Gummysmiled's 31st fanfiction

A Broken World

.

.

.

Dunia yang Rusak

Banyak opsi tersedia perihal bagaimana dunia berakhir. Bagi mereka yang berpegang teguh pada agama dan kitab-kitab, dengan penuh keyakinan akan berkata bahwa Tuhan yang mengaturnya. Bagi mereka para ilmuwan yang dipersenjatai teknologi mumpuni dan ilmu perbintangan, dengan angkuh akan berkata bahwa selama tak ada benda langit berdiameter lebih dari 1 kilometer mampir ke tanah manusia, bumi masih akan tetap hidup. Bagi mereka para makhluk kotor penggila harta dan duniawi, tak akan ada akhir dunia selama ambisi-ambisi belum tertuntaskan, selama nafsu hewaniah belum terpuaskan, selama cinta belum terbalaskan.

Bagi kami di sini, yang hanya tumpukan bangkai berbau busuk menyengat penciuman.

Yang hanya menderita tanpa kenal bahagia.

Yang takut mati namun tak berkuasa memperpanjang usia.

Yang mengemis air namun dilemparkan bara api.

Yang menuntut ketenteraman batin namun dicekik kejamnya akal pemikiran mereka, yang menikmati empuk kasur bulu dan hangat rumah dengan tungku perapian.

Akhir dunia bagi kami adalah ketika tak ada lagi manusia yang tersisa untuk sekadar mengirimkan do'a dan rasa prihatin. Ketika kami hanya mengenal lari dan rasa takut. Ketika kami berorasi pada dunia untuk menghentikan kehancurannya tapi hanya mendapat sebuah lengosan tak acuh.

Akhir dunia bagi kami adalah hari ini. Atau kapan saja mereka mau.

.

.

A.B.W.

.

.

Kantor Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Jepang

Senin, 28 Juli 2042

Berdiri bulu kudukku ditampar hawa pendingin udara. Tiap dua menit lima belas detik akan kusesap secangkir kopi pahit, yang sungguh kusyukuri karena mampu menyalurkan panas ke tubuhku. Kulirik-lirik sedikit interior kantor kedubes Korea Selatan untuk Jepang, tempat saat ini aku berada.

Pantatku sudah menyuarakan protes sejak tadi. Pegal dibawa duduk selama hampir setengah hari, sekalipun di atas sofa mahal yang begitu nyaman. Padahal aku hanya meminta paspor yang sempat ditahan pemerintah karena situasi negeri asalku yang sedang tidak stabil, namun malah diharuskan menunggu berjam-jam lamanya karena sepertinya perwakilan konsulat enggan menemui kami.

Ah, aku Park Jimin. Dua puluh tujuh, status saat ini lajang. Jurnalis dari salah satu stasiun berita di negaraku. Aku—lebih tepatnya kami, karena aku bersama dengan sahabatku yang bekerja sebagai cameraman—terdampar selama hampir dua minggu di Jepang, negara tetangga kami. Tugas kami di sini sebenarnya hanyalah meliput demo para penduduk Jepang keturunan Korea di Prefektur Fukuoka. Belakangan ini memang banyak sekali demo di mana-mana, dan sebenarnya perkara yang dituntut itu sama saja, dari tiap daerah yang kami datangi dan liput pun tak berbeda.

Perdamaian.

Omong-omong soal perdamaian, aku sedari tadi melamun di depan televisi yang ada di ruangan perwakilan konsulat. Ada nona pembawa berita yang mengoceh dalam bahasa Jepang tentang ricuhnya perang dunia saat ini.

Jika bertanya pendapatku, menurutku semua kekacauan ini belumlah dapat disebut perang dunia. Yah, meski Korea Utara resmi mendeklarasikan pembatalan gencatan senjata dengan Daehan Minguk, lalu kericuhan Suriah yang tak kunjung usai sejak 3 dekade terakhir, lalu Indonesia yang keluar dari Gerakan Non Blok yang mereka elu-elukan sejak kemerdekaannya—dan kini bergabung dengan komunis China dalam perang dingin terhadap Amerika Serikat.

