Cerita ini ditulis sebagai pelampiasan imajinasi saia. Akan menyenangkan bila pembaca menyukai cerita ini, sebagaimana saia menikmati menulis tiap chapternya :D

Buat teman-temanku di sekolah, terima kasih sudah menceriakan hari-hariku. Tahu nggak? Kalianlah sumber inspirasi terbesar dalam penulisan cerita ini! Karena itu, cerita multichapter ini kupersembahkan untuk kalian semua ^^


DISCLAIMER

Final Fantasy VII : Crisis Core © Square Enix

Final Fantasy VII: Last Order © Square Enix

Final Fantasy VII © Square Soft

Final Fantasy VII: Advent Children © Square Enix

Final Fantasy VII: Dirge of Cerberus © Square Enix


.

.

Hug and Kiss

Chapter 1 : CONDOLENCE

.

.

=xoxo=

Tap tap tap tap…

Dengan langkah-langkah pendek seorang gadis bergerak menyusuri koridor. Rambutnya tersibak karena kecepatannya berjalan. Tak sengaja ia menabrak seseorang dan menjatuhkan barang bawaannya, tapi tidak punya waktu untuk membantu orang itu berdiri sehingga yang dilakukannya hanya minta maaf.

Nama gadis ini Tifa Lockhart. Siswi kelas sepuluh yang baru saja memulai jenjang yang baru tiga bulan lalu. Tampaknya ada hal penting yang sedang diburu untuk diselesaikan. Hal penting itu berada di ruang kepala sekolah.

"Permisi."

Di depan matanya kepala sekolah sedang berbincang dengan seorang laki-laki paruh baya. Keduanya langsung berdiri.

"Tifa," laki-laki paruh baya itu menghampiri sang gadis, menatap tepat di matanya. Tifa mengrenyitkan alis, bertanya-tanya apa yang membuat orang ini tampak kacau. Laki-laki itu memeluknya.

"Ibumu, Tifa…"

Anak gadis itu bertanya bingung, "ada apa dengan Mama, Pa?" Tifa lebih bingung lagi ketika ayahnya melepas pelukan dan memperlihatkan dua netra berkubangkan air mata.

"Ibumu masuk rumah sakit. Keadaannya kritis."

Siswi yang sedang di tengah-tengah pelajaran sastra ketika dipanggil ke ruangan kepala sekolah itu terdiam untuk mencerna kata-kata ayahnya. Seingatnya ibunya tidak punya penyakit kronis kambuhan. Jadi apa yang menyebabkan wanita yang telah mengandungnya itu masuk rumah sakit?

"Kita pulang sekarang, Putriku."

Tifa mengangguk saja ketika ayahnya membungkuk ke arah kepala sekolah dan menarik tangannya keluar dari ruangan terang itu. Masih bisa ditangkapnya sorot kekhawatiran dari mata sang Lady.

.

.

=xoxo=


"Whenever I'm in a trouble, my hero will come and rescue me."

-Tifa Lockhart, FFVII-


Ini adalah Midgar. Kota metropolitan yang luar biasa maju dalam berbagai bidang. Tak terkecuali bidang pendidikannya. Sudah beratus-ratus ilmuan dan penemu terkemuka disumbangkannya untuk dunia. Beribu-ribu atlet internasional dibesarkan di sini. Berpuluh-puluh ribu enterpreneur terkemuka lulus dari tempat ini. Walaupun tidak sedikit pula teroris dan psikopat dilahirkannya, semua yang pernah belajar di Midgar tidak jadi pengangguran. Persis seperti semboyan pendidikannya. Want to be something? Here, we can make you many things.

Berlokasi di jantung kota Midgar adalah sebuah sekolah paling wowza se-Gaia. ShinRa, sekolah berasrama yang lebih tua dari siapa pun yang masih hidup. Karena telah lama berdiri, begitu banyak kisah tersimpan dalam naungan batu bata gedungnya. Dan hari ini, sebuah kisah yang lain direnda dalamnya pula.

