Disclaimer : I do own nothing.
.
.
Youth Hurts (Love In The Ice)
Author: Nakki Desinta
.
.
Chapter 1 : New Life
.
.
Hari ini adalah hari pertama aku pindah ke sekolah terkenal bernama Karakura.
Perkenalkan, namaku Kuchiki Rukia. Adik dari pria bangsawan paling kaya se-Soul Society yang bernama Kuchiki Byakuya. Tapi ada beberapa hal yang harus diingat...
Pertama, aku bukan adik kandung. Diterima? Harus itu!
Kedua, karena aku bukan adik kandung, jadi kepribadianku tidak sepenuhnya seorang bangsawan. Aku lahir dan besar di pinggir jalan, jadi mohon maaf kalau kelakuanku tidak sama dengan perempuan bangsawan di manapun di dunia ini. Diterima juga?
Ketiga, aku baru berumur 16 tahun lewat sembilan bulan. Masih muda, kan?
Keempat, alasan aku pindah ke Karakura adalah kakak Byakuya yang tidak menyukai keberadaanku di Hueco Mundo, yang kebanyakan berisi anak-anak brandal. Tapi jangan salahkan hal itu, karena aku baru saja diadopsi keluarga Kuchiki lima bulan lalu. Masih baru...
Kelima, dan ini yang paling menyebalkan! Aku harus berhenti dari kerja sambilanku di toko buah milik Pak Kenpachi. Sebagai adik bangsawan aku harus bersih dari predikat pekerja paruh waktu (yang menurut mereka masuk dalam kategori pekerjaan kasar, juga karena aku ini perempuan kata mereka) padahal aku bangga bisa membiayai hidupku sendiri.
Keenam... apa lagi ya? Mungkin bisa dibilang aku agak tidak waras sudah menerima proposal keluarga Kuchiki yang menyatakan aku diadopsi karena aku adalah adik dari Kuchiki Hisana yang tidak lain adalah istri dari kakak baruku. Namun sedihnya, karena istri kakak baruku sudah meninggal saat dua tahun usia pernikahan mereka, sehingga mereka belum sempat dikaruniai anak sama sekali. Sungguh usia pernikahan yang singkat. Tapi aku tidak akan menyangkal kalau ternyata wajahku memang seperti cerminan Kuchiki Hisana, entah apakah aku benar adiknya atau bukan, aku sendiri tidak pernah memiliki ingatan seperti itu dalam otak dangkalku ini.
Intinya... Anggap saja aku ini adalah orang kaya mendadak, karena status adopsi sih!
Aku berjalan menuju ruang tata usaha dan harus bertemu staff yang namanya tertera dalam kertas daftar jadwal mata pelajaran yang harus aku ambil dalam semester ini. Siswa konversi memang harus selalu mengalami saat-saat seperti di neraka karena banyak penyesuaian ulang. Sekalipun mereka meyakinkan bahwa materi mata pelajaran di semua sekolah sama saja, tapi masalahnya level Hueco Mundo dan Karakura adalah langit dan dasar bumi. Jadi jauhnya minta ampun deh! Naik bis dua kali bolak balik pun sepertinya tidak akan terkejar.
"Selamat pagi!" seruku pada seisi ruangan yang dalam seketika langsung menegakkan badan dari layar komputer yang mereka hadapi, mereka melakukannya hanya untuk melihat orang yang baru saja membuat telinga mereka berdenging.
"Kau pasti Kuchiki Rukia!" pekik sebuah suara lantang yang penuh nada protes tidak suka.
"Benar, Pak! Panggil saya Rukia saja!" kataku penuh semangat pada seorang pria yang berjalan mendekatiku di counter depan ruang tata usaha. Aku tidak begitu bisa membaca kepribadian orang di hadapanku ini. Wajahnya bulat seperti bola sepak, matanya juga kecil, mungkin karena terlalu banyak lemak yang bersarang di wajah kecilnya. Badannya bulat penuh, dan... pendek. Sekalipun aku tidak tinggi, aku juga berhak menilai orang lain pendek kan? Mungkin dia terlalu banyak makan hingga membuat pertumbuhan badannya yang seharusnya ke atas jadi malah melebar ke samping.
"Aku Omaeda, wali kelas XI-1. Kebetulan pengurus keluargamu baru saja telepon ke sekolah, jadi sekarang aku akan mengantarkanmu ke kelas." Pak Omaeda menuntunku menuju koridor panjang yang berangsur kosong, karena bel masuk jam pelajaran pertama baru saja berbunyi.
