Simply Irresistible

By Bookworm 1993

Harry Potter belongs to J. K. Rowling

Hermione menengok kanan dan kiri sebelum menyeberangi zebra cross menuju kafe yang ditujunya. Ia menyunggingkan senyum saat melihat Ron melalui jendela kaca.

"Ron!" Hermione menyeru senang saat dirinya mendatangi meja yang biasa mereka tempati. Ia merundukkan tubuh, berniat memeluknya dan mengecup Ron, tapi lelaki itu terlebih dahulu memindahkan tubuh jadi ia hanya mengecup pipinya.

Hermione menatapnya beberapa saat, tapi memutuskan untuk tidak memersalahkannya. Semenjak pernikahan mereka semakin mendekat, Ron terlihat agak menjauh.

"Hermione..."

"Ya? Apa ada masalah?" Hermione bertanya penasaran sembari menududukkan diri. Hening adalah jawaban untuknya. Ia menatap Ron penuh tanda tanya.

"Aku tidak bisa."

Hermione hanya menatapnya. "Oh, aku bisa makan siang sendiri. Maaf, aku kira kau akan memberitahuku kalau kita tidak bisa makan siang bersama jadinya—"

"Bukan, bukan makan siang," Ron memotong agak kencang.

"Oh." Hermione tidak tahu ia harus menjawab apa. Jadi dia hanya menunggu Ron untuk menjelaskannya.

Rasanya seperti menunggu berjam-jam sebelum Sang Lelaki mengucapkan lima kata yang sarat akan pengkhianatan.

"Hermione, aku tidak bisa menikahimu." Ron berujar pelan, hingga sulit terdengar.

Keheningan menguasai.

"Kau adalah orang ke dua yang pernah kukencani sedang aku adalah yang pertama bagimu."

Hermione menatap Ron penuh dengan kekagetan. "Jadi kau mau apa? Main gila atau apa?"

"Bukan, maksudku, Hermione, tidak ada lagi kobaran cinta di hubungan kita. Kau itu..."

"Aku apa?"

Ron tidak menjawab.

"Aku apa, Ron?" suara Hermione mulai sedikit terdengar histeris.

"Kau itu membosankan. Yang kau lakukan hanyalah membaca. Kau mengomeliku pada segala hal. Dan kau ... selera berpakaianmu lebih buruk daripada ibuku. Kau tidak pernah berdandan dan tidak berusaha untuk—"

Hermione merasa seakan ia tidak bisa bernapas. Oksigen tidak mau masuk ke dalam sistem pernapasannya. Sebelum ia sadari, dirinya sudah bangkit dari kursi.

"Berhenti sebelum kau membuat dirimu terlihat lebih picik. Maaf kalau aku tidak secantik yang kau inginkan. Kau tahu apa, aku akan membuatnya mudah." Hermione mulai menarik cincinnya. "Selesai. Kita putus. Aku tidak akan memberitahu siapapun—"

Ron menghela napas lega.

"Tapi sebaiknya kau memberitahu keluargamu secepatnya."

Ron meringis, "maafkan aku, Hermione."

"Begitupun aku, Ron." Hermione berkata sembari berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku harus memberimu selamat. Kerja bagus karena memilih waktu makan siang untuk memberitahuku. Karena aku jadi tidak bisa mengutukmu hingga ke negeri sebelah." Hermione berbisik. "Oh, dan, Ron, kau tidak benar-benar percaya kalau kau adalah pacar pertamaku, bukan? Kau tidak sadar ada hubungan apa aku dan Viktor Krum dulu?" dengan itu, Hermione keluar dari kafe dan meninggalkan mantan tunangannya yang masih kaget.

Saat Hermione menemukan tempat yang agak terpencil, ia ber-apparate ke rumah. Sedetik setelah ia tiba, diluncurkannya mantra untuk mengumpulkan semua barang-barang Ron. Menghempaskannya, ia memasukkan semua benda itu ke dalam sebuah kotak yang kemudian disingkirkan ke sisi luar pintu apartemen mereka. Jadi jika Ron ingin mengambilnya, dia tinggal mengambilnya tanpa perlu bertatap muka dengannya. Kemudian perempuan itu mengganti mantra pengunci pintu.

Setelah semua hal itu selesai, Hermione merasa seolah telah kehilangan seluruh kekuatannya. Air mata mulai menggenang.

Herimone memilih tidur di kamar tamu sore itu, menangis hingga tertidur.

.

.

.

Cahaya matahari yang mengintip melewati jendela membangunkan Hermione.

Ia menarik selimut melewati kepala, tapi tidak berpengaruh. Ia masih bisa merasakan cahaya merangsek masuk. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menyerah. Dilemparnya selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Alih-alih masuk ke kamar mandi, justru dirinya menabrak dinding. Lupa kalau dirinya tidak berada di kamar tidurnya.

"Aw." Ringisnya sembari mengelus dahi.

