Naruto Selamanya milik Masashi Kishimoto.

Hujan yang mengguyur wilayah Konoha seakan mewakili perasaan orang-orang yang kehilangan. Tangisan pilu menjadi latar suara selain suara petir yang menggelegar. Salah satunya berasal dari seorang pria berkulit pucat dengan mata hitam yang ikut meneteskan air mata saat menyaksikan seluruh tubuh saudara kembarnya diselimuti kain putih, lalu dibawa pergi meninggalkan lokasi dengan mobil ambulan.

Setelah dinyatakan hilang hampir dua minggu lamanya. Sasuke Uchiha—saudara kembar dari Sai Shimura, ditemukan tidak bernyawa di salah satu rumah yang diketahui sudah lama tidak berpenghuni di kawasan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Selain Sasuke, ditemukan pula seorang gadis yang seumuran dengannya dalam kondisi yang cukup kritis. Perempuan berambut pirang panjang bernama Ino Yamanaka itu diketahui adalah kekasih dari Sasuke Uchiha, yang ternyata juga ikut menghilang di hari yang sama dengan hilangnya Sasuke.

Sementara pihak kepolisian masih mencari bukti-bukti pendukung untuk mengungkap kejadian yang terjadi, tidak ada satu pun yang diizinkan untuk masuk atau sekadar mendekat ke tempat kejadian perkara. Karenanya Sai hanya bisa menyaksikan kepergian mayat saudaranya dalam diam, di luar garis polisi yang terpasang di depan halaman rumah itu. Satu tangannya menggenggam payung biru dan satu tangannya lagi merangkul bahu sang ibu yang menangis tersedu-sedu.

Sepasang mata hitamnya kini bergulir menatap tajam perempuan pirang yang terbaring tak berdaya, yang juga dibawa masuk ke dalam mobil ambulan lain. Menyusul pergi mengikuti mobil yang membawa Sasuke. Entah benar ikut dibawa ke tempat yang sama Sasuke atau tidak? Tapi Sai yakin mereka menuju ke tempat yang berbeda. Kenapa? Karena perempuan itu tidak bernasib sama dengan saudara kembarnya. Dia masih hidup dan menurut pihak kepolisian dia-lah satu-satunya kunci dari kasus ini.

Satu-satunya saksi hidup yang dapat membuka misteri yang terjadi di dalam rumah itu. Namun agak disayangkan, satu-satunya saksi mata yang hidup itu … koma.

….

Pintu kamar bercat putih itu segera dibuka oleh salah seorang polisi yang berjaga di depan kamar Ino. Sai mengucapkan terima kasih sebelum berjalan masuk ke dalam ruangan yang bercat sama seperti pintunya. Satu-satunya jendela kamar yang ada dibiarkan tertutup. Meski begitu, sinar matahari masih bisa menembus kaca bening yang berukuran lebar itu.

Seminggu yang lalu dokter sudah menyatakan bahwa Ino telah berhasil melewati masa kritisnya. Itulah sebabnya Sai bisa mengunjungi Ino.

Seperti biasanya, Sai akan duduk di bangku sebelah kanan tempat tidur Ino. Memandangi atau lebih tepatnya menunggu sadarnya perempuan yang menjadi satu-satunya saksi mata, yang masih tertidur lelap—seperti hari-hari sebelumnya. Kedua matanya masih terpejam. Dadanya masih bergerak berarturan, tanda bahwa dia masih hidup.

Luka-luka di wajahnya sudah menghilang seakan tidak pernah ada goresan atau memar yang bersarang di sana. Kulit putih itu kembali mulus meski tampak sedikit pucat. Dan Sai harus akui kalau hal itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.

Berbeda dengan beberapa luka di tubuhnya. Sai mendengar kalau hampir di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka yang lebih parah. Dan yang terparah ada pada kedua kakinya. Tidak hanya memar dan beberapa goresan, tapi juga terdapat keretakan pada tulangnya. Diduga keretakkan itu didapat karena adanya benturan keras dari benda tumpul. Berkali-kali.

