tak pernah dilewatkan tanpa kejahilan, maka Seokjin merasa ada yang aneh dengan sikap teman-temannya hari itu. Benar saja, saat bel pulang sekolah berbunyi pukul empat sore, Seokjin sudah semangat sekali berjalan pulang untuk menikmati sup rumput laut buatan ibunya. Ketika dia hampir berbelok di ujung koridor menuju gerbang sekolah, dua orang murid menariknya paksa untuk diseret ke taman belakang sekolah yang sepi dan jauh dari kantor guru. Dan semuanya terjadi begitu saja. Seokjin didorong hingga tersungkur kemudian suasana mulai riuh karena mereka berteriak senang melempari Seokjin dengan tepung dan menyiramnya dengan air bekas cuci piring. Mata kiri Seokjin kemasukan bubuk tepung, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengerjab karena tangannya sama kotor.

Seokjin mengayuh cepat sepedanya agar segara sampai rumah dan membersihkan diri, dengan bulir air mata yang terus berjatuhan membuat anak sungai di pipinya yang kotor, tidak mempedulikan tatapan orang-orang yang ia lewati sepanjang jalan. Kakak Seokjin yang pertama kali melihat keadaannya begitu sampai di depan pagar rumah bergegas lari untuk menghampiri adiknya.

"Astaga, apa yang terjadi?" Kim Woojin, kakak laki-laki Seokjin, bertanya panik pada adiknya. Meraih sepeda Seokjin untuk di masukan ke dalam garasi, kemudian menuntun adiknya masuk rumah, tetapi Seokjin menahan lengan sang kakak.

"Hyung, ibu sudah di rumah?"

"Ya. Sedang menyiapkan makan malam di dapur. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" Woojin bertanya frustasi pada adiknya, mengusap pipi Seokjin yang kotor meskipun ia tahu itu percuma. Woojin tahu Seokjin selalu jadi bulan-bulanan teman sekolahnya. Setiap kali ia ingin mengadu pada kedua orang tuanya, Seokjin selalu memohon jangan, beralasan bahwa itu hanya akan membuatnya semakin menjadi bulan-bulanan di sekolah. Woojin yakin kali ini adiknya juga memohon agar tidak mengadukannya pada ayah dan ibu.

"Mereka merayakan ulang tahunku, Hyung." dan Woojin tahu makna dari sebaris kalimat yang diucapkan Seokjin tersebut.

"Hyung mau membantuku lagi kali ini? Biarkan menjadi rahasia baru kita berdua." Seokjin beragyeo membujuk kakaknya. Woojin menghela napas lelah kemudian mengangguk.

"Langsung masuk kamar bersihkan dirimu. Temui ibu setelahnya dan bilang saja kau ingin segera mandi makanya tidak menemui ibu dulu di dapur saat pulang tadi. Mengerti?" Seokjin mengangguk semangat.

"Aku harus membeli telur di mini market depan, ibu akan mengomel kalau aku terlalu lama. Kau mau sesuatu?"

"Es krim stroberi kemasan paling besar. Stok es krimku di kulkas sudah habis." Fakta lain dari Seokjin, pecinta es krim stroberi bukan hanya karena rasanya tapi karena warnanya. Seokjin itu tergila-gila dengan warna pink sekalipun dia seorang remaja putra. Untung saja teman sekolahnya tidak ada yang tahu fakta ini, bisa habis Seokjin jika itu terjadi.

"Dasar anak ini." jika saja Seokjin tidak dalam keadaan sekacau sekarang, Woojin pasti sudah mengusak rambut adiknya gemas.

"Hyung yang terbaik." Seokjin sudah hampir melompat untuk menerjang Woojin dengan sebuah pelukan namun sang kakak menahan dahi Seokjin dengan ujung telunjuknya agar tidak mendekat.

" Wow, wow. Tidak ada peluk-peluk. Cepat masuk, bau mu astaga!" Woojin menutup hidungnya dramatis, menendang bokong Seokjin dan lari seribu langkah sebelum Seokjin benar-benar memeluknya dan berakhir dengan dirinya harus mandi lagi. Seokjin sudah hampir meneriaki kakaknya sebelum dia ingat ibunya ada di dalam. Berteriak dan ketahuan ibu itu bukan pilihan bagus. Maka Seokjin kembali menelan kata-katanya dan berjalan mengendap masuk ke kamar.

