The first thing I want to tell you, bahwa Haikyuu! Bukan punya saya. Tapi punya Om Huruichi Furudate
Chapter pertama emang agak garing, tapi diusahakan chapter kedua bagus. Dan maaf bila ceritanya rada mirip kaya anime tetangga :'3
Jadi, silakan baca bagi yang ingin baca!
1. Ramen
Rasanya enak sekali ya, makan roti daging dan ramen di hari yang dingin ini.
Seorang bocah sedang berdiri di pinggir jembatan besar dan tinggi. Angin berhembus kencang membuat surai jingganya melambai-lambai dengan sembarang arah. Mobil hanya berlalu lalang tanpa memedulikannya. Manusia sekarang... jiwa sosialnya mulai menghilang, ya.
Aku tidak peduli dengan semuanya, dan semuanya juga tidak peduli kepadaku.
Bocah itu kemudian menaiki pagar pembatas jembatan, dan mulai berdiri dengan keseimbangan. Lagi-lagi, kendaraan hanya muncul dan pergi. Angin semakin kencang, membuat jantung bocah itu mulai berdegup kencang.
Hinata Shoyou. Dia bukanlah lelaki yang beruntung di dunia ini.
Cahaya di langit jingga ini memantul ke sungai yang bersih dan menghiasi garis cakrawala.
Dia tidak bisa merasakan semangat. Sekalinya dia merasakannya, semua yang berada di depan dirinya hancur.
Dan dia akan bunuh diri dengan jatuh dari atas jembatan ini.
Teringatlah kembali momen momen yang menyakitkan bagi seorang bocah seperti Hinata.
"Pergilah! Tidak ada yang membutuhkanmu di sini!"
"Kau lebih baik mati terhanyut oleh sungai yang kotor!"
"Semoga kau membusuk di neraka sana!"
"Sialan!" Keluh Hinata. Keluhannya membuat dia kehilangan keseimbangannya dan memegang erat pagar dengan kedua tangan mungilnya. "Huwaaa! Aku belum memulai aba-abanya!"
Dan dengan tidak sengaja, Hinata melihat seseorang dengan rambut berwarna kuning berkacamata yang... lehernya digantung? Hinata sendiri shock, melihat lelaki itu sedang mendengarkan lagu dengan headphone nya dan sekaligus memainkan handphone itu. Apa dia tidak peduli jika dia mati?! Batin Hinata.
Kemudian, lelaki itu terbatuk-batuk seperti kakek-kakek yang sakit. Bocah yang memeluk pagar jembatan itu menggeleng-geleng dan mulai menyeimbangkan tubuhnya. Shoyou, kamu harus fokus! Kumpulkan tekadmu untuk keputusan ini!
Hinata mulai memejamkan matanya erat-erat, tapi masih saja terdengar suara batuk lelaki itu yang sangat memprihatinkan. Awalnya, Hinata bisa berkonsentrasi. Tetapi, batuk dari lelaki itu membuat Hinata sendiri muak. "Aaargh baiklah! Kuselamatkan!" Serunya dan mulai melompat ke arah lelaki pirang itu.
Mereka berdua terbatuk-batuk di pinggir sungai di bawah matahari senja. "Uhuk-uhuk, k-kau... tidak apa-apa...?" Tanya Hinata yang kebasahan. Lelaki yang tadi tergeletak itu kemudian tersadar dan langsung duduk dan menggerutu, "Sial. Jangan berlagak kaya pahlawan. Jijik tahu."
"Apa?!" Hinata tidak percaya. Dia sudah susah-susah menyelamatkan lelaki jangkung ini sampai membatalkan aksi bunuh dirinya. Dan lelaki itu mengeluh sial kepadanya. "Iya, sialan." Lelaki itu membenarkan, menunjuk ke arah Hinata. "Kamu ngebuat headphone dan handphone-ku rusak gara-gara ke sungai tadi, bodoh."
Hinata menatapnya dengan datar. "Aku tidak mengerti. Kau lebih peduli dengan handphone-mu daripada nyawamu sendiri?" Tanya Hinata. Lelaki itu hanya mendengus, kemudian mendecih. "Aku tidak bisa mati dengan mudah. Nomadic sialan itu yang memenggalku."
"Nomadic itu berusaha kembunuhmu?" Tanya Hinata penasaran. Lelaki berkaca mata itu memutar bola matanya dan kembali melihat mata Hinata. "Masa' kamu tidak tahu? Si pencabut nyawa abal-abalan. Mereka berani-beraninya merenggut kehidupan orang-orang malang."
