"Snow on The Sahara"

Ia berada di sini, dalam situasi seperti ini karena dulu seseorang pernah berkata kepadanya bahwa hendaknya kau melakukan apapun demi sesuatu yang kau cintai. Apapun, meski hal itu sesulit meminta salju turun di gurun Sahara.

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: Alternate Universe

.

.

.

.

Chapter I

Hari ini matahari bersinar terik seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada yang berani menutupi kegagahan sang surya di negeri ini, tidak kumpulan awan kelabu sekalipun. Naif rasanya jika seseorang berharap akan disambut dengan suhu yang sejuk serta angin sepoi yang berhembus tanpa membawa partikel-partikel pasir yang menyesakkan dada ketika ia bangun di pagi hari. Suhu yang panas, langit yang biru, hamparan pasir yang membentang seluas lautan adalah tiga dari sedikit hal yang bisa terpatri di benak orang tentang negeri ini. Sunagakure namanya. Sebuah negeri yang terletak di negara Angin yang memiliki nama "Negeri Pasir" sebagai julukan. Julukan yang sangat tepat mengingat pasir adalah benda yang mengisi lebih dari separuh datarannya. Entah siapa yang pertama kali menjadikan tanah ini menjadi tempat tinggal manusia. Para pendatang pasti butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Ajaibnya tubuh manusia, mereka yang dari lahir, atau setidaknya sudah cukup lama menetap di sini bertahan. Tidak hanya bertahan hidup dalam makna tidak kehilangan nyawa, tapi juga bertahan untuk tidak mengeluarkan umpatan setiap hari karena cuaca yang sepanas bara. Mereka menjalani aktivitas seperti biasa, tidak peduli dengan suhu yang panas yang seakan bisa melelehkan kulit mereka. Mengumpat bukanlah hal yang biasa orang-orang Suna lakukan di siang hari, kecuali satu orang.

"Hah, panas sekali," ucap laki-laki yang sedari tadi duduk di balkon rumahnya. "Kenapa tidak sekalian neraka saja yang diturunkan ke bumi?" ia masih melanjutkan umpatannya.

"Merepotkan," kata-kata itu keluar lagi untuk yang keseribu kalinya hari ini.

Laki-laki itu duduk dengan melandaikan badannya. Kaki dijulurkan panjang-panjang ke depan. Kedua tangan berada di bawah kepala. Tubuh hanya terbungkus singlet dan celana panjang bahan. Rambut hitam legam sebahu dikuncir tinggi ke atas. Semua rincian tadi mungkin ada sebagai kompensasi tingginya suhu lingkungan yang tubuhnya hadapi, kecuali rambut. Ia hampir selalu mengenakan rambutnya seperti itu.

Matanya menatap ke pemandangan biru di atasnya. Sudah hampir pukul tiga sore. Belum ada juga dilihatnya kumpulan awan berarak. Penampakan mereka hanya berwujud garis-garis putih seperti helaian halus kapas yang ditarik. Tidak menarik baginya.

Ia menghela nafas lagi. Tubuhnya terasa letih sekalipun ia bisa dibilang belum melakukan apa-apa sedari pagi. Belum ada aktivitas yang benar-benar menguras tenaganya hari ini. Entah memang letih atau dehidrasi, yang jelas keringat yang sudah berliter keluar dari tubuhnya dari tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya.

Sayup-sayup dari kamarnya terdengar bunyi kipas angin yang berputar ke seluruh arah ruangan, berharap bisa memberikan sedikit kesejukan bagi siapapun di dalamnya. Kipas angin itu dibiarkan hidup sedari tadi sekalipun sang empunya tidak sedang berada di ruangan tersebut.

Si pemilik ruangan masih saja sibuk dengan pikirannya sambil terus menatap langit di atasnya. Matanya menerawang jauh seakan pandangannya bisa menembus angkasa, melihat benda-benda yang ada di balik hamparan biru. Entah apa yang dipikirkannya sampai seseorang di luar kamar butuh beberapa kali mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni tersebut untuk mengembalikannya ke dunia nyata.