Cukup parah, atau malah sangat parah sebenarnya. Tapi selama tikus-tikus politik itu belum membentuk sekutu yang saling berseberangan, aku harap masih ada waktu bagi kami—warga sipil yang saat ini amat butuh naungan dan perlindungan—untuk menyelamatkan diri.

Aku bersikap cukup santai seperti ini bukannya aku tak memiliki secuil rasa kasihan. Justru sebaliknya. Di tengah-tengah konflik yang memanas ini aku benar-benar merindukan tanah kelahiranku. Paling tidak aku harus mencium pasir pantai Busan sebelum aku meninggalkan kampung halamanku untuk waktu yang tidak pasti. Aku yakin beberapa keluarga masih ada yang bertahan karena enggan meninggalkan rumah mereka, bahkan demi keselamatan sekalipun.

Pemerintah Korea Selatan pantas kami banggakan. Mereka cepat tanggap dalam melakukan pengungsian darurat ke Jepang semenjak percikan-percikan api di dunia politik internasional mulai timbul enam bulan lalu. Keluargaku dan juga Taehyung sudah aman di Kanagawa. Dalam kunjungan kami ke Jepang kali ini, dengan berat hati kami tidak bisa menemui mereka dikarenakan peliputan situasi penyerangan di Seoul adalah perintah terakhir bagi kami, sebelum kami dibebastugaskan oleh kantor sampai situasi terkendali. Itulah alasan mengapa kami berada di tempat ini, memohon agar penangguhan paspor kami dicabut atau ditunda sementara.

Astaga, bernarasi panjang lebar membuatku lelah juga.

Suara pintu dibuka menginterupsi bunyi-bunyian berita di televisi. Saat kulihat, muncul Taehyung yang sedari tadi kutunggu kehadirannya—bersama sosok yang kukenali sebagai perwakilan konsulat Korea Selatan, Bang Sihyuk, yang memasang wajah masam. Pasti Taehyung dan acara bujuk-membujuknya membuat pria paruh baya itu menyerah dan mau menemui kami.

"Kalian ini benar-benar keras kepala." Pria buncit itu mengeluh, dan aku hanya tertawa untuk menanggapi.

"Akses masuk Hanguk benar-benar terputus. Hanya Anda yang dapat kami andalkan." Taehyung memelas, lalu mengikuti langkahku yang beranjak dari sofa untuk duduk di kursi tamu.

"Tentu saja aku tidak setuju, Taehyung-ssi. Pulang ke Korea saat ini sama dengan bunuh diri, dan aku harus menjamin keselamatan kalian selama gencatan senjata belum dikumandangkan." ujar Pak Bang dengan raut serius. Memandang kami penuh harap, wajahnya dihiasi gurat-gurat khawatir.

Kami sama-sama tahu resiko besar yang akan ditanggung apabila nekat masuk ke Korea di waktu yang tidak tepat.

"Bos berjanji ini adalah liputan terakhir kami, Pak. Saya pun tahu apa-apa saja bahaya yang menghadang, namun saya berjanji akan kembali setelah mendapat berita bagus." ucapku mantap tanpa keraguan, dan Taehyung menepuk pahaku bangga sambil mengirim cengiran.

Pak Bang mendesah malas. Aku yakin beliau paham benar tentang etos kerja masyarakat negeri Ginseng yang selalu totalitas dalam bekerja. Apalagi para reporter dan jurnalis sejenis kami. Pantang pulang sebelum membawa kabar baik.

"Kalian bisa saja tertangkap. Aku khawatir di sana hanya ada tentara Kim Ju-Ae yang mengepung." bujuk Pak Bang tak kunjung menyerah.

Taehyung mendengus. "Kami juga khawatir, Pak. Kim Jongun berhasil menyembunyikan 'bom nuklir' Korea Utara yang sebenarnya selama bertahun-tahun."

Aku mengamini perkataan rekanku itu. "Selama ini Korea Selatan tak pernah memprediksi putri Kim Jongun yang akan dijadikan senjata. Lebih ganas, lebih buas dari ayahnya."

"Oleh karena itu, Jimin-ssi." Pak Bang menaikkan nada bicara, tampak amat frustasi dalam usahanya menahan kami tetap di Jepang. "Kim Ju-Ae mungkin bisa menyaingi Mao Zedong. Aku tak ingin mengatakan ini, tapi aku khawatir kalian mati di tangan antek-anteknya."

