Taehyung memasuki ruang ganti seorang diri. Masih mengenakan pakaian khusus ruang operasi yang serba pucat. Ia melepas satu persatu atribut yang dikenakannya. Berharap lelahnya bisa ikut dibuang ke dalam keranjang sampah bersama sarung tangan, masker wajah, juga penutup kepalanya.
Sejenak memandang refleksi dirinya di cermin wastafel, ia memutuskan membasuh wajah saja ketimbang berlama-lama di kabin kamar mandi. Air dingin agaknya mengembalikan fokusnya meskipun area di bawah matanya kian kentara menggelap.
Setelah mengganti kemeja putih tipis yang sudah dikenakannya sepanjang hari dengan baju berbahan lebih tebal dan nyaman, Taehyung kembali memakai jas dokternya. Memasukkan iPhone 7 hitam, notes, dan stetoskop ke dalam saku lalu menggulung lengan pakaiannya. Terakhir ia mengambil jam tangan Gucci dari sudut lokernya. Mengecek waktu terkini sembari memasangnya di pergelangan tangan kiri. Tiga jam menuju tengah malam yang berarti dua jam sebelum jam kerjanya habis. Tugas terakhirnya hari ini melakukan operasi usus buntu seorang gadis berusia sembilan tahun yang mana baru saja dituntaskannya. Ia sudah bisa pulang tapi memilih tinggal. Menutup lokernya segera lalu menghela napas. Bersiap menuruni lima ratus dua puluh lima anak tangga sebelum bisa beristirahat di ruang pribadinya.
Ada banyak sekali lift di seluruh penjuru rumah sakit ini. Ada belasan buah di area kerja Taehyung; gedung khusus para elite beserta para relatif mereka yang tentu saja dilengkapi fasilitas lebih dari sekedar lengkap. Pun demikian, Taehyung hanya menggunakannya ketika keadaan darurat. Ketika ia harus melakukan operasi mendadak atau menangani pasien segera. Ketika ia perlu berbincang serius dengan dokter lainnya yang enggan memakai tangga.
Tidak ada yang pernah berpikir seorang dokter mengidap claustrophobia dan selama hampir setahun ia bekerja, belum ada yang menyadari usahanya mati-matian berpura-pura bukan jadi salah satunya.
Orion
Casts: Jeon Jungkook / Kim Taehyung
Rating: T, as for now.
Hope you like it /love/
Taehyung menghela napas panjang setelah akhirnya bisa bersandar di kursi kulit yang nyaman, ditemani aroma kopi dari cangkir kertas di meja kerjanya. Ia memejamkan mata. Nyaris terlelap ketika iPhone di sakunya bergetar beberapa detik.
"Halo, selamat malam." Taehyung mengangkat telpon tanpa peduli siapa yang menghubungi malam-malam begini.
"Hai, Tae."
"Oh, Hyung. Ada apa?" Tanyanya begitu mengenali suara di ujung sambungan. Menegakkan badan lalu meraih cangkir kopinya.
"Apa aku mengganggu waktu istirahatmu?"
"Tidak. Aku masih di rumah sakit." Taehyung menyesap tanpa bersuara sejenak. "Shift malam. Ada apa?" Tanyanya sekali lagi.
"Apa kau bisa ambil cuti minggu depan?" Taehyung tidak menjawab sehingga kakaknya kembali bersuara. "Ibu merindukanmu." Taehyung tanpa sadar menarik sudut bibirnya. "Ia enggan mengatakannya secara jelas tapi beberapa hari terakhir, Ibu bercerita tentangmu. Lebih daripada biasanya."
Taehyung menggumam kemudian meminum kopinya lagi, sedikit menghasilkan bunyi sesapan sebagai indikasi keterjagaannya.
"Namjoon dan Hoseok kebetulan ada keperluan bisnis di Daegu minggu depan. Aku berencana ikut dan berharap kau pun bisa. Mungkin kita bisa mengadakan pesta barbeque?"
"Aku tidak yakin, Hyung." Karena Taehyung enggan kembali ke rumahnya saat ini.
Suara di ujung telpon menggumam. "Kau ingat sebentar lagi Ibu ulang tahun?"