"Ah, iya, maaf." Bocah oranye itu mengangguk pelan mengerti. Memang, Nomadic itu tidak adil. Mereka membunuh orang seenaknya tanpa merasakan betapa sedihnya jika kau kehilangan orang itu.
Ah, kenapa Hinata ingat kepada sosok itu lagi?
"Siapa namamu?" Tanya Hinata lagi. "Aku tahu kau pasti orang yang kuat, dilihat dari fisik."
Lelaki itu hanya menyeringai angkuh. Lalu berdiri sesuai dengan tempo angin. "Tsukishima Kei."
Angin senja masih melewat, dinginnya cuaca serta dengan baju yang basah membuat perut Hinata yang tidak diisi beberapa hari oleh makanan meraung keras. Tsukishima mengernyit dan melihat ke perut kecil Hinata. "Hei, cebol. Sudah berapa hari kau tidak makan?"
"Sekitar empat hari, tapi jangan bilang aku cebol! Aku tidak sependek yang kau kira, tahu. Dan aku punya nama! Hinata Shoyou, itulah namaku!" ringis Hinata. Tsukishima mendengus lagi. "Aku baru saja mencuri dompet lumayan tebal, yang pasti isinya-" lanjut lelaki jangkung itu sambil meraba-raba kedua saku celananya. Dia tidak melanjutkan dialognya. Parut wajah Tsukishima semakin pucat dari pandangan Hinata.
Tsukishima terus mengecek seluruh kantongnya. Saku depan, saku belakang, saku jaket luar, saku jaket dalam, saku kemeja, "-banyak... sepertinya telah hanyut. Hah... Dua kali sial." Runtuknya. Keringat dingin Hinata mengalir di pelipisnya sepertinya dia lebih baik tidak menolongnya.
Langit tambah lama semakin berwarna ungu tua, hampir ke hitam. Hanya ada sedikit pancaran cahaya yang menolong Hinata melihat kesana kemari mencari dompet curian Tsukishima. "Tsukishima-san, yang itu bukan?!"
Tsukishima menoleh ke arah yang Hinata tunjuk dengan tangannya. Ia menghela nafas panjang. "Akhirnya." Lelaki berkaca mata itu menghela napas lega, mendekati ke sisi sungai dan mengambil dompet yang basah. "Isinya masih ada." Ujarnya meraba-raba dompet itu. Hinata pun ikut mendekatinya, ingin melihat seberapa banyak uang yang dicuri Tsukishima tadi.
Saat dibuka, hanya ada kertas putih tebal yang sudah basah sehingga tinta yang ada di sana luntur. Karena penasaran, mereka berdua pun membuka surat itu. "Su... rat... hu... surat hutang?"
Hinata menoleh ke Tsukishima, yang parut wajahnya benar-benar frustasi dan kecewa. "Seharusnya aku lihat isinya dulu sebelum mencurinya. Tiga kali sial." Gerutu Tsukishima lagi dengan aura yang menyeramkannya, membuat Hinata mundur selangkah.
Tiba-tiba, suara keruyuk pun terdengar di perut Tsukishima. "Hah... empat kali sial."
"Hei kalian...!" Seru seseorang dengan suara asing. Hinata dan lelaki berkacamata itu menoleh ke asal suara. Hinata memicingkan matanya, seseorang berteriak dan melambaikan tangannya ke arah mereka.
Lalu, pemuda itu segera berlari mendekati mereka berdua. Belum dua puluh meter, dia sudah terengah-engah. Terlihat jelas pemuda berambut abu-abu seperti seorang kakek tua mendekati mereka dengan tahi lalat kecil di sebelah kiri matanya. "Kalian lapar? Mau makan?" Tanyanya dengan anusitas.
Hinata mengangguk penuh harap. "Iya! Aku saaangat lapar!"
Pemuda itu menyengir lebar.
"Aku punya tempat yang bagus! Tidak usah bayar!"
Dua puluh mangkuk dan lima belas piring menumpuk di atas meja makan. Hinata dan Tsukishima makan dengan sangat lahap. Pemuda bersurai abu-abu itu terus tersenyum. "Tidak usah khawatir, makanlah yang banyak!~" Seru pemuda itu yang Hinata dengar seperti suara kebijakan dari malaikat.
Seketika, pintu staff restoran dibuka secara tiba-tiba. "Hei, ada masalah apa kau kemari?" Tanya seseorang bertubuh kekar, dengan kulit berwarna kuning langsat terjemur cahaya mentari ditambah rambut hitam yang dipotong cepak.