Baik aku maupun Taehyung saling berpandangan, lalu kami sama-sama terbahak.

"Kalian ini tidak takut mati?!" sentak Pak Bang yang sepertinya mulai kehilangan kesabaran terhadap kami. Untungnya aku dan Taehyung sudah berpengalaman dalam menghadapi para konsulat Korea Selatan yang kebanyakan sikapnya persis seperti Pak Bang.

"Sekalipun kami mati, kami membawa nama jurnalis Korea Selatan. Lagipula, Pak Bang." Aku mengatur senyum jenakaku agar tidak tampak menghina pria di hadapanku. "Kami hanya akan meliput berita untuk yang terakhir kali, bukan berhadapan dengan Mao Zedong atau Kim Ju-Ae."

Pak Bang terdiam, begitupun denganku dan Taehyung.

.

.

A.B.W.

.

.

Malam ini kami akan diberangkatkan.

Akhirnya!

Setelah sebulan kami bolak-balik kantor kedutaan, memohon untuk izin resmi yang selalu berakhir dengan penolakan, akhirnya kami dapat dipertemukan oleh relawan-relawan Jepang berdarah Korea yang akan ikut bersama kami untuk menyelundup melewati jalur-jalur tertentu.

Sekarang kami berada di posko jaga para relawan. Mereka senantiasa dua puluh empat jam berada di sini, mengumpulkan berita-berita lewat radio yang disadap ataupun tim medis Jepang yang kembali dari Korea.

Aku hanya diam, duduk di salah satu kursi di luar posko. Entah apa yang kulakukan, hanya termenung menatap langit mendung. Taehyung masih di dalam, sibuk berdiskusi mengenai bantuan serta kegiatan apa yang akan kami lakukan ketika sudah sampai di sana.

Ponselku bergetar. Aku sedikit terlonjak kaget. Belakangan ini aku memang jarang menerima telepon. Kalaupun ada, itu pasti dari kantor redaksi. Begitu kulihat layar ponselku, terpampang sebuah nama dengan tulisan hangul yang belakangan ini tidak pernah lagi muncul di depanku.

Jeon Jungkook is calling...

Jungkook?

Aku menelan ludah. Kuberanikan diri mengusap layar ponsel untuk menerima panggilan itu.

"Yeoboseyo, Jimin hyung."

Tercekat. Seakan-akan seluruh sel-sel darahku berhenti mengantarkan oksigen ke jantung. Suara yang hampir setahun tak pernah kudengar kini mengalun seakan begitu dekat denganku.

"J-Jungkook-ah." Sialan, sekarang mataku memanas dan bibirku bergetar. Dadaku berdentum kencang, begitu ricuh. Mungkin perang Korea sudah berpindah ke sana.

"Jimin hyung, bagaimana—"

"Jeon Jungkook! Ya Tuhan! Kau kemana saja? Apa kau di Jepang sekarang? Atau di Taeguk? Kau tidak sedang di Korea, 'kan?" Belum sempat pria di seberang berbicara, aku lebih dahulu membombardirnya dengan serentetan pertanyaan bernada khawatir.

Bagaimana bisa aku tidak panik. Jungkook memutuskanku setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak. Saat perang mulai berlangsung, aku sempat mencari keberadaannya sebelum keluargaku dievakuasi ke Jepang. Namun nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan lelaki Jeon itu di Korea, membuatku yakin kalau dia sudah pergi ke negara lain.

Tanpa malu, air mata turun dengan lancang dari pelupuk mata. Padahal aku tidak pernah berencana menangis seperti ini jika suatu saat aku bisa bertemu atau mendengar suaranya lagi. Aku hanya... terlalu rindu.

"Hei, Jimin hyung, kenapa malah menangis? Kendalikan dirimu, kau membuatku khawatir."

"Aku yang lebih khawatir, bodoh." umpatku di sela-sela isakan.

"Ssshh, berhenti menangis, ya? Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Ini, aku masih bisa bicara denganmu, 'kan?"