Taehyung tertawa karenanya. "Bulan depan, Hyung. Mana mungkin aku lupa?"
"Just in case."
"Hm. Aku sudah memastikan dapat cuti hari itu."
"Hanya hari itu?"
"Mau bagaimana lagi?" Nada suaranya turun, seolah-olah menyesal.
"Yah. Mau bagaimana lagi." Hela pria di ujung sambungan. "Omong-omong, Ibu sebentar lagi berumur lima puluh tahun."
"Aku tau." Celetuk Taehyung santai menanggapi gurauan kakak iparnya, meskipun napasnya memberat karena sadar ke mana arah pembicaraan mereka selanjutnya.
"Beliau berharap kau membawa seseorang untuk dikenalkan."
Taehyung mengerucutkan bibirnya. Bertanya pelan, "Harus, kah?" Lalu terdiam mendengarkan nasihat kakak iparnya hingga akhir pembicaraan. Alasan utama kenapa ia meneruskan studi lalu bekerja jauh dari rumah, menghindari topik pembicaraan yang kian lama berubah jadi tuntutan tentang pasangan.
"Aku masih berumur berapa, Hyung?" Tanya Taehyung jengah.
"Memangnya berapa umurmu, hm?"
Taehyung mengerucutkan bibir karena pertanyaannya dibalik. Ia menutup telpon setelah helaan napas kalah disertai ucapan selamat malam yang diusahakannya tidak terdengar kecut. Rasa lelahnya seolah bertambah tiga kali lipat. Karena perasaannya, permintaan ibunya, dan kopinya yang terlanjur habis.
Ia kembali bersandar sembari memangku pemikiran yang tidak pernah dibagi ke siapapun. Tidak pada ayah ibunya, tidak pada kakak-kakaknya, dan bahkan tidak pada sahabat terdekatnya. Taehyung tidak mengerti atau pun percaya bagaimana sistem imprint berlaku. Ia merasa konyol memikirkan bagaimana sebuah tanda abstrak di badan seseorang begitu memengaruhi hubungan cintanya dengan orang lain. Meskipun Taehyung melihatnya ratusan bahkan ribuan kali, meskipun ia sedikit menerima kesimpulan dari kejadian di sekitarnya, Taehyung merasa dalam hal ini nasib baik enggan memihak keluarganya.
Tanda milik Hoseok ada di belakang telinganya. Muncul ketika ia berusia enam belas. Ia bertemu seseorang setahun setelahnya di sebuah studio tari. Gadis manis berambut pirang dengan tanda yang sama di belakang telinga. Kata Hoseok ia merasakan perasaan yang berbeda ketika pandangan keduanya terkoneksi, seperti bagaimana cerita orang tentang sistem. Segalanya seolah manis. Hubungan kakaknya dengan gadis seumuran Taehyung itu sangat harmonis hingga setahun setelah pertemuan mereka, soulmatenya meninggal. Jangan tanya bagaimana hancurnya Hoseok setelahnya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan senyumnya. Bahkan meskipun tahun berlalu, Taehyung tidak pernah melihat sinar secerah matanya yang dulu.
Ayah ibunya bukanlah soulmate sebagaimana seharusnya. Taehyung pernah melihat tanda keduanya, ayahnya di badan sebelah kiri sementara ibunya di area belikat kanan. Sekilas mirip namun jelas berbeda. Tanpa kecocokan yang mutlak, Taehyung tidak tau apa yang terjadi hingga keduanya jadi pasangan suami istri. Mereka tidak pernah bercerita dan Taehyung tidak meminta penjelasan apapun.
Hanya Namjoon yang sepertinya sukses membangun hubungan dengan kakak ipar yang baru saja menelponnya. Namjoon mendapat tanda di pergelangan tangan kirinya ketika natal, semacam hadiah di usianya yang kelima belas. Ia bertemu Seokjin di lahan parkir sebuah supermarket empat tahun kemudian. Ketika Namjoon usai berbelanja untuk persiapan Halloween, Seokjin melihatnya merusak kacamata yang hendak dikenakannya. Singkat cerita, ia tertawa dan Namjoon tersinggung. Pandangan mereka bertemu lalu katanya seolah bukan gravitasi yang membuatnya berpijak tapi Seokjin. Seabstrak itu dan sedramatis itu. Taehyung berharap tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada mereka sehingga setidaknya ia bisa bahagia melihat senyum keduanya. Pun demikian, Taehyung tidak percaya.