"Nah, ini dia! Ucapkan kepadanya terima kasih karena dialah yang akan membayar semua ini~!"
"HEY IDIOT! JANGAN SEENAKNYA BERLAGAK BIJAK DENGAN UANGKU!"
"Ehh?! Tapi aku lupa bawa dompet sekarang...~"
Hinata yang melihat kedua pemuda asing itu hanya mengunyah makanannya dengan kebingungan. "Suga, yang benar saja. Bersikaplah seperti dirimu yang asli..." ucap pemuda staff dengan pasrah.
"Suga?" Ulang Tsukishima. Pemuda dengan tahi lalat itu menoleh ke Tsukishima. "Belum kuberi tahu, ya?" Ia mengangguk penuh cengiran jahil. "Iya, namaku Suga." Jawabnya. "Sugawara Koushi." Dan seketika petir menyambar.
Hujan makin deras, dan terdengar suara kobaran api dan juga pohon yang tumbang. Beberapa detik kemudian, terdengarlah suara sirine pemadam kebakaran beserta ambulans.
Hinata dan Tsukishima merinding, sedangkan Sugawara hanya terkekeh. "Timing-nya tidak tepat, nih~"
Bocah berambut jingga itu meminum minumannya sampai air di gelasnya habis. "Fuaaah! Rasanya enak sekali sesudah tidak makan benar selama beberapa hari terakhir ini... tapi sebelas mangkuk dan tujuh piring roti daging sudah cukup untuk makan hari ini!" Gumam Hinata.
'Anak ini seenaknya berkata begitu dengan uangku...' batin staff itu sambil mengernyit.
"Perkenalkan, ini partnerku, namanya Sawamura Daichi. Kalian bisa memanggilnya Daichi. Dan Daichi, yang berkaca mata ini bernama Tsukishima Kei dan yang rambut jingga ini bernama Hinata Shoyou. Kami berkenalan dalam perjalanan ke sini." Sugawara kemperperkenalkan staff restoran itu kepada Hinata dan Tsukishima.
"Psst... dan apakah kalian tahu? Dia adalah suami idaman para wanita walaupun marahnya seperti iblis..." Sugawara berbisik dengan suara yang sangat kecil sehingga Daichi tidak bisa mendengarnya.
Hujan masih turun dengan sangat deras malam itu, petir pun ikut mengikuti sehingga rasanya menyeramkan jika keluar rumah pada saat seperti itu.
"Kalau begitu, apa pekerjaan kalian?" Tanya Tsukishima kemudian. "Pekerjaan utamaku menjadi detektif swasta." Jawab Daichi sambil bersedekap. "Aha feherhanya huhit? (Apa bekerjanya sulit?)" Tanya Hinata ke Daichi.
"Hmph, bisa dikatakan cukup sulit. Ada banyak orang yang menawarkanku uang suap saat terjadi kasus-kasus yang cukup rumit." Jelas Daichi sibuk sendiri dengan pikirannya.
"Hefehi afa hahusha?"
"Yah, seperti kasus penculikan, penganiayaan, tetapi seringnya sih pembunuhan."
"Gahiha fehafa?"
"Kalau itu sih tergantung kliennya. Kami menyepakati uang bayaran itu jika menurutku itu cukup."
Hinata berseru kagum ke Daichi, kemudian diam lagi. Dia tidak boleh bersemangat. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau bisa berkomunikasi dengannya..." Gumam Sugawara polos.
"Kalau Sugawara-san? Apa pekerjaanmu sama seperti Daichi-san?" Lanjut Tsukishima. Yang ditanya menyengir. "Ah, tidak, tidak. Aku tidak bekerja sebagai detektif." Sugawara mengibaskan tangannya. "Kami adalah anggota inti dari Organisadi The Middle."
Hinata mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tsukishima, rasanya aku pernah mendengar nama organisasi itu..." Bisik Hinata ke lelaki berkaca mata itu. Tsukishima mengangguk. "The Middle adalah organisasi pihak tengah dalam perang antar saudara akhir-akhir ini. Mereka juga mengatasi masalah yang tidak bisa dilakukan oleh polisi maupun militer. Kalau tidak salah, mereka mempunyai kekuatan supernatural yang sangat kuat. Kau bisa menyebut mereka sebagai pihak Nomadic yang netral..." jelas Tsukishima kembali berbisik.
Bocah kecil itu hanya meragu. Ia masih tidak percaya dengan penjelasan Tsukishima. Hinata hanya melihat kedua orang yang baru saja ia kenal dengan hati-hati.
