Disclaimer and Credits : JK Rowling has it all but the Original Characters. They're mine.
Fanfic ini TIDAK dibuat untuk tujuan komersil.
CANON MODIFIED! Bagi yang tidak menyukainya, diperkenankan menutup halaman cerita ini.
Sudah diperingatkan ya.
Celoteh author :
To Ambudaff, finally fic ini saya rombak dan saya republish, ambu. ehehehe *senyum 3 jari*
To Nauri Minna-Uchisaso KSS and Adelaide Raverin, saya persembahkan kembali untuk kalian yang sudah sempat me-review dan mem-follow cerita versi sebelumnya. Terimakasih ya.
Fanfic ini saya muat kembali setelah lama tergeletak. Beberapa unsur saya buang dan beberapa unsur baru saya masukkan ke dalam fanfic ini agar sesuai dengan jalan cerita yang saya inginkan.
Oke, karena ini adalah Canon Modified, ceritanya masih berputar pada kisah si anak laki-laki bercodet dan tujuh tahuh hidupnya di dunia sihir. Saya menciptakan seorang Original Character utama dan beberapa OC pendukungnya. Disini saya mencoba mix & matchcanon versi film dan buku. Cerita ini sebagian besar mengambil sisi pandang dari OC yang saya ciptakan dan bagaimana interaksinya di kehidupan dunia sihir, tentunya juga pengaruhnya dalam kehidupan Harry Potter dan kawan-kawan.
Mungkin akan terdapat beberapa kalimat/situasi/adegan/percakapan/kutipan yang terasa familiar di sini. Karena saya memang mengambilnya dari buku, juga film HPPS.
Hati-hati untuk sesuatu yang garing dan juga tidak renyah yang mungkin ditemukan.
Linimasa cerita ini dimulai pada tahun 1991 dan mengikuti di buku.
Sekian celotehan tidak penting saya. Terimakasih dan selamat membaca.
oh iya, Don't Like, Don't Read, okay.
( Valerie Amber memasuki tahun pertamanya di Hogwarts. Tetapi ia jelas tidak menyukai rencana ayahnya ini. Meskipun begitu, Valerie terhibur dengan janji Fred dan George yang akan menjaganya. Itulah kenapa ia bersedia mengikuti saran ayahnya. )
Kereta Hogwarts Express
London, Inggris Raya.
Sebuah kota yang super sibuk.
London merupakan salah satu kota yang sangat dinamis setiap waktunya. Mayoritas penduduk kota ini sangat memperhatikan apa yang mereka kenakan di luar rumah, terutama apakah itu sedang up-to-date, atau malah ketinggalan zaman. Fesyen di kota ini memang tidak pernah mati, selalu ada hal baru yang bisa menjadi trendsetter setiap harinya. Bahkan ini pun tercermin pada bangunan-bangunan yang terdapat di kota tersebut. Terlihat sebagian bangunan di kota ini mengadaptasi gaya bangunan modern yang dilengkapi dengan teknologi terkini. Kota ini seakan tidak ada habisnya berkembang dalam berbagai bidang. Mulai dari fesyen, arsitektur, teknologi, bahkan sampai pola pikir manusianya.
Tetapi jika ditilik kembali dengan lebih detail, ada satu sudut kota London yang seakan tak terjamah oleh kebanyakan orang. Sebuah jalan yang tersembunyi di balik tembok panjang dan tinggi kota tersebut. Sebuah tempat yang tak pernah terlihat dan tak tertulis di peta manapun, dan bahkan juga tidak pernah tertera pada peta dalam bentuk apapun. Sebuah tempat dengan deretan bangunan-bangunan kuno yang masih apik dan tegak berdiri. Sangat antik. Tempat yang diketahui dan bisa dijamah oleh orang-orang yang memiliki darah penyihir.
Ya, penyihir. Kelompok minoritas yang telah lama dianggap punah oleh penduduk Inggris. Kenyataannya, mereka masih eksis sampai saat ini. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat bersembunyi dan berkamuflase dengan cukup rapi di antara para penduduk Inggris Raya, yang mereka sebut dengan muggle. Muggle adalah sebuah kode yang sengaja mereka ciptakan untuk menyebut kaum non-penyihir. Betapa cerdiknya mereka.
Diagon Alley, adalah nama tempat tersembunyi itu.
Diagon Alley menjadi nama sebuah jalan yang sepanjang sisi kanan dan kirinya dijejali oleh bangunan-bangunan bergaya kuno, dengan toko-toko yang menjual berbagai macam keperluan tak biasa. Mungkin jika seorang muggle secara ajaib terdampar di jalan itu, ia akan merasa seperti kembali ke abad pertengahan dengan melihat betapa kunonya bangunan-bangunan di sana. Karena sejak dulu hingga saat ini, Diagon Alley tak pernah mengalami perubahan berarti.
Dan jika kau berpikir untuk membandingkan toko-toko yang terdapat di Diagon Alley dengan toko-toko yang terdapat di Oxford street, itu adalah hal gila. Di sini kau tak dapat menemukan toko olahraga yang menjual skateboard, atau toko alat tulis yang menyediakan pulpen dan kertas berbagai warna. Kau akan menemukan yang lebih hebat dari apa yang kau bayangkan. Jika kau tak menemukan skateboard, sebagai gantinya kau akan menemukan sapu terbang berbagai jenis dan kecepatan dengan berbagai kebutuhan. Dan jika kau tak mendapatkan pulpen dan kertas, kau memiliki sebotol tinta dan sehelai pena bulu dari berbagai jenis unggas, serta segulungan perkamen dari kulit binatang atau kulit pohon untuk kau tulis. Hmmh, terdengar sangat kuno ya?
Yah, memang. Itu juga yang terlihat pada gaya berpakaian orang-orangnya. Para pengunjung Diagon Alley yang mayoritas adalah penyihir, suka sekali berpergian dengan menggunakan jubah panjang. Tak peduli apakah cuaca sedang panas-panasnya atau sedang dingin-dinginnya. Mereka tak mengenal apa arti fesyen seperti kebanyakan muggle. Karena menurut mereka, itulah ciri khas mereka. Dan mereka terlihat cukup nyaman bertahan dengan gaya itu. Lagi-lagi, tak pernah ada perkembangan berarti yang terjadi pada model fesyen para penyihir dalam satu abad terakhir. Jadi, jangan heran jika lima puluh tahun lagi kau ke sana, kau seakan baru ke sana lima hari yang lalu.
Pagi ini Diagon Alley dipadati oleh sebagian besar para orangtua yang sedang mengantar anak mereka berbelanja keperluan sekolah. Memang, karena liburan musim panas akan berakhir pada 31 Agustus mendatang. Dan surat dari Hogwarts–yang memuat daftar keperluan mereka untuk tahun ajaran berikutnya—telah datang melalui pos burung hantu beberapa hari yang lalu. Tidak heran jika hari ini pun Diagon Alley begitu sibuk dan ramai. Beberapa di antaranya terlihat anak-anak yang masih begitu lugu kebingungan dengan apa yang akan mereka dapatkan dengan daftar itu. Sebuah kuali, buku-buku tebal, jubah baru, baju hangat, bahkan hewan peliharaan.
Adalah Valerie, yang sedang berjalan menggandeng tangan ayahnya di antara kerumunan orang-orang sepanjang Diagon Alley. Ia adalah seorang gadis kecil yang baru saja memasuki usia 11 tahun. Ia berpostur tubuh mungil dengan mata sebiru laut. Valerie memiliki warna rambut yang cukup unik. Kau dengan mudah mengira kalau rambut gadis kecil ini berwarna hitam. Tetapi jika kau melihat rambutnya di bawah paparan sinar matahari seperti saat ini, kau bisa melihat rambutnya berwarna lebih merah. Ya, rambut Valerie memang berwarna merah kelam pada dasarnya. Dan ia selalu menyukai jika rambutnya diikat a la kuncir kuda, dengan poni yang menutupi seluruh dahinya.
Seperti kebanyakan calon murid baru lainnya, Valerie dan ayahnya datang ke Diagon Alley untuk membeli keperluan sekolahnya juga. Ini adalah tahun pertamanya menjadi siswa Hogwarts. Gadis kecil itu mendapatkan surat undangan dari kepala sekolah Albus Dumbledore sekitar empat hari yang lalu, ketika ia sedang menggambar seekor burung yang bertengger di dahan pohon tepat di seberang jendela kamarnya. Ia langsung menyerahkan surat itu pada ayahnya setelah melepaskannya dari ikatan seekor burung hantu coklat, dan tak terlalu peduli dengan isi surat itu.
