'THE JOURNAL'

Episode: Murder in the School

1st Episode

Disclaimer : Aoyama Gosho as real owner

Genre : Mystery/ Tragedy/ Friendship

Rate : T

Moshi-moshi minna^^

Bertemu lagi dengan saya...hehe,

Kali ini saya ingin membuat cerita seputar anak indigo. Saya sangat tertarik dengan topik ini. Saya mencoba menuliskannya dalam episode yang terdiri dari beberapa judul dengan sedikit bentuk jurnal atau diary.

Di Episode ini, akan ada beberapa chapter. Tapi tenang saja, episodenya mungkin tak lebih dari tiga judul. Sehingga cerita ini tak akan berlama-lama bersambung...

Ok minna, maaf kelamaan pembukaannya...

langsung aja ya...

Enjoy it...!

(n_n)

WARNING: Geje, OOC, Haibara POV,dll

13th October 2008

Aku bosan, bosan dengan semua ini! Kenapa ini harus terjadi padaku? Apa salahku sebenarnya sehingga aku memiliki kekuatan ini? Apa? Tolong katakan padaku!

Aku bosan melihat kejadian yang belum pernah kuketahui sebelumnya...

Aku bosan... Bosan... Aku muak!

Entah, apa aku harus mati saja...? apa itu lebih baik...?

"Haibara!"

Kututup buku jurnalku ketika mendengar suara seseorang. Kulihat didepan kelas, Sensei Jodie Starling sedang menatapku tajam.

"Apa yang kamu tulis tadi? Cepat maju dan kerjakan soal didepan!"

Aku melangkah maju. Entah soal apa yang harus kukerjakan, aku tidak memperhatikan penjelasan Sensei Jodie tadi. Tapi aku tetap mengerjakan soal itu walaupun aku benar-benar tidak tahu itu soal model apa, entah itu logaritma atau aljabar...

Kulihat beberapa murid menahan napas saat aku selesai menuliskan jawaban.

Sensei Jodie sempat kaget melihat jawabanku. "Sempurna..." katanya tertahan.

Aku melangkah kembali ke bangkuku. Huff... satu masalah selesai sudah...

aku kembali menulis jurnalku, aku tak peduli apa yang akan dikatakan Sensei Jodie setelah ini, yang penting kan aku bisa mengerjakan soal... iya kan?

Sesaat tadi, aku merasa menjadi anak paling beruntung sedunia. Aku melihat beberapa teman menatapku kagum. Dan apa tadi kaulihat? Sensei Jodi yang terkenal jenius itu bahkan nyaris mengeluarkan kata 'sempurna' dari bibirnya.

Memang benar, aku tidak perlu menghafalkan rumus-rumus perhitungan yang panjang itu, aku tidak perlu susah-susah mendengarkan penjelasan para Sensei ketika mengajar, bahkan aku seharusnya tidak perlu belajar! Oke, mungkin yang terakhir itu terdengar aneh. Tapi aku benar-benar tidak perlu bersusah payah menghafal materi yang keluar saat ujian nanti. Aku hanya perlu membuka-buka buku pelajaran, dan secara otomatis ingatanku akan merekamnya tanpa ada satupun yang tertinggal. Dan jika ujian akan berlangsung, aku akan mengetahui soal-soal yang akan keluar lebih dulu dari murid-murid lain. Bahkan kadang jawabannya pun aku sudah tahu. Contohnya seperti tadi, aku bahkan tidak tahu apa bentuk soal yang kukerjakan tadi, tapi otakku seakan memiliki gambaran akan jawabannya. Dan tanganku akan bergerak sesuai apa isi otakku. Sepertinya menyenangkan kan? Maaf, aku tidak bermaksud pamer. Tapi dibalik semua itu, aku benar-benar tersiksa...

Kuhentikan sejenak pulpenku. Aku menghela napas panjang. Sebenarnya, aku tidak ingin mengingat bahwa aku memiliki kekuatan ini, apalagi menuliskannya. Entah, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk menuliskan kisah hidupku disini. Di buku ini. Buku jurnal yang kubeli beberapa hari lalu... di sebuah toko kecil dipinggir jalan. Warnanya sangat unik, perpaduan hitam tembaga dan indigo. Terdapat beberapa ukiran dipinggirnya, berbentuk naga yang menjulur-julur. Sangat terkesan kuno dan... angker.