Dan itu membuat Sai selalu berpikir, apa yang sebenarnya terjadi?

Pertanyaan yang muncul setiap kali Sai menatap Ino. Ia berharap Ino bisa segera sadar dan menceritakan kejadian yang menimpa dirinya bahkan sampai merebut nyawa saudara kembarnya. Mengapa semua hal itu bisa terjadi? Siapa pelakunya? Sai ingin mendengar serinci mungkin. Sehingga ketika semua terbongkar pihak kepolisian pun bisa bergerak cepat menangkap pelakunya kemudian menghukumnya dengan hukuman seberat-beratnya.

Bukan Sai beranggapan bahwa pihak kepolisian tidak bisa menemukan siapa pelakunya. Banyak orang kompeten yang sedang bekerja keras memecahkan benang kusut atas kasus ini. Sai berterima kasih akan itu, tapi waktu juga terus berlalu. Bahkan sudah satu bulan terlewati, dan kenyataannya belum ada kemajuan yang berarti pada kasus ini.

Jadi bukan salahnya jika Sai berharap banyak pada Ino. Orang yang menjadi satu-satunya saksi kunci. Orang yang bisa membuka kabut gelap yang menutupi kasus ini.

Dan kali ini harapan Sai terkabulkan.

Kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka, menampakkan mata birunya yang indah. Tanpa basi-basi lagi Sai bangkit dan memberitahu pihak rumah sakit bahwa Ino telah sadarkan diri. Saat ini, tidak hanya pihak rumah sakit yang berada di dalam kamar Ino. Hatake Kakashi selaku pemimpin kasus kematian Sasuke juga hadir di sana.

Semua mata tertuju pada sosok Ino yang terbaring lemah. Netra birunya telah terbuka sempurna dan memandang sayu sekelilingnya.

"Kalian siapa?"

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah sebulan tertidur lelap. Mata birunya bergerak perlahan menatap satu persatu orang yang berdiri mengelilinginya. Kedua alisnya berkerut dan keterkejutan tampak jelas menghiasi wajahnya.

"Tenang. Tidak perlu cemas, Yamanaka-san," ucap dokter yang selama ini bertugas menangani Ino. Pria paruh baya itu pun mengecek tanda-tanda kesehatan Ino, dibantu dua orang suster yang sibuk mencatat sesuatu, yang Sai sendiri tidak tahu itu apa.

"Yamanaka?" tanya Ino bingung, "Siapa? Apa itu aku?" tanyanya lagi, yang kini tampak cemas.

Kali ini keterkejutan berganti muncul di wajah semua yang berdiri di dalam ruangan itu. Tanpa terkecuali. Seiring keheningan yang hanya Ino dapatkan sebagai jawaban. Gadis pirang itu mulai panik karena tidak bisa mengingat apapun, bahkan jati dirinya sendiri. Ino menjerit histeris lalu menangis tersedu-sedu, bahkan meronta-ronta saat dokter memintanya untuk tenang. Karenanya Kabuto—Dokter yang bertanggung jawab atas Ino—memerintahkan semua orang untuk meninggalkan ruangannya.

Salah satu suster itu menutup pintu ruangan Ino. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu dengan cemas. Tak terkecuali Sai yang masih menatap pintu kamar itu dengan tegang. Beberapa pertanyaan tentang bagaimana-bagaimana sudah berseliweran di otaknya. Berusaha menolak pun rasanya percuma, Sai tahu kemungkinan terbesar yang akan didengarnya dari Kakashi setelah terlebih dahulu pria perak itu mendatangi Kabuto beberapa saat lalu.

"Untuk sementara kami tidak bisa menanyakan perihal kasus ini padanya," ucap Kakashi yang kini duduk tepat di samping Sai. Mengembuskan asap putih dari rokok yang dihisapnya. Angin sore itu cukup kencang sehingga dengan cepat membawa pergi asap putih itu hingga lenyap.

