intertwined conspiracy
.
genre: friendship/crime
rating: T
.
Hetalia © Hidekaz Himaruya
notes: peringatan, mungkin ini rada crack. and the rating goes up to T 'cause of some rude words here, hehe.
Kalender di kantor Indonesia menunjukkan hari Selasa, tanggal delapan belas Maret.
Indonesia menaikkan alis pada catatan kecil yang ada di samping kolom tanggal itu—ditulis dengan spidol merah tebal. Kunjungan kenegaraan Presiden Belarus, pada tanggal setelahnya.
Ia membuka lemari pakaiannya, memilih batik terbaiknya di antara sekian banyak batik yang dimilikinya. Tentu saja ia harus berdandan serapi mungkin besok, kalau tidak bosnya akan marah-marah. Lagipula, kunjungan itu bertujuan untuk menegosiasikan hubungan bilateral antar kedua negara.
Gadis itu menggantung batik yang dipilihnya di belakang pintu, dan bergegas tidur. Tak lupa ia menyalakan alarm untuk besok pagi—yah, meski tak menjamin dirinya akan bangun tepat waktu, sih…
.
Kebiasaan jam karetnya sepertinya harus dikurangi sedikit-sedikit.
Selesai upacara dan sambutan seremonial yang bagi Indonesia terasa terlalu lama—gadis itu mulai menyelinap ke pintu keluar ruangan, bergegas ke dapur Istana untuk melihat persiapan para petugas bagian konsumsi yang sedang menyiapkan hidangan untuk jamuan nanti. Hm, pasti hidangannya lezat-lezat.
Ia meminta sepotong kue bika ambon pada salah satu petugas yang dikenalnya baik, dan bergegas keluar sembari menyembunyikan kue itu di saku kemejanya. Heh, cicip satu saja tak apa-apa, kan…
Di koridor yang mengarah ke taman belakang istana—mendadak ia menubruk seseorang. Orang yang ditabraknya tersandung, lalu terjatuh—untung ia mendarat di karpet yang empuk.
Indonesia tertegun, dan buru-buru membungkuk untuk meraih tangan orang itu—yang ternyata adalah seorang gadis berambut pirang pucat.
Wah, pasti bukan termasuk orang Istana. Jangan-jangan dia salah satu dari delegasi yang sedang berkunjung, lagi…
Tapi sebelum Indonesia sempat membantu orang itu untuk berdiri, si gadis sudah bangkit lebih dulu. Ia menegakkan badannya tanpa suara—lalu mengibas-ngibaskan setelan biru-putih yang dikenakannya dengan cekatan.
"Uhm, maaf Nona…!" kata Indonesia buru-buru. Si gadis mengangkat wajahnya.
"Shit," gumamnya pelan. "Kau mengagetkanku, tahu."
Indonesia menaikkan alis—antara kaget dengan bahasa kasar gadis itu ditambah dengan nada kalem yang digunakannya saat menggerutu tadi.
"Maaf, Nona…"kata Indonesia lagi, kali ini sambil tersenyum minta maaf. "Omong-omong, kau salah satu tamu dari Belarus itu, kan?"
"Hm ehm," si gadis mengangguk datar. Indonesia menaikkan alisnya.
"Kenapa kau tidak disana?"
Gadis itu mengangkat bahu. "Aku tidak termasuk salah satu delegasi, jadi paling-paling aku hanya menghabiskan waktu dengan melamun saja disana nanti," balasnya ringan. Indonesia menatap gadis itu lagi—kali ini dari atas ke bawah, dan berpikir kalau sepertinya ia adalah gadis yang kalem.
"Oh begitu," ia mengangguk-angguk. "Kau mau kemana, omong-omong?"
Si gadis terdiam sejenak. "Disini ada taman, kan? Aku ingin menghirup udara luar."
Indonesia tersenyum lebar. "Wah, kebetulan. Aku juga ingin kesana. Kita bareng saja, kalau begitu," si gadis berambut hitam menarik tangan sang tamu asing itu secara bersahabat, lalu bergegas ke pintu menuju taman belakang.
.
Gadis pirang itu terdiam sebentar—mengamati tangannya yang ditarik mendadak, dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti saja langkah kenalan barunya itu.