Bunyi ketukan itu berhenti ketika ia baru saja memasang niat untuk bangkit dari tempat duduknya. Mungkin saja seseorang di luar sana sudah menyerah dan memilih pergi.

Namun, sudah terlambat, posisi nyamannya sudah terlanjur berubah. Lagipula punggungunya sudah mulai terasa pegal akibat duduk dengan posisi seperti tadi dalam waktu lama. Ia tidak akan melanjutkan duduknya. Kakinya ia gerakkan menuju pintu kamar meskipun bunyi ketukan sudah sirna kira-kira tiga puluh detik lamanya.

Ia membuka pintu dan mendapati seorang gadis belia. Gadis berambut cokelat tersebut membungkuk padanya yang hanya dibalasnya dengan anggukan. Di tangan gadis itu terdapat kotak hitam berbentuk persegi panjang. Sang pria menatap malas kotak tersebut.

"Ini, Tuan, segala perlengkapan untuk nanti malam," kata si gadis.

"Hn," jawabnya sambil mengambil kotak tersebut. Tidak ada ucapan terima kasih.

Menyadari kehadirannya sudah tidak diinginkan lagi, sang gadis cepat-cepat membungkuk lalu mengucapkan kata permisi pada pria bertubuh jangkung tersebut. Lagi-lagi si pria hanya menampilkan wajah datar sambil menutup pintu.

Tubuhnya balik kanan dan berjalan ke arah kasur. Ia mendudukkan dirinya di sana. Dibukanya kotak tadi dengan tangan kanan. Tatapan malasnya semakin menjadi-jadi ketika iris cokelat itu melihat isi kotak yang sekarang ada di atas pelukannya.

Kemeja putih, jas hitam, dasi berbentuk kupu-kupu dan sepasang sepatu hitam yang mengkilat adalah isi kotak tersebut.

"Merepotkan."

Kata itu lagi.

Ia menutup lalu meletakkan kotak tadi sekonyong-konyong ke meja yang ada di samping tempat tidur. Tubuhnya yang tadi dalam posisi duduk ia baringkan. Tangannya, seperti biasa, berada di belakang kepala. Matanya, seperti tadi, menatap ke atas. Hanya saja bukan warna biru lagi yang ia lihat, melainkan cokelat kayu. Bola mata itu kembali menerawang.

Lima belas menit sudah ia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Kipas angin tadi masih berputar, tapi tetap saja peluh mulai ia rasakan menumpuk di punggungnya.

Ia menghela nafas panjang sebelum memutuskan untuk mengubah posisinya menjadi duduk kembali. Ditatapnya sebentar kotak hitam tadi sebelum tubuhnya ia berdirikan dan melangkah menuju cermin kecil di samping lemari.

Ia menatap pantulan bayangannya sendiri di benda itu beberapa detik saja. Hanya sekejap karena memang bukan itu tujuannya. Tangannya ia gerakkan menggeser bagian kaca, mendapati secarik kertas yang terselip di bingkai cermin. Ia mengambil kertas tersebut, memasang kacanya kembali dan kemudian bergerak menuju tempat tidur.

Lagi-lagi ia mendudukkan tubuhnya di sana. Dibukanya kertas yang terlipat tersebut lalu kemudian membaca isinya.

Ada sekian kalimat dan beberapa angka tertera di kertas tersebut.

Matanya kembali menerawang, kali ini ke arah depan, setelah ia selesai membaca isi kertas tersebut. Entah memang dibacanya atau ditatapnya saja, mengingat ini sudah yang kesebelas kali ia lihat tulisan-tulisan di kertas kekuningan sejak kertas tersebut berada di tangannya, kurang dari tiga bulan yang lalu.

Ia letakkan kembali kertas tersebut di tempatnya biasa menetap sebelum tangannya bergerak ke arah meja, mengambil sesuatu.

Kepulan asap ia keluarkan bersamaan dengan helaan nafasnya yang panjang. Ia menghembuskan asap pertama dari rokoknya yang ketujuh hari ini sebelum kakinya ia seret untuk kembali ke balkon.

