Tanggal 4 April, tepat dimana tahun ajaran baru dimulai dengan bunga sakura yang masih menghiasi jalanan kota. Bagi negara lain, suasana ini cukup menenangkan, tapi, bagi yang sudah terbiasa melihat ini pasti adalah hal biasa. Lihat saja lima orang berpenampilan berandalan yang tengah mengerubungi seorang pemuda berambut merah pada salah satu gang kecil diantara dua gedung.
Bukannya takut, iris mercury anak berambut merah itu justru menatap balik satu persatu mata kelima orang itu dengan sedikit meremehkan. Ini hal yang biasa menurutnya. Didatangi oleh preman pelajar dengan tampang yang cukup menyeramkan dengan alasan sepele itu sudah menjadi salah satu hal yang sering ia rasakan.
"Kau yang bernama Akabane Karma?"
Yang ditanya hanya tersenyum tak bersalah, "Hm? Kau memiliki masalah denganku?"
Salah satu berandalan itu menatap sinis pemuda berambut merah itu. "Ceh, tak kusangka ternyata dia yang mencuri uang rekan kita." decih pemuda bertubuh lebih besar itu. "Kau tahu, berurusan dengan siapa, heh?"
"Tentu saja aku tahu," Senyuman iblis terbentuk. "Para gorila yang tak berotak, betul kan?"
Mendengar itu, timbullah urat di pelipis kelima orang itu. Kesal? Tentu saja. Yang mereka hadapi saat ini adalah anak baru menginjak SMA yang dengan songongnya mengatai mereka gorila. Pakai tambahan tak berotak lagi. Pemuda berambut merah yang menyadari suasananya semakin tegang pun hanya menunggu mereka akan melayangkan serangan pertama mereka.
Dan ketika salah seorang mereka mulai beraksi, senyuman iblis pemuda itu semakin lebar. Ini akan menarik.
.
One Massage for You
.
Pairing :
Akabane Karma, Shiota Nagisa
.
Genre :
Supernatural, Romance
.
WARNING :
Typo, OOC, agak melenceng dari cerita asli, gaje dll
.
Ansatsu Kyoushitsu selalu milik Matsui Yuusei
.
.
Karma tersenyum merendahkan ketika segerombolan orang tadi sudah bertebaran tak berdaya di atas semen sambil memegangi luka masing-masing. Cih, baru berwajah sangar saja sudah sok-sok-an. Pemuda merah itu memegangi pipi kirinya yang sedikit lecet dan sedikit meringis ketika menyadari bahwa punggung tangannya juga memiliki luka yang sama.
Hah… lima lawan satu memang selalu menimbulkan luka itu wajar. Pertandingan tidak seimbang–dari postur badan maupun umur. Dengan langkah santai, pemuda berambut merah itu berjalan keluar dari gang kecil itu. Trotoar sudah sepi–tentu saja karena jam kerja dan masuk sekolah sudah terlewati beberapa menit lalu.
Karma mengendikkan bahunya acuh. Telat atau tidaknya pada hari pertama sekolah itu bukanlah masalah baginya. Nantinya dia akan sering melakukannya ini. Lagipula, dengan otaknya, sekolah akan berpikir dua kali untuk mengeluarkannya. Sekolah yang mementingkan prestasi seperti Kunugigaoka mana mungkin menyia-nyiakan sesuatu yang berkilau, bukan?
Pemuda berambut merah itu sedikit menyipitkan matanya ketika sinar matahari memasuki pupil matanya. Ah, dia baru sadar kalau gang kecil tadi agak gelap. Matanya mengerjab beberapa kali hingga terbiasa dan sedikit tersentak sambil memundurkan langkahnya selangkah ketika seorang bocah berdiri di hadapannya. Pemuda berambut biru setinggi bahunya itu menatapnya dalam diam.
Hei, sejak kapan bocah itu berada di hadapannya? Dan mengapa dirinya tidak menyadari kehadirannya sama sekali? Karma nyaris saja menganggap bocah itu perempuan jika saja tidak menyadari bahwa seragam sekolah bagian bawahnya adalah celana.
Iris azure milik bocah itu sangat bening, membuat sang iblis merah terpikat untuk beberapa detik sebelum akhirnya berdeham pelan, "Hei, bocah. Minggirlah, kau menghalangi jalanku."