Seperti yang sudah ia perkirakan, ayahnya pasti akan megajaknya untuk berbelanja beberapa kebutuhan sekolahnya di Diagon Alley. Maka di sinilah Valerie sekarang, melihat-lihat jejeran toko di jalan Diagon Alley yang sudah beberapa kali ia kunjungi. Ia sudah memiliki jubah baru, semua peralatan sekolah, dan juga buku-buku tahun pertamanya sejak beberapa hari yang lalu. Semua itu telah diantarkan ke rumahnya. Tetapi ayahnya hari ini sengaja membawanya ke tempat ini karena ia membutuhkan tongkat sihirnya sendiri. Banyak orang mengatakan tongkat yang memilih penyihir. Karena itu ia sendiri yang harus menemukan tongkat sihir yang cocok untuknya.
Dan perlu diketahui, Valerie membenci kegiatan ini. Ia tidak menyukai berada di tempat umum seperti ini. Terlalu berisik dan ramai menurutnya. Apalagi selalu saja ada orang yang menyapa ayahnya dalam beberapa langkah mereka berjalan. Dan setiap kali orang itu menyapa ayahnya, terkadang Valerie pun tak luput disapa. Mungkin memang hanya untuk kesopanan, tetapi ini tetap membuat Valerie tidak nyaman. Sesekali ayahnya terlibat sedikit obrolan dengan mereka, dan Valerie mencoba untuk bergerak tak nyaman pada ayahnya, sampai ayahnya sadar dan pamit undur diri dari percakapan itu. Seperti kali ini, seorang wanita yang tak dikenalnya mencoba untuk berbicara dengan ayahnya saat mereka sedang berada di depan Kantor Daily Prophet.
"Hai, Ben!" sapa wanita muda itu kepada ayah Valerie.
Ayah Valerie melihat wanita itu, wanita yang berpenampilan necis layaknya wanita kantoran di dunia muggle. Setelan kemeja lengan panjang dan celana bahan yang menempel pas pada tubuhnya, dengan rambut yang disanggul sederhana di belakang kepalanya, dan meloloskan beberapa helai rambut di samping wajah wanita itu. Dia memang seorang keturunan muggle yang bekerja di Daily Prophet, dan hingga sekarang ia masih bertahan tinggal di pemukiman muggle di pusat kota London. Tak heran gaya penampilannya lebih mirip muggle, tidak seperti kebanyakan penyihir.
"Hai, Clarisse. Apa kabar?" balas Ben, ayah Valerie.
"Baik," jawab wanita bernama Clarisse itu. Ia menatap Ben dan kemudian menemukan tatapan Valerie, ia pun menundukkan tubuhnya sambil tetap memandang gadis kecil itu.
"Dan kau pasti Valerie?" Clarisse mendongak meminta persetujuan Ben.
Ben tersenyum dan mengangguk. Valerie bergerak ke belakang tubuh ayahnya, mencoba bersembunyi.
"Apa kabar, Valerie?" tanya Clarisse, tersenyum.
Valerie semakin merapatkan tubuhnya kebelakang tubuh ayahnya sebagai jawaban.
Clarisse kembali menegakkan tubuhnya dan menatap ayah Valerie. Ia mencoba menyembunyikan kebahagiannya bertemu Ben Amber di Diagon Alley ini.
Ben memiliki tubuh tinggi dan tegap dengan rambut lurus berpotongan pendek dan sedikit berantakan berwarna coklat gelap. Ben memiliki warna mata coklat madu yang cemerlang, yang senada dengan warna amber, nama keluarganya. Ia adalah salah satu penyihir yang menyukai gaya berpakaian kasual a la muggle, yaitu celana jeans dan kaus oblong. Tetapi tak lupa ia selalu menambahkan sebuah jubah panjang yang menunjukkan identitasnya sebagai seorang penyihir.
Ben adalah seorang duda yang menjadi orangtua tunggal bagi Valerie saat gadis kecil itu berusia 7 tahun. Ben adalah seorang keturunan keluarga Amber, salah satu keluarga darah murni tertua yang pernah ada. Ia mewarisi seluruh kekayaan keluarganya di dunia sihir. Dan dengan otaknya yang cerdas, Ben berhasil membangun kembali bisnis keluarganya yang sempat hancur saat Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut masih berkuasa. Kini Ben tercatat menjadi salah satu pengusaha muda tersukses di dunia sihir. Inilah yang menjadi salah satu daya tariknya, selain fisiknya tentu saja. Dan Clarisse adalah salah satu wanita yang menjadi pengagumnya.
Clarisse adalah teman Ben selama sekolah. Ia masuk di tahun yang sama dan berada di asrama yang sama dengan Ben. Tak heran Ben cukup akrab dengan Clarisse.
"Omong-omong, tumben kalian ke sini?" tanya Clarisse.
"Kami akan membeli beberapa tambahan barang keperluan sekolah Valerie, Claire," jawab Ben.
"Wah, tahun pertamamu di Hogwarts ya, Valerie? Pasti menyenangkan," ucap Clarisse sambil bersikap ramah kepada Valerie yang masih bersembunyi di belakang tubuh Ben.
Clarisse melirik arloji yang melingkari lengan kirinya. "Oh Ben, maaf. Sepertinya aku harus cepat masuk ke dalam, aku sudah terlambat. Sampai jumpa, Ben."
"Oke, kami juga harus pergi. Kalau begitu sampai jumpa lagi, Claire."
"Sampai jumpa lagi, Valerie." Claire tersenyum dan berjalan memasuki gedung. Valerie hanya menatap kepergiannya.
Ada kelegaan di hati Valerie saat perbincangan singkat itu selesai.
Ayahnya kembali menggandeng tangannya. Mereka berjalan sedikit berdesakan di dalam arus orang-orang yang saat ini semakin memadati Diagon Alley, mencari celah untuk dapat menyusuri jalanan tersebut.
"Vally, mungkin lebih baik kita berpencar. Kau akan ke Ollivander, dan papa akan ke toko alat tulis untuk membeli peralatan lukismu, oke," ucap Ben pada Valerie saat mereka melewati Bank Gringgots.
"Nggak mau," jawab Valerie merengek.
Ben menatap anaknya dan menghentikan langkahnya, lalu ia mengajak anaknya beringsut ke pinggir jalan.
Valerie menatap papanya dengan pandangan memohon. "Aku ikut papa aja ke toko alat tulis, setelah itu kita bisa membeli tongkatku."
"Sayang," Ben merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan anaknya, "nanti pasti akan lebih lama lagi. Kau bilang kau ingin cepat pulang ke rumah, ya kan?"
Valerie masih terus menatap mata papanya. Valerie tidak menyukai ide ini, tetapi ia juga tidak ingin membantah apa yang papanya minta padanya. Di lain pihak, membayangkan dirinya berjalan di antara keramaian Diagon Alley seorang diri mendadak menguatkan rasa takutnya. Ia ingin menangis.
"Ayolah Vally, papa dan kamu kan menuju arah yang berlawanan. Ollivander lebih dekat dari sini ketimbang toko alat tulis di sana." Ben mengedikkan kepalanya ke arah toko yang akan mereka singgahi.
Valerie masih menimbang-nimbang ide yang ditawarkan papanya. Ia tetap ingin menolak ide itu, tetapi papanya benar, ia juga ingin cepat pulang ke rumah. Sebagai jawaban, Valerie melepaskan tatapannya dan menunduk.
Ben tersenyum. "Baiklah, papa akan mengantarmu sampai depan Ollivander dulu, setelah itu papa akan ke toko alat tulis. Kita akan bertemu lagi satu jam dari sekarang di depan Flourean and Fortescue, oke?"
"Oke." jawab Valerie dengan enggan.
"Oke. Ayo."
Ben berdiri menegakkan tubuhnya dan mengambil tangan Valerie, mengajaknya kembali menyusuri jalanan Diagon Alley menuju salah satu toko penjual tongkat sihir terbaik di Inggris, yaitu toko Ollivander.
Ollivander menjual berbagai macam tongkat sihir, ia membuatnya sendiri. Ia percaya bahwa setiap tongkat memilih pemiliknya. Kepercayaan yang aneh memang, tetapi ia mengatakan itu sering terjadi. Entahlah.
"Diagon Alley, WHOA! Ini keren!", langkah Valerie tiba-tiba saja terhenti, ia terkejut oleh sebuah suara di telinganya. Valerie mencoba memperhatikan sekitar, mencari dari mana sumber suara itu berasal.
"Ada apa, Vally?" tanya papanya saat menyadari langkah mereka terhenti dan melihat raut muka Valerie yang kebingungan.
"Ada yang berteriak barusan, pa."
"Siapa?"
"Aku nggak tau. Seseorang berteriak telingaku barusan," jawab Valerie sambil terus mengobservasi sekitarnya. Ia selalu dikejutkan oleh suara itu. Suara yang selalu tiba-tiba muncul di telinganya.
Ben bingung mendengar perkataan anaknya. "Papa tidak mendengar siapapun berteriak barusan," ucap Ben. "Mungkin kau hanya merasa mendengarnya, sayang. Diagon Alley hari ini memang sedang ramai. Ayo kita jalan lagi."