Aku mengangguk, meski sadar Jungkook tak akan mengetahuinya. "Syukurlah kau baik-baik saja."

"Aku akan selalu baik-baik saja." Tawa kecil terdengar. Sejenak aku merasa begitu candu akan tawa itu. Tawa yang berhasil membuatku sakit saking merindukannya.

"Kau di mana?"

"Apa kau baik-baik saja, hyung? Kau masih bekerja di stasiun berita?" tanya Jungkook tiba-tiba, seperti mengalihkan pembicaraan.

"Tentu, memangnya di mana lagi? Ah, dan malam ini aku dan Taehyung akan ke Korea. Sekarang di Jepang, dan beberapa jam lagi akan berangkat. Mungkin tiba di pelabuhan menjelang pagi." jelasku.

"Benarkah? Kalau begitu, tolong bawakan pasokan bahan makanan dan juga obat-obatan."

"Tentu saja, kami bersama relawan. Tunggu. KAU DI HANGUK?!" Teriakanku sukses mengundang tatapan tajam dari beberapa orang di sana.

Aku tersenyum malu, membungkuk maaf.

"Jelaskan padaku sekarang juga, bedebah sialan." geramku sampai gigi-gigiku bergemeletuk.

Jungkook terdengar menghela napas di ujung sana. "Ceritanya panjang. Yang jelas aku baik-baik saja. Bersama warga yang tersisa, di asrama tentara. Cukup tunjukkan surat izin jika sudah sampai, dan jangan bawa senjata."

Mataku membeliak. Segera kulancarkan protes tanpa pikir panjang. "Senjata itu sebagai pertahanan, Jungkook-ah! Kau tahu, kan, aku selalu membawa pistol kemana-mana?"

"Pelabuhan di Busan aman, hyung, namun dijaga ketat. Oleh karena itu jangan bawa senjata atau kalian tidak bisa masuk. Mereka akan mengantarkan kalian ke tenda pengungsian terdekat, aku bisa meminta tolong pada Seokjin hyung untuk menjemput kalian dan besoknya kalian bisa ke asrama tentara. Kau tahu, 'kan?"

Aku menunduk. Menggigit bibir gelisah. "Tentu saja, bodoh. Aku lahir dan besar di Busan. Tapi para relawan sudah menargetkan akan tinggal di posko Busan dan Incheon, lalu menyalurkan bantuan diam-diam pada malam hari."

Jungkook tak menjawab. Kutebak anak itu pasti sedang berpikir.

"Kalau begitu bawalah beberapa tim medis ke tempatku, juga barang-barang yang kuminta tadi. Di sini kami juga butuh bantuan. Akan kuusahakan maksimal tujuh orang bisa datang."

Aku mengerti, tidak sembarang orang bisa masuk ke markas tentara di Seoul. Mereka hanya menerima relawan dari PBB dan enggan menerima jurnalis. Yang kukhawatirkan hanya jarak pelabuhan ke markas tentara yang cukup jauh dari Seoul. Sebenarnya hanya memakan waktu 3,5 jam jika dengan KTX, namun siapa yang akan memakai KTX di tengah kondisi keamanan yang tak terjamin?

"Jika kau sampai di tempatku, kau bisa lebih leluasa meliput berita. Ada tentara yang berjaga."

Aku menelan ludah. Kini seluruh tubuhku lemas seperti agar-agar. Rasanya hampir goyah keyakinanku untuk pergi ke Korea demi tugas terakhirku, juga pasir pantai Busan. Namun aku harus meyakinkan diri. Ada Jungkook di sana. Ada warga yang membutuhkan bantuan. Aku tidak mungkin berdiam diri sedangkan banyak orang yang hidupnya bergantung padaku.

Biar mati, asal itu untuk negeriku.

"Baiklah, akan kuusahakan. Cari informasi tentang titik-titik yang harus dihindari. Aku tahu jaringan sinyal tidak akan berfungsi di pagi hari, 'kan? Hubungi aku tiap malam." pesanku. Sial, mataku mulai panas lagi.

Mungkin Jungkook tersenyum di sana, dan sumpah demi orang-orang tampan di dunia, aku hanya ingin melihat dan memeluknya lagi. "Pasti, hyung. Segera beri kabar jika sudah sampai di pelabuhan. Menginaplah di sana semalam, lalu kau akan berangkat di malam berikutnya."