Pandangan Sai yang semula terfokus pada gedung rumah sakit Konoha kini berpindah menatap pria di sebelahnya, "Lalu bagaimana dengan pelakunya? Bukankah kalian seharusnya dengan cepat menangkap pelakunya?"

Tidak ada nada santai pada pertanyaan Sai barusan. Satu-satunya hal yang menjadi harapan Sai untuk membongkar cepat kasus ini ternyata berakhir dengan kekecewaan. Lantas bagaimana lagi ia bisa bersabar?

Kakashi hanya melirik dari sudut matanya. "Memangnya apa yang bisa kau harapkan dari seseorang yang kehilangan ingatannya?"

"Jadi kalian hanya diam dan menunggu sampai ingatannya kembali?" Tanya Sai dengan nada dan pandangan tak terima. Sai tahu bukan hanya dirinya yang kecewa setelah mengetahui kondisi Ino. Tapi juga pihak kepolisian yang ikut menelan pil kekecewaan setelah sebulan lamanya menanti kesadaran saksi mata itu.

Tapi perkataan Kakashi barusan tidak nyaman terdengar di telinga Sai. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu—semudah itu. Seolah pria perak itu mengatakan pada Sai dengan entengnya untuk menunggu. Seakan hanya itulah yang bisa dilakukannya atau mungkin satu-satunya harapan yang ada, yaitu dengan menunggu.

Namun pria berambut perak itu seperti sudah bisa menduganya. Tampak Kakashi tidak terkejut pada reaksi Sai barusan. Amarah yang jelas menguar dari mata hitamnya. Dengan santai Kakashi menghisap kembali batang rokok yang sudah menciut dari ukuran awalnya.

"Kami bekerja dalam diam, Sai," jawab Kakashi tenang. "Dan jika kau masih ingin menemuinya, kuharap kau bisa bekerja sama untuk tidak menanyakan atau mengungkit-ungkit kasus ini padanya."

Kakashi bangkit sembari mengembuskan asap putih dari isapan terakhirnya, sedangkan nasib batang rokok itu sudah tergeletak di atas tanah. Diriliknya lagi Sai dari sudut matanya. Jelas sekali pria itu menampakkan ekspresi yang tidak menerima keputusannya.

"Aku serius, Sai," tegas Kakashi. Penegasan bahwa ia tidak peduli apakah Sai menerima keputusannya atau tidak.

Diinjaknya batang rokok itu hingga padam barulah pria berambut perak itu meninggalkan Sai, yang terus menatap kepergiannya dengan pandangan yang masih sama.

Keesokannya Sai kembali datang mengunjungi kekasih saudara kembarnya. Sai memang tidak bisa menerima keputusan Kakashi, tapi Sai harus bisa menelan itu mentah-mentah. Mau tidak mau ia harus menerimanya agar izin menemui Ino masih bisa didapatnya.

Jika biasanya Sai mendapati perempuan pirang itu tertidur lelap, maka kali ini tidak lagi. Tubuhnya memang terbaring lemah di atas kasur, namun kedua mata birunya sudah terbuka sempurna. Menatap kedatangan Sai dengan penuh keterkejutan.

"Sa …"

Ino bergumam pelan. Bibirnya gemetaran, mencoba untuk melontarkan satu kata yang seolah tersendat di tenggorokannya. Beberapa kilasan ingatan menyambarnya. Samar, sangat samar, tapi Ino serasa ingin memuntahkan apa yang datang ke dalam pikirannya.

Mata birunya tidak meninggalkan wajah Sai barang sedetik pun, meski Sai menoleh sekilas ke belakang saat menyadari kehadiran Kakashi. Mata birunya menatap lekat-lekat, dan goresan gambar itu semakin lama semakin terbentuk. Sebuah wajah.

Sai memberi ruang Kakashi untuk masuk sehingga dua pria itu berdiri tepat di depan pintu yang terbuka lebar. Dan saat Sai kembali menolehkan wajahnya pada Ino, perempuan itu akhirnya melontarkan satu kata. Satu kata yang membuat kedua mata Sai melebar.

