Disclaimer: I don't own Gundam Seed/Destiny but this story is mine.


A/N: Ini sy buat lebih dulu daripada Taken by You. Saya membuat ini sekitar bulan awal Juli – September, belum sempat di publish karena terjadi perdebatan batin di chappie 2 yang akhirnya, no lemon here! XP~ hanya sedikit err, steamy (maybe?) *plak* fic ini ru kelar akhir bulan kemaren *nangisharu*.

Warning: Many adult content (still in control). AU. OOC. Typo(s) Un-Beta-ed. Crack pairing. Not-a-very-happy-ending-story. Alur loncat & cepat.

Rate: T to be M for plot, adult theme, etc.

Genre: Romance, Hurt/Comfort, Angst, Family.

Summary: Love come, blow and vanish. Bahkan cintanya yang begitu besar pada pasangannya masih memiliki keterbatasan. Dia, orang baru dalam hidupnya. Tapi dia mencintainya melebihi cintanya pada pasangannya sendiri. Manakah yang akan ia pilih? AU. AC. Cover not mine. Warning inside. DLDR.


.

Edge of Infinite

...

Chapter One: Door of Flame

.


"Ini tidak ... terjadi. I-ini tidak akan berhasil." Athrun mendesis kecil. Suaranya hanya dapat terdengar oleh wanita didepannya.

Terlihat jelas di mata emerald-nya, Ia marah ... sangat marah. Seolah-olah dinding tempat sang wanita terperangkap diantara kedua lengan Athrun akan hancur bila ia memukulnya.

Jangankan sebuah dinding. Rasanya dataran di dunia ini ingin ia luluhkan. Langit atap dunia ini ingin ia runtuhkan.

Bara kemarahan terlukiskan jelas di mata Athrun. Bahkan Athrun sesekali menggertakan giginya untuk menahan luapan emosi.

Emosi. Banyak sekali emosi yang mengalir di matanya.

Wanita itu takut.

Takut. Lututnya sedikit bergetar. Takut.

Bila ia membuka suaranya yang keluar hanyalan hembusan nafas. Tanpa kata-kata. Suaranya tercekat. Tapi sang wanita takkan mengakuinya.

Tidak. Tidak dengan pria ini. Tidak dengan pria yang menyakitinya ... sekaligus ia sukai.

Sang wanita menarik nafas dalam-dalam, nafasnya cepat tak beraturan. Takut sekaligus marah.

Ia marah pada dirinya sendiri. Membiarkan dirinya sendiri terperangkap olehnya. Ia marah pada Athrun. Karena telah menarik diri darinya. Ia marah pada Kira. Karena dialah ... yang mengenalkannya pada Athrun.

Kira, orang yang disayangi oleh sang wanita, memperkenalkannya pada Athrun. Athrun, sahabat Kira. Kira, saudara kembar Cagalli.

Mungkin ... ia juga menyalahkan takdir.

Takdir mempertemukan mereka tapi tak mengijinkan untuk mempersatukan mereka. Terlalu sulit. Terlalu rumit.

Sial!

"Benarkan!?" Tanya Athrun menuntun.

Bibir sang wanita bergetar hebat tapi Ia masih bisa membalasnya, "A-Apa yang s-sebenarnya ingin k-kau dengar!?"

"Sama dengan yang kuucapkan sebelumnya! -"

"Selamat kalau begitu. Kau sudah mendengar hal yang paling ingin kau dengar!" Jawab wanita itu sarkatis, terkesan menantang.

"Sial!" Athrun menggeram, "Kau membuat ini menjadi rumit! -"

"A-apa maksudmu!?" Sela sang wanita sedikit berteriak. "Kau sendiri yang meminta!"

Sayangnya mereka sendirian, tak ada orang luar yang akan menganggu masalah diantara mereka.

"Kau masih menginginkanku!" Suara Athrun tegas. Mata emerald-nya menatap tajam pada wanita di depannya.

Mata wanita itu terbelalak. Ia terkejut dan terintimidasi. Bagaimana mata itu terlihat indah dan menakutkan secara bersamaan. "K-Kau gila!"

"Aku bisa melihatnya. Aku bisa merasakannya! Brengsek!" Umpat Athrun pada dirinya sendiri.

Sang wanita merasakan segala emosi bergejolak di tubuhnya. Ia malu. Ya. Ia marah. Sangat.

"Kau tidak punya hak untuk memutuskan seperti itu!"

"Omong kosong!"

"Bagaimana denganmu!?" Jawabnya balik menantang Athrun. "Kau pikir apa hubungan kita!?"

Mata Athrun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Benar! Apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Athrun pun tak yakin.

"Minggir Athrun." Perintah sang wanita.

Athrun tetap tak bergeming. Tetap memenjarakannya dengan kedua lengannya. Athrun menyudutkannya di dinding sebuah ruang semi-gelap.

Hanya sinar rembulan yang menjadi cahaya mereka. Satelit bumi itu sekarang mencapai puncaknya. Bulatannya penuh, cahayanya cukup terang. Indah sekaligus menyimpan banyak pertanyaan.

