Summary : Jeongin menyesal, sangat menyesal karena harus mewakili sang ayah dalam rangka pembicaraan empat mata mengenai jalinan kerjasama antar perusahaan Yang dengan perusahaan Hwang.】

A HyunJeong Story

by

Lillyanangel

.

.

.

Pukul 6 sore dan Ayah nya mengirimkan pesan text mendadak sesaat sebelum ekstrakulikuler theater nya usai. Beliau bilang jika tidak enak badan, to the point saja, intinya Jeongin harus mewakili sang ayah untuk menemui Tuan Hwang Hyunjin selaku pemilik perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan perusahaan milik ayah nya.

Jika bukan demi keungan keluarga, Jeongin bersumpah tidak akan mau ikut campur tangan dalam urusan perusahaan milik ayah nya. Ya, keluarga nya sedang mengalami keterpurukan ekonomi beberapa bulan terakhir ini, mobil-mobil yang berjejer apik di garasi rumah nya sudah bablas demi melunasi hutang perusahaan. Hanya tersisa satu sepeda motor dan sebuah sepeda kayuh yang sekarang digunakan Jeongin untuk bersekolah. Teman-teman banyak yang mulai menjaga jarak dengan Jeongin semenjak bocah 17 tahun itu pergi ke sekolah menggunakan sepeda kayuh, bukan mobil yang bergonta-ganti setiap hari seperti biasanya. Mungkin hanya sekitar 2 sampai 4 orang yang masih mau menjalin pertemanan dengan Jeongin tanpa melihat status ekonomi.

Bisa saja si ayah, Jeongin sudah berpesan sebelum berangkat sekolah tadi jika hari ini ada ekstrakulikuler dan kerja kelompok di rumah Jisung. Sehingga kemungkinan Jeongin akan pulang sekitar pukul 8 malam. Tapi apa ini? Menemui Tuan Hwang. Jeongin tidak mau tau, intinya dia harus menyelesaikan kerja kelompok nya, setelah itu pergi menemui Tuan Hwang.

.

.

.

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Hwang Hyunjin."

Jeongin membungkuk hormat di depan pria yang akan mengembalikan kejayaan perusahaan sang ayah.

"Tegakkan badan mu, Jeongin, jangan panggil aku 'Tuan' , ayah mu sudah memberi kabar jika putra manis nya ini yang akan mewakili datang kemari. Jadi, aku pikir panggilan hyung bisa membuat kita menjadi lebih akrab bukan?"

Tubuh nya gagah semampai dengan rambut hitam legam yang disisir klimis. Bibir penuh, hidung mancung dengan tatapan tajam adalah perpaduan yang sempurna. Sopan santun dan berwibawa, adalah penilaian Jeongin tentang pria dewasa di depannya ini.

"Oke, Hyunjin hyung." Tersenyum lima jari, menunjukkan deretan gigi nya yang di behel.

Hyunjin mempersilahkan Jeongin untuk duduk, tangan nya menyerahkan selembar kertas dengan rentetan kalimat yang harus dibubuhi tanda tangan di ujung kanan bawah.

"Aku akan membawa ini pulang dan mengembalikan nya besok lengkap dengan tanda tangan ayah."

Satu alis Hyunjin terangkat, "Buat apa? Kau bisa memberi tanda tangan, kau adalah putra nya."

Sesaat pipi Jeongin memerah, dia menunduk malu karena tidak pernah tau hal-hal tentang seperti ini, "Uhm...Okay, hyung." Segera bocah itu menggenggam pena dan menggoreskan tinta hitam di atas putih nya kertas. Tidak terlalu mempedulikan isi dari kertas itu.

"Ini, sudah selesai hyung. Aku rasa ini sudah malam dan maaf tidak bisa berbincang lebih lama lagi. Terimakasih hyung sudah berbaik hati membantu ayah ku."

Jeongin membungkuk sekali lagi, melempar senyum kemudian beranjak menuju pintu, tangannya sudah meraih kenop pintu hingga-

CKLEK!

Hingga Hyunjin mengunci pintu nya dengan pergerakan cepat dari belakang tubuh Jeongin yang mematung.