"Udara disini hangat, ya," si gadis pirang mengomentari, sembari menoleh pada Tuan Rumah di sebelahnya. Indonesia mengangguk riang.
"Kau suka?"
"Sedikit terlalu panas sih," gadis itu terdiam sejenak. "Tapi kurasa, aku lumayan menyukainya."
Indonesia tersenyum lebar. Mendadak ia teringat sesuatu.
"Eh, iya," katanya mendadak, "aku lupa tanya namamu. Siapa namamu, Nona?"
Gadis pirang itu menatap Indonesia sekilas. "Natalya," balasnya singkat. "Natalya Arlovskaya."
"Oh," Indonesia mengangguk-angguk. Namanya lumayan ribet juga.
"Kalau kau?" sekarang giliran gadis itu yang bertanya.
"Indonesia," balasnya sembari tersenyum lebar. "Tapi, jangan panggil aku Indon, loh," ia mewanti-wanti. Natalya menaikkan alis.
"Namamu sama dengan nama negara ini, ya."
'Tentu saja,' pikir Indonesia dalam hati. Tapi ia hanya tertawa ramah pada gadis itu.
"Salam kenal, Natalya," Indonesia mengulurkan tangannya pada gadis itu—yang dipandangi si gadis dengan tatapan heran. "Semoga kau menikmati kunjunganmu kesini, ya."
Natalya terdiam sejenak—sebelum akhirnya membalas uluran tangan gadis itu. Jari-jari Indonesia terasa hangat.
"Kira-kira mereka membicarakan apa ya, di dalam," gumam Indonesia setengah melamun. Natalya menoleh.
"Kerja sama," gadis itu memberitahu singkat. Indonesia meringis.
"Kalau itu aku juga tahu," balasnya ceplas-ceplos. "Kerjasama di bidang apa, maksudku?"
Natalya terdiam sebentar—berusaha berkonsentrasi pada percakapannya dengan gadis itu, dan bukan pada lamunannya tentang sang Kakak. "Pertanian…"
"Hm?"
"—serta ilmu pengetahuan dan teknologi," jelasnya sambil menatap Indonesia lekat-lekat. Lawan bicaranya terdiam sejenak, lalu menganggukkan kepala.
"Ini pertama kalinya negaramu berkunjung ke negaraku, ya?" tanya Indonesia lagi. Natalya mengangguk.
"Indonesia," gumam gadis pirang itu mendadak, "kau jarang menjalin kerja sama dengan negara-negara Eropa Timur, ya?"
Sang tuan rumah menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Hmm," ia mengingat-ngingat sembari terdiam sejenak, "dengan Kazaskhtan dan Polandia sudah, sih. Oh ya, dengan Rusia juga…" ia menambahkan.
Natalya mengangguk-angguk. "Kalau kulihat-lihat, kau jarang menjalin kerja sama lagi dengan Kakakku, ya," gumamnya lambat-lambat. Indonesia menaikkan alis.
"Kakakmu?"
"Iya," Natalya menoleh, senyum lebar terkembang di wajah pucatnya yang daritadi tak menunjukkan ekspresi apapun, "Rusia itu kakakku."
"…oh," Indonesia menelan ludah. Apa benar gadis di sampingnya ini si Natasha-entah-siapa—yang didesas-desuskan memiliki kecenderungan maniak dan selalu membawa-bawa pisau di saku bajunya. Ia bergidik sedikit. Tsah, mudah-mudahan saja si Natalya Arlosvah—err, dia lupa nama lengkapnya, di sebelahnya ini tidak menusuknya mendadak dari belakang.
"Padahal dulu kau lumayan dekat dengannya, ya," Natalya menaruh tangannya di dagu, seakan tengah mengenang masa lalu yang membahagiakan, namun telah lama lewat.
"Err, iya," Indonesia membalas pelan-pelan, "pada waktu Orde Lama, Natalya."
Gadis pirang itu mengangguk-angguk—meskipun dia tak tahu Orde Lama itu apa, lalu menghela napas panjang. "Hh," desahnya perlahan, "kurasa, aku tahu kenapa kau mulai menjauh dari Kakakku."
"Eh?" Indonesia menaikkan alis, merasa terkejut sedikit akan kata-kata gadis itu.
