Hari itu cuaca cerah, meski masih ada genangan air yang mengambang di hutan karena hujan kemarin. Suasana di hutan sihir hari itu sama seperti biasanya. Sepi dari kehidupan, karena yang tinggal di sini hanya 2 orang. Seorang manusia biasa dan seorang youkai penyihir.
Ini hanyalah sebuah kisah tentang mereka berdua, sepenggal kisah dari kehidupan mereka.
Eastern Story ~The Puppeteer's Story~
Seorang gadis berperawakan remaja berdiri di depan pintu sebuah rumah ala barat. Rumah itu nampak mencolok karena kelihatan masih kokoh dan terawat meski ada di dalam hutan.
Gadis itu berambut kuning panjang sesiku yang sebelah kanan depannya ia kepang dengan pita putih. Pakaiannya berwarna putih dengan rompi hitam di atasnya dan roknya yang berwarna hitam dengan celemek putih di atasnya. Dia adalah seorang penyihir, Kirisame Marisa adalah namanya.
"Alice, apa kau ada di dalam ze? Ini aku, Marisa!" Ucapnya agak lantang. Sikapnya yang selalu bersemangat itu masih belum hilang.
Aku sedang terduduk di kursi sambil membaca buku, dan tidak segera menyahut kepada teriakannya. Kalau mau mengunjungi rumah seseorang, apalagi kalau kamu itu seorang gadis, harusnya jangan berteriak-teriak memanggilnya dari luar.
"Alice! Kau ada di dalam nggak?" Teriakannya semakin keras saja. Yah, dia memang kurang sopan, jadi daripada telingaku rusak karena teriakannya, aku segera bangkit dari kursiku dan pergi ke arah pintu.
Cklak* aku membuka pintuku "Iya, ada apa-" selama sesaat aku berpikir seharusnya aku membawa penutup telinga saat itu.
"ALICEEEE!" Marisa berteriak sekeras-kerasnya, di depan mukaku. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan.
"..." Aku hanya bisa terdiam karena telingaku terus berdengung.
"Ehehe... Yo, Alice." Dia menyapaku dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Kenapa tidak langsung minta maaf saja sih?
"Marisa..." Aku tidak tahu bagaimana harus menyapa salamnya itu. 'Yo' bukan bahasa seorang gadis sepertiku biasa ucapkan. Dasar anak kampung.
"Sudah lama yah tidak bertemu ze!" Senyumnya semakin melebar. Kelihatannya dia berpikir aku tidak kenapa-napa setelah mendengar teriakannya tadi.
"Ya, sudah lama kita tidak bertemu." Jawabku agak malas. Basa-basi seperti ini memang tidak kusukai. Tapi memang betul, sudah lama kami tidak bertemu.
"Lama sekali yah! Kalau tidak salah..." Marisa memiringkan kepalanya, coba mengingat hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
"Sudah 95 tahun kita tidak bertemu." Jawabnya, setelah mengingat waktu yang belum tentu tepat, karena aku sendiri tidak ingat. Karena bagi penyihir sepertiku, satu hari, bahkan satu tahun itu, bagaikan sekejap mata.
Marisa pun aku persilahkan masuk. Tanpa disuruh dia langsung duduk di meja tempat biasa kami minum teh bersama. Sebuah meja bundar kecil dengan 2 buah kursi yang saling berhadapan.
Aku berjalan sambil membawa nampan yang berisi sepiring crackers coklat, 2 cangkir berisi teh hitam dan sebuah teko teh. Kuletakan nampan itu di atas meja, lalu meletakan secangkir teh di depan Marisa yang sedang duduk di atas sebuah kursi kayu antik. Aku duduk di depan Marisa. Kami saling berhadapan, bertatapan. Aku menanyakan pertanyaan paling wajar untuk kutanyakan di saat seperti ini.
"Jadi, kamu mau apa ke sini?" Entah sudah berapa kali aku menanyakan hal itu. Dan sudah lama aku tidak menanyakan hal itu kepadanya.
"Yah, cuma mau ngobrol aja ze. Aku baru saja selesai mendatangi beberapa tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi. Aahh, perubahan itu benar-benar tidak bisa kita hindari ze~."
"Kalau waktu sudah berlalu selama 95 tahun dan tidak terjadi perubahan justru akan terasa sangat aneh. Perpustakaan Patchouli pun semakin luas dan rasanya seperti sebuah dimensi lain."
"Ahh, Patchouli yah. Mungkin sehabis ini aku mau mengunjungi dia." Kamu mau mencuri lagi?