Ketika orang lain pada umumnya mendapati kemunculan tanda itu di usia yang belasan, Taehyung baru mendapatkannya di umur kedua puluh satu, ketika ia gagal mendapatkan peran utama sebuah drama musikal di kampusnya. Tidak ada yang mempermasalahkannya karena kata orang, kapan tidak berpengaruh apa-apa. Taehyung memendam kekhawatirannya. Ketika tanda orang lain tampak indah dengan warna gelap pekat seperti sebuah tattoo penuh sihir, tanda miliknya berbeda. Seolah takdir kehabisan tinta untuknya, warnanya kebiruan, dengan pola seperti serpihan kaca yang pecah. Ia tidak menyukainya. Ia tidak menyukai bagaimana sistem sepertinya membuat orang tidak punya pilihan, menggariskan tiap orang tapi terkadang berakhir tanpa kejelasan.
Nyaris lima tahun dan Taehyung tidak pernah merasakan apa-apa terhadap siapapun. Pikirannya berkelana ketika tangannya tanpa sadar meraba rusuknya yang kedua belas, di atas pola imprint miliknya. Ia berbohong tentang soulmate yang sedang berkuliah di luar negeri sejak enam bulan lalu. Kegelisahannya karena tidak menemukan siapapun sebesar ketakutannya jika suatu saat nanti bertemu seseorang. Tidak masuk akal.
Taehyung terkejut karena bunyi nyaring telpon di meja kerjanya. Dua puluh lima menit sebelum pukul dua belas, seharusnya tidak ada yang menghubungi telpon kantornya.
"Dokter Kim. Syukurlah kau belum pulang. Operasi darurat di lantai tiga. Patah tulang rusuk sejati."
Dengan itu ia menutup telpon tanpa berbicara sepatah kata pun. Berlari menuju tangga karena dua lantai dapat ditempuhnya lebih cepat ketimbang menunggu pintu lift terbuka.
Taehyung terbiasa bekerja di bawah tekanan. Ketika keadaan genting tidak mengenal waktu, ketika beberapa saat setelah keluar dari sebuah ruang operasi, ia harus kembali lagi ke ruang sejenis. Badannya seolah lupa terhadap rasa letih ketika rasa tanggung jawab menuntutnya fokus menyelesaikan tugas tanpa cela, tanpa kesalahan.
Tapi tidak untuk kali ini. Scapel yang dipegang tangan kanannya bergetar beberapa detik ketika matanya memindai pola kebiruan di abdomen kanan pasiennya, tanda yang sama persis seperti yang dimiliki Taehyung. Seolah ribuan panah tak kasat mata menghujam badannya, satu hal yang ia rasakan saat ini hanyalah detak jantungnya yang meronta ingin keluar. Banyak alasan yang menyebabkan adrenalin berpacu deras di aliran darahnya namun tak satupun merupakan alasan bagus. Kupingnya berdenging dan kepalanya terasa berputar. Panca inderanya mati rasa beberapa saat. Menyadari tubuh seseorang di atas bed bedah nyaris meregang nyawa memberinya kemungkinan kehilangan soulmate selamanya. Jauh di dasar pikirannya terdapat ketakutan terbesar Taehyung; tidak ada kebahagiaan yang ia rasakan ketika melihat seseorang yang seharusnya jadi pasangan hidupnya.
Tiga hari berturut-turut, Taehyung menyempatkan diri berkunjung ke ruang ICU di sela waktu kerjanya. Terpaku di samping elektrokardiograf yang berbunyi stabil. Ia merinci badan orang yang tenang beristirahat di atas bed eksklusif rumah sakit. Kedua tangannya mengepal erat di dalam saku ketika keinginan untuk meraba pola imprint itu muncul. Detak jantungnya berdebar sedikit lebih kencang tapi bukan karena ekstasi. Ia resah karena perasaan yang bekecamuk meliputi batinnya seperti kabut tebal menyesakkan. Lalu ketika jemari pemuda berusia beberapa tahun lebih muda darinya bergerak, Taehyung buru-buru pergi. Keluar ruangan ICU dengan keringat dingin di pelipis dan kening seperti anak kecil melihat monster. Kalau sampai saat ini ia tidak merasa apa-apa, mungkin sebaiknya pemuda itu juga tidak mengetahui eksistensinya. Sama sekali.