.

.

.

Salah satu hal yang menarik dari sebuah negeri gurun adalah perbedaan suhu yang terbilang jauh antara siang dan malam hari. Jika siang kau bisa mati kepanasan, malamnya kau bisa menggigil kedinginan. Udara malam di negeri pasir terasa menusuk sampai ke tulang. Untuk alasan itulah pria ini memakai sebuah mantel panjang yang bisa mendekap tubuhnya dari dinginnya malam.

Ia memainkan pemantik api berwarna perak tersebut di tangannya. Membuka, lalu menutupnya. Begitu seterusnya sampai jempolnya terasa pegal. Sang supir hanya bisa menatap pria melalui kaca di atas kepalanya. Hanya ada bunyi pemantik api yang dimainkan serta suara mesin mobil yang sedang berjalan di jalanan Suna yang tidak datar yang menyapa indera pendengaran. Kalimat terakhir yang terdengar dari orang di dalam mobil itu adalah tempat tujuan si pria berambut hitam. Sang pria yang sepertinya mulai bosan, atau memang sudah dari tadi bosan, mengalihkan perhatiannya ke luar jendela, melihat jalanan Suna yang tidak terlalu gemerlap. Beberapa orang didapatkannya berlalu lalang. Tak lama setelah ia menghadapkan kepalanya ke jendela, dilihatnya tembok tinggi yang berdiri kokoh melintang membatasi negeri tersebut dengan daerah lain. Di atas tembok yang panjangnya kurang lebih dua kilometer itu ia melihat para tentara yang siap siaga jika sewaktu-waktu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Ia mengalihkan pandangannya dari luar jendela, sepintas terukir senyum di wajahnya. Bukan, itu bukan senyum bahagia. Senyum itu lebih tepatnya mewakili ironi-ironi yang berlalu lalang di kepalanya, di kehidupannya.

Ia menundukkan pandangan, menatap pemantik api yang masih berada di tangan kanannya. Tangannya baru saja akan tergerak untuk membuka pemantik tersebut kembali ketika suara sang supir menarik atensinya.

"Sudah sampai, Tuan," kata pria paruh baya tersebut.

Pandangannya beralih ke luar jendela lagi untuk sesaat, mendapati sebuah gedung besar sewarna pasir sudah berada di sebelah kanannya.

Ia mengambil beberapa lembar uang dari sakunya, memberinya kepada sang supir, lalu membuka pintu mobil dan keluar.

Ia tatap saja gedung di depannya untuk beberapa detik sebelum langkah kakinya membawanya menuju ke dalam gedung tersebut.

.

.

.

Ia disambut oleh beberapa pelayan berseragam formal di depan pintu. Tangan mereka menjulur ke arahnya, menawarkannya untuk membuka mantel dan menitipkannya pada mereka sampai acara di dalam sana selesai. Ia menurut. Barulah tampak sosoknya yang mengenakan semua perlengkapan yang ada di dalam kotak hitam yang diberikan oleh pelayan di rumahnya tadi sore.

Ia menegapkan posturnya. Jika sudah seperti ini, ia terlihat hampir sempurna. Badan yang tinggi dan kokoh, kulit putih yang sedikit kecokelatan akibat matahari Suna, tatapan tajam dan irisnya yang berwarna cokelat terang, pakaian yang rapi layaknya bangsawan serta mimik muka yang serius bisa membuat beberapa wanita sejenak mengalihkan perhatian mereka kepadanya sejak ia mulai melangkah memasuki kerumunan.

Sayangnya, hanya sekali dalam seribu tahun ia seperti ini.

Dalam hati ia tetap mengucapkan kata favoritnya berulang-ulang.

Merepotkan.

Ia teruskan langkahnya melewati tatapan nakal beberapa wanita di hadapannya. Ia tidak tahu harus kemana, mencari siapa. Hal terbaik yang bisa ia lakukan adalah pergi ke pojok ruangan, mengambil minuman lalu bersandar ke dinding sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya.