Bukannya menyingkir atau merasa takut, pemuda itu menatap polos Karma lalu merogoh saku jaketnya. Dengan senyuman manis bagaikan malaikat, bocah itu mengulurkan plester luka bewarna biru muda. "Kau terluka." ucapnya singkat. Iris azurenya beralih menatap punggung tangan Karma yang mengeluarkan darah. "Ayo ke sana sebentar, akan kuobati kau."
Tangan mungil nan hangat itu menarik lembut pelan lengan bawah Karma menuju salah satu kursi kayu yang memang sengaja disediakan di trotoar. Pemuda merah yang ditarik tidak bisa berkomentar apa-apa. Entah mengapa dirinya tidak merasa terganggu dengan tangan mungil itu. Dia malah justru merasa sangat nyaman.
"Duduklah," ucapnya mendudukkan paksa Karma. Pemuda berambut biru langit itu menyentuh pelan luka lecet di punggung tangan Karma. "Tunggu sebentar. Obat merah.. obat merah.." gumamnya sambil mencari benda yang dimaksud di dalam tas punggungnya. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan benda itu. Dengan cepat, bocah itu mengambil air dari botol minumnya lalu membersihkan luka di punggung tangan itu dan menempelkan plester luka itu di atasnya setelah sebelumnya ia menetesi obat itu hingga merata di sana.
Untuk kesekian kalinya, Karma hanya menikmati setiap sentuhan yang bocah itu. Iris mercurynya menatap bocah yang tengah sibuk mengobatinya dalam-dalam. Tidak ada niat sedikitpun untuk sekedar menarik tangannya dan berjalan menuju sekolahnya. Entah mengapa bocah itu begitu menarik perhatiannya.
Kepala pemuda bluenette itu terangkat, menatap luka lecet pada bagian wajah Karma. Memegangnya sebentar untuk sekedar melihat kondisi luka yang mulai mengering. Bocah itu mengambil sapu tangan dari saku jaketnya, menetesi dengan sedikit air dari botol minumnya dan dengan sangat hati-hati dia membersihkan luka lecet itu.
Masih belum beralih, iris mercury Karma masih tetap menatap penuh arti pemuda berambut biru itu hingga bocah itu selesai membersihkan luka dan menempeli plester di sana. Namun, ketika tangan itu mulai menjauh dari pipinya, dengan segera Karma memegangnya sedikit erat.
Yang dipegang sedikit tersentak. Iris azurenya menatap bingung Karma yang diam sembari memegangi tangannya agak kuat. "Anoo.." ujarnya. Firasatnya sedikit tidak enak ketika matanya menatap sepasang mercury yang menatapnya lurus. "Bisa tolong le–"
"Akan kulepaskan, tapi dengan satu syarat." Serigaian Karma semakin lebar ketika melihat pemuda berambut biru itu menatapnya takut-takut. "Besok, mari kita bertemu lagi."
.
Karma hanya bisa tersenyum puas melihat permandangan dibalik jendela café. Bukan karena hasil 'pancingan'nya yang ia dapatkan atau karena sehabis menghajar beberapa preman pasar yang memalaknya. Memang bukan itu, melainkan pemuda berambut biru muda yang kini tengah tertunduk dalam di hadapannya. Kebetulan yang sangat menguntungkan–tanpa sengaja, mereka kembali bertemu–lalu Karma yang menyadari itu pun langsung menarik pemuda manis itu ke café tanpa memperdulikan tatapan keberatan dari si korban.
Pemuda berambut biru langit itu tidak tahu harus melakukan atau mengatakan apa ketika pemuda merah itu menariknya paksa. Ingatannya kembali berputar ketika dirinya mengobati pemuda berambut merah itu. Hei, dia kan berbuat baik, lalu mengapa dirinya terlihat tidak beruntung seperti ini? Ketika menatap iris mercury pemuda berkepala merah, pemuda berambut biru langit itu baru menyadari betapa bahayanya orang yang dia obati kemarin.
Oh, dewi Fortuna, sepertinya dirimu tidak mengijinkan pemuda berambut biru langit itu merasakan keberuntungan kali ini.
"Namamu?" Karma angkat bicara setelah sekian menit mereka berdiam diri dalam keheningan. Yang ditanya hanya berucap kecil. Kepalanya masih tertuduk dalam, takut untuk menatap iris mercury milik pemuda di hadapannya. Sesekali melirik sang surai merah dari balik poninya.
Karma menaikkan sebelah alisnya, "Aku bertanya loh…" ucapnya sambil menumpu dagunya dengan tangan kiri.