Beruntung bagi Taehyung –setidaknya untuk sekarang ini– karena meskipun ia yang menangani operasi pemuda itu, bukan dirinya yang bertanggung jawab atas pemantauan pemulihan kondisinya. Adalah dokter Bang –dokter senior yang merupakan kepala rumah sakit sekaligus dosen Taehyung selama menempuh studi kedokteran– yang memegang tanggung jawab tersebut. Taehyung bersyukur karena dokter Bang bersedia meminjamkan berkas tentang pemuda itu padanya tanpa rasa curiga sedikitpun . Barangkali beliau berpikir bahwa Taehyung peduli pada pasien yang pernah ditanganinya –tipikal Taehyung.
Ia membacanya seksama. Tidak kelewatan sekedar letak titik ataupun koma. Tertera di barisan paling pertama, Jeon Jungkook. Lalu profil biodata disertai keterangan lengkap tentang latar belakang dan riwayat medisnya. Seorang anak pengusaha pemegang saham terbesar di rumah sakit ini. Dua tahun lebih muda dari Taehyung. Tengah menempuh semester lima jurusan manajemen bisnis di Jepang —kebetulan sekali sesuai kebohongan Taehyung kepada keluarganya. Kemungkinan besar merupakan ahli waris konglomerat Korea. Ia semacam langganan keluar masuk rumah sakit hingga Taehyung berpikir barangkali itulah alasan mengapa ayahnya berinvestasi di rumah sakit. Paling tidak tiga tahun sekali. Bukan karena penyakit tapi ulahnya.
Beberapa hari lalu ia mengalami kecelakaan tunggal dalam kondisi mabuk. Mobilnya rusak parah dan salah satu tulang rusuknya patah menjadi tiga. Beruntung tidak ada satupun organ dalamnya mengalami masalah serius karena patahan tadi. Taehyung bergidik membayangkannya. Kalau sampai itu terjadi, kemungkinan besar ia akan mati di tempat dalam hitungan menit. Dan Taehyung akan kehilangan soulmate sebelum sempat mengenalnya; ia menyangkali pemikirannya tentang hal ini.
Proses pemulihannya relatif stabil bahkan terhitung jauh melampaui harapan. Saat ini pemuda Jeon itu sudah dipindahkan ke kamar VVIP di lantai dua puluh lima, berada sejauh mungkin di atas ruang kerja Taehyung.
Dan Taehyung berkali-kali menyempatkan diri menghampiri pintu ruangan VVIP itu seusai shift. Beberapa kali ia menyentuh permukaan kayu mahoni yang bertekstur khas namun tidak pernah membukanya. Ototnya seolah beku ketika jemarinya memegang gagang pintu. Seperti saat ini.
Taehyung menarik tangan serta segenap niat yang dirasa konyol olehnya. Ia tetap berdiri di hadapan pintu itu lantaran tidak ada siapapun yang akan memedulikannya di malam yang kian larut. Terlebih hanya dua dari lima kamar di lantai teratas gedung yang sedang terisi, tidak ada siapapun di lorong serba putih selain dirinya. Hingga nyaris tengah malam dan Taehyung membulatkan niat untuk pulang, ia mendengar suara erangan dari dalam.
Taehyung mendorong dirinya masuk tanpa berpikir dua kali. Hal pertama yang dilihatnya ialah rembesan darah di baju pemuda Jeon itu. Maka Taehyung melangkah buru-buru menghampirinya dengan kekhawatiran penuh. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku hanya berusaha bergerak."
Taehyung menyingkap pakaian pasien yang menutupi abdomennya perlahan, berusaha tidak memperlihatkan pola kebiruan itu pada dirinya sendiri.
"Kau bukan dokter Bang. Apa yang kau lakukan?" Suara serak itu menginterupsi observasi Taehyung, menyebabkan jarinya bergetar sejenak.