Semua laki-laki berpakaian kurang lebih sama seperti dirinya. Terbungkus kemeja dan jas ditambah dengan dasi yang menambah kesan formal. Sedangkan para wanita memakai gaun-gaun mewah beraneka warna. Beberapa tidak segan memamerkan bagian-bagian berharga dari tubuh mereka, beberapa lagi tetap terlihat sopan meskipun dibalut gaun pesta.

Dia terjebak.

Tentu saja dia terjebak. Ia benci pesta. Ia benci situasi hura-hura. Ia benci sekumpulan manusia yang membicarakan hal-hal tidak berguna yang tidak terlepas dari basa-basi.

Ia terus merutuki dirinya yang seharusnya berada di rumah sekarang.

Ia teguk minumannya sampai habis. Ia membalikkan badannya, bergerak untuk mengambil gelas kaca lain yang berisi cairan yang sama dengan gelas tadi. Namun, ia tidak perlu lagi melanjutkan langkahnya menuju meja.

Karena di hadapannya sudah berdiri seorang pria yang menyodorkan gelas yang baru saja akan diambilnya.

Untuk pertama kalinya ia memperlihatkan senyumnya malam itu.

"Tuan Shirogane," sapa pria kekar berambut cokelat di hadapannya sambil membungkuk.

Ia membalas sapaan setelah terlebih dahulu juga membungkuk. "Tuan Sabaku," ucapnya sebelum mengambil gelas di tangan pria itu, "dan terima kasih," katanya sambil mengangkat gelas tersebut.

"Terima kasih sudah datang. Senang melihat Anda malam ini," kata pria bermarga Sabaku.

"Sudah seharusnya saya datang," ia berkata sambil sedikit menolehkan kepalanya ke kanan, melihat beberapa orang tamu pesta. "Sebuah kehormatan bagi saya diundang oleh keluarga Sabaku untuk menghadiri pesta," lanjutnya.

"Kalau begitu nikmati pestanya, Tuan Shirogane. Semoga Anda senang," balas lawan bicaranya.

Ia tersenyum sebelum berkata "Shikamaru saja. Saya bukan bangsawan seperti kebanyakan orang di sini, Tuan Sabaku."

Bukan masalah bangsawan atau tidak bangsawan. Ini masalah tata krama. Dasar, Nanas bodoh.

Pria Sabaku terkekeh mendengar pernyataan orang yang bernama Shikamaru tersebut.

"Kalau begitu Anda harusnya juga memanggil saya dengan panggilan Kankuro saja," ucapnya di sela tawanya.

"Baiklah, Tuan Kankuro."

"Hilangkan kata Tuan-nya."

"Baiklah," ia tersenyum kikuk.

"Anda tahu kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Kankuro sambil memajukan wajahnya. Yang ditanya hanya tersenyum simpul.

"Ya, kami sangat menghargai Anda sebagai salah satu orang yang berpengaruh, atau mungkin lebih tepatnya saya bilang, yang akan berpengaruh di Suna. Jika bukan karena itu, Anda tidak akan ada di sini malam ini."

"Saya harap saya tidak mengecewakan Anda, Tuan Kankuro," balas Shikamaru sopan.

Si Sabaku terkekeh lagi. Apanya yang lucu, pikir Shikamaru.

"Sudahlah, terserah kau saja," katanya. Shikamaru hanya membalas dengan kekehan kecil sebelum meneguk minumannya.

Hening sejenak meliputi dua lelaki tersebut. Si pria berkuncir sepertinya tidak sedang tertarik untuk melanjutkan pembicaraan. Ada sesuatu dari pria tersebut yang tidak disukainya. Pria itu, pikirnya, terlihat seperti tipe orang yang banyak bicara, dan sialnya, Shikamaru adalah tipe orang yang berusaha mati-matian untuk tidak terlibat dengan orang-orang seperti itu.

Karena itu ia menyadari bahwa keheningan di antara mereka berdua tidak akan bertahan lama. Tepat di saat ia ingin mencari alasan untuk lenyap dari hadapan pria tersebut, sebuah suara terlebih dahulu menyelamatkannya.