"Shio..ta Nagi..sa," jawabnya sedikit terbata-bata. Kepalanya masih tertunduk dengan jari-jarinya yang kini sibuk ia mainkan agar mengurangi rasa takutnya. Dirinya ingin segera keluar dari tempat ini lalu menyiapkan keperluan sekolah barunya besok dengan nyawa yang masih utuh.
Melihat teman bicaranya yang ketakutan, Karma tertawa pelan, "Jangan takut, aku tidak makan orang, kok." tuturnya sambil tersenyum. Bukan senyuman jail terkesan iblis, kali ini senyumannya benar-benar tulus dan itu membuat pemuda bernama Nagisa itu sedikit mulai berani menatapnya. Inginnya sih, membalas senyuman itu, tapi–
"Kalau gigit menggigit sih, itu sudah biasa untukku. Jadi, jangan heran kalau preman atau anak berandalan yang pernah kuhajar memiliki bekas gigitan di lengan atas atau bawahnya." lanjut Karma disertai tawa nista.
–jika saja dia tidak melanjutkan kalimatnya.
Kali ini rasa takut itu hilang. Nagisa hanya bisa sweatdrope menatap Karma yang masih tertawa nista. Entah matanya yang bermasalah atau memang halusinasinya, muncullah tanduk dan ekor iblis yang sangat cocok dengan pemuda berambut merah itu. Ya.. mungkin pemuda berambut merah itu tidak semengerikan yang ia kira.
"Namaku Akabane Karma. Panggil saja Karma." kata Karma setelah menyelesaikan tawanya lalu menegapkan punggungnya. "Sekolah dimana?"
"Higashi. Aku baru pindah ke sekolah itu tadi–kemarin hanya mencoba memakai seragamnya sih. Memang itu bukanlah sekolah elit dengan murid yang dipenuhi oleh anak-anak berprestasi. Tapi, sepertinya di sana menyenangkan." jawabnya agak semangat. "Dan kau?"
"Kunugigaoka."
Nagisa hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan. "Sekolah yang di belakang bukit itu, kan?"
"Begitulah. Bukitnya sangat berguna untuk bolos."
"Hee.. ternyata kau suka membolos juga…"
Mendengar itu, Karma hanya menyerigai lalu meminum kembali kopi susu yang mulai mendingin. Untuk beberapa detik, mereka terdiam. Hanya suara gosip dari kursi di belakang Karma yang menjadi pemecah suasana.
"Itu mengerikan… aku tidak tahu harus berbuat apa kalau bertemu dengan doppelganger yang mirip denganku nanti."
"Kalau itu terjadi sih, terima nasib saja."
"Ah, kalau aku sih pasti syok. Mungkin akan mengurung diriku nantinya."
"Hei, kau terlihat seperti kehilangan harapan saja."
"Habisnya apa yang dapat kulakukan jika sudah diberi pesan kematian oleh makhluk itu?"
Mendengar itu, Karma terdiam. Doppelganger, eh? Dia sudah mendengar makhluk itu. Itu adalah 'kembaran' lain diri seseorang. Kemunculannya dihubungkan dengan kematian orang yang menjadi ditirukannya. Bisa dikatakan makhluk ini adalah pembawa pesan kematian. Pemuda berambut merah itu menaikkan sebelah alisnya. Haruskah sepanik itu atas kemunculan doppelganger?
Makhluk itu saja belum tentu terbukti atau tidaknya dan Karma lebih memilih tidak percaya. Oh, ayolah. Setidaknya berpikir logis. Pikirkan saja, ada makhluk yang menyerupaimu dan kemunculannya itu menandakan kematianmu. Hei, bisa saja kemunculannya itu adalah halusinasi. Oke, secara jelasnya, itu tidak nyata. Palingan yang mengajukan hal itu hanyalah orang yang terkena skizophrenia.
Karma memutar kedua bola matanya ketika segerombolan orang itu kembali melanjutkan pembicaraan mereka. Hah.. seandainya mereka bisa berpikir lebih jernih, mungkin mulut mereka dapat digunakan lebih baik dibandingkan bergosip.
"Nee~ Nagisa-kun, ayo jalan-jalan~" ajak pemuda itu setelah menandaskan kopi susu hingga kosong. "Di sini sangat dipenuhi olah suara yang tidak diperlukan, jadi ayo pergi." Dan tanpa basa-basi, pemuda berambut merah itu langsung menarik Nagisa keluar dari café.
.
"Jadi, bagaimana dengan sekolahmu, Nagisa-kun?" tanya pemuda berambut merah itu sambil menyodorkan jus jeruk dalam kemasan kotak yang langsung disambut oleh Nagisa. "Sudah nyaris satu minggu kau bersekolah, seharusnya kau sudah memiliki teman, bukan?"