Aku memperhatikan sekelilingku, leherku seakan tertuju pada sosok anak yang lumayan 'berisi' di pojokan depan. Tiba-tiba sebuah bayangan berklebat didepanku dengan sangat cepat. Seakan-akan aku terhisap kedalamnya. Dan otakku menampilkan bayangan-bayangan kabur yang berkganti-ganti. Bayangan itu... sosok itu... Ya benar! Kulihat sosok anak gendut itu memakan sesuatu dari sebuah loker. Ia memakannya dengan lahap. Lalu anak itu mengambil sesuatu dari dalam loker lagi, dan memakannya. Lalu bayangan kabur di otakku berganti, menjadi suasana di kelas ini... di kelas ini, kulihat sosok anak gendut itu sedang membaca buku... tiba-tiba, ia memuntahkan sesuatu. Dan tubuhnya ambruk dengan cepat...

Aku tersentak. Apa yang kulihat tadi? Bisa saja itu...

"UWAAAAAAA!" Tiba-tiba terdengar suara riuh di bangku depan.

Aku segera berlari melihat apa yang terjadi. Anak gendut itu benar-benar ambruk dan tubuhnya terkapar dilantai kelas.

Lututku lemas. Kudengar suara ketakutan dari sebagian murid. Guru-guru dengan panik langsung mendatangi kelas kami. Dan mereka berkata seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Murid-murid segera disuruh pulang dengan adanya kejadian ini. Begitu juga aku.

Aku berjalan lunglai melewati koridor sekolah yang tampak gelap. Melewati ruang-ruang kelas yang tampak sepi. Aku berhenti di depan ruang guru. Kulihat ada beberapa orang disana. Ada Pak kepsek, seorang kepala polisi dan beberapa bawahannya, dan satu lagi...seseorang yang berseragam... seragam sekolah ini? Ah, mungkin dia salah seorang murid di sekolah ini. Untuk apa dia disana? Bukannya seharusnya semua murid sudah dipulangkan?

Sepertinya didalam sana terjadi berdebatan yang sangat serius. Aku berusaha menajamkan telingaku.

Terdengar suara seseorang. Suaranya masih muda. Berarti yang berbiacara adalah murid tadi.

"Pak. Saya benar-benar yakin. Ini bukanlah kecelakaan. Ini adalah..."

"Pembunuhan maksudmu?" Terdengar suara Pak Kepsek.

"Hahaha! Anak muda, jangan berbicara sembarangan. Dengan alasan apa kau menyebut ini pembunuhan?" lanjut beliau terdengar lantang.

"Saya yakin. Pertama, korban keracunan karena semacam obat yang digunakan melebihi dosis. Kedua, tadi saya melihat beberapa bungkus permen didalam loker korban. Bisa saja sesorang menukar atau meracuni permen si korban. Dan kemungkinan besar... yang bisa melakukannya hanyalah seseorang yang ada di sekolah ini..."

"Diam!" Pak kepsek terdengar emosi.

"Apa maksudmu dengan 'pembunuhnya adalah salah seorang di dalam sekolah ini' hah! Apa kau pikir sekolah ini akan menghasilkan pembunuh-pembunuh keji semacam khayalanmu itu!" bentaknya.

Pak Kepsek segera menurunkan suaranya, "Cepat pergi. Masalah ini akan segera diurus polisi..."

Seorang polisi lalu segera menghampiri murid yang masih berusaha meyakinkan Pak Kepsek tersebut.

"Ayo pergi!" kata polisi yang berusia cukup muda sambil menarik lengan si murid.

Polisi itu lalu melirik si murid yang tampak kesal. "Kata-katamu cukup meyakinkan nak, tetapi tidak ada bukti yang cukup kuat. Seharusnya kau membaca ulang novel detektifmu, mungkin itu akan membantu. Hahaha!" tawa polisi itu sambil membuka pintu ruang guru dan mempersilahkan si murid untuk keluar.

Lalu pintu pun ditutup.

"Cih... Sial! Sekolah apa ini? Muridnya ada yang terbunuh malah dianggap kecelakaan..." kata Murid yang baru saja diusir itu. Ia tampak frustasi.

Aku tanpa sengaja membuka suara, "Ternyata benar, ini pembunuhan...".

Murid itu menoleh. Ia heran mendapati aku yang tengah berdiri disebelahnya.

"Ha? Kamu siapa?" tanyanya sambil mengamatiku dari atas sampai bawah.

"Haibara, kelas 8-3,"

"Oh. Anak kelas sebelah... Aku Conan Edogawa, kelas 8-1." katanya sambil melipat kedua tangan didepan dada.