"Daichi, Daichi, lihat, ada semut merah kecil di sini." Panggil Sugawara menunjuk ke semut kecil. Semut itu melangkah dengan kaki-kaki mungilnya ke dekat mangkuk pesanan Sugawara. Pemuda staff itu ikut melihat semut yang sedang menaiki mangkuk Sugawara. "Sebaiknya kau menyingkirkan semut itu." Usul Daichi.
Semut itu berjalan sampai ke bibir mangkuk, kemudian turun sampai ke kuah dan tenggelam. "Daichi, semutnya mati." Sugawara melaporkan.
"Sudah kubilang, lebih baik singkirkan semutnya."
"Yah... sup tofu pedasnya kotor deh... Daichi, aku minta yang baru ah!"
"JANGAN SEENAKNYA!"
"Hiiiiy! Daichi seraaam!~"
"Apa mereka benar-benar The Middle?" Bisik Hinata dengan keringat dinginnya. Tsukishima menggeleng. "Entahlah."
Sugawara berdehem. "Oh iya, Tsukishima-kun, kau tinggal di mana?" Tanyanya.
"... Apa?"
Jujur, itu membuat tubuh Tsukishima setengah kaget. Sugawara membaca ekspresi wajah Tsukishima. "Tidak diceritakan juga tidak apa-apa."
Tsukishima menggeleng. Dengan tangan yang basah karena terus berkeringat, ia menjawab. "Aku kabur dari rumah. Orang tuaku cerai, dan aku pun memutuskan untuk hidup bersama ibu dan kakekku."
Hinata mendengarkan sembari menyeruput suah ramennya. Daichi mendengarkan dengan serius, sedangkan Sugawara masih menyengir kesana kemari. "Lanjutkan saja. Jangan hiraukan orang gila ini." Ujar Daichi menunjuk ke Sugawara.
Tsukishima menghembuskan nafas kaku. "Sejak saat itu aku diperlakukan keras oleh ibu dan kakekku. Tapi, sekalinya aku berbuat salah kepada mereka, aku sudah kena tonjokan kakek sampai hidungku patah, dan tongkat baseball yang patah karena ibu melemparnya ke tubuhku. Sedangkan kakakku disayang sepenuh hati."
"Sungguh ironi." Komentar Daichi. Tsukishima pun melanjutkan, "maka, aku melarikan diri dari rumah sebulan terakhir ini. Kadang tidur di rumah teman, kadang di bangku taman. Makanan pun aku harus mencuri uang segala. Karena diperlakukan keras, akibatnya aku tahan banting di luar."
"Tapi sama saja. Aku merasa bahwa aku tidak punya alasan untuk hidup. Daripada seperti ini, lebih baik mati saja." Tsukishima mengakhirinya. "Kau mempunyai sejarah hidup yang unik, ya..." Sugawara memberi kesimpulan.
"Ayolah, Suga. Kita tidak punya waktu basa-basi sekarang... bos sekarang bisa marah jika kita tidak cepat-cepat menyelesaikan tugas! Dan kau dengan seenaknya membawa seseorang yang mempunyai masalah pribadi!" Seru Daichi tegas.
Hinata menelan makanannya. "Ngomong-ngomong, Sugawara-san bekerja sebagai apa, kalau bukan detektif swasta?" Tanyanya. Sugawara meragu. "Cukup berbeda sih... selain anggota The Middle, aku adalah bartender di bar terkenal~" Jawab Sugawara masih menyengir. "Kami diperintahkan untuk menangkap Gagak Hitam sekarang. Eh, tapi semua gagak berwarna hitam, 'kan?" Ujar Daichi.
Seketika, jantung Hinata berhenti berdetak. Tangannya menjadi dingin dan bergetar saat mendengar Gagak Hitam. Matanya membelalak ketakutan, tapi ekspresinya ia sembunyikan baik-baik agar tidak dicurigai.
"Kalau begitu, kami bisa membantu kalian. Dan jika bisa, kami meminta sedikit bayaran untuk makan beberapa hari ini." Ujar Tsukishima.
"Kami sangat membutuhkan ua-"
Suara dobrakan meja makan pun membuat Tsukishima, Daichi, dan Sugawara terkejut. "Ada apa?" Tanya Daichi sedikit curiga.
"S-sepertinya a-aku ingat... aku mempunyai urusan yang sangat penting... a-aku harus bertemu seseorang..." ucap Hinata terbata-bata, lalu melesat pergi.
Sebuah cengkraman kuat terasa di bagian belakang kerah kemeja seragam milik Hinata. "Hei, tingkah lakumu mencurigakan, dik. Jawab dengan jujur, kalau tidak semua makanan ini kau yang bayar." Ujar Daichi dengan suara rendahnya yang menakutkan membuat bulu kuduk Hinata semuanya berdiri.