Akhirnya Hermione mencapai kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk berkaca. Berpikir kalau sebaiknya tadi ia tidak berkaca. Matanya sembab dan merah karena menangis. Rambutnya ... yah, ia yakin kalau dirinya bisa bertanding melawan Bigfoot dengan tema rambut yang awut-awutan. Akan menyenangkan menonton siapa yang menang.

"Brengsek kau Ron." Hermione berbisik ketika merasakan sejuknya air menerpa tubuhnya. Air matanya sudah kering dan sekarang yang dirasanya adalah penyesalan.

Seharusnya pernikahan mereka diadakan dua minggu lagi. Harusnya dirinya menjadi Nyonya Ron Weasley dalam dua minggu. Hari yang diimpikannya sejak berusia 14 tahun. Dan sekarang ia berumur 22, Hermione mengakui kalau dirinya agak marah.

Bagaimana bisa Ron tega memerlakukannya seperti ini? Mungkin benar kalau dirinya itu membosankan karena Hermione lebih memilih untuk membaca daripada melakukan hal lain. Lalu kenapa kalau ia tidak mau berdandan setiap saat? Apa pentingnya? Ia sudah memiliki pria yang diinginkannya. Atau itu yang ia kira.

Mungkin kalau Hermione berpakaian seperti yang selalu Ginny ajarkan, Ron tidak akan ... rupanya air matanya belumlah kering, karena bulir itu mulai berjatuhan lagi ketika pikirannya berkelana. Tapi Hermione tidak yakin apa yang ditangisinya. Untuk Ron atau untuk waktu yang dihabiskannya demi mencoba menjadi perempuan yang Ron inginkan?

Airmatanya berhenti mengalir ketika Hermione memikirkan jawaban atas pertanyaan itu.

Hermione masih merenungkan pertanyaan itu sampai ia selesai mandi, dengan sigap memakai handuk pakaian kemudian menyeduh kopi.

"Jangan menindihi Daily Prophet, Crookshanks," ucapnya ketika menyadari kalau kucingnya menduduki surat kabar tersebut. Tapi segera saja ia berharap kalau ia tidak mengatakan hal tersebut setelah membaca tajuk utamanya.

Semalam Ron Weasley terlihat mencium seorang gadis IT, Sadie Rayne! Pertanyaannya sekarang adalah di mana Hermione Granger dan Draco Malfoy?

Hermione membeku saat melihat gambar orang yang telah menjadi mantan tunangannya kurang dari 24 jam mencumbu seorang perempuan cantik, tidak, perempuan menawan. Cengkramannya pada mug mengendur hingga terjatuh ke lantai. Tapi Hermione memilih untuk tidak memikirkannya.

Ia memelototi wanita di gambar itu. Perempuan itu memiliki rambut lurus berwana cokelat tua, hal yang diinginkan semua perempuan di dunia. Gigi putih yang rapi, bibir merah muda yang dilengkapi mata biru berkilap. Perempuan itu cantik, dan Hermione berani berkata ini, sebuah manifestasi dari wanita sempurna.

.

.

.

Draco Malfoy memelototi koran di tangannya dengan tidak percaya. Dibacanya artikel itu sekali lagi, memastikan kalau dirinya tidak berhalusinasi.

Kekasihnya berselingkuh dengan Weasel. Semalam. Perempuan itu menikungnya demi Ron Bloody Weasley! Pria yang sudah bertunangan. Yah, mungkin saja sudah tidak, Draco berbisik sebal.

Draco hampir bisa melihat kutukan-kutukan yang disiapkan Granger untuk Weasel. Sekarang Draco hanya tinggal menunggunya. Pastinya Granger sudah mengganti burung kenari latihannya menjadi binatang seberbahaya hippogriff.

Tapi tetap saja, dibanding dengan semua pria di dunia ini, kekasihnya memilih Weasley sebagai objek perselingkuhan. Memangnya kenapa kalau Draco tidak memberi pacarnya perhatian seperti kekasih pada umumnya? Dirinya baru saja menandatangani kontrak bisnis yang bisa memberikannya jutaan galeon hingga bisa menafkahi cicitnya.

Wanita sialan itu terlalu haus kasih sayang. Hampir seburuk Parkinson, atau paling tidak perempuan itu tidak memberikannya nama panggilan dan terlihat cantik dengan atau tanpa pakaian.

Dibantingnya kertas itu, tidak lagi mau melihat Weasley yang terlihat hendak menghisap wajah Sadie. Bagaimana bisa dia memermalukannya seperti itu?

Draco tahu kalau mereka sengaja melakukannya karena gambar itu diambil di Klub Nero, tempat berkumpulnya paparazzi. Tidak ada hal yang tetap terahasiakan di tempat itu. Kau pergi ke sana, berarti kau mau hubunganmu tersebar ke seluruh dunia.