Lingkungan sekolah Karakura begitu tenang dan terlihat sekali sangat terawat. Bangunan yang tertata rapi dengan lokal-lokal yang sangat baik peletakannya membuatku semakin yakin bahwa sekolah ini memang pantas menjadi sekolah dengan standar internasional. Fasilitas, sarana, prasarana, bahkan sampai guru dan proses administrasinya tersusun rapi.
Perhatianku tertuju pada taman yang memagari koridor yang menghubungkan tiap ruangan di lantai dasar. Keseluruhan bangunan terdiri dari lima lantai, tiap lantai terdiri dari berpasang-pasang pintu, entah ada berapa kelas yang disediakan sekolah ini.
"Ulquiorra? Kau terlambat lagi!"
Kepalaku langsung berpaling ke suara lantang Pak Omaeda. Dia terdengar begitu kesal.
Seseorang tinggi kurus berdiri di dekat anak tangga, matanya terlihat kosong dan tanpa emosi mengarah ke Pak Omaeda. Dia tidak terpengaruh sama sekali dengan aura kemarahan yang dikeluarkan Pak Omaeda, sepertinya ini bukan pertama kalinya orang berwajah pucat di seberang kami datang terlambat. Bajunya terlihat agak usang, jauh dari kebanyakan siswa yang mengenakan seragam yang sama dengannya.
"Dia sekelas denganmu. Tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan murid dari kelas favorit, semoga kau tidak begitu!" bisik Pak Omaeda, tersirat ketidaksukaan yang jauh lebih nyata sekarang, membuatku berpikir bahwa wali kelas berbadan tambun ini pasti sudah menanam benih bencinya padaku. Memangnya apa yang salah denganku?
"Kau kelas XI-1 juga?" seruku keras, dan laki-laki bermata hijau itu menggerakkan pandangannya dengan lambat, sepertinya engsel di kepalanya sudah karatan sehingga sulit untuk digerakkan. Kekosongan dalam pandangnnya membuat bulu tengkukku berdiri, seolah ia memiliki sorot mata sedalam samudera yang tidak akan pernah bisa ditebak apa yang tengah ada dalam benaknya. Atau jangan-jangan dia memang tidak pernah menggunakan otaknya?
Laki-laki tadi tidak memberikan apa-apa lagi selain sorot mata monotonnya. Aku sampai menoleh pada Pak Omaeda yang malah ikut bisu sambil mengepalkan tangannya.
"Pak! Kita lagi main adu mata ya?" celetukku, membuyarkan raut wajah Pak Omaeda.
"Kita masuk kelas, abaikan saja murid bisu itu."
Pak Omaeda melangkah ke anak tangga tempat murid bernama Ulquiorra itu. Aku melihat nama yang terbordir di seragamnya ketika melangkah melewatinya untuk meniti anak tangga naik.
Ulquiorra Schiffer
Namanya terdengar tidak lazim untuk kalangan umum, mungkin dia berdarah campuran, karena ketika aku perhatikan wajahnya, dia tidak sepenuhnya memiliki bentuk wajah yang sama dengan masyarakat umum, terlebih warna matanya yang begitu tidak lazim.
"Salam kenal, aku Rukia!" ucapku sambil sedikit menundukkan kepala, sebagai salam hormat pada orang yang baru aku temui. Tapi orang itu tidak bereaksi, dia tetap menatap mataku, dan... titik.
"Jangan bicara dengan orang bisu sepertinya, percuma saja!" sahut Pak Omaeda yang sudah meninggalkanku jauh di puncak anak tangga.
"Kau bisu?" tanyaku tidak percaya, dan orang itu benar-benar tidak menjawab.
"Bapak jangan bercanda! Apa benar dia bisu?" jawabku seraya melangkah mengejar Pak Omaeda, meninggalkan Ulquiorra Schiffer yang membeku di tempatnya.
Aku bukannya suka asal bicara, tapi aku memang selalu menyuarakan apa yang ada dalam benakku. Kalau aku berpikiran dia tidak bisu, ya memang aku berpikiran seperti itu. Dia terlihat seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi ada sesuatu yang mengganjalnya. Itu sih dia sendiri yang tahu, aku cuma menebak kok.
Pak Omaeda menginterupsi pelajaran yang tengah berlangsung, membuat guru berpakaian resmi dengan dasi bermotif garis-garis di tengah kelas, harus menghentikan penjelasannya.
"Maaf, Pak Ishida. Ini Kuchiki Rukia, murid baru yang pindah mulai semester ini."