"Sasuke …"

Ya. Satu kata berupa sebuah nama yang tak asing bagi Sai dan juga Kakashi. Apakah ini artinya ingatan Ino telah kembali?

Di antara dua pria yang masih terkejut. Kakashi-lah yang terlebih dahulu mengambil inisiatif menghampiri Ino.

"Ingatan Anda sudah kembali?" Tanya Kakashi mencoba terdengar sesantai mungkin. Mengusahakan agar perempuan itu tidak merasa tertekan atau kebingungan.

Mata biru Ino berubah sayu, "Aku tidak ingat," jawabnya dengan penuh rasa sesal, kemudian menambahkan. "Tapi rasa-rasanya wajah itu tidak asing, lalu nama itu keluar begitu saja,"

"Apa benar kau … Sasuke?" Kali ini Ino melempar pertanyaan pada Sai yang sedikit terhalang oleh tubuh Kakashi. Menyadari itu, Kakashi pun menggeser tubuhnya, ikut menoleh pada Sai yang juga tengah menatapnya penuh tanya.

Kedua pria itu diam. Bungkam dalam bahasa, namun berbicara dengan mata. Jawaban apa yang harus Sai berikan? Mungkin itulah yang Sai sampaikan lewat tatapan matanya sekaligus meminta persetujuan pria di depannya. Kakashi yang menyadarinya segera menggelengkan kepalanya pelan. Matanya mengintimidasi, menekankan pada Sai untuk tidak melakukan ide itu.

Sai menyerah. Mengubur dalam-dalam keinginannya untuk memberitahukan semuanya pada Ino. Mata hitamnya kini berpindah. Mendapati mata biru yang tak juga melepaskan tatapannya dari Sai.

Haruskah?

Tak lama Sai pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Kakashi bahkan sampai melebarkan kedua matanya atas jawaban yang dipilih oleh Sai. Jawaban gila, batinnya. Pria itu lantas berniat memprotesnya, namun tidak dilakukannya karena mendapati Ino yang tiba-tiba memekik kesakitan.

Satu tangannya yang terbebas dari jarum infus sudah memijit-mijit kepalanya yang terasa nyeri. Matanya menyipit menahan sakit. Mulutnya terus mengulang kata sasuke berkali-kali. Tampak Ino sedang berusaha keras mengingat-ingat sosok di depannya. Namun bukan ingatan yang didapat oleh Ino melainkan nyeri yang semakin menusuk-nusuk kepalanya. Serasa ujung rambut yang tertanam di kepalanya terbuat dari jarum. Napasnya pun semakin tidak beraturan.

"Tenanglah. Kau tidak perlu memaksakan ingatanmu," pinta Kakashi yang sayangnya tidak dipedulikan oleh Ino.

Ino merasa ada sesuatu yang aneh. Ada perasaan aneh yang kini melandanya. Tapi, Ino tidak bisa menemukan atau menebak perasaan aneh apa itu. Karenanya Ino tidak bisa begitu saja berhenti. Ia merasa sedikit lagi bisa menemukan perasaan aneh itu. Ino yakin hanya sedikit memaksakan diri, ia pasti bisa menemukannya.

Tahu bahwa perempuan itu tidak menuruti perintahnya, Kakashi segera berlari keluar dan memberitahukan kondisi Ino pada dokter, sedangkan Sai memilih untuk berjalan menghampiri Ino. Mendekati perempuan yang tengah menahan sakit terutama pada bagian kepalanya. Namun Sai tidak memedulikannya. Sai malah berharap Ino benar-benar bisa menemukan ingatannya kembali.

Ino mendongak, "Sasuke …," panggilnya lirih. Pandangan mata mereka bertemu dan hal itu membuat sakit pada bagian kepala Ino semakin menjadi-jadi. Napasnya terengah-engah. Kali ini bukan hanya pada bagian kepala tapi dadanya juga merasakan sesuatu yang menyakitkan.