.

.

=xoxo=

"Sudah jelas?"

Di laboratorium Biologi, siswa yang seluruhnya laki-laki duduk dalam kelompok-kelompok kecil. Guru mereka berbalik dari papan tulis untuk memastikan kejelasan uraian gambar yang baru saja dibuatnya, tapi belum-belum para muridnya sudah membuat kekacauan.

"Loz! Jangan buka tutup akuarium kataknya! Nanti spesimen amfibi itu berloncatan dan mengotori laboratoriumku! Hei! Jangan ganggu kelincinya! Kalau stres lalu mati penelitian kelas selanjutnya terganggu! Jangan guncang-guncang kandangnya! Ya Tuhan! LOZ! KAU DENGAR TIDAK?"

Pengajar berpenampilan rapi itu mengerang frustrasi. "Inilah yang tidak kusukai dari mengajar murid laki-laki. Mereka tak bisa diatur seperti kuda liar."

Dengan susah payah sang guru berhasil mengendalikan suasana.

"Dengar, di kelas teori kalian bisa tidak memperhatikanku. Tapi kalau waktunya praktik beda lagi. Tidak mendengarkan instruksi bisa fatal akibatnya! Apalagi hari ini kita berurusan serabut saraf yang ringkih. Kegagalan kecil dalam pembedahan mengakibatkan kegagalan total operasi, yang bisa membawa akibat berupa kematian," pria usia tiga puluhan itu berusaha tenang.

Seorang siswa berambut keabu-abuan mengangkat tangan.

"Apa lagi yang mau kau tanyakan, Loz?" tanyanya letih.

"Kapan kami bisa mulai mencincang korban, Mister Reeve?"

KWEEEH! Objek-objek pengamatan yaitu ayam aneh berbulu kuning berkotek ketakutan.

"Bukan mencincang, Loz, tapi memutilasi. Agak ilmiah sedikit kenapa sih?" timpal saudara kembar Loz yang rambutnya juga berwarna keabu-abuan. Mister Reeve mengelap mukanya capek.

"Mencincang, memutilasi, memangnya kita mau masak? Kita tidak akan memotong-motong ayam ini."

Secercah harapan muncul dari dalam diri sang guru Biologi. Batinnya, syukurlah. Ternyata ada satu dari tiga kembar ini yang memperhatikan penjelasanku.

"Lalu apa, Kadaj?"

"Meledakkannya dengan petasan."

KWEH KWEEEEEEH!

Pupus sudah harapan sang guru.

"Bukan, kita tidak memusnahkan ayam-ayam ini, Kadaj. Kita mengamati mereka," jelasnya, berusaha sabar. "Kita akan membedah mereka untuk mengamati jalannya impuls di batang otaknya. Seperti yang kita ketahui hewan bertulang belakang memiliki sistem saraf pusat yang strukturnya hampir sama dengan manusia. Kali ini, dengan nanomicroscope temuan Profesor Hojo, kita akan menyelidiki jalannya impuls ke otak yang melewati batang otak."

"Batang otak? Setahuku yang punya batang itu stik golf dan persneling. Kenapa otak punya batang juga?"

"Aku tidak peduli. Yang penting setelah selesai percobaannya, kita meledakkan ayam hidup-hidup. Gyahahaa!"

"Bodoh kau Kadaj! Kalau sudah dibedah mana mungkin masih hidup?"

Mister Reeve hanya melongo di depan kelas. Tiga siswa itu sangat menguras energinya. Dia berjalan ke kursi untuk menenangkan diri sejenak. Jam terakhir memang selalu seperti ini. Murid-murid yang sudah lelah belajar sepanjang hari, khususnya para cowok ini, jadi ngaco dan sulit dikendalikan.

Saat itulah pintu laboratorium diketuk. Mister Reeve berjalan ke arah pintu tanpa dipedulikan lagi oleh anak didiknya karena sekarang semua siswa—tidak hanya tiga makhluk kembar heboh itu—sibuk memperdebatkan bagaimana cara membereskan mayat-mayat ayam 'korban' pengamatan nanti.