"Hei, ada apa dengan wajahmu itu? Aku tidak akan meminjam buku apapun darinya lagi ze!"
"Wajahku memang sudah selalu seperti ini. Dan aku tidak percaya kalau kamu tidak akan pernah mengambil apapun dari perpustakaan besar itu lagi."
"Beneran ze! Aku juga sudah mengembalikan semua buku yang kupinjam!"
"? Kenapa kamu melakukan itu?" Tentu aku heran karena bagiku Marisa tidak pernah meminjam buku, ia mencurinya. Mengambil buku itu secara diam-diam atau dengan paksa dari Patchouli.
Patchouli juga seorang penyihir seperti aku dan Marisa. Aku seorang pengendali boneka, Patchouli seorang penyihir yang ahli dalam mengendalikan 7 elemen, tapi dia selalu mengurung diri di dalam perpustkaannya. Dan Marisa... dia juga penyihir, tapi entah penyihir apa. Dia bisa melakukan sihir yang kebanyakan berwujud bintang dan laser, dan dia juga suka mengumpulkan jamur di hutan. Selain itu, sihirnya lebih terpusat pada kekuatan dibanding keindahan, meski bintang-bintang buatannya sendiri berwarna-warni, tidak seperti bintang-bintang di langit yang hanya bercahaya saja. Dia juga sering datang ke rumahku hanya untuk minum teh atau sekedar menghabiskan cemilan yang aku buat. Aku tidak keberatan sih dia melakukannya, dan setidaknya dia selalu mengatakan kalau cemilan buatanku enak dan itu...
Rasanya aku terlalu banyak mengatakan hal tentang Marisa, jadi mari kita lanjut ceritanya.
"Aku kan mau menepati janjiku! Aku dengar kau juga semakin seperti Patchouli. Mengurung diri terus di dalam rumah, apa kau tidak bosan ze?"
"Mau bagaimana lagi? Aku terus-menerus melakukan penelitian. Setelah kejadian di bawah tanah itu, aku semakin berniat untuk bisa membuat boneka yang bisa bergerak dengan sendirinya."
"Tapi kau sudah menemukan cara untuk bisa melakukannya, kan?"
Marisa tahu. Saat dia pergi ke bawah tanah, boneka yang kukirim dikendalikan oleh roh jahat, dan itu bisa dibilang bahwa bonekaku bergerak dengan sendirinya, tanpa perlu dikendalikan.
"Untuk mencapai satu tujuan, ada berbagai macam cara yang bisa kita tempuh. Mengandalkan roh tidak bedanya dengan menghidupkan orang mati dan membuat mereka bisa membalas dendam. Aku ingin bonekaku dapat hidup sendiri tanpa dikendalikan oleh apapun, atas keinginan mereka sendiri."
Ya, tujuanku mendalami sihir dan menjadi penyihir adalah supaya aku bisa membuat boneka yang dapat hidup. Dapat bergerak sendiri dan memiliki keinginan mereka sendiri. Bukan boneka yang dirasuki roh jahat seperti jelangkung atau semacamnya.
"Selain itu, aku dengar kamu bertemu dengan sebuah youkai boneka." Tanyaku pada Marisa, karena seingatku saat kejadian di mana bunga-bunga bermekaran tanpa sebab, aku sedang sibuk membuat boneka raksasa jadi aku tidak sempat berkeliling untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi.
"Ah, maksudmu Medicine? Aku peringatkan saja, jangan dekati dia. Omongannya mungkin terdengar pintar, tapi dia cuma bocah youkai yang sok tahu ze."
"Tapi dia itu boneka yang bisa bergerak dengan sendirinya, kan? Itu bisa dibilang tujuanku. Dia bergerak bukan karena pengaruh dari apapun. Bukankah itu hebat?"
"Alice, apa kau tahu tentang tsukumogami?"
"Tsukumogami?" Baru pertama kali ini aku mendengarnya.
"Benda-benda yang kita tinggalkan tapi masih dalam keadaan utuh, setelah seratus tahun akan menjadi youkai yang penuh dengan dendam. Ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan boneka yang dikendalikan oleh arwah itu ze. Yang mereka pikirkan hanya dendam saja. Mereka tidak akan memikirkan hal lain selain itu."
"Oh, begitu yah..."
"Yah, intinya sih mirip sepertimu. LOL"
"Apa maksudnya itu? Dan jangan menambahkan kalimat yang tidak kumengerti!" Apa maksudnya LOL? TOLOL?
