Buku sketsa di pangkuannya itu masih kosong.
Lembarannya yang memang sedikit kekuning-kuningan terlihat berkilau tertimpa cahaya mentari. Angin yang berhembus lemah tidak mampu mengangkat satu lembar pun dari buku sketsa itu. Paling-paling hanya bisa mengangkat bagian ujungnya, itu pun tidak berhasil karena ada jemari yang selalu menahannya.
Jemari lembut itu kembali memegang ujung kertasnya. Tidak membiarkan angin membalikkan halamannya walau pada nyatanya tidak ada satu guratan pun yang terlihat di atas kertas itu. Mata cokelat mudanya mencoba kembali fokus pada apa yang terjadi pada lapangan di hadapannya.
Di sekitarnya, debu-debu beterbangan dengan ganas, seirama dengan gerakan yang terjadi di lapangan.
Tubuh-tubuh saling bertabrakkan tanpa ampun, sahutan komando terdengar tegas di udara. Sorak-sorai penonton menyemarakkan suasana, tidak ada yang peduli lagi kalau pertandingan di hadapan mereka adalah pertandingan yang diadakan di lapangan berdebu, tanpa tempat duduk yang otomatis membuat penonton hanya beralaskan rumput, dan lagi, tidak sah*. Tapi toh, semua pasang mata nampak nyaman mengikuti jalannya pertandingan—ah, tidak semua. Sepasang mata cokelat cerah yang dimiliki gadis berjemari lembut itu nampak gelisah mengikuti alur pertandingan.
Gadis itu menggigit bibirnya, jemarinya sibuk memutar-mutar pensil mekanik merah muda. Ia bahkan terlihat lebih gelisah dibandingkan dengan pelatih yang duduk di seberang lapangan.
"Masih belum menggambar apapun, Karin?"
Dari keributan yang mengerubunginya, ia yang bernama Karin bisa mendengar sebuah suara yang amat dikenalnya menggema—menggema begitu saja, seakan segala keributan tadi tidak berarti apapun. Gadis itu kemudian menengok pada sumber suara, mengalihkan atensinya dari jalannya pertandingan.
Di sebelah kanannya, Takeru Yamato berdiri dengan senyum penuh kharisma. Melihat sosok yang dikenalnya, Karin refleks menyunggingkan senyum lega. Dari sudut matanya yang tidak terhalang tubuh tinggi Yamato, Karin bisa melihat mantan teman satu timnya, Taka, yang mengangguk sopan pada dirinya. Ekspresi dingin, hanya mengangkat ujung bibirnya sedikit. Khas Taka sekali, kemudian lelaki berambut panjang itu duduk di belakang dengan rombongan tim Saikyoudai Wizards kelas elit lainnya.
Menyadari Yamato yang tidak ikut bergabung dengan rekan timnya, gadis itu menggeser posisinya. Alih-alih menjawab pertanyaan tadi, ia menyapa dengan senyum kaku, "H-halo, Yamato-kun. Kamu datang menonton juga, rupanya?"
Lelaki itu tidak menjawab, tidak pula mengomentari ekspresi aneh Karin, tapi langsung saja mendudukkan dirinya tepat di sebelah mantan rekan setimnya itu.
"Kukira latihan Saikyoudai Wizards hingga sore. Padahal kalau begitu kita bisa berangkat bersa—"
"Masih belum menggambar apapun, Karin?"
"Eh?"
Pertanyaan itu kembali diulang, membuat perhatian Karin kembali pada lelaki yang duduk di sebelahnya. Jemari gadis itu sedikit gemetar mendengar pertanyaan itu, ia hampir saja menjatuhkan pensil mekanik dengan gantungan feminim dari tangannya kalau saja Yamato tidak menangkapnya.
Sebuah sentuhan di bahunya membuat lamunan gadis berkepang itu buyar. Saat sadar, ia merasakan tangan besar Yamato di bahunya dan mata gelap lelaki itu yang tengah menatapnya geli, "Kamu ya, pertandingan sedang berlangsung kok malah melamun?"