Valerie menuruti perkatan papanya dan mengabaikan suara itu. Sudah beberapa kali Valerie mendengar suara itu di telinganya. Kemunculan suara itu tak pernah menentu. Awalnya Valerie takut mendengarnya, ia mengatakan hal ini pada papanya, tetapi papanya tak pernah menggubrisnya, papanya berpikir Valerie hanya berhalusinasi.
Walaupun sudah terbiasa, terkadang suara itu tetap membuat rasa takutnya muncul. Bayangkan saja jika kau tiba-tiba mendengar suara orang lain di dalam kepalamu. Ia juga tidak tahu siapa pemilik suara itu. Valerie pernah berusaha untuk mencarinya. Tetapi nihil, tak pernah ada seseorang yang mirip dengan suara itu selama hidupnya. Dan untuk pertama kalinya ia senang mendengar suara itu pagi ini, ada kesan bahagia yang dipancarkan oleh suara tersebut. Entah mengapa Valerie merasa bersyukur untuk itu. Mungkin karena sebelumnya isi suara itu adalah nada keluhan dan kekesalan saja.
Ben meninggalkan anaknya di depan toko Ollivander dengan memberikan sekantung uang untuk membeli tongkat sihir, dan laki-laki itu melanjutkan langkahnya. Valerie menaruh kantung uang itu di dalam jubahnya, lalu sesaat memandangi punggung ayahnya yang kemudian menghilang di keramaian. Dan dengan sedikit gugup ia mulai memasuki toko.
Ini pertama kalinya Valerie berada di toko Ollivander. Ia melihat si empunya toko. Seorang lelaki tua dengan tampilan eksentrik dan mimik wajah bahagia yang menunjukkan senyumnya yang terlihat aneh. Mr. Ollivander terlihat cukup ramah kepada pelanggannya. Ia baru saja melayani seorang anak perempuan berambut keriting coklat yang datang bersama seorang wanita dengan rambut berwarna senada, Valerie pikir itu pasti ibunya. Setelah mereka keluar, Mr. Ollivander langsung tersenyum dan mengerti apa yang diinginkan Valerie. Valerie hanya mengangguk membalas senyum Mr. Ollivander.
"Sebuah tongkat sihir baru, nak?" tanya Mr. Ollivander.
"Ya, sir," jawab Valerie.
Mr. Ollivander memperhatikan sosok gadis kecil di hadapannya, menimang-nimang tongkat apa yang cocok untuk gadis kecil ini. "Tunggu sebentar," katanya kepada Valerie.
Mr. Ollivander langsung menghilang menuju ruangan di belakang konter tokonya, mencari-cari sebuah tongkat di antara ribuan tongkat yang terpajang rapi di lemari tokonya. Valerie hanya memperhatikannya dari balik konter.
"Apa kau datang ke sini sendiri, nak?" tanya Mr. Ollivander memecah kesunyian.
"Tidak. Aku bersama ayahku tadi."
"Oh, begitu. Aku tidak pernah melihatmu. Apa ini pertama kalinya kau ke Diagon Alley?"
"Tidak, sir. Ini bukan pertama kalinya."
"Ah, kita coba yang ini," ucap Mr. Ollivander saat menemukan sebuah kotak untuk Valerie. Ia bergegas kembali ke konter untuk memperlihatkannya pada gadis kecil itu.
"Siapa namamu?" tanya Mr. Ollivander saat ia mencoba membuka kotak berisi tongkat tersebut.
"Valerie Amber."
Mr. Ollivander berhenti membuka kotak itu dan beralih menatap Valerie. "Oh."
Valerie melihat ada rasa simpatik dalam tatapan itu, dan ia membencinya. Valerie tak suka tatapan itu. Inilah salah satu alasan mengapa ia tak suka sendirian berada di tempat umum, tatapan orang-orang terhadapnya selalu membuatnya risih.
Mr. Ollivander menyadari tatapannya dan segera mengusirnya, ia kemudian mencoba memperlihatkan senyum ramahnya. "Amber yang lain. Pantas saja aku tak pernah melihatmu di Diagon Alley. Putri dari Benjamin kalau begitu."
Valerie hanya mengangguk dan berusaha membentuk senyuman di bibirnya. Ia merasa lebih lega setelah melihat tatapan itu menghilang dari mata Mr. Ollivander.
"Ini. Dua puluh dua setengah senti, lentur dan fleksibel. Kayu holly dengan rambut ekor unicorn." Mr. Ollivander mengeluarkan tongkat itu dan memberikannya pada Valerie.
Valerie bersiap mengayunkan tongkatnya dan menatap Mr. Ollivander menunggu persetujuannya. Mr. Ollivander kembali tersenyum dan mengangguk. Lalu dengan cekatan Valerie mengayunkannya ke arah lemari di seberang konter. Dan—
—BOOM!
Keduanya terkejut menatap lemari itu kini rusak terbakar.
Mr. Ollivander dengan santai mengambil tongkat miliknya dari saku jubahnya, dan membetulkan lemari itu dengan beberapa mantra. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
"Aku pikir yang itu tak cocok untukmu," ucap Mr. Ollivander menatap Valerie.
Gadis kecil itu hanya menatap wajah si pemilik toko dengan rasa bersalah. Dan Mr. Ollivander tersenyum seolah mengatakan 'Tidak-apa-apa'. Ia kembali memasuki ruangan penuh tongkat itu.
Beberapa waktu kemudian Valerie telah mencoba berbagai macam tongkat sihir yang diajukan Mr. Ollivander. Dan kesemuanya sayangnya gagal, tak ada yang benar-benar cocok untuknya. Semua terasa aneh saat digenggam, ada yang terlalu kuat, terlalu lemah, atau tidak nyaman saat diayunkan. Valerie selalu saja merasa ada sesuatu yang kurang pas dari tongkat-tongkat itu.
Memang sulit mencari tongkat yang cocok di antara ribuan tongkat yang terdapat di toko tersebut. Dan telah berapa kali Mr. Ollivander bolak-balik dari lorong yang satu ke lorong yang lain untuk mencari tongkat yang dirasa cocok untuk Valerie.
Valerie sudah mulai lelah dan bosan dengan berbagai percobaan ini. Beberapa kali ia meledakkan lemari, memecahkan vas bunga, hingga menghancurkan meja konter kepunyaan Mr. Ollivander. Dan beberapa kali Valerie mendapati Mr. Ollivander menangkap tongkat yang akan diayunkannya, lalu pria tua itu menggeleng.
Valerie mulai berpikir untuk menyudahinya dan menerima segala jenis bentuk tongkat yang diberikan Mr. Ollivander padanya dan berpura-pura merasa cocok. Tetapi kemudian mata Valerie jatuh pada sebuah kotak tongkat berwarna gelap yang terletak di lemari sebelah konter toko. Ia tertarik untuk melihatnya dan mengulurkan tangannya untuk meraih kotak itu.
"Kau ingin melihat kotak itu, nak?"
Suara Mr. Ollivander mengejutkan Valerie. Ia kontan menarik kembali tangannya yang terjulur, merasa tidak sopan. Valerie tidak menyadari kalau Mr. Ollivander telah kembali dari lemari penyimpanan tongkat-tongkatnya.
Valerie menatap wajah Mr. Ollivander dan mengangguk yakin.
Mr. Ollivander menatap ragu kepada Valerie. Kemudian ia menaruh kotak yang dibawanya dan mengambil kotak yang ingin dilihat Valerie. Kotak itu tertimpa cahaya matahari yang masuk melalui jendela toko saat Mr. Ollivander menaruhnya di atas meja konter. Kotak yang kecil dan pipih. Mr. Ollivander meniup debu tebal yang menyelimuti permukaannya. Kotak kayu itu dibalut oleh kain beludru berwarna merah tua, tanpa hiasan apapun, sangat sederhana. Tetapi entah mengapa Valerie begitu bersemangat melihat kotak itu.
Mr. Ollivander kemudian membuka kotak tersebut. Terdapat sebuah tongkat kayu sepanjang 23,7 sentimeter, dipahat dengan ukiran sederhana, dihiasi gradasi warna coklat kayu yang indah.
"Apa kau yakin ingin mencoba tongkat ini?" tanya Mr. Ollivander.
"Ya, sir," jawab Valerie semakin mantap.
Mr. Ollivander menimang-nimang tongkat itu, bergantian menatap antara Valerie dan tongkat tersebut.
"Dua puluh tiga koma tujuh senti, indah dan kuat. Kayu cemara dengan inti separuh bulu phoenix."
"Separuh?" tanya Valerie yang terlihat bingung.
"Ya, separuh." Mr. Ollivander menjawab pertanyaan Valerie.
"Seekor burung phoenix memberikan sepasang bulunya bertahun-tahun yang lalu untuk aku jadikan inti dua tongkat sihir, nak. Peristiwa itu terjadi setelah tongkat pertama selesai dibuat. Aku tidak sengaja membelah bulu yang lainnya menjadi dua bagian. Ini memang kesalahanku," Mr. Ollivander menghela nafas, lalu menatap jauh keluar jendela.