Draco masih mendeliki koran itu saat Blaise memasuki kantornya.

"Oh, kau sudah tahu." Ucap Blaise ketika melihat kertas itu di meja Draco.

"Sudah pasti aku tahu, seluruh Dunia Sihir sudah melihatnya!"

"Yah, paling tidak kau tidak terlihat lebih buruk dari Hermione," Blaise menjawab.

Draco menatapnya tajam, "'Hermione'? Maksudmu Granger?"

"Siapa lagi, Bodoh. Hermione mana lagi yang kau kenal?"

"Sejak kapan kau memanggil Granger dengan ... Hermione?" Draco membalas kikuk di akhir kalimat, ia tidak pernah menyebut nama itu tanpa kata Granger di belakangnya. Rasanya berbeda. Untuk beberapa alasan, ia lumayan menyukainya.

"Sejak aku bekerja dengannya di Kementrian, yang mana sudah, sebentar, dua tahun yang lalu," Blaise menjawab nyinyir.

"Oh benar, itu ketika kau menolak bekerja denganku," Draco menjawab kesal.

"Benar." Ucapnya sebelum duduk di seberang Draco.

"Kembali ke pembicaraan awal, kau bilang Granger berpenampilan lebih parah dibanding diriku?"

"Ya."

"Bagaimana?"

"Kenapa kau tertarik?" Blaise bertanya hati-hati.

"Tidak." Draco mengangkat bahu.

"Kau tertarik, Draco. Wajahmu terlihat sedang merencanakan sesuatu sekarang."

"Tidak."

"Benar."

"Tidak," Draco bersikeras.

"Jelas sekali." Blaise melanjutkan.

"Baiklah, aku penasaran. Ceritakan saja."

Blaise menatapnya bingung sebelum menjelaskan ceritanya. Lagipula mereka tetaplah teman dekat.

.

.

.

Hermione tidak bisa lagi menerima tatapan simpati yang diterimanya dari semua rekan kerjanya. Kau akan mengira kalau ia baru ditinggal mati ibunya atau apa jika melihat fakta kalau mereka terus seperti itu.

Ia hampir berharap kalau dirinya tidak masuk kerja hari ini. Tapi kalau dirinya bolos, ia takut ada yang menggosipinya. Mungkin gosipnya berkata kalau ia dirawat di Santa Mungo karena mencoba bunuh diri setelah mendengar 'berita' yang terus dibicarakan. Segila berita tentang Voldemort atau dia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut.

Hermione membasuh wajahnya menggunakan wastafel di toilet perempuan. Jelas saja air itu tidak membantu menghilangkan mata merahnya. Wajahnya juga terlihat lusuh. Tidak heran Ron memutuskan hubungan mereka.

Ia terlihat seperti mayat hidup sedang Sadie Rayne merupakan model yang sangat menawan. Sama sekali tidak aneh kalau Ron meninggalkannya ketika pria itu bisa mengencani wanita sehebat Sadie.

Bahkan Sadie mengencani Draco Malfoy, Sang Playboy selama tiga bulan—yang mana merupakan rekor. Bukannya Hermione mencari tahu tentang mereka, ia hanya tidak sengaja membaca artikel tersebut ketika menjaga Teddy di rumah Ginny dan Harry.

Hermione kembali ke kantornya setelah merasa lebih baik. Melihat asistennya agak gelisah, Hermione memintanya untuk pergi makan siang.

"Oh, Hermione, kau tidak memberitahu kalau ... tidak heran Ron dan Sadie Rayne ... kau beruntung sekali, pria itu luar biasa." Anna, asistennya mengedipkan mata sebelum pergi.

Hermione hanya menatapnya lucu. Digelengkannya kepala sebelum membuka pintu kantornya.

"Merlin, kau terlihat seperti perempuan menyedihkan. Tidak aneh Weasley membuangmu demi Sadie."

Hermione melompat kaget dan hampir berteriak hingga mengenali suara itu. Meskipun sudah bertahun-tahun semenjak ia berbicara dengannya, ia masih bisa mengingat suara pria itu. Nada aristokrat yang begitu cocok dengan sosoknya.

"Apa yang kau lakukan di kantorku, Malfoy? Dan demi apa itu adalah kata pertama yang kau ucapkan padaku."

"Kau mau aku ikut berduka karena kau kehilangan tunanganmu—"

"Diamlah," Hermione menghardik. "Menurutku sudah cukup membicarakan dua iblis itu. Apa yang kau lakukan di sini?"

Draco menyunggingkan senyum sombong. "Aku akan merombak penampilanmu."

"Maaf, apa?"

"Kau dengar aku, Granger, aku akan merombak penampilanmu sampai semua pria menginginkanmu dan membuat Weasley mati menyesal. Kau akan sangat menawan.

.

.

.

Bersambung ...

.

.

.

Thanks for reading. Mind to review?

Bogor. Minggu, 6 Desember 2015. 10:02