"Tapi kau juga bisa mencobanya, kan? Coba saja buang salah satu bonekamu itu, pasti akan menjadi tsukumogami yang kuat karena kau merawatnya dengan sangat rajin."
"Jangan bicara omong kosong." Aku sedikit marah. Dia seenaknya mengatakan hal seperti itu kepadaku, apalagi dia masih saja memasang senyum di wajahnya.
"A... Aduh... Maaf yah, sepertinya aku salah bicara ze." Bagus kalau kamu sadar dengan kesalahanmu. Aku kira kamu akan terus tidak peka dengan perasaan orang lain. Terus-menerus tidak mengerti...
"Kalau begitu, sekarang giliranmu. Kamu bilang kamu mengunjungi beberapa tempat, kan? Nah, ceritakanlah tempat-tempat itu, aku sendiri rasanya sudah beberapa bulan ini belum keluar rumah."
"Buset, beberapa bulan... Pantas saja kulitmu sudah seperti boneka antik. Pucat pasi seperti itu ze.Tempat-tempat yang aku kunjungi yah? Mulai dari mana yah... Rasanya tempat-tempat itu sudah berbeda sekali, bahkan ada beberapa tempat yang menghilang dan ada tempat yang baru pertama kali kulihat. Begitu juga dengan orang-orang, ada orang yang baru pertama kali kulihat, dan ada mereka yang sepertinya sudah tidak ada dan berpisah dengan keluarganya. "
"Perpisahan, yah..." Itu pasti menyakitkan. Aku ingin mengatakannya, tapi aku rasa aku tidak perlu. Karena jika aku mengatakannya, dia akan berlagak sok kuat dan tersenyum sambil berkata 'Tenang saja, aku bukan orang berhati lemah seperti itu!' Dasar, kenapa kamu tidak mau jujur dengan perasaanmu sendiri?
"Iya. Kau juga harus bersiap untuk menghadapi perpisahan ze. Meski menyakitkan, tapi kita tidak boleh terus bersedih. Karena orang yang pergi itu, tentu pergi bukan karena ingin melihat kita menangis, kan?"
"...Yah, kamu benar juga." Saat mendengar dia berkata seperti itu, jantungku tiba-tiba saja terasa sesak. Dan tidak biasanya dia mengatakan sesuatu yang bagus seperti itu.
"Contohnya saja, si Remilia dan Yukari. Kau masih ingat sama si pelayan sok elegan itu ze?"
"Masih, kok." Dan kamu tidak perlu memberi dia nama julukan yang aneh seperti itu.
"Dia benar-benar menjaga janjinya! Maksudku, sekarang dia sudah tua, rambutnya... dari dulu memang putih sih, tapi dia sudah tua, seperti manusia yang lain." Marisa mengatakannya dengan penuh semangat.
"Bukannya itu hal yang bagus? Bisa melayani seseorang yang dia... yah, mungkin sukai sampai akhir hayatnya tentu adalah suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri untuknya." Aku kagum pada pelayan itu. Meski ini cuma kabar, tapi rasanya dia memang akan melakukan hal itu. Dia manusia, dari sejak aku mengenalnya sampai aku mendengar kabar dia yang sekarang.
"Sementara Remilia terus saja keras kepala dan tidak mau mencari pengganti. Padahal aku pikir, umur pelayan itu sudah tidak panjang lagi."
"Jangan mengatakan hal seperti itu tentang orang lain. Hidupnya... Hidup manusia itu lebih singkat dari kami youkai, jadi mengatakan kalau umurnya itu tinggal sedikit lagi..." Entah kenapa, aku merasa sedih saat mengatakannya. Mungkin karena perasaanku yang dulu, aku jadi merasa tidak enak membicarakan soal panjang umur antara manusia dan youkai.
"Ah, iya iya. Aku nggak sengaja ngomong begitu ze." Marisa terus berbicara sambil sesekali menggaruk-garuk belakang kepalanya. Sementara aku hanya menghirup sedikit demi sedikit teh yang ada di dalam cangkirku.
"Jadi, apa cuma itu yang mau kamu bicarakan?"
"Hei hei, kau itu kenapa sih? Seperti mau mengusirku saja. Kita kan sudah lama gak ketemu, jadi jangan bersikap dingin seperti itu ze." Iya, aku tahu. Tapi rasanya sulit untukku memasang senyum di wajah ini. Karena selama ini- selama lebih dari 90 tahun ini aku selalu sendirian.
"Kalau begitu, akan aku ceritakan salah satu pengalamanku selama menangani berbagai macam kejadian yang muncul di Gensokyo!"