"Melakukan tugas."
"Aku bukan tanggung jawabmu," pemuda itu berkata datar. Seketika membekukan dokter di hadapannya.
"Maaf, aku tengah melintas. Aku kira kau butuh bantuan." Taehyung membenahi pakaian sang pasien lalu menarik diri. Menyadari kesalahan besarnya, jas putih beserta seluruh identitasnya sebagai dokter tersimpan di lantai dasar. Ia bisa saja kehilangan pekerjaan besok atau bahkan malam ini. "Aku juga dokter, omong-omong. Tidak ada yang fatal. Jika kau berkenan, aku bisa mengganti perbanmu." Taehyung mengutuki diri sambil berharap Jungkook cukup percaya.
Ia berjalan ke ruang keperawatan dengan sedikit tergesa setelah gumaman approval soul— pasien VVIPnya. Mengambil first aid box lalu kembali. Taehyung sepenuhnya menghindari kontak mata ketika ia bekerja dalam diam.
"Cantik."
Taehyung merasa seolah suara itu membisik tepat di telinganya meskipun si pemuda Jeon hanya menyeletuk sembari bersandar nyaman di tempatnya. Ia berusaha acuh.
"Jadi," mulainya lagi. "Kaukah dokter Kim? Ahli bedah yang menggantikan dokter Bang malam itu?"
Taehyung merasa lidahnya kelu. Ia berakhir mengangguk dalam diam, berusaha fokus dengan garapannya.
"Jahitanmu rapi."
Tanpa sadar semu di pipinya berkembang karena sebuah pujian.
"Tapi sedikit kurang sempurna."
Taehyung berhenti sesaat setelah mendengar kritik bernada cemooh yang kentara. Merasa harga dirinya digores karena, memangnya menjahit luka semudah menjahit celana? Ia berusaha untuk tidak merusak pola imprint –yang sebenarnya tidak disukai Taehyung– seandainya manusia itu hendak tau. Bocah kurang ajar, rutuknya dalam hati.
Ketika Taehyung mendongakkan wajah, jantungnya seolah disengat listrik hingga debarnya menyesakkan dada. Memandang ekspresi penuh kontrol Jeon Jungkook, menyelami kedalaman obsidiannya dan menyadari segala macam sifat manusia yang tidak ia sukai ada di dalamnya. Ambisi, arogansi, dan nafsu.
Oksigen di paru-parunya mendadak menguap. Pertahanannya belum sempat terbangun ketika pemuda Jeon itu menarik lengannya. Tidak begitu kuat namun sukses membuatnya kehilangan keseimbangan. Gunting di tangannya jatuh, bergemericing membentur lantai sementara Taehyung berakhir membentur dadanya.
"Well, well. Aku tidak menyangka akhirnya menemukanmu," kekehnya. Entah mengapa membuat Taehyung merasa tidak dimanusiakan. Seolah-olah ia hanya objek; sebuah benda mati yang harganya tidak seberapa.
Dalam jarak yang sedekat ini, Taehyung yakin detak jantungnya terdeteksi saraf sensori Jungkook. Ia merasa direndahkan tapi reaksi tubuhnya yang enggan bekerja sesuai perintah hatinya, sungguh memalukan.
"Jadi siapa namamu, Manis?" Tanya Jungkook dalam jarak yang begitu dekat hingga napasnya menerpa bibir Taehyung. Satu tangannya meraba sisi tubuh sang dokter, tepat di atas pola pecahan kaca itu, membuat sekujur tubuhnya nyaris kehilangan rasionalitas.
Butuh segenap tenaga bagi Taehyung untuk menepis tangan Jungkook dan berbalik tanpa berkata sepatah kata pun. Di sela-sela detak jantungnya yang enggan ditenangkan, ia berpikir mimpi buruk tengah menerpanya.
tbc.
... Hai. it's been a while. kutulis ff ini untuk kiya, kaput, kadian, kaestu, dan semua member vottom only meskipun kalian tidak meminta xD aku tau aku nyebelin, bukannya ngelanjutin ff tapi malah bikin chaptered ff baru... i am really sorry but this might be only three chapters. please love me xx