Mata hitam itu.

"Sasuke … Sasuke ...," panggil Ino lagi. Tangannya terulur, berusaha menggapai Sai yang semakin dekat dengannya. Namun yang ada dadanya terasa semakin sesak. Bagai dipukul benda berat berkali-kali.

Pandangan matanya buram karena tiba-tiba air mata Ino mengalir begitu saja. Denyut di kepalanya semakin menggila kala Sai telah berdiri di dekatnya. Kepalanya benar-benar seperti dhantam kuat-kuat sampai-sampai Ino tidak bisa menahannya lagi. Berikut dengan ribuan perasaan yang tidak bisa ia mengerti. Bergejolak dan membuatnya semakin sesak. Sakitnya semakin tak tertahankan hingga saat ujung jarinya bisa menyentuh Sai. Ino langsung tidak sadarkan diri.

Tepat saat itu Kabuto masuk dengan tergesa-gesa, Kakashi juga berlari membuntuti diikuti beberapa perawat yang kemudian menyuruh mereka untuk keluar ruangan.

"Apa yang terjadi?" Tanya Kakashi segera setelah pintu ruangan Ino tertutup rapat.

"Dia tiba-tiba tidak sadarkan diri begitu aku mendekatinya," jawab Sai santai.

"Kau gila!" bentak Kakashi lantang, bahkan kedua polisi yang berjaga di depan kamar Ino tersentak karena suaranya.

"Jika sesuatu terjadi pada Ino maka kau telah membahayakan satu-satunya saksi penting kasus ini. Dan kau tahu, seterusnya aku tidak akan mengizinkanmu untuk menemuinya," ancam Kakashi, yang kali ini telah berhasil mengembalikan nada bicaranya.

"Tidakkah kau lihat tadi. Dia mengingat Sasuke."

"Dan apa yang kaulakukan? Kau mengakui dirimu sebagai Sasuke. Jangan gila, Sai. Aku masih berlaku baik karena kau adalah anak dari teman baikku. Tapi aku tidak bisa terus berlaku begitu padamu!"

"Karena kupikir itu adalah satu-satunya cara agar bisa mengembalikan ingatannya."

"Jangan konyol. Pulanglah! Waktu berkunjungmu sudah habis."

Sai menghela napas gusar sebelum akhirnya memutuskan mengikuti perintah Kakashi. Membantah pun percuma. Yang ada hanya akan membuat Sai dirugikan nantinya. Sai masih membutuhkan izinnya untuk bisa menemui Ino.

Dan benar. Esoknya, salah seorang polisi penjaga kamar Ino tetap membukakan pintu untuk Sai. Sepertinya Kakashi masih mengizinkan Sai untuk datang menemui Ino atau lebih tepatnya, Kakashi masih memercayai Sai.

Mendapati perempuan itu tertidur, Sai pun duduk seperti biasanya dan memandangi wajah pucat Ino. Memandangi wajah kekasih dari saudara kembarnya. Satu-satunya saudara yang terpisah darinya sejak sembilan tahun yang lalu. Keputusan ayah dan ibu mereka yang memilih jalan perpisahan menyebabkan mereka juga memiliki nasib yang sama. Terpisah. Sasuke ikut dengan ayahnya dan tetap menyandang marga Uchiha. Sedangkan Sai ikut ibunya tinggal di Kumo dengan menyandang marga ibunya, Shimura.

Awalnya Sai cukup terkejut saat tahu Sasuke memiliki seorang kekasih. Komunikasi di antara keduanya masih tergolong intens, tapi tidak pernah sekalipun Sasuke membicarakan perihal kisah asmaranya. Sasuke memang lebih pendiam dari Sai. Ia hanya akan berbicara seperlunya saja. Sejak perpisahan kedua orangtua mereka Sasuke pun semakin jarang berbicara. Karenanya hingga saat ini Sai masih tidak memercayai hubungan Sasuke dan Ino yang telah terjalin hampir dua tahun lamanya.