Jangan bertanya mengapa mereka sering bertemu akhir-akhir ini. Karma maupun Nagisa pun sama sekali tidak mengerti. Nagisa ingin menjauh, tapi Dewi Fortuna sepertinya malah mendekatkan mereka–meskipun dirinya sudah tidak begitu takut menatap iris mercury itu, tetap saja dia tidak ingin mencari masalah, dan lagi, dirinya sudah mulai akrab dengan sang iblis merah. Dan Karma, entah mengapa setiap melihat pemuda bluenette itu dirinya langsung menariknya dan mengajaknya untuk menghabiskan waktu sore berdua.
Memang, takdir tidak bisa diubah.
Nagisa tersenyum tipis, "Tidak baik, tapi tidak buruk juga. Yang baru kukenal baru saja Kayano-chan dan Sugino-kun. Ah, Terasaka-kun juga–meskipun dia bertampang sangar, tapi dia selalu membelaku ketika siswa lainnya mengejekku."
"Hee~ sepertinya mengasyikkan…"
"Kalau Karma-kun sendiri?"
Karma meminum minumannya–jus troberi, "Temanku? Hanya ada dua. Rio dan Gakushuu. Yang lainnya sih, hanya kenalan."
"Mereka teman baikmu?"
"Begitulah. Kami berteman sedari kecil. Rio teman seperjahilanku dan Gakushuu itu rival–meskipun bukan musuh, sih."
Pemuda bluenette itu menghela napasnya pelan. Iris azurenya mulai terlihat sendu. "Enaknya memiliki teman yang akrab.." gumamnya pelan lalu meminum jus jeruk yang Karma berikan tadi.
"Kau tidak memiliki teman sebelumnya?"
Nagisa menganggukkan kepalanya pelan, "Ya.. dan makadari itu ibu pindah ke sini. Alasannya sih, untuk mencari suasana baru–itu bohong, aku tahu. Ibu menyadari kehidupanku di sekolah. Dia selalu bertanya tentang apa yang kulakukan di sekolah ataupun luka lecet yang sering kudapatkan. Meskipun aku selalu memberikan alasan yang terdengar tidak ada masalah, tapi sepertinya ibu menyadarinya. Dan… ya… beginilah akhirnya."
Karma yang mendengar itu pun terdiam. Dirinya tidak tahu harus merespon apa. Kata 'bersabar' atau kata penyemangat lainnya sudah terlalu klise untuk dipakai. Bola matanya bergerak, melirik Nagisa yang menatap sendu anak-anak yang tengah bermain di taman. Hahh… sepertinya Karma mengungkit masa lalu suram anak ini.
Suara dehaman membuat Nagisa tersentak. Berlahan, ia gerakkan kepalanya ke arah Karma yang menatap langit biru. "Aaa… aku baru sadar satu hal." ujar pemuda berambut merah itu tanpa menoleh. Nagisa sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Dia tidak mengerti maksud ucapan pemuda itu.
Karma yang menyadari tatapan itu pun menatap iris azure itu cukup dalam. "Aku baru sadar kalau aku tidak hanya memiliki dua teman. Aku memiliki tiga." Sudut bibir Karma sedikit tertarik. Biarkanlah dirinya mengucapkan ini–meskipun dirinya tahu dari lubuk hati terdalam dia menginginkan lebih. Setidaknya ini membuat pemuda berambut biru itu senang.
Dengan senyum tulus nan tampan, Karma melanjutkan kalimatnya, "Kau teman ketigaku, Nagisa-kun."
Mendengar itu, Nagisa merasakan kehangatan yang cukup ganjil. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat membalas senyuman Karma. Begitu pula dengan degup jantungnya yang mulai tak terkontrol.
.
.
.
.
.
.
End?
.
.
.
.
.
Nggak kok masih lanjut :v tapi nggak janji bisa ngelanjutin atau tidak.
Ini cerita sebenarnya dibuat pas bulan Juli lalu untuk ultah Nagisa. Tapi, karena beberapa faktor, jadi kaga jadi -_-". Maaf jika ditemukan typo atau jalan cerita yang gaje–entah mengapa pas dibaca lagi kepingin di publish sih.
Jadi, akhir kalimat, terima kasih sudah membacaaa... dan jika berkenan silahkan beri komentar, saran ataupun kritik–tenang ini diterima banget kok. XD