"A-aku tidak melamun," sahut Karin malu-malu karena pernyataan Yamato yang lagi-lagi terbukti benar.
"Apa?" Yamato menundukkan kepalanya, mencondongkan telinganya pada Karin. Suara mantan quarterback yang kecil itu tenggelam di antara sahutan dukungan penonton—yang sebenarnya tidak seberapa itu.
"Tidak," sahut gadis itu seraya menerima pensil yang diangsurkan Yamato, kemudian ia kembali mengalihkan perhatiannya ke lapangan. Mata cokelat cerahnya mungkin menatap lapangan dengan fokus. Namun, tidak dengan pikirannya.
Perlahan, Karin menutup buku sketsa yang halamannya itu masih kosong. Gadis berkepang satu itu kemudian memeluk erat buku sketsanya dan menghela napas. Mata cokelatnya terlihat sendu, kontras dengan tatapan antusias penonton lain, kontras dengan langit cerah dengan awan seputih kapas yang bergerombol di atasnya.
"Masih belum menggambar apapun, Karin?"
Gadis itu kembali menghela napas. Pertanyaan Yamato kembali diputar ulang dalam teater pikirannya, membuat jemarinya memutar-mutar pensil mekanik kesayangannya dengan gelisah. Ia kemudian melirik Yamato yang ternyata sedang menatapnya dengan pandangan heran. Dengan tatapan ingin tahu, lebih tepatnya. Bola mata gelap itu seakan mengebor dirinya sedemikian rupa, mencari tahu apa yang menyebabkan helaan napas gelisah pada hari yang indah dengan pertandingan amefuto di hadapannya.
Dan saat berikutnya, Karin tahu. Ia tidak bisa menyembunyikan apapun dari Yamato. Ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari lelaki itu.
Gadis itu menatap lekat-lekat mata gelap sang kaisar.
"Aku ... aku tidak mempunyai muse** untuk menggambar, Yamato-kun."
.
.
Disclaimer; Eyeshield 21 Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata
(tidak ada keuntungan materi yang didapat penulis atas pembuatan fanfiksi ini)
Warnings; OOC, multichapter, abal-klise-aneh.
.
.
—Sketches Live on You—
[Halaman Pertama—dia yang sempurna]
.
.
Karin Koizumi tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan jadi begini.
Seakan bermain sebagai quarterback tim teratas Kansai tidak cukup membuat hidupnya dipenuhi dengan kejutan dan kesulitan, kini setelah resmi mengeluarkan diri dari olahraga amefuto pun nasibnya tidak banyak berubah. Tetap penuh kejutan dan kesulitan.
Oke, kejutan awalnya, ia berhasil dipercaya sebagai komikus oleh salah satu penerbit ternama. Kejutan sesi keduanya, mereka memintanya untuk menggambar komik dengan tema amefuto. Awalnya, itu masih berupa kejutan yang menyenangkan—
"Pasti mudah karena kamu dulu pernah bergelut di dalamnya. Kamu bisa memanfaatkan pengalamanmu."
—ya, Karin pun setuju.
Awalnya.
Tapi rupanya, seiring waktu berlalu, Karin sadar, kesulitan tetap membayangi setiap langkahnya. Kali ini, kejutan yang dibungkus sedemikian rupanya itu berubah menjadi sebuah kesulitan ronde pertama.
"Aku ... aku tidak punya muse untuk menggambar, Yamato-kun."
Saat mengatakan apa yang telah dipendamnya selama sebulan terakhir pada sahabatnya, bola mata cokelatnya mulai tergenang air mata. Bukan hanya sedih, pada air mata itu terkandung perasaan lain. Frustasi, marah, lelah sekaligus pasrah.
Melihat lelaki di sampingnya mendadak canggung, satu-satunya mantan quarterback perempuan itu pun buru-buru menggisik matanya dan mengutarakan maaf dengan suara pelan. Yamato pun hanya terdiam, menatap buku sketsa yang ada dalam pelukan Karin.