"Karena tidak mungkin menaruh dua inti dalam satu tongkat, dua bulu yang terbelah itu pada akhirnya aku jadikan masing-masing untuk satu inti tongkat," ucap Mr. Ollivander, "dan ini salah satunya."
Valerie masih menatap wajah pria tua di hadapannya, ia tidak terlalu mengerti apa yang barusan Mr. Ollivander katakan. Lalu ia mengalihkan matanya kepada tongkat itu sekali lagi.
"Bolehkah aku mencoba tongkat itu, sir?" tanya Valerie.
Mr. Ollivander tersadar dari lamunannya kemudian menatap Valerie. "Oh ya, tentu saja."
Segera ia mengeluarkan tongkat itu dari kotak dan memberikannya kepada gadis kecil tersebut.
Valerie segera meraihnya dan menempatkan tongkat itu pada genggamannya. Seketika rasa nyaman menjalari telapak tangannya. Ada sensasi menyenangkan yang ditimbulkan tongkat itu kepada Valerie. Ia seperti menemukan kawan lama yang ia cari selama ini. Valerie mencoba untuk mengayunkannya, dan voila! Tongkat itu bereaksi seperti apa yang ia inginkan. Ia merasa ini tongkat yang cocok untuknya. Valerie tersenyum menatap tongkat barunya.
"Aku akan mengambil yang ini, sir." Ia merogoh saku jubahnya untuk mengambil kantung uang.
"Mustahil!" ucap Mr. Ollivander dengan nada terkejut.
Valerie mengalihkan perhatiannya ke arah wajah pria tua itu. "Maaf?"
"Aku selama ini selalu ragu untuk menjual tongkat itu dan juga pasangannya. Karena itu aku menaruh keduanya di atas lemari ini," jelas Mr. Illivander. "Apa kau benar-benar yakin akan membeli tongkat ini, nak?"
"Ya, sir. Aku menyukai tongkat itu saat aku menggenggamnya." Valerie tersenyum pada Mr. Ollivander.
"Tongkat yang memilih penyihir. Ya, begitulah seharusnya." Mr. Ollivander berbicara sendiri. Valerie hanya sepintas menatapnya dan tak peduli.
"Ini uangnya, sir. Aku ambil tongkatnya," ucap Valerie sambil memberikan sekantung uang pada Mr. Ollivander. Gadis kecil itu lalu melirik jam tangannya. "Maaf aku harus segera pergi, sir. Terimakasih."
Valerie bergegas mengambil kotak itu dan menaruh tongkat barunya di dalam kotak tersebut. Ia segera memasukkannya ke dalam jubah. Valerie terlambat, lebih dari satu jam sudah berlalu saat ia dan Mr. Ollivander sibuk memilih tongkat yang cocok untuknya. Kini setelah menemukannya, ia mencoba secepat mungkin pergi keluar untuk bertemu papanya di depan toko es krim.
Valerie baru saja menutup pintu toko Ollivander. Ia segera berbalik menuju jalanan saat tak sengaja ia nyaris menubruk seorang anak laki-laki berkacamata yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Mereka sontak sama-sama terkejut karena kejadian ini. Keduanya terdiam.
"Oh, maaf," ucap anak lelaki itu yang lebih dulu menguasai diri dari keterkejutannya. Rambut anak itu terlihat berantakan dan bajunya pun aneh, tidak seperti penyihir, tetapi juga tidak bisa dikatakan gaya muggle yang normal.
Valerie masih diam terkejut.
"Hai, Valerie. Beli perlengkapan sekolah juga, eh?" ucap sebuah suara berat yang berasal dari seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar yang berdiri di sebelah anak laki-laki itu. Valerie kembali menguasai dirinya. Ia awalnya tak menyadari keberadaan orang itu. Mungkin karena ia terlalu terkejut dengan pertemuan ini.
Valerie menatap anak laki-laki itu dan pria besar di sebelahnya secara bergantian. Kemudian ia memutuskan untuk mengacuhkan mereka, ia menunduk dan bergegas meninggalkan mereka, berlari ke dalam arus orang-orang yang berada di jalanan. Valerie tidak mengindahkan pertanyaan pria besar tadi kepadanya. Anak laki-laki itu menatap kepergian Valerie dengan heran.
"Kau mengenalnya, Hagrid?" tanya anak laki-laki itu kepada pria besar di sebelahnya yang ternyata adalah Hagrid, si penjaga kunci Hogwarts.
"Oh, ya, aku k'nal dia, Harry. Namanya Valerie, Valerie Amber," ucap Hagrid pada anak laki-laki bernama Harry tersebut. "Kasihan dia."
"Kasihan? Kenapa?" lanjut Harry bertanya, dengan masih berdiri di depan toko Ollivander memandang kepergian Valerie.
"Alami hal buruk beberapa waktu lalu. Dia jadi anak yang diam s'karang. S'benarnya dia periang dan sangat manis," jawab Hagrid. Harry masih menatap sosok mungil Valerie di kejauhan.
"Well, ayo kita masuk, Harry," ajak Hagrid sambil membuka pintu toko Ollivander.
Hagrid kemudian bersama Harry memasuki toko setelah tak dapat melihat sosok Valerie di antara orang-orang yang lewat.
——— o0o ———
1 September 1991.
Stasiun kereta King Cross pagi ini begitu sibuk dengan orang-orang yang berlalu lalang di antara peron-peron kereta. Tetapi tanpa disadari oleh mereka, peron 9 dan 10 menjadi peron yang terlihat paling ramai di antara yang lainnya. Anehnya, keramaian peron itu hanya mencapai tembok pembatas ketiga. Tak banyak yang menyadari bahwa sebagian orang-orang yang ikut meramaikan peron itu sudah menghilang menembus tembok, karena itulah tembok pembatas selanjutnya tidak seramai tembok-tembok pembatas sebelumnya. Dan tanpa mereka ketahui, orang-orang yang dapat menembus tembok itu kesemuanya adalah para penyihir.
Jika saja para muggle itu tahu, di balik tembok pembatas itu juga terdapat sebuah stasiun King Cross yang berbeda dengan yang mereka lihat sekarang. Di stasiun ini, semua ornamen masih terlihat asli seperti awal dibangun. Stasiun King Cross versi penyihir adalah salah satu stasiun yang cukup aneh. Dimulai dari bangunan stasiun yang terlihat selalu sama bagusnya seperti dulu, belum lagi nama-nama peron setiap pemberhentian kereta yang dirasa tak wajar. Sebuat saja salah satunya peron 9 3/4, terdengar tanggung. Atau lain halnya dengan keanehan yang ini, diketahui hanya ada satu kereta yang setiap tahun selalu menggunakan stasiun itu, yaitu Hogwarts Express, sebuah kereta model lama yang masih menggunakan mesin uap—dan juga sihir—untuk menjalankannya. Tapi itulah para penyihir, selalu terlihat eksentrik di mana pun mereka berada.
Hari ini adalah hari besar bagi seluruh siswa sekolah Hogwarts. Mereka akan kembali menaiki Hogwarts Express untuk kembali ke sekolah asrama mereka di bagian utara Inggris. Terhitung hari ini, mereka memulai tahun ajaran baru untuk tingkat selanjutnya. Bagi anak-anak tahun pertama, ini adalah momen yang cukup menegangkan. Bagaimana tidak, mereka masih harus menempuh perjalanan lebih dari 6 jam dengan rasa khawatir akan diseleksi masuk asrama mana selama di sana. Belum lagi keinginan orangtua mereka yang terkadang menuntut anak mereka harus masuk ke salah satu asrama yang menurut mereka paling bagus. Tak heran beberapa anak kelas satu terlihat sangat gugup.
Di antara kerumunan para orangtua dan anak-anak mereka, terlihat seorang lelaki berambut coklat dan seorang anak perempuan dengan kuncir kuda baru saja selesai menaikkan koper ke dalam salah satu kompartemen. Mereka turun dari kereta dan berdiri di depan peron. Seperti biasa, lelaki itu selalu saja bertemu orang-orang yang menyapanya, dan kebanyakan wanita. Dan seperti biasa pula, anak perempuan yang bersamanya terkena imbasnya. Anak itu pun tetap tidak menyukai kegiatan ini. Ia tahu ayahnya memang seorang pria yang baik dan ramah pada siapapun, ia juga tak heran banyak orang-orang yang menyukainya.
"Baik-baik di sana ya, sayang," ucap Ben saat mereka berdiri di sebelah tembok pembatas.
"Pa," panggil Valerie pada papanya.
"Hmm?"
"Apa papa udah nggak sayang lagi sama aku?"
Ben terkejut mendengar pertanyaan Valerie. Ia bingung. Mana mungkin ia tak menyayangi anaknya.