Pria berkacamata dengan sorot mata tajam itu mengangguk penuh penghormatan dan mempersilahkanku masuk.
"Emmm..." aku memandang ke seisi kelas, melihat seklias wajah-wajah yang akan menjadi temanku selama semester ini. "Salam kenal, namaku..." ucapanku terhenti karena Ulquiorra menerobos masuk kelas tanpa menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Dia berjalan santai menuju tempat kosong di pojok kanan paling belakang, dia meletakkan tasnya dan langsung bertopang dagu melihat keluar jendela.
Apa-apaan dia? Ke sekolah hanya untuk melihat pemadangan? Kenapa tidak ke taman bermain sekalian?
"Ehm, kau akan melanjutkan perkenalanmu?" Pak Ishida menyindirku yang mendadak terdiam.
"Maaf, maaf! Sekali lagi aku perkenalkan, namaku Rukia, sebelumnya aku sekolah di Hueco Mundo."
Aku terdiam saat mendengar bisik-bisik rendah dari beberapa siswa yang mendengar nama Hueco Mundo. Mereka tadi tidak terusik sama sekali saat Ulquiorra masuk ke kelas tanpa permisi, seolah mereka tidak melihatnya saja, dan sekarang mereka justru ramai saat aku menyebutkan nama Hueco Mundo.
"Semoga bukan keputusan keliru untuk menempatkanku di kelas favorit, karena peringkatku juga tidak terlalu bagus di Hueco Mundo!" lanjutku seraya menggaruk kepala yang tidak gatal, sengaja aku menarik sudut-sudut bibirku hingga lebar, menyengir hingga gigiku terlihat dan membiarkan mereka semakin banyak mengeluarkan suara sumbang.
"Terima kasih, Rukia. Kau bisa mengambil tempat kosong di sana!" Pak Omaeda menunjuk kursi tak berpenghuni yang berada tepat di sebelah Ulquiorra.
"Terima kasih juga, Pak!"
Kursi baruku terasa agak tidak nyaman saat kududuki. Yang membuat tidak nyaman bukan kursinya, tapi malah pandangan orang-orang kepadaku. Aku menghindari segala macam tatapan, dan satu-satunya yang tidak melihatku dari penghuni kelas yang berisi hampir dua puluh lima kursi ini ya ada di sebelahku, Ulquiorra. Aku pun melihat rambut hitamnya yang mengilat di bawah cahaya hangat matahari pagi.
Kenapa dia sekolah di sekolah umum kalau ternyata dia bisu? Memangnya dia bisa menyampaikan isi kepalanya dengan diam begitu? Parahnya lagi, orang-orang di kelas malah tidak menganggapnya sama sekali.
"Ok, kita lanjutkan materi kita..." Pak Ishida meminta perhatian isi kelas kembali padanya.
.
.
.
.
Bel pulang berbunyi nyaring sejak sepuluh menit yang lalu, tapi sekarang aku masih di kelas sambil melihat kembali catatanku dan di sebelahku, Ulquiorra, tengah tertidur dengan wajah tertelengkup di atas meja.
"Hei... kau tidak pulang?" aku mengguncang bahunya, tapi ia tidak bergerak sama sekali.
"Hei!" aku semakin gencar mengguncang bahunya, tapi dia tetap saja beku dan kaku, seperti badan yang sudah dicabut nyawanya, namun saja dia masih bernapas.
Ulquiorra bergerak, mengangkat kepalanya dengan sangat lambat, seolah gerakan lambat dalam film action. Kelopak matanya terbuka, menunjukkan gerakan anggun dari bulu matanya yang panjang, yang juga membuatku iri karena aku sudah kalah sebagai seorang perempuan, kolam hijau emerald dalamnya seolah menarikku hingga tenggelam dalam kekelaman yang tak berujung.
"Pulang?" aku bicara lambat agar ia mengerti bahasa bibirku. Dia tetap tidak ada reaksi.
"Kau-tidak-pulang?" ulangku lebih-lebih perlahan, tapi seketika itu juga aku menepuk kepalaku, karena aku sepertinya lupa kalau orang satu ini bukannya tuli, tapi bisu (berdasarkan informasi Pak Omaeda).
"Sudah bel pulang, kau tidak pulang?" aku meraih bukunya, namun tangannya menyambar tanganku dan menghentakkannya kuat. Rasanya sendiku akan copot ketika ia menjauhkan tanganku dari bukunya.
"Aku hanya mau membantumu beres-beres. Maaf kalau ternyata aku mengganggu," kataku ketus.