Memangnya siapa yang nanya? Batinku. Aku lalu meliriknya sebentar. Wajahnya agak kusut. Sepertinya anak ini serius dengan ucapannya di dalam ruang guru tadi.

"Aku tertarik dengan ucapanmu tadi..." kataku datar.

"Tapi apakah kau yakin anak itu benar-benar telah meninggal?" tanyaku lagi.

"Hah?" Conan kaget.

"Jadi kau mendengar semua pembicaraan kami di dalam?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk.

Conan lalu menghela napas. "Hmm. Sudah kuduga kau tidak tahu. Anak itu memang telah meninggal. Aku melihat sendiri wajahnya ditutup dengan kain. Ternyata sekolah ini benar-benar merahasiakan semuanya..." katanya sambil menangguk-angguk sendiri.

Aku penasaran, "Apa maksudmu merahasiakan semuanya?"

"Yah... seperti yang telah kau dengar tadi. Bukankah ini sangat aneh. Mana ada murid yang bunuh diri di sekolahan? Apalagi dengan cara seperti itu. Dan juga... pihak sekolah sepertinya merahasiakan hal ini... jangan-jangan, semuanya memang telah direncanakan oleh sekolah ini..."

Aku tak setuju, "Itu mustahil. Tidak mungkin pihak sekolah sendiri yang merencanakannya. Lagipula yang kutahu... korban adalah salah satu siswa yang berprestasi disini..."

"Yah, itu benar. Mustahil memang membunuh siswanya sendiri. Tapi aku yakin, ini adalah pembunuhan.." kata Conan sok detektif.

Aku mulai bosan dengan perkataaannya. Akupun segera melangkahkan kaki untuk berlalu.

"Hei! Mau kemana kau?" tanya Conan sambil berusaha menyamai langkahku.

"Pulang."

"Apa! Bukannya kau tertarik dengan analisisku?" tanyanya seperti menagih utang.

Tak ada jawaban dari mulutku. Kakiku masih melangkah menjauh.

"Hei! kau mau membantuku kan? Kita kan partner!" teriaknya dari kejauhan.

Langkahku terhenti mendengar ucapannya. Apa tadi dia bilang?

Partner?

Pandanganku mengawang...

Sudah lama aku tidak mendengar kata itu. Partner... teman... aku bahkan tidak pernah memilikinya. Aku takut suatu saat... aku melihat seseorang yang dekat denganku... mati didepanku. Aku tidak mau itu terjadi. Makanya aku selalu menjaga jarak dengan siapapun. Tapi bocah itu... Sepertinya benar-benar membutuhkanku untuk menjalankan ambisinya.

Aku memandang sosoknya yang telah menghampiriku . "Apa kau benar-benar butuh bantuanku?" tanyaku memastikan.

"Hmm. Ya. Aku benar-benar butuh seorang teman yang mendukungku saat ini. Itupun kalau kau mau..."

Aku menimbang-nimbang. Apa salahnya membantu bocah ini? Toh, aku juga bisa mengetahui siapa pelakunya. Tapi aku membutuhkan analisis dan bukti-bukti yang kuat untuk menangkap si pelaku. Dan sepertinya... anak ini mampu melakukannya.

"Baiklah. Darimana kita mulai penyelidikan?" tanyaku antusias.

Conan terlihat senang. "Kita mencari petunjuknya dulu. lalu kita cari orang-orang yang tidak memiliki alibi tetapi memiliki motif, bagaimana?"

"Baiklah kalau begitu. Tetapi sebelum itu, aku ingin memberitahumu sesuatu..." kataku misterius.

Disinilah kami, berdiri memandang langit senja yang berwarna kemerahan di atas atap gedung sekolah.

Sayup-sayup angin mempermainkan rambutku. Aku memandang Conan dengan tatapan serius. "Sebenarnya... aku sudah tahu siapa pelakunya." kataku.

Conan melongo menatapku, "Ha?"

Hening...

Tak lama kemudian, tawanya terlepas. "Ha..Hahahaha! Kau... Kau melucu ya? Hahaha! Ya... Itu lucu! Lucu! Hahaha..!"

"Aku serius," jawabku sambil memasang tatapan membunuh.

"Ap... Apa? Benarkah? Kau serius? Oke. Apapun leluconmu, akan kudengarkan agar kau tidak marah.." kata Conan masih menahan tawa.

Huff.. rupanya memang sulit menjelaskannya kepada orang awam. Tapi aku tetap akan menceritakannya walaupun Conan tidak percaya. Ia sudah bilang akan mendengarkanku. Inilah satu-satunya cara untuk mengungkapkan kebenaran.