Dengan tenang, ia berusaha menanggapi pertanyaan Valerie. "Kenapa kau bertanya seperti itu, Vally? Tentu saja papa sangat menyayangimu. Kau adalah satu-satunya yang papa miliki. Tidak mungkin papa tidak menyayangimu."
"Tapi kenapa papa menyuruhku pergi ke Hogwarts?" tanya Valerie.
Ben tersenyum kali ini. Ia mengerti, anaknya khawatir pergi ke sekolah itu.
"Karena kau harus, sayang. Kau sudah berumur sebelas tahun, sudah waktunya untuk pergi dan belajar di Hogwarts," ucap Ben sambil mengelus pipi anaknya. "Kau akan bersenang-senang di sana."
"Benarkah? Aku nggak yakin." Valerie menunduk saat mengatakan kalimat terakhir. "Aku nggak mau pergi kesana, pa. Aku takut."
Ben menarik tubuh Valerie kedalam pelukannya. Ia mengerti rasa takut yang dirasakan Valerie saat ini. Tetapi lagi-lagi ia harus yakin bahwa inilah yang dibutuhkan anaknya, bersekolah di Hogwarts. Dan ini akan menjadi terapi yang baik untuk melupakan trauma masa lalu yang dialami Valerie.
"Hogwarts tidak akan seseram itu, Vally." Ben mengusap lembut rambut gelap putrinya. Putri satu-satunya yang sangat ia sayangi. Putrinya yang manis dan ceria. Tetapi karena beberapa hal buruk yang seharusnya tidak dialami anak seumurannya, kini ia menjadi pendiam dan tidak menyukai keramaian.
"Kau akan mempunyai banyak teman nantinya. Kau bisa menjelajahi Hogwarts, atau berada di perpustakaan sesukamu. Kau akan belajar banyak hal tahun ini, sayang." Ben mencoba merayu anaknya.
"Tapi aku udah nggak mau itu semua." Valerie menggeleng. "Kita bisa belajar mantra yang pernah papa janjikan padaku. Kita bisa belajar di rumah aja kan, pa?"
Ben melepas pelukan Valerie, menunduk dan menatap ke dalam mata biru anaknya. Ia selalu merasa tenang melihat mata itu, mata biru yang mirip dengan mata istrinya yang telah meninggal. Hanya saja istrinya memiliki warna mata biru langit.
"Tidak, Vally. Papa tidak bisa mengajarkanmu mantra itu sampai kau mahir memegang tongkatmu sendiri. Terakhir kali kau menggunakan tongkatmu, kau hampir menghanguskan jubah papa," ucap Ben. Ia menggenggam lembut kedua bahu putrinya. "Kau belum mahir dengan tongkatmu, sayang. Kau perlu belajar di Hogwarts bagaimana cara mengendalikan sihirmu melalui tongkatmu."
Valerie masih terdiam menengadah menatap mata amber papanya. Ia tiba-tiba terisak dan memeluk kembali papanya.
"Hogwarts menakutkan, pa. Aku nggak mau kesana lagi. Aku mau di rumah aja."
"Ssh. Semua akan baik-baik saja." Ben kembali mengelus rambut Valerie untuk meredakan isak tangis putrinya. "Kakekmu akan selalu menjagamu. Dia sudah berjanji. Kau akan aman di sana."
"Aku harap begitu," ucap Valerie. Ben tersenyum mendengarnya.
"Bagaimana kalau begini saja. Papa janji akan mengajarkanmu mantra itu saat kau pulang liburan Natal nanti. Tapi kau harus berjanji pada papa kalau kau akan belajar sungguh-sungguh untuk menggunakan tongkatmu sampai kau pulang liburan Natal, oke?"
Valerie melonggarkan pelukannya dan menatap kembali wajah papanya. "Papa janji?"
"Ya, papa janji." Ben tersenyum semakin lebar menjawab pertanyaan putrinya.
Senyuman Ben menular pada Valerie, kini ia ikut menyunggingkan senyum setelah mendengar janji papanya. "Aku akan mencoba menyukai Hogwarts seperti yang papa inginkan."
Ben mengecup lembut rambut putrinya. Lalu mereka melepaskan pelukan masing-masing.
"Oke, waktunya berangkat," ucap Ben.
"Oke," ucap Valerie enggan.
"Apa kau memiliki teman di kompartemenmu, Vally?"
"Ya," jawab Valerie, "aku berbagi kompartemen dengan Fred dan George, dan kata mereka juga akan ada teman mereka, Lee Jordan."
"Baik-baiklah dengan mereka. Fred dan George adalah anak-anak yang menyenangkan."
"Ya, mereka memang menyenangkan," ucap Valerie.
"Jaga dirimu baik-baik, sayang."
"Papa juga."
"Kirim surat jika sudah sampai."
"Baiklah."
"Kita akan bertemu lagi pada liburan Natal, oke?"
"Oke."
"Hogwarts Express? Wow, keren! Aku akan benar-benar pergi ke Hogwarts—oh tidak, mereka melihat kesini.", Valerie kembali terkejut mendengar suara itu di kepalanya.
Suara itu lagi! Dia mengatakan Hogwarts Express barusan, apa mungkin dia ada di dekat sini? Di stasiun ini juga?, batin Valerie.
Jangan-jangan dia murid Hogwarts, itu berarti dia ada di dekat sini. Aku harus menemukannya kali ini.
Valerie menjauh beberapa langkah dari papanya. Ia memalingkan wajahnya kesana-kemari mencari seseorang. Tetapi ia tak tahu siapa persisnya yang ia cari.
"Ada apa, Vally?" tanya papanya kebingungan.
Valerie tidak ingin membicarakan tentang suara-suara yang didengarnya pada papanya. Karena ia tahu, papanya hanya menganggap Valerie berhalusinasi.
"Tidak, bukan apa-apa, pa," jawab Valerie.
Dia pasti sangat dekat. Aku harus bertanya kenapa suaranya muncul dalam kepalaku. Tapi di mana dia? Yang mana dia?
Tak ada satu orang pun dalam jarak pandang Valerie yang bisa ia curigai sebagai pemilik suara itu.
Tak terasa jarum jam yang berada di ujung peron telah menunjuk ke angka 12, dan peluit tanda akan berangkatnya Hogwarts Express telah berbunyi memekakkan telinga. Seluruh murid Hogwarts Express berbondong-bondong naik ke dalam kereta. Terlihat beberapa orangtua yang melambaikan tangannya kepada anak-anak mereka.
Valerie menyerah mencari pemilik suara itu dan bergegas menuju gerbong kereta setelah ia memeluk papanya sekali lagi. Ia berdiri di depan kaca pintu yang baru saja tertutup. Kereta akhirnya mulai berjalan. Valerie ingin melihat wajah papanya yang terakhir kalinya pada musim ini.
Kereta Hogwarts Express mulai mempercepat lajunya, kini Valerie hanya bisa melihat samar-samar bayangan rambut coklat gelap itu. Setelah kereta itu berbelok, Valerie sudah kehilangan bayangan papanya, ia pun mulai menyeret kakinya menuju kompartemen.
Semoga teman Fred dan George itu tidak mengangguku nantinya, batin Valerie.
"Hey, Vally Amber."
Seseorang di balik punggung Valerie menyapanya. Valerie segera memutar kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya.
"Draco," ucap Valerie.
"Akhirnya kita memasuki tahun pertama di Hogwats bersama, eh?" Draco tersenyum pada Valerie.
"Aku yakin kita pasti akan berada di asrama Slytherin, Vally. Tempat yang layak bagi keturunan darah murni seperti kita, tentu saja," ucap Draco.
Valerie memutar matanya. Gagasan yang konyol. Setiap darah murni harus masuk ke asrama Slytherin, terlebih para keluarga darah murni yang terhormat. Valerie tidak pernah mengerti dengan gagasan ini. Terlalu aneh baginya. Mungkin karena kedua orangtuanya bukanlah berasal dari asrama tersebut, jadi ia merasa bebas berharap akan masuk asrama mana.
Sebuah ide terlintas di benak Valerie. "Mungkin aku akan berharap mereka memasukkanku ke Hufflepuff, Draco."
"Apa? Kau gila!" Draco terkejut dengan perkataan Valerie barusan. "Orang seperti kita tidak boleh berada di Hufflepuff, Vally. Tempat orang-orang dengan kemampuan yang biasa saja, tidak istimewa. Asrama yang menampung mereka yang ditolak oleh asrama lain."
"Hufflepuff asrama yang bagus, Drake. Kau tidak boleh membeda-bedakan setiap asrama seperti itu," ucap Valerie kesal.
"Emang kenyataannya begitu kan? Di Slytherin berisi kaum darah murni yang terhormat, Hufflepuff hanya berisi mereka yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa."
"Jangan berkata seperti itu, Draco. Kalau nanti saat diseleksi kau malah tidak masuk Slytherin, gimana?"
Draco terhenyak dengan pertanyaan Valerie, matanya terbelalak, lidahnya kelu, ia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu.