"Aku mengerti. Jaga dirimu baik-baik, Jungkook-ah." Air mataku sukses mengalir lagi.

"Pasti, hyung. Kau juga."

"Aku—" merindukanmu, ingin memelukmu, masih mencintaimu.

"—akan segera sampai."

Jimin yang sungguh menyedihkan.

"Baiklah. Sampaikan salamku untuk Taehyung hyung. Sampai jumpa, Jimin hyung."

"Sampa jumpa, Jungkook-ah."

Dan aku tidak bisa lebih bahagia saat akhirnya 'sampai jumpa' itu terucap.

.

.

A.B.W.

.

.

Pelabuhan Yokohama

Selasa, 29 Juli 2042

Kami berangkat dengan kapal catamaran berbendera Jepang, sekitar tengah malam. Ada kurang lebih 50 relawan termasuk aku dan Taehyung yang ikut menumpang di kapal itu. Kami duduk di kursi-kursi yang ada di sana. Menunggu dengan raut tegang dan jantung berdebar.

Taehyung memijat pelan tengkukku. Ia sudah lama tahu aku bisa mabuk laut, terlebih aku sedang banyak pikiran. Rasanya kepalaku dihantam martil dan badanku tak bertenaga.

"Jangan terlalu tegang, Chim. Kita akan cepat-cepat mengambil berita lalu membawa Jungkook ke Jepang seperti rencanamu. Tenanglah." Taehyung mengusap helai rambutku. Begitu nyaman saat ia membawa kepalaku untuk bersender di bahu bidangnya. Taehyung adalah sahabat terbaik yang aku punya. Orang pertama yang kuberi tahu mengenai rencanaku untuk mendatangi markas tentara di Seoul. Orang pertama yang mengajukan diri untuk ikut bersamaku, walaupun ini bukan urusannya. Meskipun dia bisa menolak, tapi dia tidak.

Aku mengamati wajah-wajah para relawan. Beberapa di antara mereka terlelap karena kelelahan. Tidak hanya relawan dari Jepang, ada juga yang berasal dari Minguk (Taiwan) dan Taeguk (Thailand).

"Aku bersyukur Jepang benar-benar menepati janji mereka untuk tidak ikut campur dalam urusan perang lagi."

Mataku yang tadinya hendak tertutup mendadak segar kembali mendengar gumaman seseorang. Itu merupakan salah satu relawan yang sebenarnya adalah warga Korea, Jung Hoseok.

"Benar sekali. Setidaknya mereka membayar derita rakyat saat penjajahan dulu dengan membantu Hanguk saat ini." gumam Kim Namjoon, ketua relawan dari International Committee of the Red Cross.

Aku dan Taehyung yang juga warga Korea pasti setuju dengan mereka berdua. Hanya saja kami juga jurnalis, sudah merupakan kode etik bagi kami untuk tidak mencampuradukkan pandangan yang bersifat subjektif dalam menghadapi masalah.

Kami hanya melirik beberapa relawan Jepang yang menunduk. Tidak berkutik meskipun disudutkan seperti ini.

"Maafkan aku, tapi kurasa tidak pantas kita membicarakan hal seperti itu." celetuk Taehyung yang untungnya menyuarakan isi hatiku.

Hoseok maupun Namjoon sama-sama menoleh ke arah Taehyung, yang dengan santai malah mengangkat bahu. "Merekalah saat ini satu-satunya sahabat yang bisa kita andalkan."

"Aku hanya bicara tentang betapa leluhur kita menderita di tangan para penjajah, Taehyung-ssi." Tak kusangka Hoseok malah menjawab dengan sinis.

"Dan jika kau sungguhan dari Hanguk, kau tidak akan melupakan itu." timpal Namjoon seakan-akan ia tahu segala hal di dunia ini.

Keadaan di kapal begitu canggung. Mereka mengaku relawan, tapi mereka bahkan tidak bisa menghilangkan sifat nasionalis berlebihan yang harusnya tidak perlu dijadikan ajang debat di saat yang genting seperti ini.