"Kalau ceritanya terlalu panjang, aku tidak mau mendengarkannya." Aku menaruh cangkir yang sedari tadi aku pegang ke atas meja.
"Ehh!? Jangan begitu dong, Alice! Apa kau sangat ingin mengusirku?" Marisa mulai kelihatan khawatir karena mungkin dia berpikir kalau kedatangannya itu menggangguku.
"...Aku cuma bercanda kok." Yah, setidaknya aku masih bisa memasang senyum palsu ini. Setidaknya, ini lebih baik daripada terus bersikap dingin di depannya.
Marisa pun mulai menceritakan berbagai macam kejadian yang berhasil ia tangani, mulai dari kabut merah yang menyelimuti Gensokyo, jumlah roh yang meningkat drastis, sampai melawan seorang dewa. Aku mendengarkannya. Masuk ke kuping kiri, dan keluar di kuping kanan. Entahlah. Aku merasa tidak ada gunanya- atau lebih tepatnya, ada sesuatu yang selama ini mengganjal di pikiranku, tapi aku tidak tahu apa itu.
"Dan mungkin, nanti aku akan menulis buku lain dengan judul 'The Ordinary Adventure of an Ordinary Witch'! Bagaimana? Keren, kan?" ucapnya dengan penuh percaya diri
"Iya, benar-benar terdengar seperti sesuatu yang akan kamu buat." aku hanya mengiyakannya saja.
"Hei, itu pujian atau hinaan?"
"Tergantung bagaimana kamu menganggapnya. Ufufufu." Aku tertawa kecil. Rasanya aneh, karena sudah lama aku tidak tertawa.
"Yah, tidak apalah. Aku lihat-lihat juga Gensokyo sekarang benar-benar tenang dan damai. Rasanya tanpa dia pun tidak akan ada yang mau mengusik ketenangan ini."
"'Dia'... Maksudmu, Rei-" Kata-kataku dipotong begitu saja. Marisa langsung menyela dan mengatakan hal yang tidak pernah aku duga.
"Dia sudah mati." Marisa mengatakannya dengan wajah datar.
"Eh?" kenapa dia bisa mengatakan hal seperti itu semudah itu?
"Dia..." aku masih tidak percaya, karena dia mengatakannya dengan sangat tenang dan tanpa ada emosi sedikitpun di balik kata-kata itu.
"Maaf, kalau aku mengatakannya mendadak seperti itu. Aku pun, saat tahu dia sudah mati, rasanya... Yah, tentunya aku terkejut dan sedih, mungkin. Tapi aku tidak sesedih yang diriku kira ze. Aku tidak berteriak, menangis tersedu-sedu atau reaksi yang berlebihan semacam itu. Aku hanya terdiam saat Yukari mengatakannya, dan hanya mengatakan 'Oh, begitu,' lalu pergi dari kuilnya." Marisa mengucapkannya sambil terus menundukkan kepalanya, membuat ekspresinya sulit dilihat.
"Tapi, bagaimana bisa...? Dia itu kan sangat kuat..."
"Alice, mau sekuat apapun dan sehebat apapun dia, dia tetaplah hanya seorang manusia. Kau sendiri tahu 'kan? Umur manusia dan youkai itu berbeda. Mau kau bisa mengalahkan dewa atau youkai apapun, manusia tetap manusia. Umur mereka tidak akan pernah berubah batasnya."
"..." aku hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan Marisa.
" Yukari sendiri hanya mengatakan beberapa hal saja, dia cuma bilang kalau dia akan segera mencari Miko Kuil Hakurei yang baru ze. Aku sudah melihat orangnya sih, tapi kemampuannya benar-benar masih jauh di bawah dia."
"Kamu bilang, kamu sedih saat mendengar dia meninggal. Apa sekarang pun, kamu masih...?" Aku tidak tahu kenapa, tapi aku ingin menanyakannya.
"Apa menurutmu, wajahku ini menunjukkan kesedihan, Alice?" Marisa mengangkat kembali kepalanya. Kulihat ekspresinya yang seperti biasa. Penuh semangat dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Bagiku, itu adalah topeng paling jelek yang pernah kulihat.
"Sedih. Kesedihan yang sangat dalam." Aku kembali meminum tehku. Sesering dan sebiasa apapun Marisa berbohong, kebohongan tetaplah kebohongan. Pasti akan ketahuan.
"Rupanya kau menyadarinya ze?" Wajahnya masih tersenyum.