"Itu nggak mungkin, Vally," ucap Draco mendesis.
Valerie hanya mengangkat bahu tak peduli. "Entahlah. Aku cuma berpikir kalau itu terjadi."
Valerie kemudian menyeret kakinya meninggalkan Draco yang masih berdiri tertegun dengan ucapannya. Valerie tidak peduli dengan reaksi Draco. Ia hanya ingin sendiri sekarang.
Sesampainya di depan kompartemen, Valerie melihat tiga orang remaja berusia sekitar 13 tahun sedang berdiskusi serius hingga tidak memperhatikan kedatangan Valerie. Satu di antaranya berkulit hitam, yang kemudian diketahui Valerie sebagai Lee Jordan. Dan dua yang lainnya adalah sepasang kembar identik dari keluarga berambut merah, yaitu Fred dan George Weasley.
"—duduk dalam satu kompartemen dengan Ron." Valerie mendengar Fred Weasley, duduk sendiri sambil melengkungkan punggungnya kedepan kedua rekannya, sedang berbicara.
Valerie mengambil salah satu buku dari tasnya lalu menjatuhkan diri di sofa kosong sebelah Fred, yang menengok memberi senyuman pada Valerie, tanda ia mengetahui kedatangan gadis kecil itu. Fred kembali menolehkan kepalanya ke tempat di mana diskusinya dan kedua rekannya sedang berlangsung. Valerie mencoba tidak peduli dengan apa yang sedang mereka bicarakan, ia hanya membaca kembali bukunya, menghilangkan rasa bosan.
"Kau bercanda," ucap Lee Jordan dengan nada tidak percaya.
"Kami bersumpah Lee, dia punya bekas luka sambaran kilat di dahinya," ucap Fred.
"Kami menyadarinya setelah membantunya mengangkat kopernya ke dalam kompartemen." George menambahkan.
"Tidak mungkin," ucap Lee seraya mendengus. "Harry Potter yang terkenal itu ada di kereta ini?"
"Yah, ini kan tahun pertamanya di Hogwarts. Wajar kan kalau dia menaiki kereta ini bersama kita." Fred menjelaskan.
"Yah, tapi masih aneh bagiku, kawan. Sekian lama dia menghilang, sekarang tiba-tiba kalian bilang kalian bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan lelucon ini," ucap Lee.
"Kami tidak sedang bercanda, Lee. Ini sungguhan Harry Potter. Kami lihat sendiri bekas luka yang terkenal itu di dahinya." George meyakikan Lee, dan Fred menganggukkan kepala tanda setuju.
"Aku masih tidak percaya, kawan." Lee menjawab.
"Oh, apalagi sih yang membuatmu tidak percaya? Perlu bukti?" tawar Fred kepada Lee.
"Kalau begitu gimana kalau kita pergi ke kompartemen Ron sekarang, dan kami akan membuktikan bahwa Harry Potter juga ada di sana, oke?" sambung George menanggapi usul Fred.
"Oke, ayo kita buktikan," ucap Lee.
"Sekalian aja kita mencoba 'itu'," ucap George.
"Ide bagus, Forge," jawab Fred dengan seringainya. Lee hanya terkekeh.
Mereka bertiga telah sepakat untuk mengunjungi kompartemen di mana adik si kembar, Ron Weasley, berada. Ron juga memasuki tahun pertamanya di Hogwarts seperti Valerie.
"Hey, Val. Kami mau pergi sebentar. Well, kami harus membuktikan sesuatu pada Lee. Nggak apa-apa kan kalau kami tinggal sebentar?" tanya Fred saat mereka bertiga sedang berdiri, bergegas untuk keluar kompartemen.
"Oke. Nggak apa-apa kok," jawab Valerie.
"Oke kalau begitu."
Valerie melihat mereka keluar kompartemen dengan sebuah kotak sepatu yang dibawa Fred. Valerie tahu sekarang maksud George dengan 'itu'. Kotak itu diyakini Valerie sebagai hasil eksperimen yang dibawa Fred dan George dari rumahnya.
Lelucon lagi?, pikir Valerie geli.
George yang keluar paling akhir berdiri di depan pintu kompartemen dan berbalik badan menghadap Valerie. "Oh iya, Valerie. Mungkin kami akan kembali sekitar jam makan siang."
"Oke," ucap Valerie tersenyum.
"Bagus."
"Aku harap eksperimen kalian kali ini akan sukses." Valerie tak bisa membiarkan dirinya untuk tidak tersenyum lebar. George membalasnya dengan sebuah senyum jahil. Valerie mengerti apa yang akan mereka lakukan dengan kotak itu.
"Pastinya!" teriak George bersemangat. Ia pun berlalu menyusul Fred dan Lee, meninggalkan Valerie yang terkekeh dan kemudian kembali bergelut dengan bukunya.
Valerie mengenal Fred dan George sekitar dua tahun yang lalu dalam sebuah insiden. Itu juga terkait dengan lelucon yang mereka lakukan. Sejak saat itu Valerie mulai akrab dengan kedua bersaudara tersebut. Setiap liburan, terkadang Fred dan George mengunjungi rumah Valerie, yang memang terletak tak begitu jauh dari rumah mereka. Ben, ayah Valerie, juga menyukai si kembar karena mereka memang anak-anak yang menyenangkan. Ia senang dapat melihat Valerie tersenyum ceria saat bermain bersama mereka.
Terkadang Fred dan George mengajak Valerie bermain di The Burrow, sebutan untuk rumah keluarga Weasley. Tak jauh berbeda, orangtua si kembar pun sangat senang dengan kedatangan Valerie di rumah mereka. Ben sesekali menemani Valerie bermain di The Burrow saat akhir pekan. Ia begitu cepat akrab dengan orangtua si kembar, terlebih ayah mereka, Arthur Weasley. Mr. Weasley sangat tertarik dengan dunia muggle, dan Ben cukup berpengalaman dengan dunia itu, mengingat rumah keluarga Amber yang memang terletak di kawasan pemukiman muggle. Ben dan Valerie memang terbiasa berinteraksi dengan para muggle. Tak heran Mr. Weasley sangat antusias berdiskusi tentang dunia muggle dengan Ben.
Pemandangan di luar jendela kompartemen sekarang adalah hamparan bukit luas yang membentang dari depan ke belakang. Sinar matahari hari ini tidak begitu menyengat. Suara deru mesin kereta uap Hogwarts Express masih terus terdengar tanpa terputus. Sesekali suara sirine uap kereta berbunyi di kejauhan.
Valerie masih bergelut dengan bukunya. Inilah salah satu caranya membunuh kebosanan. Terlihat beberapa buku pelajarannya dan beberapa buku bacaannya tergeletak begitu saja di sebelah tempat duduknya. Fred, George, dan Lee belum kembali dari acara mereka mengunjungi kompartemen Ron Weasley. Dan Valerie kini sedang menyandarkan tubuhnya dekat jendela kompartemen, ia menaikkan kakinya ke atas sofa dan meluruskannya. Valerie sengaja menutup pintu kompartemennya dan memasang kain penutup jendela di pintu itu. Ia tak ingin terganggu oleh siapapun. Termasuk ganguan dari murid-murid lain yang melirik kepadanya dengan tatapan simpatik dan penasaran. Valerie membenci semua tatapan itu.
Valerie terlihat tak begitu peduli dengan keadaan di luar. Kalau itu adalah keributan yang disusul dengan gelak tawa, Valerie tahu bahwa itu adalah salah satu bentuk lelucon si kembar dan Lee Jordan yang sukses mengenai seseorang. Valerie tak kuasa tersenyum geli mendengar gelak tawa itu, ia turut membayangkan segala bentuk omelan yang ditujukan untuk Fred dan George yang malah tertawa mendengarnya. Fred dan George pernah berkata bahwa Hogwarts Express di awal tahun ajaran adalah lokasi paling aman untuk melakukan lelucon. Mereka menganggap di awal tahun ajaran baru, mereka mempunyai waktu dua bulan lebih untuk mempersiapkan lelucon yang akan mereka gunakan di kereta. Selain itu, di awal tahun ajaran seperti ini mereka tidak akan dapat detensi, tak ada poin asrama yang dipotong, dan pastinya karena tidak pernah ada profesor di Hogwarts Express, karena itu mereka semakin bebas merajalela. Bagus.
Ada sebuah kabar yang sudah sering di dengar Valerie dari desas-desus yang beredar. Harry Potter berada di tahun yang sama dengannya, dan ia menaiki Hogwarts Express sekarang. Ini tidak mengejutkan Valerie. Fred dan George sudah cukup meyakinkannya jika Anak—Lelaki—Yang—Bertahan—Hidup itu sekarang berada dalam satu kereta dengannya. Lagipula Valerie tak peduli siapa Harry Potter dan seperti apa sosoknya. Valerie masih memliki urusan lain yang lebih penting.