"Sejarah adalah sesuatu untuk dipelajari, bukan untuk memupuk dendam." ujarku sembari menegakkan kepala dari bahu Taehyung. "Terimalah fakta bahwa Jepang sudah meminta maaf, juga membangun relasi yang harmonis dengan negara kita."

Hoseok dan Namjoon akhirnya terdiam. Syukurlah.

"Dan Jepang-lah yang kini bersedia menawarkan bantuan kepada kita sebagai sahabat, demi membayar sejarah kelam yang mereka ciptakan."

Seisi kapal memutar kepala ke arah suara serak dan berat yang barusan mengudara, sepertinya membela pendapatku.

"Tidak perlu mengungkit-ungkit luka lama." Itu Min Yoongi, salah satu dokter dari sepuluh tim medis yang ikut bersama kami.

Aku tersenyum kecil. Dalam hati berterima kasih karena akhirnya ada yang sepikiran denganku dan Taehyung. Aku merasa tidak enak dengan teman-teman dari Jepang. Mereka baik dan santun, namun mereka hanya menanggung beban dari moyang mereka yang immoral. Mendapat kebencian dari bangsa-bangsa terjajah seperti kami.

Dua orang relawan tadi akhirnya bungkam. Sedikit menunjukkan raut bersalah, namun enggan mengucap maaf. Terserah saja, yang penting tidak menimbulkan keributan.

Aku menggigit bibir. Menatap tim medis yang sedang berdiskusi entah apa, mungkin tentang penyakit-penyakit yang sering timbul di tempat pengungsian. Begitu lega rasanya, saat tadi aku menyampaikan pesan Jungkook kepada para relawan dan medis. Mereka setuju untuk membagi tim. Tim Busan beranggotakan 20 orang, Tim Incheon beranggotakan 23 orang, dan Tim Seoul yang hanya beranggotakan 7 orang—seperti yang Jungkook minta.

Saat sampai di pelabuhan nanti kami akan menginap di Busan terlebih dahulu untuk menyusun strategi selanjutnya, dan setelah itu rombongan kami akan berpisah.

Ya Tuhan, aku harap semuanya baik-baik saja.

.

.

A.B.W.

.

.

"Jim! Jimin! Park Jimin, bangunlah!"

Aku hampir saja melompat terkejut. Jantungku nyaris turun ke perut, namun yang kudapati hanya senyum geli Taehyung.

"Kita sudah sampai. Ayo kita turun." ujarnya tak bersalah, seakan-akan tadi ia tidak berniat membuatku serangan jantung.

Taehyung beranjak berdiri, lalu mengulurkan tangan ke arahku. "Ayo bergerak, dasar lamban."

Aku memanyunkan bibir, kemudian mengusak-usak mataku. Mengerjap-ngerjap sebentar, dan akhirnya sadar sepenuhnya. "Ayo."

Kami berjalan mengikuti rombongan yang digiring oleh sepasukan tentara dengan senjata lengkap. Aku menelan ludah. Begitu sampai di tepi pantai, mereka segera mencegat dan memeriksa seluruh bawaan kami. Pakaian kami juga tidak luput dari pengecekan. Untunglah semua berjalan lancar. Bahkan yang tak terpikirkan, mereka memeluk kami dengan erat. Berkata bahwa Korea tidak sama dengan dulu lagi, dan ya. Memang benar.

Mereka membawa kami dengan beberapa mobil jeep. Bercerita bahwa Daegu sudah dalam genggaman tentara Korea Utara. Aku dapat merasakan raungan sedih Taehyung meski ia tak mengeluh sedikitpun. Terlukis jelas bahwa ia terpukul. Daegu adalah kampung halamannya, begitu pula dengan Dokter Min. Aku hanya mampu berdo'a suatu saat negara kami akan pulih seperti dahulu kala.

Posko Busan terletak sekitar 5 kilometer dari pelabuhan. Kami segera mendirikan tenda, namun tidak berani menyalakan api unggun. Asap dari api sama saja memanggil musuh untuk mendekat, jadi kami hanya menggunakan lentera atau lampu emergency seadanya.