"Hadirin sekalian, beri penghormatan tertinggi kalian untuk Tuan Kazekage," kata seseorang di lantai dua dengan menggunakan mikrofon.

Tepuk tangan riuh terdengar setelahnya. Suara telapak tangan yang beradu berganti hening saat lelaki berkepala merah mulai menuruni anak tangga satu persatu. Semua tamu pesta tampak membungkuk memberikan penghormatan.

Shikamaru melakukan hal yang sama. Saat ia tahu orang-orang di depannya kembali berdiri tegap, saat itu pula ia melihat sang Kazekage sudah berdiri di lantai yang sama dengan para undangan.

Ia juga kembali menegapkan badannya.

Pria Sabaku yang tadinya berdiri di hadapannya dengan cepat pamit lalu melangkah menuju tempat sang Kazekage berdiri.

Kazekage yang tidak lain adalah adiknya.

Kazekage. Pemegang tampuk kepemimpinan negeri Sunagakure. Yang menjadi pusat atensi orang-orang saat ini adalah Kazekage kelima sekaligus Kazekage termuda dalam sejarah Suna.

Shikamaru menghela nafas. Akhirnya ia selamat dari racauan pria tadi sebelum dirinya terpaksa harus berpura-pura akan ke toilet.

Ia melihat barisan petinggi-petinggi Suna. Ada dua baris. Baris kedua jelas saja diisi oleh para tetua dan penasehat. Baris pertama, tidak lain dan tidak bukan, diisi oleh Sabaku bersaudara.

Ada sang Kazekage sendiri tentunya. Pria berambut merah itu berdiri di tengah. Di samping pria itu berdiri kedua kakaknya. Pria berambut cokelat yang baru saja mengobrol dengan Shikamaru, dan satu lagi, perempuan berambut pirang. Shikamaru tidak tau persis siapa yang anak sulung.

Tiga saudara kandung, tiga warna rambut yang berbeda. Hebat, pikir Shikamaru.

Tidak seperti Kankuro, kedua saudaranya terlihat cukup pendiam. Aura mereka tidak seheboh Kankuro. Mereka setia memasang wajah datar daripada melemparkan senyum mereka kepada para tamu.

Tidak seperti Kankuro juga, dua saudaranya yang lain terlihat lebih...enak dipandang.

Jika ada survey mengenai siapa laki-laki yang paling diidamkan wanita se-Suna, hasil paling tinggi pasti diraih oleh sang Kazekage.

Usianya yang masih muda, wajahnya yang berwibawa serta pembawaannya yang tenang adalah beberapa dari seribu alasan mengapa wanita bisa tergila-gila padanya.

Sedangkan si perempuan di sisi kanan Kazekage, yang surai emasnya dibiarkan menggantung sepanjang bahu serta mata hijaunya yang tajam memancarkan karakternya yang mungkin, pikir Shikamaru, sedikit keras. Namun, Shikamaru tidak memungkiri mata itu bisa membius siapa saja yang menatapnya. Belum lagi wajah cantiknya yang bisa membuat lelaki manapaun terpana.

Shikamaru menunduk ketika tersadar ia terlarut dalam pikirannya. Ia meneguk sisa minumannya sampai habis dan meletakkan gelas kosong tersebut ke tempatnya semula. Jasnya ia rapikan dan ia maju beberapa langkah, bersiap untuk mendengarkan sambutan dari sang pemimpin Suna.

Seperti kata sambutan seorang pemimpin pada umumnya, lontaran deretan kalimat basa-basi membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh menit. Shikamaru hampir saja menguap lebar-lebar jika ia tidak pandai-pandai mengingatkan dirinya kalau ini bukan di rumah.

Kalimat-kalimat berikutnya hampir sama sekali tidak didengarkan oleh Shikamaru sampai akhirnya ia tersadar bahwa sang Kazekage sudah menyebutkan namanya sebanyak dua kali.