"Sasuke."

Sebuah suara lemah menyadarkan Sai dari lamunan. Segera Sai menatap Ino yang baru saja mengeluarkan suaranya. Memanggil nama yang ia pakai sekarang. Sai pun tersenyum ramah. Setidaknya ia tidak ingin membuat Ino merasa tertekan seperti kemarin. Semua hal butuh proses, begitupun dengan yang Sai lakukan sekarang. Proses untuk mendapatkan ingatan Ino meski harus berpura-pura menjadi kekasihnya.

"Bolehkah aku bertanya?" tanya Ino ragu. Namun tatapan matanya jelas sekali memancarkan permohonan.

Sai mengangguk kemudian menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Ino. Suara Ino masih terlampau pelan karenanya Sai tidak ingin Ino menghabiskan tenaganya untuk menguatkan volume suaranya.

"Apakah kita memiliki hubungan spesial?"

"Ya. Kau pacarku," jawab Sai lembut.

Ino tersenyum, "Begitukah? Pantas saja ada perasaan aneh yang muncul setiap aku melihatmu." Dan senyumannya semakin lebar kala Sai menggenggam tangan kanannya. Meremas jari-jari mungil itu dengan lembut. Namun alasan Sai melakukan ini hanya agar Ino tidak merasa tertekan seperti kemarin. Ia butuh agar Ino bisa mengingatnya, lebih dari sekadar nama.

"Maaf karena aku tidak bisa mengingatnya. Tahu-tahu aku terbangun dan merasa asing dengan semuanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Ibu jari Sai mengelus lembut tangan yang terasa dingin itu. Ada dorongan kuat yang menyuruh Sai untuk menceritakan semuanya, namun logikanya masih memerintahkan Sai mengikuti perintah Kakashi agar merahasiakannya. Namun belum sempat Sai menjawab, sebuah suara lain sudah menjawabnya terlebih dahulu.

"Anda mengalami kecelakaan," sahut sebuah suara yang terdengar dari pintu. Sai jelas mengenali suara itu. Siapa lagi kalau bukan Kakashi.

Pria berambut perak itu berdiri tepat di ujung tempat tidur Ino. Memasang senyuman saat matanya bertemu pandang dengan Ino, "Aku Hatake Kakashi. Detektif," ucapnya ramah.

"Detektif?" tanya Ino heran, bahkan meremas tangan Sai dengan kuat. Tampak sekali kalau ia ketakutan, "Memangnya apa yang terjadi? Apa terjadi sesuatu yang buruk? Atau—"

"Tenanglah," perintah Kakashi lembut, "Kondisimu masih lemah, Ino. Bolehkah aku memanggilmu begitu?"

"Apa itu namaku?" tanyanya, namun kali ini menatap pada Sai. Meminta jawaban pada pemuda yang diyakini sebagai kekasihnya. Bisa jadi, saat ini hanya Sai yang Ino percaya.

"Benar. Namamu, Ino Yamanaka," jawab Sai.

Ino mengangguk dan kemudian kembali menatap Kakashi, "Tentu boleh, Hatake-san." Kali ini menjawab pertanyaan Kakashi.

Kakashi tersenyum ramah, "Panggil saja Kakashi. Ah, sebenarnya memang ada sesuatu yang buruk mengenai kecelakaan yang menimpamu. Tapi untuk sementara ini aku minta pulihkan dulu kondisi fisikmu, baru setelahnya aku akan menceritakan detail-nya padamu."

Meski rasa takut itu masih ada, namun Ino menyetujui saran Kakashi. Ia mengangguk pasrah karena dirasa apa yang diucapkan Kakashi ada benarnya.

"Oh, ya. Sa … Sasuke. Ada yang perlu kubicarakan denganmu," ucap Kakashi kikuk saat menyebut nama Sai. Hampir saja ia salah menyebut nama. Dasar. Mau tak mau dia jadi ikut terseret alam permainan konyol Sai, karena tampak sekali Ino merasa nyaman dengan kehadiran Sai.