"Aku diincar oleh Gagak Hitam itu!" Seru Hinata setengah histeris.
Semua diam. Tsukishima membelalakkan mata dibalik bingkai kaca matanya dengan tidak percaya, dan Daichi yang menatap tengkuk Hinata tajam.
"S-setiap aku berada di suatu tempat, di sana ada Gagak Hitam. D-dan aku pernah melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri! Di persimpangan jalan empat hari yang lalu..."
Dari ingatannya saat itu, Ia melihat ke kaca di persimpangan jalan, ada sebuah dua mata gagak berwarna merah di balik bayang-bayang. Semua orang di sana tahu, ada Gagak Hitam di belakang Hinata. Dengan goyah, ia berlari melarikan diri dari sekumpulan orang itu sekaligus dengan Gagak Hitam.
"Dia terus mengikutiku. Dia ingin membunuhku. Aku harus kabur dari sini sebelum Gagak Hitam itu muncul! Mungkin jika aku bersemangat kembali, dia sudah menghancurkan segala yang ada di depanku!" Cerita Hinata berlari dengan kerah yang masih tercengkram. "Hei, tenanglah! Kami akan membantumu menangkap Gagak Hitam itu agar kau tidak diancam olehnya lagi!" Daichi berusaha menenangkan Hinata.
Terlihat Sugawara sedang menimbang-nimbang, kemudian ia memutuskan. "Jika diantara kalian bisa membantuku menangkapnya, akan kuberi kalian uang bayaran bernilai besar!" Seru Sugawara bersemangat.
"Apa?! Aku tolak sebesar-besarnya! Aku tidak mau jika aku menjadi umpan Gagak Hitam itu!" Seru Hinata masih dalam keadaan trauma.
Tsukishima mendengus angkuh. "Siapa yang menyuruhmu menjadi umpan?" Sindirnya dengan wajah yang meremehkan. Lalu lelaki jangkung itu berkata, "Jika uangnya bernilai sebesar uang jajan anak SD, akan kutolak."
Sebelah alis Sugawara naik, menyengir lagi. "Siapa bilang bayarannya akan sebesar itu?" Tantangnya lagi. Sugawara mengambil kalkulator di atas meja dan mengetuk beberapa tombol di sana yang membuat Hinata dan Tsukishima resah.
Daichi menghela nafasnya. "Jika dengan sikap Suga yang satu ini, jangan pernah main-main dengan masalah keuangan. Itu akan menjadi bencana besar." Pemuda berambut cepak itu berkata.
"Memang sebenarnya Sugawara-san sikap aslinya seperti apa?" Tanya Hinata sangat ingin tahu. Daichi meragu, dan akhirnya berkata, "Sebenarnya sih, kepribadian ganda. Akan aku jelaskan kepadamu, tapi bukan sekarang." Bisik Daichi.
Sugawara mengangkat tinggi-tinggi kalkulatornya. "Ini dia! Uang bayaran yang pas untuk kalian berdua!" Serunya bersemangat dengan sinar di matanya.
Dengan curiga dan waspada, Hinata dan Tsukishima melihat perlahan ke arah kalkulato-
"WAAAAAAAAAA!"
"GHYAAAAAAAAA!"
"KALIAN! JANGAN BERTERIAK!"
"Daichi juga berteriak, tuh~"
Staff restoran itu menghela nafasnya. "Mungkin kita harus mengambil langkah cepat." Ia mengambil simpulan. Tsukishima bersedekap, keningnya mengkerut. Ia masih ragu. "Bagaimana cara menangkap Gagak Hitam itu?" Tanyanya.
Sugawara menyengir. "Aku saja yang mengatasinya sendiri dengan kalian berdua." Ia mengambil buku catatan, lalu menulis sesuatu, dan merobeknya kemudian memberikan kertas itu kepada Daichi. "Coba pahamkan isi kertas ini nanti~"
"Lalu... apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Hinata ragu. Iris mata senja itu kemudian melihat sepasang mata cokelat Hinata. "Mau apa lagi?" Tanyanya balik.
"Ayo, pergi ke tempat Gagak Hitam itu."
Terima kasih sudah mau baca fanfiction pertama saya! Saya sangat senang :'3
Silakan kritik dan sarannya untuk review! Saya terima dengan senaaaaang hati! Saya masih pemula jadi nggak tau kalau buat cerita bagus kaya gimana. Terima kasih!