Di depan pintu sesosok gadis cantik memberinya kabar tentang sesuatu. Guru yang menumbuhkan kumis itu tercenung sebentar lalu mengangguk dan kembali ke laboratorium.

"Anak-anak, pengamatannya kita undur."

Para siswa diam keheranan.

"Ibu salah satu teman kalian meninggal kemarin. Kita berangkat ke pemakamannya tiga puluh menit lagi."

Perbincangan para siswa yang bingung langsung memenuhi ruang laboratorium. Untuk sementara para ayam bisa bernafas lega.

.

.

=xoxo=


"I won't forgive them!"

-Loz, FFVII: AC-


Bus-bus yang mengangkut seratus delapan puluh tiga murid bergerak dari Midgar ke Nibelheim, sebuah desa kecil di kaki Mount Nibel.

"Hey Yazoo, ibu siapa sih yang meninggal?" tanya Loz setengah berteriak kepada saudaranya yang duduk di belakangnya. Loz bisa melihat kebingungan di wajah teman-temannya yang lain, tanda mereka juga belum mengetahui apa yang terjadi.

"Ibunya Tifa Lockhart. Tahu tidak?"

"Tifa Lockhart?"

Adiknya yang berambut paling panjang itu mengangguk.

"Anggota klub bela diri yang memenangkan turnamen se-Midgar bulan lalu. Kau ke mana saja?"

Loz menelengkan kepala.

"Juara turnamen? Berarti… dia lawanku di kejuaraan umum besok?"

Sekali lagi Yazoo mengangguk.

Jadi sebenarnya yang sedang dibicarakan keduanya adalah pertandingan bela diri. Setahun sekali di Midgar diadakan turnamen adu kekuatan tingkat sekolah menengah. Tadinya pertandingan berhenti sampai juara kategori putri dan kategori putra diputuskan. Namun beberapa tahun terakhir tradisi baru muncul. Setelah turnamen berdasarkan gender selsai, satu lagi kejuaraan bela diri umum (yang ini boleh diikuti siapa saja tanpa pandang usia atau jenis kelamin) diadakan. Pemenangnya, biasanya juara turnamen bela diri putera tingkat sekolah menengah, yang berarti tahun ini Loz-lah yang dijagokan.

"Menjelang pertandingan ada tragedi seperti ini. Kau akan menang dengan mudah," sambung Kadaj enteng. Orang ini memang punya 'gangguan jiwa'. Di saat bersedih seperti ini dia bisa mengatakan hal itu tanpa perasaan. Kalau saja Tifa ada di hadapannya sekarang, dia pasti sudah kena tonjok.

Akhirnya perjalanan beberapa ratus mil berakhir. Siswa-siswi turun dari bus lalu melintasi pemukiman penduduk di mana alam sekitar yang mengelilinginya masih asri. Rombongan berhenti di depan sebuah rumah bertingkat.

"Baiklah, kita menunggu pihak keluarga bersiap dulu," kata sang kepala sekolah, seorang wanita cantik berambut coklat kemerahan panjang.

"Lady," bisik Mister Reeve yang berdiri di samping wanita itu, "apa kita perlu menginap di sini?"

"Kurasa iya, Sir. Setelah ini kita akan mendaki gunung, lalu melakukan tradisi buang abu masyarakat desa ini. Saya menduga selesainya baru nanti malam. Kalau anak-anak pulang dalam kondisi kelelahan bisa-bisa mereka sakit. Di samping itu, dengan keberadaan teman-temannya, kesedihan Bungaku tercinta mungkin bisa berkurang."

Sang guru Biologi tersenyum setuju. "Kalau begitu saya pesankan penginapannya."

Tepat ketika Mister Reeve berbalik, Tifa dan ayahnya keluar dari rumah mereka. Wajah mereka kuyu. Terutama Tifa. Matanya sembab dan hitam, mengindikasikan tidak tidur untuk menangis semalaman.