"...dengan ini saya ucapkan selamat datang di pasukan elit Sunagakure, dan terima kasih atas kinerja Anda yang luar biasa selama dua bulan terakhir. Berkat Anda, pasukan Otogakure menarik serangan mereka dari perbatasan Suna," ucap Kazekage dengan penuh hormat sambil menatap pria berkuncir tinggi yang baru saja kembali dari dunia lain.

Tidak ada hal lain yang bisa dipikirkan Shikamaru saat ini selain memberikan penghormatannya ke arah Kazekage dengan membungkukkan badan.

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan itu saat semua mata tertuju pada Shikamaru.

Shikamaru melemparkan senyumannya pada semua orang yang ada di sana, masih belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi.

Sambutanpun selesai dan ditutup dengan tepuk tangan meriah dari semua tamu. Sang Kazekage dan dua orang Sabaku lainnya duduk di tempat yang sudah disediakan. Para undangan kembali menikmati pesta, meneguk minuman dan mencicipi makan mahal ala istana, mengobrol hal-hal yang sama sekali tidak penting, atau berkelakar, tapi tidak bisa sepenuhnya dibilang berkelakar, karena sangat penuh dengan unsur tata krama dan tetek bengeknya.

Shikamaru tetap berdiri di tempatnya. Membalas sapaan orang-orang dan memandang beberapa orang tertentu dari kejauhan. Ia memutuskan untuk tidak mengobrol sebelum orang lain yang memulai pembicaraan dengannya. Pesta ini begitu merepotkan baginya.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia hampir mengumpat lagi dalam hati ketika mendapati siapa orang tersebut.

"Kazekage dan kakak saya ingin mengobrol dengan Anda," kata orang itu dengan senyuman.

Oh, Shikamaru tahu sekarang. Si wanita pirang adalah yang tertua di antara tiga Sabaku.

Shikamaru hanya bisa mengangguk lalu mengikuti langkah Kankuro pelan. Ia sedikit bersyukur, setidaknya bukan pria ini lagi yang ingin mengobrol dengannya, pikirnya.

Jika ia disuruh memilih, ia lebih suka berpura-pura menjadi orang sopan yang menjawab satu pertanyaan dengan satu jawaban daripada berpura-pura tertawa menikmati selera humor yang disajikan lawan bicaranya.

Iapun sampai di depan Kazekage, ia membungkuk sebelum menyapa.

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Kazekage. Terima kasih atas pestanya," ucapnya basa-basi.

"Terima kasih sudah hadir, Tuan Shirogane," balas si rambut merah tak kalah sopan.

"Selamat malam..." ada jeda satu detik di sana sebelum "Nyonya," sapanya pada kakak perempuan Kazekage.

Ia hampir lupa dan hampir saja memanggilnya dengan sapaan Nona, ketika dilihatnya seorang laki-laki datang mendekap tangan wanita pirang itu dari samping.

Hampir saja, pikirnya. Dia sudah punya suami.

"Selamat malam, Tuan," lanjutnya menyapa suami si pirang.

Yang disapa balas dengan membungkuk.

Tanpa disangka, wanita pirang itu mengulurkan tangannya.

"Saya mungkin tidak seterkenal adik-adik saya. Saya Temari, dan ini suami saya, Tuan Daimaru," ucapnya dengan nada datar, mengkhianati garis wajahnya yang sedikit angkuh.

Sekilas Shikamaru menatap mata hijau itu, ada kilatan di sana.

Shikamaru menyambut uluran tangan itu satu per satu, balik memperkenalkan diri.

"Shirogane," ucapnya. "Shikamaru Shirogane."

Ia menyebutkan nama lengkapnya.

Walaupun dia tahu orang-orang di depannya akan tetap memanggilnya dengan nama marganya, terkecuali Kankuro.

Pembicaraan berlanjut. Topiknya tidak jauh-jauh dari strategi perang. Bagaimana rencana Shikamaru selanjutnya dalam menghadap musuh, bagaimana Shikamaru bisa dengan mudahnya membuat panik pasukan Otogakure setelah dua tahun belakangan bersikukuh di perbatasan, hal-hal semacam itu sudah pasti menjadi topik utama pembicaraan mereka yang sesekali diselingi oleh lelucon Kankuro, yang juga tidak jauh-jauh dari perang.