Sekali dua kali saat Seokjin terdesak karena kejahilan teman-temannya, seorang guru yang kebetulan melihatnya akan langsung membawa mereka beserta Seokjin ke ruang konseling. Seokjin memperhatikan bagaimana teman-temannya yang menunduk takut tetapi tetap mengulangi hal yang sama kemudian hari. Saat hanya tersisa Seokjin di ruang konseling bersama seorang guru, Seokjin tahu apa yang akan guru itu lakukan mengingat seberapa penting peran orang tuanya untuk sekolah.

"Saya mohon jangan beri tahu orang tua saya atau saya akan semakin menjadi bahan bully mereka." Seokjin memotong ucapan sang guru bahkan sebelum kata pertama terucap. Alasan yang sama seperti yang diberikan pada kakaknya. Selalu seperti itu setiap saat kejadian yang sama terjadi. Semua guru dibuat keheranan karena sikap Seokjin. Tidak ada guru yang tidak mengenal Seokjin mengingat prestasinya yang baik di semua mata pelajaran, -juga karena ia korban bully.

.

.

.

Seokjin sedang menyerahkan tugas kimia kelasnya di kantor guru. Saat ia akan pamit undur diri, Guru Lee -guru kimia sekaligus wali kelasnya- menahan pergerakannya.

"Ketua kelas, akhir tahun ini akan ada olimpiade sains internasional yang kebetulan bertempat di Seoul. Aku ingin kau menjadi salah satu tim. Bagaimana?" Guru Lee memang seperti menawarkan, tetapi hanya meminta jawaban ya dari Seokjin. Dengan kepandaian Seokjin yang demikian, terlalu sayang untuk disia-siakan demi nama baik sekolah. Seokjin selalu senang bisa selalu membawa nama sekolah untuk setiap perlombaan dan olimpiade akademik, jadi kesempatan kali ini pun akan ia jadikan pengalaman lain.

"Baik."

"Bagus. Kalau begitu datang ke ruang konseling dua hari lagi saat jam makan siang. Kau akan bertemu dengan teman tim mu dan ada beberapa hal yang harus dijelaskan." Guru Lee nampak puas dengan keputusan Seokjin. Kemudian Seokjin undur diri untuk ke kelas.

Seokjin sudah duduk tenang di ruang konseling, menunggu Guru Lee dan juga teman tim yang dikatakan gurunya. Seokjin belum tahu siapa murid yang akan jadi partnernya kali ini. Pintu ruang konseling terbuka menampakkan Guru Lee dengan tangan kiri membawa buku dan barang lain. Seokjin tidak bertanya kenapa gurunya itu sendirian, mungkin murid yang dijanjikannya akan terlambat.

"Maaf menunggu lama, Seokjin." Guru Lee langsung mendudukkan dirinya di hadapan Seokjin, nampak terburu-buru. Seokjin hanya mengangguk sebagai balasan.

"Namjoon tidak bisa datang hari ini. Entah kemana bocah itu." Guru Lee sibuk dengan berkas yang ia bawa tadi. Seokjin mengernyit mendengar nama yang diucapkan gurunya.

"Kim Namjoon?" Seokjin bertanya ragu untuk memastikan.

"Ya. Kim Namjoon akan menjadi teman tim mu kali ini. Kalian berdua akan mewakili sekolah. Ada masalah, Seokjin?" Seokjin menggeleng. Dari sekian banyak murid berprestasi di sekolahnya, kenapa harus Namjoon? Seokjin tahu Namjoon termasuk salah satu murid jenius dan berprestasi. Bahkan dia selalu berada tepat di bawah peringkat Seokjin. Dan juga Namjoon memang tidak -belum- pernah menjadi salah satu tersangka kejahilan atas dirinya, tapi Seokjin sama sekali tidak berharap akan berurusan dengan pemuda itu meski di bidang akademik sekalipun. Sudah cukup kejadian di koridor saat itu menjadi yang pertama dan terakhir bagi Seokjin berurusan dengan Namjoon. Seokjin masih terbengong saaat Guru Lee memulai penjelasannya.

"Jadi karena hanya kau yang hadir hari ini, aku akan menjelaskannya langsung padamu. Olimpiade sains kali ini fokus pada kimia. Kau dan Namjoon perlu mempelajari beberapa materi tingkat universitas sebagai tambahan dan pelajari juga praktikumnya. Tersisa lima bulan, jadi kau bisa belajar mandiri bersama Namjoon. Dua kali dalam sebulan kita akan melakukan praktikumnya dan setiap hari kamis di minggu terakhir tiap bulan kita akan melakukan evaluasi. Kau bisa datang ke ruang guru sepulang sekolah untuk mengambil list materinya. Ada pertanyaan?"