"Muse, maksudku—sumber inspirasi untuk menggambar, semuanya hilang. Aku tidak tahu harus menggambar apa," ujar Karin sambil menatap Yamato, lelaki itu diam saja—menyuarakan kesetujuannya untuk mendengarkan. "Aku datang ke sini untuk menonton, berharap nantinya bisa mendapatkan inspirasi."
Karin tersenyum lemah, tidak sempat mendengarkan suara keributan dari arah bangku pemain. "Tapi pertandingan hampir berakhir dan aku tidak mendapatkan apa-apa. Padahal deadline draft chapter pertamaku dua minggu lagi."
Lapangan masih dipenuhi dengan teriakan kode play, para penonton masih ribut mendukung tim yang mereka pikir akan memenangkan pertandingan (yel-yel "Enma! Enma! Enma!" memenuhi langit-langit lapangan), akan tetapi kedua insan di sisi lapangan itu terdiam. Yang satu hanya memerhatikan lawan bicaranya, sementara yang satu lagi berusaha untuk mengatur kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Mereka berdua tidak sadar bahwa pertandingan dihentikan telah dihentikan untuk beberapa saat.
"Sepertinya keputusanku untuk keluar dari amefuto itu salah ya, menjadi komikus pun aku tidak—"
"Enggak, kok." Yamato menyela dengan kalem. Dimiringkannya kepalanya untuk bisa melihat ekspresi Karin. Dan yang terpatri di wajahnya jelas bukan ekspresi orang yang semangatnya sudah terangkat, maka Yamato pun melanjutkan—mencoba membesarkan hati gadis di sampingnya, "Mungkin muse-mu tidak datang sekarang, tapi nanti."
Ujung bibir lelaki itu terangkat, "Itu pernyataan absolutku."
Seiring dengan kalimat trademark yang terlepas dari mulut Yamato, senyuman pun mulai merekah di bibir Karin. Bukan senyuman yang kaku seperti tadi, akan tetapi senyuman yang lembut dan seadanya. Senyuman penuh penghargaan.
Melihat senyuman Karin yang begitu tulus, mau tak mau Yamato berdehem untuk menyamarkan tawa kecilnya. Lelaki itu pun mengalihkan pandangannya ke depan. Ia selalu suka melihat Karin tersenyum seperti itu. Lengkungan di bibirnya mungkin tidak secantik Anezaki, tidak juga selangka Himuro, dan jelas tidak seceria Suzuna cheerleader Deimon. Akan tetapi ada sesuatu dalam senyuman Karin yang bisa membuat Yamato gugup namun nyaman secara bersamaan. Entah apa itu, Yamato belum menemukan kata absolut untuk menggambarkannya.
"Aku akan membantumu sebisaku. Katakan saja kalau kau butuh bantuanku," ujar lelaki itu tulus. Saat mengatakannya, ia tidak bisa menahan senyuman lembut yang mendadak mengembang di bibirnya.
Tidak mau Karin melihat sisi lain dari dirinya, Yamato pura-pura melirik teman-temannya (minus Taka, Hiruma, Akaba, dan Banba) yang tengah melambai-lambaikan tangannya dengan antusias ke arah lapangan. Komentator entah mengatakan apa—yang pasti ribut dan semangat sekali, dan di seberang lapang, papan pengganti pemain telah diangkat.
"Dan Karin, katamu kau tidak mempunyai inspirasi? Kalau kau mau, aku tidak masalah kok untuk jadi—" Astaga! Apa yang akan kukatakan tadi? Menyadari apa yang hendak dikatakannya, Yamato kemudian melirik Karin was-was. Takut gadis itu mendengarnya. Namun nyatanya gadis itu tetap tenang, malah terlihat sama sekali tidak memerhatikan apa yang dikatakannya tadi.
