PJO is Rick Riordan's mine.

Happy Reading

Mataku bergulir, menatap kekasihku yang terbelalak dalam keterkejutan yang amat sangat. Aku tak bisa menahan diriku untuk menyeringai, meski mulutku tertutup ah tidak, menutupi sebuah mulut lain yang pemiliknya juga begitu terkejut dengan perbuatanku. Pacar wanitaku menangis dalam diam, merasa tersakiti sementara orang yang kucium mendorongku menjauh dengan wajah memerah, campuran antara malu dan marah. Yah meski cenderung ke marah sih. Karena satu, dia telah kucium tanpa pemberitahuan, dan kedua dia itu seorang pria tulen adik kelasku yang manis dan menawan. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku adalah seorang gay atau biseksual, tapi aku merasa tidak rugi jika aku mencoba untuk menciumnya.

Wanitaku berjalan mendekat, menamparku serta kencang berteriak menjijikkan sebelum berbalik dan pergi. Tapi toh aku sama sekali tak keberatan jika dia meninggalkanku. Entahlah seluruh perhatianku tertuju pada satu orang yang tengah menutupi mulut sambal terengah-engah seolah sedang menggodaku untuk menciumnya sekali lagi.

"Kau gila!" semburnya setelah berhasil mengambil nafasnya kembali.

"Tidak," jawabku ringan. Menjilat bibir dan ibu jariku dengan gerakan sensual. Tak lupa juga seluruh perhatianku tertuju padanya, mengintimidasinya. "Salahmu karena kau begitu manis untuk di lewatkan, Nico."

"Brengsek, kau sudah memiliki kekasih Percy. Annabeth, dia kekasihmu. Dan kau malah menciumku, membiarkannya pergi sambil menangis. Kau brengsek, Percy."

Cukup dengan acara mencomoohnya. Kupojokkan lagi dirinya pada dinding di belakangnya, aku sedang tidak dalam keadaan ingin memikirkan Annabeth. Dan aku juga tidak ingin orang lain memikirkannya. Jadi kutangkap tangannya yang mencoba melawan. Tangannya yang kecil dan seputih tulang. Seolah transparant, seolah dia adalah orang yang tidak pernah terkena cahaya matahari sedikitpun. Membuatnya terlihat begitu rapuh dan sangat mudah diserang.

Kututup mulutnya lagi. Kali ini lebih intens lebih dalam. Dia memberontak namun dengan sigap ku letakkan kakiku diantara kakinya. Membuatnya tersentak. Aku menyeringai, menjauhkan wajahku darinya. "Kau menyukainya, Nic," bisikku dalam di sebelah telinganya. Membuatnya merinding. Ah kenapa responsnya begitu manis. Jauh lebih manis dari pada Annabeth. Membuatku menginginkannya lagi. Respons semacam apa yang akan dia tujukkan jika kau melakukan hal itu padanya ya? "Jujur saja pada dirimu. Kalau kau jujur mungkin aku akan memberikan sesuatu yang lebih."

Tapi itu tidak akan kulakukan sekarang. Tidak sekarang. Tidak di belakang gedung olah raga yang rawan bila ada orang yang melihat. Hah bahkan Annabeth telah melihat kami duluan, bukannya seharusnya tak apa? Tapi tidak bisa. Tidak boleh. Masih ada banyak waktu.

Dan sialnya aku terlalu terfokus pada apa yang kupikirkan hingga tidak tahu ketika Nico telah mendapatkan celah. Dia mendorongku keras. Membuatku terhuyung-huyung. Dan dengan cepat memukul telak wajahku membuatku tersungkur karena tidak mendapatkan keseimbangan.

Aku terkekeh. Namun hal itu hanya membuatnya muak, "Pukulan macam apa itu?"

"Keparat, jangan pernah coba-coba menemuiku lagi, Brengsek!"

Nico pergi menjauh meninggalkan gedung belakang olah raga cepat-cepat. Seolah tidak ingin lebih lama lagi bersamaku. Seolah dia telah membenciku setengah mati. Yang bisa kulihat hanyalah punggungnya sebelum dia menghilang.

Di tempat dimana Annabeth memukulku, huh?

Seolah aku mendapat peringatan bahwa dua orang ini telah menolakku mentah-mentah. Aku membaringkan tubuhku di rerumputan. Menutup mataku, hanya untuk mengingat apa yang membuatku tergoda pada bibir ranum Nico di Angelo yang notabene juga seorang pria. Dan aku juga pria tulen.