Serupa. Makna bulan serupa dengan keadaan mereka sekarang.

Athrun dapat melihat dengan jelas raut wajah wanita bermata bagi musim gugur ini. Sinar matanya tak seperti biasanya. Mata yang sebelumnya begitu berapi-api, kini redup memandangnya.

Wanita ini takut padanya. Athrun tidak menyukai itu. Bukan ini yang diharapkannya. Seharusnya wanita ini percaya dan mencin- Athrun mengeleng.

Tidak! Itu tidak boleh terjadi!

Menghirup napas panjang. Ia mencoba melewati lengan Athrun. Tapi, Athrun menahannya, mengembalikannya ke posisi awal.

"Athrun!"

Tak memperdulikan teriakan sang wanita. Athrun harus menyakinkan sendiri. "Kau ... mencintaiku." Athrun menutup lekat matanya.

Sedangkan gadis itu sudah di ambang batas kesabarannya. Arogan dan percaya diri. "Aku membencimu!"

Membuka matanya, Athrun menyeringai. "Kurasa ... lebih dari itu, sayang."

"Benar! Lebih dari itu!" Ia menggertakkan giginya. "Aku ... sangat membencimu!"

Tangan Athrun berpindah. Kedua telapaknya mencengkram kedua bahu sang gadis. "Ya ... kau membenciku." Suara Athrun nyaris berbisik. Matanya menyipit sendu. "Harus ... seharusnya begitu ..."

"Lepaskan!" Cagalli mencoba melepaskan diri. Tapi Athrun begitu kuat menahannya.

"Berhenti!" Suara Athrun kasar.

Napasnya terasa berat. Pemilik mata cokelat madu itu benar-benar ketakutan saat ini. Bahkan bila Athrun terus menunjukkan sikap seperti itu. Ia tak sanggup menahan berat tubuhnya.

Saat sang wanita berhenti memberontak. Mata emerald-nya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama.

Mengatur napasnya. Sang pemilik rambut pirang itu mencoba me-relax-kan tubuh mungilnya. Ia memulai bertanya, "A-apa yang kau inginkan -"

"Kau tahu," potong Athrun.

"Katakan!"

"Berhenti mencintaiku. Menjauhlah dariku! Sangat jauh!"

Bagaimana cara menjauhinya. Jika Athrun dan dirinya hanya terpisahkan oleh dinding. For God' sake, mereka tinggal dalam satu atap!

Bagaimana?

Menjauh bagaimana yang ia maksudkan?

Bukankah ia sudah melakukannya?

Jika Athrun pulang ke rumah, dia mengurung diri di kamar. Jika Athrun pergi dari rumah, dia bebas berkeliaran di rumah.

Jika libur tiba, wanita itu memilih hang out dengan teman band-nya. Jika terpaksa keduanya berada di rumah, mereka berusaha saling menghindar.

Tapi ... apa yang dilakukan Athrun saat ini, sungguh membingungkan.

Aku sungguh tak mengerti apa yang ada dipikiranmu!

Tatapan Athrun begitu intens membuat Cagalli mengajukan pernyataan yang sama, "Kau juga harus melakukannya hal yang sama."

Athrun memilih tak menjawab cepat. Mereka bertatapan. Kesunyian makin menyelimuti mereka.

"Sudah kulakukan." Athrun berkata datar.

"Bohong!" Sahutnya cepat. "Lalu, jelaskan keadaan kita sekarang!"

Athrun berdesis. Matanya menyala, menatap wanita itu dengan amarah.

Tapi wanita itu seperti siap menantangnya. Tak ada ketakutan seperti sebelumnya.

Melawan balik. Athrun mendekatkan kepalanya hanya beberapa inchi dari Cagalli. Ia bahkan dapat merasa hembusan nafas hangat Athrun. Begitu dekat.

Athrun tak bicara. Hanya menatap. Menatap penuh emosi. Penuh arti. Cagalli mengerti arti tatapan itu.

"B-benar ... i-ini tak boleh terjadi." Cagalli itu mengulangi lirih.

Ungkapan itu begitu tepat menancap di hatinya. Athrun menyakinkan sang gadis agar mengulangi perkataannya. Tapi saat mendengarnya sendiri, Athrun yakin itu semua kesalahan.

Ekspresi kemarahan berubah menjadi muram. "Aku tahu," jawab Athrun tak kalah lirih. Ia mencoba meyakinkan lagi, "A-Aku ... tak mencintaimu, Cagalli ..."

Penyangkalan.

Wanita bersurai pirang itu sempat menahan napasnya. Mata amber-nya menatap sedih mata emerald Athrun, "A-Aku tahu."

Cagalli merasa nafasnya semakin berat ketika Athrun makin mempersempit jarak mereka. Pipinya merona.

"Kau pun begitu," tambah Athrun. Matanya turun menatap bibir Cagalli. Nafasnya memburu.

"Aku tahu," bisik Cagalli. Menyadari arah pandangan mata Athrun, membuat Cagalli membasahi bibir bawahnya.