"Tidak ada." Ada, bagaimana aku harus belajar mandiri bersama Namjoon? Astaga, mengenalnya saja tidak. Hah, Seokjin akan berusaha sendiri untuk olimpiade kali ini. Meskipun Namjoon sama cerdas dengannya -Seokjin tidak meragukannya- tapi mengingat perangai pemuda itu yang tidak tahu aturan, sepertinya akan sangat sulit duduk berdampingan belajar bersama.

Seokjin dan Namjoon memang berada ditingkat kejeniusan dan kecerdasan yang sama, hanya saja Seokjin lebih sering berkencan dengan buku dibandingkan Namjoon -orang yakin bahkan Namjoon enggan menyentuh buku-, karena itu Seokjin selalu setingkat di atas peringkat Namjoon.

.

.

.

Namjoon mendatangi Seokjin tiga hari setelah pertemuannya dengan Guru Lee di ruang konseling, dengan gayanya yang angkuh berandalan. Tipikal Namjoon. Seokjin sedang belajar materi olimpiade di dalam kelas saat tiba-tiba Namjoon berdiri di sebelah mejanya. Suasana kelas mendadak setenang pulau tanpa penghuni.

"Kau Kim Seokjin? Teman setim ku untuk olimpiade akhir tahun?" Apa-apaan? Siapa orang di sekolah yang tidak tahu Seokjin, Bodoh. Namjoon tahu Kim Seokjin si jenius yang tak pernah bisa ia kalahkan, hanya saja Namjoon ingin memastikan siapa tahu ada Kim Seokjin si jenius lain yang ada di sekolahnya. Seokjin dibuat gugup hanya karena suara tegas Namjoon. Seokjin mengangguk patah-patah sebagai jawaban. Siapa yang tidak gugup ketakutan berhadapan langsung dengan pemuda pembuat onar itu, astaga.

Namjoon memang jenius nomer dua di sekolah, tapi Namjoon berandalan nomer satu di sekolah. Namjoon dan dua temannya, Zico dan Mino, sering sekali membuat keributan di sekolah maupun luar sekolah. Tidak terhitung berapa kali dalam satu semester daftar kehadirannya kosong karena membolos. Beberapa kali terlibat tawuran dengan sekolah lain. Bukan hal mengejutkan mendapati pemandangan Namjoon datang ke sekolah dengan memar di wajahnya. Buku pelanggar peraturan yang ada di ruang konseling lebih dari lima puluh persen berisi namanya, tiga puluh persen nama Zico dan Mino, sisanya milik berandal seluruh sekolah. Tidak peduli sepintar apa Namjoon, peraturan tetap peraturan. Orang tua Namjoon juga salah satu penyumbang dana untuk sekolah, ngomong-ngomong. Diibaratkan Namjoon, Mino, dan Zico itu ada di kasta tertinggi preman sekolah dengan Namjoon sebagai ketua.

"Guru Lee bilang aku harus belajar mandiri denganmu. Kuberi tahu. Aku terlalu sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk belajar materi-materi itu." Namjoon melipat kedua tangannya di depan dada, mengendikan dagunya menunjuk pada buku yang sedang Seokjin baca. "Aku hanya akan ikut evaluasi dan praktikumnya, sisanya urusan belajar, kuserahkan padamu." Kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Seokjin. Seokjin diam-diam menghembuskan napas lega begitu Namjoon hilang dari balik pintu kelas. Seperti dugaannya, benar jika Seokjin akan mengurusinya sendiri.

.

.

.

Sehari sebelum evaluasi kedua, Guru Lee bilang Seokjin dan Namjoon akan belajar di perpustakaan bersamanya. Itu berarti hampir dua bulan berlalu dengan Seokjin yang berjuang belajar seorang diri. Namjoon benar-benar menunjukan batang hidungnya saat praktikum dan evaluasi, dan Seokjin selalu dibuat tercengang dengan kemampuan pemuda itu. Praktikum dan evaluasi milik Namjoon bisa dikatakan sempurna untuk anak yang tidak pernah belajar. Tentu saja milik Seokjin lebih sempurna.