Ada rasa syukur sekaligus rasa heran saat melihat mata cokelat gadis itu terpacang ke seberang lapangan. Bukannya tidak boleh atau kenapa-kenapa sih (ia malah bersyukur Karin tidak mendengar kalimatnya barusan), akan tetapi sepasang cermin kembar cokelat Karin itu kini bersinar antusias, berbeda dengan ekspresi gelisah yang terpantul darinya beberapa waktu yang lalu. Bibir gadis itu mengukir senyum yang lembut yang tidak pernah dilihat Yamato sebelumnya. Senyum apa itu?
"—Karin?"
Dan saat mata Yamato mengikuti pandangan Karin, tepat lurus di hadapannya ia melihat lelaki berseragam Enma. Lelaki dengan helmet yang sangat dikenalnya. Sorakan penonton—yang sebenarnya tidak seberapa itu pun—menggema keras saat sosok itu melangkah ke lapangan dan disambut dengan hangat oleh teman setimnya.
.
.
| "Inilah diaa—" |
.
.
Karin tidak tahu apa dan kenapa. Tetapi, saat matanya tak sengaja melihat ke lapangan untuk kemudian mendapati sosok itu berdiri di sana, ia tidak bisa merasakan detak jantungnya untuk beberapa saat. Rasa-rasanya jantungnya menghilang begitu saja. Dan saat kembali berdetak, kecepatannya terus naik hingga dadanya terasa sesak. Karin tidak pernah merasakan jenis detakan macam itu.
Sekejap, cahaya yang terpantul dari eyeshield orang itu menyilaukannya. Memutihkan keruh pikirannya, mencerahkan gelap pada relung inspirasinya.
"D-dia ... muse?" gumamnya tanpa sadar. Mata cokelat beningnya itu tidak berkedip untuk beberapa saat dan tanpa sadar, jemarinya meraih pensil merah muda dengan gantungan beruang kecil itu. Dibukanya buku sketsa pada halaman awal yang masih kosong.
Rantai bernama 'tak-ada-inspirasi' itu pun lepas dari kedua tangannya.
—Karena kehadirannya, dia, yang hari itu nampak begitu sempurna—
.
.
| "—Eyeshield 21!" |
.
.
Karin Koizumi pun mulai menggerakkan pensilnya.
.
.
.
—To Be Continued—
Note:
Tidak sah*; fanfic ini mengambil setting waktu saat pertandingan Enma yang diatur secara ilegal oleh Hiruma.
Muse**; sumber inspirasi. Aku pertama kali tahu istilah ini dari Paradise Kiss. Jadi ya begitu, muse itu bisa dibilang sumber inspirasi bagi seseorang untuk menggambar/mungkin untuk kegiatan lain? Aku nggak tahu pasti sih kalau istilah ini bisa dipakai untuk kegiatan lain—okay, ini penjelasan yang poor banget. Pokoknya begitu (?) deh ... #digeplak.
.
A/N: /edited, trims untuk sarannya/
Please jangan timpuk deite karen ini abalnya kebangetan. Omoo apa yang sudah deite tulis kali ini? Geje, terlalu rush, aneh pula T^T Fic ini adalah fic intermesso dari kegalauan deite waktu ngetik Paper Plane. Tapi nggak berarti ini dinomorduakan ya. Lagipula, deite juga pengen kok menghijaukan fandom—cielah—dengan pair yang hetero, jadi multichapter ini pasti dilanjutin walaupun gaje gini
Wkwk, soal pair; yap! ini YamaKarinSenaSuzu (Suzunanya belum muncul sekarang~), nanti mungkin ada pair lain muncul. Endingnya? Err ... YamaKarin, SenaKarin, apa SenaSuzu, ya? Atau malah YamaSena? Gimana mood deite yaa~ #dibejekreader.
Btw, judul Sketches Live on You ini aneh nggak? Takutnya ada grammar yang salah, deite nggak terlalu jago bahasa inggris sih :"/
Oh ya kira-kira fic ini sampai 12 chapter—semoga nggak kelebihan.
Kalau ada waktu review ya! ditunggu lhoo dan sampai jumpa di ch depan! :"]
[atau kritik dan konkritan? deite butuh banget soalnyaa ;_;]