Athrun sadar. Cagalli sadar. Mereka berdua sadar.

"Ini tidak boleh terjadi." Kata-kata Athrun berubah menjadi sangat lembut. Entah berapa kali kata-kata itu meluncur dari mulutnya.

Sebenarnya siapa yang ia yakinkan!?

Athrun mengangkat satu tangannya ke pipi Cagalli. Diusapnya pipi Cagalli lembut. Lalu bibir bawah Cagalli. Denyut nadi Cagalli makin kencang. Pandangan mereka bertemu kembali.

"Aku ... aku ta -"

Athrun pun melumat bibir tipis Cagalli. Lanjutan kata-kata Cagalli melayang dalam bibir Athrun. Mata keduanya terpejam.

Ciuman yang begitu halus dan lembut. Tangan Cagalli diletakkan pada dada Athrun, menggenggam erat kemejanya.

Satu tangan Athrun diselipkan pada pinggang kecil Cagalli menghilangkan jarak di antara mereka. Satu lagi, di tengkuk belakang Cagalli. Memperdalam ciuman mereka.

Ciuman, lumatan, permainan lidah itu berubah makin intens. Makin panas dan penuh gairah. Athrun menyadari Cagalli kesulitan bernapas. Dilepaskannya bibir mungil itu sejenak, demi mencukupi pasokan udara Cagalli, lalu dilumatnya lagi. Ia melumatnya seakan tak akan ada hari esok.

Seakan mereka tak ingin melepaskan satu sama lain.

Tak ingin? Mungkin ... tak akan pernah.

Pernahkah kau mendengar ada pepatah mengatakan ada awal maka ada ... akhir. Ada pertemuan ... ada perpisahan.

Dan itulah yang terjadi...

Bibir mereka akhirnya terpisah. Mereka mengakhiri ciuman itu ragu-ragu.

Kesunyian kembali melingkupi mereka. Hanya terdengar deruan nafas mereka. Nafas mereka tersengal-sengal.

Kedua tangan Athrun kini memeluk pinggang Cagalli. Mendekapnya erat, menjaga tubuhnya seperti barang yang rapuh.

Apa yang dilakukan Athrun tepat. Lutut Cagalli begitu lemas saat mereka berciuman tadi. Sistem di seluruh tubuhnya mendadak lemas dan menjadi ... panas.

Bergejolak. Bergairah.

Cagalli masih menggengam kemeja Athrun. Dahi mereka bertemu. Mata mereka terpejam.

"A-Aku ..." Cagalli memecah kesunyian. Sedikit tersengal akibat ciuman panas tadi. "Aku mempunyai kekasih, Athrun."

"Aku tahu sayang," jawabnya singkat, matanya masih terpejam. Tak ada senyum di wajahnya. "Aku ... aku juga ... mempunyai tunangan," ucap Athrun lirih. Terasa kesedihan dalam suaranya. "Dan itu ... bukan kau, Cagalli."

Cagalli memejamkan matanya lebih erat. Menggigit bibir bawahnya, menahan air kesedihan tumpah keluar dari mata amber-nya.

"A-Aku tahu, Athrun. Bukan Aku. Dia juga bukan kau."

"Hmm ..." Senyum Athrun kecut dan singkat. Ingin ia menghapus kesedihan di mata Cagalli. Tapi ... ia tak bisa. Mengumpulkan kekuatan, ia melanjutkan, "K-kita masih berteman 'kan?"

Penyangkalan lagi kah? Menurutnya berteman adalah penggambaran hubungan yang paling tepat di antara mereka ... saat ini.

"T-teman? Umm ... kurasa ... ya," jawab Cagalli pelan penuh keraguan.

Suara Cagalli pecah. Sakit. Hatinya terluka. Athrun merasakannya. Karena ia pun merasakannya.

Persetan dengan pertemanan! Athrun mengingkari akal sehatnya, naluri, self control-nya.

Wanita ini. Hanya wanita ini yang berhasil meruntuhkan dinding pertahanan Athrun.

Dengan itu, ia mengklaim bibir Cagalli sekali lagi. Ia bertindak lebih dalam. Ia menginginkan yang lebih jauh lagi. Ia begitu menginginkan wanita ini.

Dengannya tak pernah cukup. Tak pernah terpuaskan.

Persetan dengan self control yang telah ia bangun selama ini.

Dan ia tahu, Cagalli takkan menolaknya.

Ia dapat merasakan dalam ciuman mereka. Cagalli Hibiki juga menginginkan seorang Athrun Zala.


TBC


A/N2: Yeah, youmightkillme now! *runaway* melihat momennya tepat, fic ini sebenarnya mo sy ikutkan challenge-nya CloliXLightning tapi karena ada satu dan lainnya akhirnya urung. Gomen Cloli-san. *bow*

Fic ini terinspirasi dari lirik sebuah lagu by Fathin Sidqia - Aku Memilih Setia, which is I don't own it too. ^.^v

Many Thanks,

Fighting!

Nel. ^o^)9

06-04-2014