"Ah ya," Natalya merenggangkan tangannya, lalu menghela napas lagi. "Itu gara-gara kau mulai dekat dengan si America brengsek itu," gumamnya setengah gusar. "Iya kan?" Natalya menoleh, dan sekilas—
…Indonesia menahan napas pada senyum lebar—bukan, maniak yang terpampang di wajah gadis itu.
'Jiah,' gumam Indonesia dalam hati, 'auranya sebelas-dua belas deh sama Kakaknya, kalau gini…'
"Ehm," Indonesia berdeham kalem, "mungkin… Memangnya kenapa, Natalya?"
Natalya menghela napas panjang. "Hati-hati dengannya, Indonesia," katanya serius, senyum sangarnya perlahan pudar dan ia kembali ke ekspresi tenangnya yang dewasa. "Mungkin si hamburger kacamata itu hanya sekadar memanfaatkanmu saja."
"Eh?"
Natalya menoleh, iris birunya menatap Indonesia lekat-lekat. "Dulu aku juga... juga…."
"Apa?" Indonesia kini memandangi gadis itu sepenuhnya, iris hitamnya dipenuhi dengan rasa penasaran yang meluap-luap.
Natalya menghela napas lagi, kali ini dengan hembusan keras. "Dulu ia juga mendekatiku sewaktu aku baru saja merdeka—hm,maksudku berpisah dari Kakakku," gumamnya pelan, matanya menatap ke arah rumput taman yang tumbuh di dekat kakinya.
Indonesia memandangi gadis itu dalam diam—ketika mendadak Natalya menolehkan kepalanya.
"Ia mendekatiku ketika aku baru berpisah dari Kakak," ulangnya lagi. "Setelahnya ia menawarkan kerja sama denganku, yang langsung kuterima dengan senang hati karena saat itu ekonomi negaraku belum stabil," Natalya menambahkan dengan nada gusar.
"Lalu?"
Natalya menautkan jemarinya, ekspresinya keras. "Setelahnya, cih…" ia mencibir dengan nada jijik, "si hamburger kacamata sialan itu menjauh perlahan, dan meninggalkanku begitu saja," ia mengernyitkan dahinya, iris birunya berkilat-kilat dengan amarah yang menyala-nyala.
Indonesia bergidik sedikit. Eh, mbak ini sangar sekali…
"Oh… ehm," sang tuan rumah berdeham singkat, bingung mau memberi respon apa. Tapi sepertinya itu tak perlu, karena Natalya segera meneruskan monolog sakit hatinya.
"Kau tahu, Indonesia…?" gadis pirang itu menegakkan badannya mendadak, dengan gesture yang berbahaya. "Kurasa, si hamburger kacamata brengsek itu meninggalkanku karena...," pundaknya turun dengan ekspresi lelah yang samar.
Indonesia menunggu kelanjutan kalimat gadis itu dalam diam.
"Karena… karena ia sadar kalau tak banyak yang bisa diperas dari negaraku. Cih," gadis itu mendengus dengan ekspresi yang bagi sang tuan rumah di sebelahnya kelihatan seperti 'sakitnya-tuh-disini!'
Indonesia terdiam sejenak—dan sejurus kemudian, tangannya mendarat di pundak gadis itu, memberi sang personifikasi Belarusia sebuah tepukan lembut yang simpatik.
"Natalya…"
"Hm?" gadis itu, yang kini ekspresinya sudah berubah tenang kembali, menoleh ke arah teman barunya sembari menaikkan alis.
"Aku juga… tidak suka dengan si tengil maniak junk-food itu," bahasa preman dari sang tuan rumah mulai keluar. "Ia memeras negaraku luar-dalam, Natalya!"
Natalya terkejut sedikit akan letupan emosi Indonesia yang mendadak itu. Sosok seorang gadis ayu yang tadi nampak di sebelahnya, mendadak hilang ditelan angin…
"…Aku membencinya, Natalya," Indonesia menolehkan kepalanya, dan Natalya bertemu dengan wajah ayu yang kini berubah perlahan karena dihiasi dengan sebuah seringai lebar, "aku membencinya dengan sepenuh hati, khukhukhu…AHAHAHA!"
.
.
(Natalya kehilangan kata-kata.)
.
.
Bersambung.
.
notes ii: Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, berkunjung ke Indonesia pada Selasa (19/3), tahun lalu.
.
terima kasih sudah membaca. :)