"Tidak apa-apa kan jika aku meminjam kekasihmu sebentar?" tanya Kakashi pada Ino.

Ragu Ino melepas genggaman Sai. Ada rasa enggan untuk melepas rasa hangat yang membungkus telapak tangannya. Kehangatannya bahkan sampai pada hati Ino. Begitu menentramkan. Dan hatinya seperti berbisik agar tidak melepaskannya. Seakan kehangatan itu pernah pergi, pernah lenyap dari hidupnya.

Pikiran buruk mulai mendominasi Ino. Mungkinkah kecelakaan itu terjadi karena Ino mengejar Sasuke? Karena pria itu memutuskan untuk meninggalkannya. Bisa saja, kan? Toh, Ino tidak ingat apapun? Dan saat tadi ditanya pun Sasuke terlihat enggan menjawabnya.

Refleks Ino menggenggam kembali tangan Sai yang hampir terlepas. Mencengkramnya dengan erat, kali ini tidak berniat untuk dilepaskannya. Sai terkejut, dan langsung menemukan raut ketakutan di wajah cantik Ino.

"A-aku … aku, aku seperti merasa akan kehilanganmu. Apa kau pernah meninggalkanku?" tanya Ino panik. Mata birunya bahkan ikut gemetar seperti tangan yang tengah menggenggam erat tangan Sai. Kakashi yang sudah berdiri di ambang pintu kembali menoleh pada Ino.

Mungkinkah Ino bisa mengingat kejadian Sasuke pergi meninggalkannya, dalam artian tewas? Tapi rasanya tidak. Masih terlalu cepat. Atau mungkin perasaannya tidak lupa kala ia kehilangan pria itu, walau ingatannya tidak bisa mengingatnya. Sepertinya hanya ini yang bisa Kakashi jadikan sebagai kesimpulan.

"Kenapa kaubicara begitu?" Satu tangan Sai yang terbebas sudah membelai pipi Ino lembut. Berusaha menenangkan kekasih saudara kembarnya itu.

"Bukankah setiap hari aku ada di sisimu?" tanya Sai lagi. Kedua sudut bibirnya tertarik, menampilkan senyum lembutnya lagi, "Aku tidak akan meninggalkanmu." Sebelum pembunuh kakakku tertangkap, tambah Sai dalam hati.

Ino mengangguk ragu. Sama seperti tangannya yang akhirnya kembali melepas genggaman itu. Mata birunya terus menatap punggung Sai yang semakin menjauh sebelum akhirnya hilang berganti dengan daun pintu yang tertutup rapat.

Ada perasaan berbeda. Entah bagaimana Ino bisa merasakannya. Jelas sekali. Seyakin-yakinnya Ino merasa Sasuke pasti akan melempar senyum padanya sebelum menutup pintu itu. Seperti sebuah kebiasaan, yang sekali lagi entah bagaimana Ino bisa merasakannya.

Tapi tadi, pria yang Ino yakini adalah Sasuke. Terus berlalu tanpa pernah lagi menoleh padanya. Punggung itu bagai cermin yang berbeda.

Sai yang berbicara padanya, terasa begitu lembut. Dan dengan senyuman serta sentuhannya, pria itu terasa begitu hangat.

Namun punggung pria itu, Punggung yang menjauh darinya terasa begitu … dingin.

Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Bersambung.

Curcul :

Hai ^^

Aslinya ide ini tuh yang mau kubuat untuk event FLORE, cuma waktu itu yakin ngak bakalan selesai dalam tempo satu bulan hehe. Terus karena bagian awalnya udah keketik, aku lanjutin ajalah sekalian.

Rasa-rasanya aku juga ngak bisa apdet Fic ini cepet *disembur* (Kaya ada yang nungguin aja yak hahaha)

Okelah, sampai sumpa di chap selanjutnya.

.

14 – 12 – 15

[U W] Istri sah Taka, One Ok Rock :*