Kalau tidak salah aku mendapat hukuman karena tidak ikut kelas olah raga. Itu adalah dengan membersihkan rumput di belakang gedung olah raga. Karena aku malas, maka aku menarik Nico di Angelo yang sedang lewat. Memintanya membantuku, dan setelah itu … yang kutahu adalah aku tak bisa mengalihkan perhatianku dari bibir Nico yang terus menggerutu karena dengan seenaknya kuminta untuk membantuku menyelesaikan hukuman. Entah karena aku kesal karena dia menggerutu terus, atau memang mulut itu terlihat begitu menggoda jadi aku menciumnya.

Sialnya Annabeth memergokiku sambil berkata, "Kau sudah selesai Percy, biar kuban-," Dan hupla dia melihatku mencium Nico di Angelo. Dan kejadian berikutnya telah di paparkan di atas.

Masalahnya sekarang adalah kenapa aku sama sekali tak masalah ketika Annabeth pergi sambil menangis? Itu bukan hal yang di lakukan oleh pria. Tapi entah kenapa aku malah masih penasaran dengan reaksi-reaksi Nico di Angelo? Padahal aku tahu dia membenciku setengah mati. Kenapa ya?

Persetan lah. Aku mengusap wajahku kasar, kemudian segera menatap ke arah dimana lelaki hitam tadi pergi, namun bukannya menemukan seorang lelaki mungil dengan seragam di balut jaket penerbang. Aku melihat rekan seperjuangan berambut pirang yang menjengkelkan berdiri sembari memasang wajah mencemooh.

Bola mataku berotasi, "Katakan yang ingin kau katakan, bung. Aku tahu berita menyebar dengan cepat."

"Annabeth datang sambal menangis ke Piper, aku berkata akan pergi dan memberimu pelajaran. Tapi sepertinya kau sudah dapat tinju mentah di pipimu," dia tertawa mengejek. Duduk di sebelahku sambil menatap ke depan. Seolah enggan berkata. Tapi aku tahu dia bakal mengatakan apa yang dia pikirkan, "Kenapa kau mencium Nico di Angelo? Kau tidak … maksudku kau tahu."

"Gay bung, itu namanya Gay. Kenapa kau harus bingung memilih kata sesederhana itu? Yah terserahlah, tapi jawabannya tidak. Aku tidak Gay, kawan. Tapi melihat Nico di Angelo menggerutu karena kupaksa untuk membantuku membuatku tak bisa menahan diri."

Jason menatap heran, "Tapi dia membencimu karena kasus kakaknya itu kan?"

Aku memandang Jason lama, mengingat masalalu dimana Nico masih menjadi lelaki cilik yang naif. Yang mempercayakan kakaknya, Bianca, padaku, namun nyatanya aku malah membunuh Bianca dalam sebuah kecelakaan mobil. "Kupikir itu juga," kataku.

Jason menepuk pundakku, "Ayo, bung! Ada yang harus kau jelaskan pada Annabeth kalau kau ingin hubungan kalian baik-baik saja."

Kulemparkan senyum mengejek padanya, "Piper tidak akan memaafkanmu kalau dia melihatmu ciuman dengan cowok lain, bung. Hibur Annabeth saja, katakan padanya aku minta maaf."

Yeah memang itulah yang akan terjadi, bagaimanapun aku mencoba untuk menjelaskannya Annabeth tidak akan memaafkanku. Aku bukan hanya selingkuh, tapi sekarang dia pasti akan mempertanyakan orientasiku. Aku berdiri meninggalkan Jason yang menggelengkan kepalanya heran. Dia meninju bahuku ringan, "Hei, Bung. Bagaimana kalau kita bolos saja?"

"Ide bagus," kataku.

Dan kami memutuskan untuk menyelesaikan hari ini dengan game center dan lainnya.

Aku mencoba untuk mencium seorang lelaki tapi rupanya rasanya tak buruk juga.

END

Saya minta maaf sebesar-besarnya karena tulisan tidak bermutu ini. Hiks … tolong maafkan saya.

Stop it, yeah kesampaian juga bikin beginian tapi tolong jangan di masukin hati. Ini ceritanya memang Amburadul nggak ada alurnya wehh … mau dibikin chaptered kok malas rasanya. Dan ternyata tulisan ini nggak sampe seribu kata. Walah … ya sudah terimakasih ya sudah mampir.

See ya …