Kepala sekolah mendekati mereka untuk menyampaikan belasungkawa. Anak-anak kelas sepuluh yang memperhatikan mereka hanya bisa diam.

"Kamu harus kuat ya, Sayang. Percayalah ibumu pergi dalam damai menuju sebuah dunia penuh kebahagiaan."

Tifa kembali menitikkan air mata sambil memeluk pemimpin sekolahnya itu. Tifa bisa melihat teman-temannya dari balik punggung sang Lady. Mereka berusaha memberikan dukungan padanya lewat ekspresi dan senyuman yang menguatkan. Lengkungan lemah sebagai tanda terima kasih terbentuk di bibir gadis manis itu.

.

.

=xoxo=

Udara di Nibelheim sangat dingin. Apalagi di malam hari. Sebatang obor kecil untuk satu kelompok siswa yang terdiri dari empat-lima orang tidak bisa menghangatkan semuanya.

Dipandu seorang guide lokal, rombongan mendaki Mount Nibel. Cahaya dari obor mengusir gulita. Pelan-pelan gerombolan manusia itu menyusuri kaki gunung, terus ke bagian yang bertambah curam.

Mereka sampai di sebuah jembatan tua.

"Jembatan ini tidak cukup kuat untuk dilewati semua dari kita. Mulai dari sini, dimohon hanya yang benar-benar berkepentingan yang jalan."

Tifa dan ayahnya menyeberangi jembatan. Mereka berjalan satu per satu mengikuti guide. Selanjutnya sang Lady, Mister Reeve, dan beberapa guru yang lain. Sementara para siswa kelas sepuluh dan sisa guru yang tidak naik memperhatikan siluet orang-orang itu mengecil dan hilang ditelan punggung gunung.

"Sampai kapan kita akan kedinginan di sini?" bisik Loz pada Yazoo. Yazoo sedang memperhatikan Kadaj, mengawasi si termuda itu supaya tidak melemparkan obor ke rambutnya. Beberapa saat kemudian Loz melihat lagi barisan penyeberang dari balik punggung gunung. Obor-obor mereka seperti kacang polong oranye bila dilihat dari bawah sana.

"Apa mereka akan mendaki sampai puncak?"

"Kau pikir untuk apa mereka menyeberangi jembatan berayun itu kalau bukan untuk menuju pucak?" balas Yazoo sambil berusaha merebut obor yang dipegang Kadaj. Kadaj mengayun-ayunkan obornya untuk mengamati jejak cahaya yang ditimbulkan bila obor itu bergerak. Hampir saja obor itu menghanguskan ujung rambut panjang Yazoo.

"Aku nggak yakin Lady Shalua bisa sampai puncak kalau pakai gaun panjang itu. Bisa-bisa nyangkut ke sesemakan."

Singkatnya barisan kacang polong oranye telah sampai tujuan. Saat itu kepala Loz sudah terangguk-angguk akibat kantuk. Siswa-siswi lainnya juga banyak yang duduk di tanah kecapekan. Kadaj yang sudah bosan dengan obornya jadi salah satunya.

Loz bertanya sekali lagi, "mereka ngapain di sana ya?"

Yazoo menjawab pertanyaan Loz untuk yang terakhir kali hari itu, "itu tradisi buang abu masyarakat sini. Abu ibunya Tifa dihamburkan ke dalam kawah gunung. Masyarakat percaya roh orang yang meninggal tidak akan pergi jauh dari tempatnya tinggal semasa hidup. Roh manusia akan tinggal di dekat mereka dan menjadi bagian dari alam sekitar mereka. Roh itu akan mengawasi mereka, menjaga mereka, membawa kesuburan dan keberuntungan, kedamaian dan perlindungan. Meski sudah tidak ada wujudnya di dunia, ibu Tifa yang sudah meninggal dipercaya akan terus hidup."