Seokjin datang berdua dengan Guru Lee tapi kemudian gurunya itu pergi entah kemana. Kemudian tiba-tiba saja kursi di sebelahnya berderit ribut dan seseorang didudukkan paksa di atasnya. Seokjin mengalihkan perhatian dari bukunya untuk mendapati Namjoon sudah duduk di sebelahnya dengan muka sebal yang mengerikan. Guru Lee masih berdiri di sebelah Namjoon dengan tangan menahan bahu pemuda Kim.

"Diam di sini dan kerjakan tugasmu. Atau kau lebih memilih membersihkan kamar mandi satu sekolah dan memilah sampah setelah pulang selama sebulan." Guru Lee berujar tegas memperingatkan Namjoon.

"Aku tahu selama dua bulan ini kau tidak pernah belajar bersama Seokjin, kan? Bahkan kau tidak belajar sama sekali untuk olimpiade ini." beliau mendengus jengah mengahadapi sikap Namjoon. "Jadi diam di sini atau kamar mandi menunggumu sepulang sekolah." Guru Lee menekankan setiap kata dalam kalimat terakhirnya kemudian pergi lagi meninggalkan Seokjin berdua dengan Namjoon.

Seokjin jelas melihat bagaimana ekspresi Namjoon semakin mengeras karena marah. Namjoon menoleh, menatap Seokjin dengan tatapan beringasnya dan Seokjin segera berpaling lagi pada buku di hadapannya. Mati kau, Seokjin. Tidak terdengar umpatan apapun dari pemuda di sebelahnya, jadi Seokjin pikir dia selamat kali ini. Seokjin melirik lewat ekor matanya takut-takut, dan menemukan Namjoon yang meletakkan kepalanya di atas buku yang harus dipelajarinya, kepalanya tidak menghadap Seokjin tapi sepertinya sedang memejamkan mata. Ya, Namjoon diam di perpustakaan, benar-benar diam. Tidak mengerjakan tugas yang diberikan Guru Lee, tidak belajar, bahkan membuka bukunya saja tidak. Seokjin cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat Namjoon memutar kepala menghadap Seokjin. Seokjin tidak berani melihat lagi, melirik saja tidak berani.

Seokjin larut dalam kegiatan belajarnya. Tidak menyadari sudah berapa lama dia duduk menunduk menghadap buku. Baru saat lehernya terasa seperti mau patah, ditambah tangannya yang lelah menulis, Seokjin menoleh untuk melihat jam di atas pintu masuk perpustakaan. Seokjin menggeliat untuk meregangkan ototnya yang terasa kaku. Kenapa Guru Lee tidak kembali? Seokjin mengernyit tidak mendapati Guru Lee duduk di hadapannya. Seokjin pikir dia terlalu fokus pada bukunya sampai tidak menyadari kehadiran sang guru. Karena Seokjin yang sedang berkencan tidak akan mempedulikan apapun bahkan jika bumi runtuh sekalipun. Karena itu Seokjin pikir Guru Lee sudah kembali dan tidak mau mengganggu kegiatannya.

Kemudian Seokjin meraih ponsel pintarnya yang terabaikan sejak awal dia membuka buku. Satu pesan dari Guru Lee bahwa gurunya itu tidak dapat kembali karena mendadak rapat guru dan juga peringatan evaluasi esok hari. Pantas saja. Satu pesan lagi dari Woojin Hyung dan 3 panggilan tak terjawab dari orang sama. Seokjin masih sibuk dengan pesannya, sama sekali lupa keberadaan Namjoon yang masih terlelap di sebelahnya. Begitu pesan balasan untuk Guru Lee dan Woojin Hyung terkirim, Seokjin hendak memasukan ponselnya ke dalam tas yang ada di sisi kanan kursinya dan baru ingat jika partner olimpiadenya tertidur sejak tadi.

"Apa punggung dan lehernya tidak sakit? Posisinya tidak berubah sejak tadi." Seokjin bertanya entah pada siapa. Seokjin masih diam memperhatikan Namjoon yang terlelap. Jika diperhatikan, Namjoon sebenarnya tampan. Beberapa kali saat evaluasi dan praktium Seokjin mengintip dari balik kaca matanya memperhatikan preman sekolah itu, dan beberapa kali pula sempat terlintas dalam benaknya Namjoon itu tampan. Bahkan Seokjin jelas-jelas merasakan aura seksi yang menguar disekitar Namjoon saat pemuda itu sedang berpikir keras mengerjakan evaluasi atau sedang fokus pada bahan praktikum. Pantas jika mantan kekasih Namjoon sudah tak terhitung jari lagi. Tapi hampir seluruhnya Namjoon hanya menerima, bukan dia yang benar-benar menginginkan. Gadis dan uke mana yang tidak tergila-gila pada pemuda tampan dan jenius macam Namjoon?