Sebuah troli makanan yang didorong seorang ibu-ibu telah menghampiri kompartemennya. Valerie merasa kelaparan. Segera saja ia mengambil beberapa keping uang dan membuka pintu kompartemennya. Ia membeli sebuah kue bolu, beberapa kue kering, dan jus labu dari troli itu. Tak lama kemudian seorang anak lelaki canggung bertubuh gemuk muncul di depan pintu kompartemennya.
"H-hai Valerie. Apa k-kau melihat katak punyaku lewat sini?" tanya anak laki-laki itu tergagap.
Sambil tersenyum prihatin Valerie menjawab. "Maaf Neville, aku tidak melihatnya. Kau kehilangan katakmu lagi?"
"Ya, dia kabur lagi," jawab Neville. "Baiklah, a-aku pergi dulu ya."
Valerie mengangguk sebagai jawaban. Neville langsung pergi dan Valerie pun menutup kembali pintu kompartemennya.
Kereta terus menuju utara, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin condong mengarah ke barat. Valerie masih asik bergelut dengan bukunya sambil sesekali melahap bolu dan jus labu yang tadi dibelinya. Ia ingin menikmati kesendirian ini.
——— o0o ———
Valerie kini sedang membetulkan ikatan kuncir kudanya dan merapikan jubah sekolahnya, seperti yang dilakukan anak-anak kelas satu lainnya yang juga merapikan penampilan mereka. Seorang guru Hogwarts yang dipanggil Hagrid sebagai Profesor McGonagall, baru saja memberitahu mereka tetang proses seleksi dan menyuruh mereka menunggu sebentar sebelum memasuki Aula Besar.
Sisa waktu di Hogwarts Express tadi dihabiskan Valerie untuk berganti baju dan merapikan kopernya. Fred, George, dan Lee kembali tak lama setelah pengumuman bahwa mereka akan segera tiba. Setelah berganti baju dan turun dari kereta, mereka bertiga meninggalkan Valerie bersama anak kelas satu lainnya dan berjalan menuju keluar stasiun. Valerie merasa takut ditinggal mereka pada awalnya, tetapi Fred dan George berjanji akan menemuinya setelah proses seleksi di Aula Besar.
Maka di sinilah Valerie sekarang. Di dalam sebuah ruangan kecil yang menyerupai sebuah kelas di sudut Aula Depan. Beberapa saat yang lalu mulai terdengar ramai kasak-kusuk setiap anak yang cemas akan proses seleksi nanti. Valerie sudah mengetahui semuanya, ia berterimakasih pada Fred dan George yang memberitahunya tentang bagaimana prosesi seleksi itu berlangsung. Kau akan menghadapi sebuah topi usang yang akan bernyanyi, lalu namamu akan dipanggil untuk memakainya, dan tiba-tiba topi itu meneriakkan sebuah asrama di mana kau akan ditempatkan. Selesai. Kelihatannya tidak begitu buruk memang.
Tetapi kecemasan mulai menghampiri Valerie saat ini, di asrama manakah ia akan ditempatkan. Dan ia kembali setengah berharap akan masuk Hufflepuff. Valerie berjalan sendirian menjauhi germbolan anak kelas satu yang masih asik berdiskusi. Bersandar di tembok ruangan, ia menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh mungilnya. Ia memandang ke sekeliling kastil. Takut, itu yang dirasakannya. Bukan karena seleksinya, tetapi karena bangunan kastil ini. Hogwarts begitu besar, begitu megah, begitu indah saat ia melihatnya dari ujung danau tadi, tetapi juga begitu menyeramkan. Valerie bergidik. Ia tidak menyukai kesan horor yang ditampilkan kastil ini. Terlintas di otaknya bahwa ia ingin kabur menuju stasiun Hogsmade untuk ikut Hogwarts Express kembali ke London. Ia rindu rumahnya dan juga papanya.
"Aku masih berharap kita ditempatkan di asrama yang sama, Vally," ucap seseeorang. Tanpa disadari Valerie, Draco Malfoy sudah berdiri di depannya. "Ravenclaw cukup bagus, tempat cendikia kalau kata ibuku. Ia menyukainya. Tapi ayah menginginkan aku masuk Slytherin, sama seperti dirinya. Kalau kau?"
"Aku tidak tahu, Drake. Ayahku tidak mengatakan apapun tentang asrama. Di mana pun aku akan ditempatkan, kurasa ia akan setuju."
"Kau tidak berharap mereka akan menaruhmu di Hufflepuff, kan?" tanya Draco yang masih mengingat percakapan mereka di lorong gerbong kereta tadi.
Valerie hanya menatapnya, ia sendiri kini ragu dengan keinginannya. Ia kemudian mengangkat bahu.
"Aku harap tidak, Vally. Masih lebih baik kalau kau masuk Ravenclaw atau bahkan Slytherin. Ibuku bilang kalau Hufflepuff bukan asrama terbaik yang dimiliki Hogwarts. Dan Gryffindor adalah asrama pembuat onar, asrama yang sering bikin kekacauan. Ayahku bercerita kalau anak-anak Gryffindor selalu sok pahlawan, berpikiran pendek. Ia tidak menyukainya."
"Entahlah, Drake. Bahkan aku tidak berharap berada di sini sekarang. Di asrama mana pun, aku tidak peduli," jawab Valerie.
"Ya, kau benar. Dulu ayahku sebenarnya ingin menyekolahkanku di Dumstrang. Tapi ibu menolaknya dan menyuruhku sekolah di sini," ucap Draco. "Aku sangat berharap mereka akan menempatkanku di Slytherin. Ayah benar-benar berharap aku masuk sana. Semua keluargaku Slytherin, Vally. Aku tidak boleh merusak tradisi. Kau tau, kan?".
"Ya, aku tau. Untunglah ayah dan ibuku berasal dari asrama yang berbeda. Jadi mereka tidak akan memaksaku masuk ke asrama manapun," jelas Valerie. "Aku doakan kau masuk Slytherin, Draco."
"Thanks." Draco tersenyum dan pergi meninggalkan Valerie untuk bergabung dengan kedua teman besarnya yang diketahui Valerie berasal dari keluarga Crabbe dan Goyle.
Sesaat kemudian terdengar beberapa anak menjerit, lalu di ujung ruangan terlihat segerombolan hantu baru saja masuk menembus dinding belakang mereka. Valerie selalu mengagumi keindahan hantu-hantu Hogwarts. Putih berkilau bagai mutiara, dan transparan. Mereka melayang di atas anak-anak kelas satu. Beberapa di antaranya sedang mengobrol dan berdebat tentang sesuatu.
"Minggir kalian. Upacara seleksi akan segera dimulai." Profesor McGonagall telah kembali menemui anak-anak kelas satu.
Satu demi satu, hantu-hantu itu mulai melayang keluar menembus dinding yang mengarah ke Aula Besar.
"Sekarang berbaris satu-satu," ucap Profesor McGonagall kepada anak-anak kelas satu, "dan ikuti aku."
Valerie mulai memasuki barisan dengan berjalan paling belakang, mengikuti anak-anak lainnya yang sudah jalan terlebih dahulu. Mereka memasuki Aula Besar, sebuah ruangan yang sangat luas dengan empat meja panjang berjejer di samping kanan dan kiri mereka, dan satu meja lagi yang ditempatkan melintang di ujung ruangan. Semua senior mereka telah menunggu prosesi upacara seleksi ini. Dan terdengar bisik-bisik di antara mereka, entah membicarakan apa.
Valerie mulai merasa gugup. Ia melirik ke kiri dan kanan, melihat beberapa anak menatapnya heran. Ia mencoba menghilangkan pikiran itu dan mulai mencari di mana Fred dan George berada. Sebelum menemukannya, Valerie dan anak-anak kelas satu lainnya sudah sampai di ujung ruangan, tempat upacara seleksi akan dilaksanakan.
Topi seleksi pun mulai melantunkan nyanyiannya. Valerie hanya mendengarkan setengah hati. Ia sedang disibukkan dengan kegugupan yang melandanya. Ia ketakutan, napasnya pendek-pendek, rasanya ia ingin menangis. Ia benar-benar tidak ingin berada di dalam ruangan ini.
Aku harus mulai membiasakannya. Mulai hari ini, aku harus membisakannya, batin Valerie. Ia mencoba menarik napas perlahan, menghilangkan kegugupannya.
"Topi itu bernyanyi? Dan ruangan ini benar-benar besar. Bagus sekali.", suara itu bergaung lagi di telinga Valerie. Ia terkesiap.
Apa? Orang itu ada di ruangan ini. Apa mungkin dia ada di antara anak-anak kelas satu ini juga?, tanya Valerie dalam hati.
"Oh tidak, nyanyian topi itu membuatku semakin gugup. Bagaimana ini?", suara itu berbicara lagi.
Dia gugup. Ya, dia gugup. Aku pasti bisa menemukan dia. Tetapi semua orang sedang gugup sekarang, bagaimana cara menemukannya?, pikir Valerie.