"Iya. Aku sudah biasa dibohongi olehmu, jadi itu bukan hal yang sulit untuk kuketahui." Aku kembali meminum tehku, sementara Marisa sama sekali tidak menyentuh teh ataupun cemilan yang aku sajikan. Dia pun mulai mengganti topik pembicaraan.
"Melampaui dia adalah tujuan- alasan kenapa aku terus melakukan eksperimen dan mempelajari sihir-sihir baru. Tapi setelah dia tidak ada, rasanya aku sudah kehilangan tujuan dalam hidupku ze. Rasanya..."
'Rasanya tidak ada lagi artinya untukku tetap hidup.' Apa itu yang ingin kamu katakan, Marisa?
"Rasanya aku harus mulai mencari tujuan lain dalam hidupku." Marisa kembali membuatku terkejut. Dia mengatakannya sambil menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit rumahku. Seakan yang dia lihat di atas sana adalah sekumpulan bintang yang bersinar terang. Bintang-bintang penuh warna yang selalu menjadi ciri khasnya.
"Setelah dia tidak ada, aku kira tidak ada lagi yang perlu aku lakukan dan aku bisa malas-malasan ze."
Marisa... Dia tidak putus harupan. Dia terus menatap ke depan. Meski terkadang dia menengok kembali ke belakang, itu hanya untuk meyakinkan dirinya, bahwa selalu ada harapan di masa depan. Sungguh... aku sungguh iri padanya...
Dirinya yang selalu bersinar, meski tak seterang cahaya matahari, tapi selalu menarik perhatian orang. Bagaikan bintang yang berkilauan...
"Aku sadar. Selama ini, setiap ada kejadian yang terjadi, aku hanya berada di belakang dia. Yang aku bisa lihat hanyalah punggungnya yang kecil, tapi terasa begitu kuat, dan membuatku merasa 'Aku akan tetap aman, selama aku berada di belakangnya.' Tapi, setelah dia tidak ada aku tidak bisa terus-menerus berpikir seperti itu."
Kilauannya itu...
"Aku terus mempelajari berbagai macam sihir, melakukan banyak eksperimen, dan akhirnya..." Marisa kembali menatap ke atas sambil merentangkan tangan kanannya ke atas.
"Aku menjadi seperti 'ini'..."
Kilauan Marisa, terus-menerus bertambah terang. Membuatku sulit untuk tetap memandangnya.
"Hei, Alice. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
Aku pun tidak tahu, apakah aku sanggup, atau masih ingin
"Apa kau membenci diriku yang sekarang?"
tetap berada di sisinya.
"Apa yang kamu bicarakan-" lagi-lagi dia memotong perkataanku
"Aku serius." Saat aku melihat ke arahnya, wajahnya itu benar-benar serius. Belum pernah aku lihat Marisa serius seperti ini. Dia benar-benar sudah berubah...
"...Ya..." Meski pelan, tapi aku yakin Marisa bisa mendengar perkataanku itu dengan jelas.
"Kenapa?" Marisa menyilakan kedua tangannya di atas meja. Wajahnya masih serius. Matanya mencoba menggali apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranku.
"Karena sejak dari dulu juga, aku sudah membencimu." Tidak. Bukan itu alasannya. Bukan itu yang ingin aku ucapkan.
"Hmm... Begitu, yah..."
Jangan menerimanya begitu saja. Kenapa kamu tidak pernah tahu apa yang sebenarnya aku rasakan? Kenapa kamu sangat tidak peka terhadap perasaanku!?
Dan kenapa... kenapa aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya sendiri...?
"Tapi Alice, aku sudah berubah dibandingkan diriku yang dulu ze." Kini kulihat dia tersenyum. Bukan senyum lebar yang biasa ia tunjukan, tapi senyum kecil yang penuh dengan keyakinan.
"Tidak... Kamu sama sekali tidak berubah..."
"Apa yang kau bicarakan? Mana mungkin selama lebih dari 90 tahun ini aku tidak berubah?"
"KAMU SAMA SEKALI TIDAK BERUBAH!" Kenapa yang bisa aku katakan padanya, hanyalah kekesalan, dan kebencian saja?
Aku langsung menggebrak mejaku. Aku langsung berdiri dari kursiku, dan tanganku masih menempel di atas meja.
"Sejak kamu pergi... Sejak kamu mati 95 tahun yang lalu..." Aku... sudah tidak kuat terus berpura-pura seperti ini...
Aku sudah tahu kenyataan yang kuhadapi. Marisa yang ada di hadapanku ini, memanglah Marisa. Dia memannglah masih Marisa yang dulu. Tapi dia... bukan lagi manusia.
~The Puppeteer's Story~ END