Para tentara selalu berada di sekitar posko. Berjaga-jaga di sekitar, sesekali membantu para relawan berbenah. Tim medis segera bertindak cepat, memeriksa para pengungsi. Aku mengintip dari tenda miniku dan Taehyung. Dokter Min sejak tadi berlalu lalang, keluar masuk posko dengan berbagai macam alat di tangannya. Aku sempat mengira dokter yang juga berdarah Korea sepertiku itu adalah sosok yang dingin dan tidak bersahabat. Wajah kaku Dokter Min membuat orang tidak tertarik untuk membangun sebuah percakapan dengannya. Namun entah mengapa, melihat parasnya yang bercucuran keringat membuatku yakin kalau sebenarnya ia bukan sosok yang selama ini orang pikirkan. Ia pasti orang baik yang terjebak dalam tubuh manusia berwajah datar dan menyeramkan.

"Hei, Park Jimin. Kau ini tidak bisa lihat orang ganteng sedikit, ya?"

Aku tersentak kecil saat objek yang sedari tadi menjadi pusat perhatianku kini berdiri congkak tepat di depan wajahku.

"Kenapa belum tidur dan malah asyik memperhatikanku?" tanya Dokter Min lagi, lengkap dengan seringai kecil di bibirnya.

Mataku membulat, dan kurasa pipiku memerah hebat. Sialan, mengapa harus ketahuan, sih?

Aku mendengus kesal, memutuskan untuk menutup resleuting tenda. Rasanya ingin kutarik kata-kataku tadi. Dokter Min itu bukan orang baik. Dokter Min itu menyebalkan dan narsis.

"Hei, aku hanya bercanda. Kau ini cepat sekali ngambek, ya?"

Aku dapat melihat bayangan Dokter Min yang samar-samar dari dalam tenda. Aku hanya diam, enggan membalas perkataannya.

"Oke, aku minta maaf, Jimin-ssi." ucap suara itu lagi, membuatku semakin malas untuk menanggapinya. Dasar dokter aneh.

"Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku akan ikut ke Seoul bersamamu?"

Dan akhirnya aku terpaksa membuka lagi resleuting tenda dan menyembulkan kepala dari celah yang kubuat. "Apa? Kau mau ikut?"

Pria berkulit pucat itu berjongkok. Menatapku langsung dengan dua mata sipitnya. Ia memandangku sedikit lama. Entah apa yang ia pikirkan, namun aku jadi salah tingkah sendiri.

"Ya. Teman-temanku tetap di Busan dan beberapa ke Incheon. Kau juga butuh dokter di Seoul, 'kan?"

Aku mengangguk cepat dengan wajah cerah untuk ukuran seseorang yang sedang banyak pikiran. "Kau bersedia?"

Dokter Min tersenyum kecil, dan God, dia ternyata sangat-sangat-sangat tampan. Terkutuklah pipiku yang seperti babi dan cepat sekali merona.

"Terima kasih banyak, Dokter Min." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, namun pria itu malah tak mengacuhkannya.

Aku meringis kecil, menarik kembali tanganku. Dokter Min jahat, tapi baik. Baik, tapi jahat. Tapi tampan juga.

Aish, dunia benar-benar akan terbalik.

"Panggil Yoongi hyung. Kau dua puluh tujuh, 'kan? Aku tiga puluh." ujar Dokter Min—maksudku Yoongi. Tunggu. Dia lebih tua dariku? Wah, wajahnya memang sungguh menipu.

Aku mengangguk, lagi-lagi mengulurkan tangan. "Terima kasih banyak, Yoongi hyung. Omong-omong, kau tahu dari mana usiaku?"

Yoongi akhirnya membalas menggenggam tanganku. Laksana sihir, ia membuatku tersenyum tanpa alasan seperti orang sakit jiwa.

"Dari kartu persmu tentu saja."

Aku mengangguk mengerti. Pasti ia pernah melihatku memakai kalung identitas wartawan itu.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Pagi hari kita akan menyusun rencana, dan malamnya kita bergerak." ujar Yoongi.

Aku tahu itu, tapi lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Selamat malam, Yoongi hyung."

"Selamat malam."