Aku mulai bicara dengan tenang, "Sebelumnya, mungkin kau tidak akan percaya apa yang barusan kukatakan tadi. Aku sudah menduganya. Bahkan bila kau tidak percaya pada ceritaku selanjutnya. Itu tidak apa-apa. Tidak ada yang salah dengan dirimu. Aku tidak akan marah bila kau tidak mempercayainya. Malah aku akan senang bila kau segera melupakan apa yang akan kuceritakan padamu nanti. Tetapi kumohon, jangan bicara apapun selama aku bercerita..."

Conan menatapku aneh, tetapi ia mengangguk.

"Baiklah, aku mulai dari mana ya...? Ehm, langsung saja. Aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mungkin ada juga orang lain yang memilikinya, tetapi itu tidak banyak. Ada orang yang memiliki kekuatan sepertiku ini... tetapi ia bisa mengendalikannya dengan mudah. Ada yang nyaris putus asa... karena memiliki kekuatan ini... bahkan ada yang menjadi gila... karena tidak mampu mengendalikannya..."

Aku menghela napas sejenak, lalu melanjutkan. "Aku... bisa dibilang dapat mengendalikan kekuatanku. Tapi, kadang aku..."

Conan menyela ceritaku. "Hei... hei... ini bukan latihan drama ya. Aku tahu kamu terlihat jujur. Aku berusaha memahami ceritamu, tapi kok malah membuatku bingung. Rasanya ceritamu kurang masuk akal. Bisa nggak sih, to the point aja?"

Aku memandang tajam kearah Conan. Sudah kuduga anak ini sama dengan orang lainnya. "Yah... kalau kau memang mau tahu sih nggak masalah. Tapi ada satu syarat..." kataku.

"Apa?"

"Kau nggak boleh membocorkan rahasia ini kepada siapapun..."

"Baiklah." Conan mengangguk remeh.

Aku memandang Conan lagi, "Sebenarnya aku ini... bisa dibilang anak Indigo."

Conan terdiam sambil menatapku, "Benarkah? Bisa kau buktikan?"

"Tentu saja." Jawabku enteng.

"Apa yang ingin kau ketahui? Soal ujian untuk besok? Atau kau ingin melihat hal yang tidak terlihat?" tawarku padanya.

Conan terlihat tertarik, "Aku ingin kau memberitahuku soal ujian matematika besok. Bagaimana?"

Aku segera mengeluarkan selembar kertas kosong dari dalam tas. Lalu kupejamkan mataku sejenak. Tak lama kemudian, otakku seakan sudah berkelana di waktu yang akan datang, berpetualang di waktu ujian. Kulihat soal-soal yang akan kukerjakan. Soal-soal itu seakan bergerak melesat-lesat di pikiranku, tetapi semakin lama semakin jelas. Aku segera menuliskan apa yang barusan 'kulihat' di selembar kertas. Tanganku bergerak cepat. Tak sampai sepuluh menit. Soal 'salinan' itu sudah tertulis diatas kertas yang tadinya kosong. Lalu kuulurkan soal itu kepada Conan yang terliaht melongo.

"Ini bab-bab yang akan keluar besok, ada soal tentang logaritma lagi." kataku.

Conan mengambil soal itu dari tanganku, ia mengamatinya dengan seksama. "Wah, beneran nih?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk meyakinkan.

Ia melihatku yang memang tak nampak sedang bercanda. Akhirnya ia mengalah, "Baiklah, Aku tunggu besok. Kalau soal ini memang keluar, aku seratus persen mempercayaimu. Kalau nggak..."

"Tidak apa..." Kataku memotong arah pembicaraan Conan.

"Buktikan saja. Kau akan tahu sendiri hasilnya." Lanjutku.

Aku lalu melambaikan tangan kearahnya, "Sampai besok."

Conan masih terpaku menatap sosokku yang semakin menjauh, seperti ditelan awan senja yang keemasan...

#To Be Continue#

Moshi-moshi minna-san!^^

Ada yang geje? aneh? ganjil? typo? Atau apapun kesalahan yang ada di fic ini...

Ryuu-chan mohon maaf sebesar-besarnya...*nunduk sampai mata kaki*

Untuk kelanjutan fic ini agar lebih baik, saya mohon para readers yang baik hati *ngerayu XD* untuk mereview fic janggal ini...

Arigatou banget sebanget-bangetnya buat yang sudah RnR...

Sampai jumpa di chap selanjutnya ya^^v