Setelahnya orang-orang di atas turun lagi, lalu seluruh rombongan kembali, masuk penginapan, dan tertidur pulas di balik selimut tebal masing-masing.

.

.

=xoxo=

Loz, Yazoo, dan Kadaj menjadi tiga orang pertama yang masuk ke dalam bus pagi berikutnya.

"Great! Hari ini sekolah libur! Yeah!" sorak Loz sambil mengambil tempat duduk di sebelah Yazoo. Langsung di-ssst oleh Yazoo. Loz mengikuti arah pandang Yazoo yaitu ke arah pintu bus. Seorang siswi naik.

"Tifa ikut kembali ke sekolah?"

"Tampaknya begitu."

Tifa berbincang dengan Mister Reeve, tersenyum sekilas lalu bergerak ke tempat duduk yang masih kosong. Gadis itu duduk tepat di seberang tempat duduk Loz. Ia masih kelihatan sedih. Senyumannya yang tadi diberikan pada guru Biologi sudah pudar.

Bus mulai bergerak menuju Midgar, menuju sekolah berasrama murid-murid ini. Suasana dalam bus yang ada Tifa-nya ini agak muram. Baik siswa maupun siswi dalam kendaraan berkapasitas tiga puluhan orang itu tidak berani bersenda gurau seperti yang biasa mereka lakukan dalam sebuah perjalanan.

Loz ingin mengatakan sepatah dua patah kata, tapi tidak tahu apa. Ia melirik Yazoo, berniat mencari nasihat. Sayangnya Yazoo sudah tertidur pulas di sampingnya. Loz bisa memaklumi. Semalam tadi Yazoo satu kasur dengan Kadaj lantaran kapasitas penginapan terbatas. Pantas saja kalau kurang tidur.

Dengan canggung Loz berdehem. Tifa menengok padanya.

"Ehm. Aku turut berduka cita."

Si gadis tersenyum berterima kasih. Tapi matanya tidak ikut tersenyum. Mata itu menyorotkan kesenduan yang seakan takkan berakhir. Loz merasa iba. Begitu-begitu, dulu dia seorang mama boy. Kurang lebih ia dapat mengerti perasaan Tifa sekarang, karena itu rasanya lelaki setinggi enam kaki itu punya beban untuk menghiburnya.

"Setidaknya kau masih punya seorang ayah."

Mata Tifa menyelidik matanya. Mungkin gadis itu ingin memastikan apakah dirinya sedang berusaha menghibur, atau menghina.

"Jangan menyerah di sini. Kau masih punya kehidupan panjang."

Hanya keheningan yang membatasi Tifa dan Loz sekarang. Tapi tiba-tiba Tifa tertawa kecil.

"Apa yang lucu?" Loz bereaksi, merasa aneh. Tifa menjawab masih merasa geli.

"Tidak. Hanya saja katanya Loz adalah kepribadian yang kasar. Ternyata itu tidak benar."

Entah kenapa Loz merasa tersindir. Dia merasa kalau sekarang Tifa sedang mencoba menyebutnya 'lembek', padahal yang berusaha dilakukannya adalah membangkitkan semangat gadis itu.

"Tentu saja, aku tidak akan menyerah," nyata Tifa kemudian, setelah tawanya benar-benar berhenti. Perempuan itu mengeraskan wajahnya. Tekad untuk terus maju tergambar jelas di sana. Loz menaikkan satu sudut bibirnya.

"Baguslah. Kalau begitu aku jadi tidak perlu menahan diri di Martial Art Championship yang akan datang."

Tifa melirik Loz. Sebuah tarikan yang sama di salah satu sudut bibirnya juga terbentuk.

"Tidak perlu sungkan."

Dan bus pun melewati gurun menuju gerbang kota mereka, Midgar. Kota yang akan menjadi tempat pertandingan bela diri itu berlangsung beberapa minggu lagi. Entah kenapa, Loz jadi tidak sabar menantikan hari itu.

.

.

-chapter1ends-