Setidaknya ada dua dua orang yang benar-benar fokus dengan pembicaraan ini. Shikamaru, dan Kazekage kelima. Selebihnya, Shikamaru pikir, hanya berpura-pura menikmati.

Siapa yang mau membicarakan perang di tengah pesta?

Jika Kankuro dan Daimaru tetap memasang tampang serius saat mendengarkan pembicaraan membosankan ini, maka tidak begitu halnya dengan Temari.

Dari sudut matanya Shikamaru bisa melihat wanita pirang ini sudah lebih dari sekadar bosan sehingga ia berulang kali menolehkan pandangannya ke arah lain.

"Lalu bagaimana dengan Anda, Nyonya?" Shikamaru tiba-tiba bertanya.

Yang ditanya langsung mengalihkan kembali pandangannya yang sedari tadi terpaku pada kerumunan tamu di pesta.

Shikamaru tersenyum dalam hati melihat mimik wajah si pirang. Tidak ingin lebih jauh mengerjai wanita itu, ia memperjelas pertanyaannya.

"Bagaimana dengan Anda, Nyonya...apa yang akan Anda lakukan jika perang berakhir?"

Si wanita itu tampak berpikir sejenak, lalu menatap iris cokelat pria berambut hitam.

"Saya akan punya anak," jawaban yang membuat Shikamaru menaikkan alisnya.

"Saya tidak mau anak saya tumbuh besar dan terbiasa dengan perang," lanjutnya.

Temari mengambil jeda sedikit sebelum melanjutkan.

"Untuk itu saya berharap pada Anda, Tuan Shirogane..." ia menatap pria itu dalam.

"...akhiri perang ini. Saya melihat harapan ada pada Anda," sambungnya.

Shikamaru terdiam dan balik membalas tatapan itu. Hanya sejenak.

Lalu ia memberikan senyumannya kepada kakak sulung Kazekage tersebut.

Malam itu ia habiskan dengan memandang si sulung Sabaku dari kejauhan.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Udara Sunagakure menjelma menjadi paku yang menusuk-nusuk kulit.

Kesadarannya sedikit terganggu akibat ia meminum banyak minuman anggur di pesta tadi. Ia bersyukur bisa sampai di rumah dengan selamat.

Shikamaru disambut oleh pelayannya di depan pintu. Ia menghamburkan sekenanya mantel yang dikenakannya dari tadi ke arah si pelayan berambut cokelat. Ia tidak lagi mendengarkan kata-kata yang diucapkan pelayan tersebut kepadanya.

Dengan kantuk yang sangat berat, badannya mulai terhuyung, ia hendak berjalan cepat-cepat menuju kamarnya di lantai dua saat dilihatnya sosok yang tidak asing baginya sedang duduk di ruang tamu. Sosok itu memiliki rambut yang warnanya sama persis dengan warna pemantik api kesayangannya.

Shikamaru tertegun ketiga sosok itu menoleh padanya.

"Bagaimana pestanya, Shikamaru?" tanya suara itu tidak kalah dingin dengan udara di luar sana.

.

.

.

.

To Be Continued.

.

.

Author's Note: Halo semua. Ini adalah fanfic pertama saya. Saya sudah lama menjadi reader di fandom ShikaTema sebelum memutuskan untuk menulis fic ini. Saya gak tahan pengen nulis setelah ShikaTema yang udah canon inipun makin menjadi-jadi dipamerkan sama SP di anime :")

Jadi sesuai judulnya, fic ini terinspirasi dari lagu Anggun C. Sasmi dengan judul yang sama. Mungkin teman-teman bisa dengerin dulu lagunya sebelum lanjut baca fic ini, hehe :)

Doakan saya bisa update fic ini di tengah kehidupan saya sebagai mahasiswa tingkat akhir :")

Okay, sampai ketemu di chapter selanjutnya!

Your review is the highest form of love :)

- DesertLily7