Terdengar riuh tepuk tangan seletelah topi seleksi itu berhenti bernyanyi. Lalu Profesor McGonagall mulai memanggil nama masing-masing anak untuk maju kedepan.
"Abbot, Hannah!"
Sejenak kemudian terdengar suara si topi berteriak. "HUFFLEPUFF!"
"Amber, Valerie." Profesor McGonagall menyebut namanya.
Ugh!, batin Valerie kesal.
Banyak orang terlihat berbisik-bisik di belakangnya, ia mencoba untuk tidak peduli dan terus maju kedepan. Ia kemudian duduk di kursi berkaki empat dan memakai topi usang yang ternyata terlalu besar untuknya, sehingga kini topi itu menutupi sampai ke matanya.
"Hmmh. Seorang Amber ya."
Terdengar sebuah suara memasuki telinga Valerie, suara yang berbeda dengan suara yang biasanya muncul kepalanya seperti sesaat sebelumnya. Suara ini begitu halus dan ramah. Suara dengan logat yang dirasa Valerie cukup kuno.
"Ternyata cukup sulit untuk menempatkanmu, nak. Kau punya keberanian, kebaikan hati, dan kecerdasan. Hal-hal yang diinginkan Gryffindor, Hufflepuff, dan Ravenclaw. Tetapi darahmu sangat kental akan keberanian."
Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin memiliki keberanian itu. Bahkan berada di sini saja aku takut, pikir Valerie.
"Benarkah kau takut? Aku bahkan tidak melihatnya. Aku hanya melihat rasa ingin tahu yang tinggi dalam dirimu. Kau juga mempunyai keberanian yang besar, nak. Jenis keberanian yang tidak semua orang miliki. Bukankah itu bagus? Aku tahu asrama yang cocok untukmu, kalau begitu aku akan menempatkanmu di asrama—"
TUNGGU!, Valerie berteriak dalam hati, berharap dapat memotong kata-kata topi seleksi. Bagaimana dengan asrama yang lain? Slytherin misalnya?
"Kau berharap aku menempatkanmu di Sytherin, eh? Aku mempertimbangkan Ravenclaw sebenarnya. Kau mempunyai kecerdasan di atas rata-rata. Tetapi kau tidak cocok menempati asrama Slytherin nak. Aku yakin itu.", topi itu berbicara lagi.
"Baiklah, asrama yang cocok untukmu adalah—"
Tapi—.
"—GRYFFINDOR!"
Valerie menghela nafas berat mendengar kata terakhir itu bergaung di Aula Besar.
Sudah diputuskan. Ia mendapatkan asrama Gryffindor, seperti ibunya. Ia mencopot topi itu, dan terdengar suara riuh dari meja Gryffindor. Ia melihat Fred dan George berteriak senang. Valerie masih merasa gugup, tetapi ia tetap melanjutkan langkah menuju meja yang ramai tersebut. Ia tidak sengaja melihat muka masam Draco saat melewati kerumunan anak-anak kelas satu yang menyingkir memberinya jalan.
"Selamat, Valerie," ucap Fred dan George berbarengan sesampainya di meja Gryffindor.
"Terimakasih," jawab Valerie memaksakan senyumnya, ia masih merasakan sisa kegugupannya.
"Selamat bergabung di Gryffindor, Valerie Amber," sapa beberapa anak di meja Gryffindor setelah ia duduk.
"Terimakasih," ucap Valerie lagi.
Dari tempat ia duduk, kini terlihat jelas meja yang melintang di ujung ruangan, meja itu telah ditempati oleh para guru dan juga seorang kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore.
Gryffindor. Kau juga di asrama ini kan, Mandy? Ternyata kita satu asrama. Kau dengar itu? Kita—Satu—Asrama. Oh, aku berharap kau ada di sini melihatku, ucap Valerie dalam hati.
Acara seleksi terus berlangsung. Ia kemudian mengetahui kalau Draco ditempatkan di asrama Slytherin. Ia bersyukur untuk itu. Orangtua Draco pasti bangga. Lalu Gryffindor mulai bertambah lagi penghuni barunya.
Valerie mendengar bisik-bisik yang semakin kencang setelah Profesor McGonagall memanggil nama Harry Potter. Dan di depan, terlihat seorang anak lelaki kurus dan berkacamata maju menghampiri bangku dan mulai memakai topi usang itu.
Anak itu! Anak laki-laki yang di depan toko Ollivander. Jadi dia Harry Potter?, Valerie cukup terkejut menyadari bahwa ia pernah bertemu anak laki-laki itu sebelumnya.
Suasana menjadi sunyi saat Harry Potter memakai topi itu. Valerie melirik ke arah Profesor Dumbledore yang terlihat gelisah dan penasaran dengan hasil topi seleksi. Valerie kemudian memalingkan tatapannya kembali ke anak laki-laki itu.
Dia bahkan membutuhkan waktu lebih lama dariku, pikir Valerie.
Lalu tanpa aba-aba, topi seleksi itu dengan lantang berkata, "—Lebih Baik, GRYFFINDOR!"
Suara tepuk tangan terdengar membahana di Aula Besar, tetapi suara paling riuh yang didengar Valerie adalah suara Fred dan George.
"Kami dapat Potter! Kami dapat Potter!"
Mereka seakan baru saja memenangkan sebuah lotre. Sungguh berisik.
Anak lelaki bernama Harry Potter itu pun berjalan menuju meja Gryffindor, terlihat lega, dan menjabat setiap tangan yang diulurkan para Gryffindor yang lain sambil tersenyum dan terus mengucapkan terimakasih kepada mereka.
——— o0o ———
Hari sudah larut saat Valerie baru saja selesai membereskan isi kopernya ke dalam lemari dekat tempat tidurnya.
Pesta penyambutan tahun ajaran baru telah selesai beberapa jam yang lalu. Valerie dan anak-anak kelas satu Gryffindor lainnya sedang berada di ruang rekreasi asrama tadi saat para Prefek memberikan pengarahan tentang di mana mereka harus menemukan koper masing-masing.
Valerie sudah mencoba berkenalan dengan beberapa anak perempuan kelas satu lainnya saat membereskan bajunya. Setelah itu ia mengganti jubah sekolahnya dengan baju piyama, dan kemudian naik ke tempat tidur. Ia mencoba mengingat kembali apa yang ia lakukan hari ini.
Hari yang melelahkan, pikir Valerie.
Perpisahan dengan ayahnya, perjalanan menggunakan Hogwarts Express yang cukup lama, topi seleksi, dan pesta awal tahun yang begitu meriah. Sesaat Valerie dapat melupakan rasa takutnya sepanjang pesta itu. Walau pada awalnya ia merasa risih dengan tatapan orang-orang yang ditujukan padanya. Ia bersyukur karena Fred dan George pada akhirnya memindahkan diri mereka mengapit Valerie. Valerie lebih merasa aman seperti itu. Selanjutnya seperti yang bisa ditebak, Valerie mulai rileks dan lebih bisa menikmati pesta yang ada. Ia pun dapat tertawa dengan lelucon-lelucon yang dilontarkan si kembar. Pada akhirnya ia terbawa euforia pesta tersebut.
Tetapi kemudian sesuatu yang aneh terjadi lagi. Sesaat kepalanya pusing, dan rasa sakitnya terasa seperti berpusat pada kepala sebelah kirinya, dekat dengan sebuah bekas lukanya yang kini sudah samar-samar tak terlihat. Valerie berpikir mungkin karena terlalu banyak kejadian yang dia alami hari ini. Mungkin karena ia kelelahan. Luka itu juga pernah terasa sakit saat ia melihat jasad ibunya sebelum dimakamkan. Luka dalam yang ia dapatkan saat terjatuh sewaktu kecil, itu yang dikatakan orangtuanya.
Valerie kemudian mengingat beberapa poin dari pidato Kepala Sekolah seusai makan, pidato itu berisi peringatan untuk menjauhi koridor terlarang di lantai 3, dan menghindari Hutan Terlarang yang menyeramkan, juga beberapa poin lainnya yang tak terlalu ditanggapinya.
Valerie kembali menatap langit-langit tempat tidurnya, ia tersenyum mengingat seseorang yang disayanginya.
Mandy, kau tahu, aku berada di tempat tidur anak perempuan sekarang. Apa ini dulu juga tempat tidurmu? Aku merindukanmu, Mandy, batin Valerie.
Ia menguap, merasa kantuk mulai menyerangnya semakin tajam. Hari yang berat memang bagi seorang gadis kecil berumur 11 tahun yang harus melawan gejolak hatinya seharian ini. Mata Valerie tak kuasa lagi menahan kantuk. Ia mulai memejamkan matanya, dan tertidur karena kelelahan.
— [ Selanjutnya, Chapter 2 ] —
chapter 2 sudah saya publish juga, anggap saja sebagai hutang yang dulu belum dibayar.