Aku terkikik seperti orang bodoh. Cepat-cepat kutarik lagi resleuting tenda, mencegah nyamuk masuk. Aku menenggelamkan diri dalam selimut. Wajah Yoongi terus berkeliaran tak terkendali dalam otakku.

"Selamat untuk yang baru saja jatuh cinta."

Aku menelan ludah. Kubalikkan tubuh ke arah Taehyung yang ternyata belum tertidur. Ia malah memasang cengiran usilnya. Pasti Taehyung dengar semuanya. Aku yakin wajahku memanas saat ini.

"Siapa yang kau bilang jatuh cinta, dasar jomblo." Kutoyor saja kepala sahabatku itu. Tentu dia tidak akan marah.

Taehyung memutar bola matanya, membuatku semakin kesal. "Wajahmu itu mengatakan segalanya. Sudah telepon Jungkook?"

Aku terkesiap. "Ya Tuhan! Aku nyaris saja lupa!"

Segera kuraih tas milikku, mengambil ponsel dan secepat mungkin menghubungi Jungkook. Ini sudah hampir pagi, dan kuharap jaringan sinyal belum diputus.

"Jimin hyung!" Suara di sana terdengar khawatir.

"Aku sudah sampai di Busan, Jungkook-ah. Maaf terlambat menghubungimu. Sekarang kami sedang bersiap-siap untuk istirahat." ocehku panjang lebar.

Jungkook terdengar menghela napas lega di sana. "Baguslah, hyung. Seokjin hyung bilang dia bisa ke Busan untuk menjemput tujuh orang saja."

Aku mengangguk paham, "Aku dan Taehyung membawa dua relawan, dua perawat dan satu dokter. Persediaan obat-obatan dan makanan sudah kami persiapkan. Ada lagi?"

"Tidak, hyung. Itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak."

Aku mengukir senyum lembut. Namun tidak lama, suara Jungkook mulai terdengar putus-putus.

"Hyungsinyal ... sebentar lagi ..."

"Ah, aku mengerti. Kapan Seokjin hyung sampai?"

"Sekitar ... tujuh malam ... matahari terbenam ..."

"Baiklah, tunggu aku. Jaga dirimu baik-baik, Jungkook-ah."

"Kau juga hyung. Hati-hati ..."

Dan panggilan benar-benar terputus.

Aku mencebik sedih, dan tanpa aba-aba air mulai menggenangi pelupuk mataku. Jimin cengeng. Mengapa aku jadi sensitif sekali, sih?

"Sudahlah. Terlalu banyak emosi negatif dalam dirimu." Taehyung seakan-akan bisa membaca pikiranku. Ia meletakkan ponselku kembali dalam tas, lalu merengkuh tubuhku dalam sebuah pelukan hangat.

"Berpikir positif saja. Kita bisa melakukannya." Aku dapat merasakan Taehyung mengecup puncak rambutku. Membuatku merasa aman dan terlindungi.

"Terima kasih, Taehyung-ah. Maaf merepotkanmu terus." ujarku tersendat-sendat, masih sesenggukan.

Taehyung adalah sahabatku, sekaligus teladan bagiku. Dia selalu bersedia meminjamkan bahu sebagai sandaran, dada sebagai tempatku menangis, dan kekuatan sebagai motivasi untukku.

"Kau sama sekali tidak merepotkan. Jangan menangis lagi. Kita harus bertahan sampai akhir." ujar Taehyung penuh keyakinan.

Aku memejamkan mata. Menguatkan hati. Aku punya Taehyung. Ada Jungkook dan saudara satu tanah air yang menungguku. Keluargaku juga menunggu di Jepang. Aku tidak boleh terus-terusan lemah begini.

Taehyung benar. Tidak ada pilihan selain bertahan sampai akhir.

.

.

.

.

.

To be continued.

-Author note-

Wtf, ini apaan cobaaaa.. Aku gak nyangka bikin ginian. Ini apa coba? x'D

Sebenernya ini terinspirasi sama perang di Aleppo. Aku tersentuh sama cerita saudara saudara di sana. Mereka menderita, cuman gak pernah dapat perhatian. Semoga konflik di sana cepat mereda dan mereka selalu berada dalam lindungan Tuhan.

Last... mind to review?