Seokjin segera berpaling dan sibuk mengemasi bukunya saat Namjoon tiba-tiba bangun, duduk tegak, dan menguap lebar. Jantungnya berdegup kencang karena takut ketahuan diam-diam memandangi Namjoon. Tangan Seokjin tremor saat memasukan buku ke dalam tas. Seokjin hampir menjatuhkan kotak pensilnya saat Namjoon bersuara.

"Jam berapa sekarang?Ah leherku sakit sekali." Namjoon memijat pelan lehernya, bergumam menanyakan jam tetapi tidak benar-benar bermaksud bertanya, tapi tentu saja Seokjin mendengarnya. Benar kan pasti lehernya sakit.

"Jam 5. Dan perpustakaan harus tutup sekarang." Seokjin menjawab takut-takut, sama sekali tidak menoleh pada Namjoon.

"Sampai bertemu besok." dan Namjoon sudah pergi meninggalkannya. Namjoon berpamitan pada Seokjin? Seokjin sampai dibuat terbengong karenanya. Dan kenapa jantungnya masih berdegup kencang setelah kepergian Namjoon? Jangan tanya, karena Seokjin juga tidak tahu kenapa.

.

.

.

Tinggal satu bulan tersisa sebelum olimpiade internasional akhir tahun ini dilaksanakan. Seokjin semakin giat belajar dan entah Namjoon juga melakukan hal yang sama atau tidak. Seokjin lebih sering mengunjungi kantor guru untuk konsultasi dengan Guru Lee dan juga menghabiskan istirahat jam makan siang sampai jam pelajaran berakhir di perpustakaan. Kompensasi bagi murid olimpiade. Guru Lee sering mengingatkan Seokjin untuk menjaga pola makannya, tapi memang Seokjin sudah biasa belajar dengan perut kosong. Bahkan konsentrasi Seokjin sama baiknya saat perutnya sedang kosong.

Hari-hari Seokjin masih dilalui dengan segala macam kejahilan yang seperti tak ada habisnya. Hari ini dia harus bersabar karena seragamnya basah akibat jus jeruk dan makan siangnya sendiri. Tadi Seokjin sedang mencari meja dengan tangan membawa nampan makan siangnya saat murid dari kelas sebelah dengan sengaja menyenggol bahunya. Seokjin limbung dan hampir terjatuh, dia berusaha mencari pegangan pada meja terdekat tapi sial, Seokjin tidak sengaja meraih gelas jus di meja tersebut dan berakhir terjatuh. Keadaannya sudah kacau, rambut dan seragamnya kotor, dan pemilik jus jeruk itu membentak Seokjin tidak terima. Sial sekali Seokjin hari ini. Tidak hari ini saja sih, kata sial seolah memang menjadi teman dekat Seokjin setiap hari terutama di sekolah.

Seokjin berjalan cepat ke arah loker miliknya, menunduk malu sepanjang koridor karena ditertawakan seisi sekolah. Setiap hari Seokjin ada di posisi seperti sekarang tapi tetap saja rasanya ingin menangis dipermalukan di depan banyak orang. Kadang Seokjin berpikir merenung di dalam kamar, kenapa semua orang seolah membencinya. Seokjin tahu dia introvert, tidak banyak bicara, nerd, dan tidak punya teman. Seokjin tidak pernah mengusik ketenangan siapapun tapi kenapa semua orang seolah tidak tenang jika sehari saja tidak mengusik ketenangannya?

Seokjin sudah selesai dengan urusan mengganti seragamnya, berjalan kembali ke perpustakaan melewati koridor -yang untungnya- sudah sepi. Langkahnya terhenti tepat di perempatan koridor saat mendengar seseorang mengumpat dari arah taman belakang sekolah, yang harus melalui koridor di sisi kanannya. Seokjin sebenarnya enggan peduli, tapi kakinya tidak mau bekerja sama dengan perasaannya yang tidak enak dan pikirannya yang berteriak memintanya berbalik arah.

.

.

TBC

.

Hai, saya kembali dengan before story yang saya janjikan :v

Oh ya untuk nama Woojin di sini benar-benar otomatis keluar dari otak pas lagi nulis sama sekali gak tau kalau ternyata emang ada idol yang namanya Woojin hahaha

Kalau reviewnya banyak bakal update cepet aaaah hehehe

.

.

Lastly

Review Juseyo