Aku berbalik, meninggalkannya begitu saja. Maaf saja kalau ternyata aku tidak terima dengan sikap kasarnya. Aku mungkin bisa bersabar orang menjauhiku, tapi akan beda cerita kalau orang itu sudah bersikap kasar. Itu sudah diluar batas toleransiku.
Aku berputar di bagian lantai dua, melihat beberapa orang siswa masih ngobrol di koridor, bahkan beberapa kelompok anak laki-laki dan anak perempuan masih bercanda asik, terlihat sangat akrab, atau saling mengakrabkan diri. Aku tidak pernah berpikir akan masuk dalam sekolah yang berisi orang-orang terpandang. Semua orang terlihat berbeda dan berasal dari dunia yang tidak pernah aku kenal.
Hah... jujur saja aku merindukan Hueco Mundo, merindukan Tesla, Nnoitra, Yammy, bahkan Szayel. Semua temanku di Hueco Mundo memang cowok, mau apa lagi. Memang di sana kebanyakan murid adalah laki-laki.
Perpustakaan terlihat penuh dengan orang, tadinya aku mau masuk untuk melihat isinya, tapi sepertinya kalau ruangan ini masih ditambah keberadaanku malah buat ricuh semua. Aku belum masuk saja beberapa kepala dari balik rak sudah menjulur untuk melihat ke arahku, jadi sebaiknya tidak usah masuk.
Sekolah ini besar sekali, bahkan bangunannya super megah. Aku ingin berkeliling dulu melihat semuanya, karena aku belum memiliki cukup pengetahuan mengenai tempat-tempat di sekolah ini. Hanya tahu letak perpustakaan karena hari ini aku belajar di perpustakaan dalam mata pelajaran tata bahasa, lalu yang kedua adalah lapangan outdoor karena kami harus lomba estafet.
Termasuk hari yang cukup berat untuk murid baru sepertiku, tapi aku tidak kesulitan untuk adaptasi sekalipun aku belum memiliki teman, yah yang aku tahu biasanya ada saja mendekati murid baru. Mungkin aura Hueco Mundo masih mengekor di balik punggungku, karena itu tidak ada yang mau mengambil jarak lebih dari dua meter dariku.
"Aku sudah bilang kau harus mengerjakan PRku, Gagu!"
Prang!
Aku yang tengah berjalan balik dari koridor lantai dua, langsung berlari ke pinggir dekat tembok pembatas setinggi dada, dan melihat ke belakang, tepatnya ke bagian belakang bangunan utama, tempat pembakaran sampah dan gudang yang sepertinya menjadi tempat penyimpanan barang-barang yang tidak terpakai.
Mataku memicing melihat tiga orang berdiri di dekat tower air. Dua orang berdiri menghadang sosok kurus yang berdiri pasrah terhimpit ke tembok karena tangan dua orang berbadan besar yang ada di hadapannya tengah mendorongnya hingga punggungnya bertabrakan dengan tembok.
Ini adegan penindasan yang paling kuno!
Di Hueco Mundo yang seperti ini sudah tidak berlaku lagi, mereka sudah bukan zamannya lagi bully begini.
"Kau mungkin gagu, tapi kau tidak idiot, kan?"
Satu pukulan mendarat di wajah sang korban tertindas. Aku tidak perlu waktu lama untuk mengenali sosok kurus dan ringkih Ulquiorra, dan dia malah pasrah saat orang yang satunya lagi menendang perutnya. Sepertinya dua pukulan sudah cukup untuk si mata hijau menyala, anggap saja aku membiarkannya dipukul sebagai balasan karena sudah mengabaikan keberadaan seorang Rukia yang terkenal super galak di Hueco Mundo ini.
"HALLO!" aku berteriak keras dengan kedua tangan terposisikan di mulut sebagai moncong pengeras suara. Usahaku berhasil, karena dua orang brengsek itu mendongak ke arahku, dan wajah mereka terlihat santai, tidak ada raut kaget sama sekali. "Kalian mau pukul dia sampai masuk rumah sakit atau cuma gertakan ringan saja? Kalau sampai masuk rumah sakit, aku ikut ya. Aku bisa minta kakakku membayar biaya rumah sakit, tapi jangan pukul terlalu keras," kicauku sembarangan. Biar saja mereka menalarkan ucapanku.
Satu di antara mereka, orang yang bersurai hitam legam langsung menarik rekannya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
Cowok yang menerima bisikan dari si rambut hitam mendongak ke arahku, dan berseru cepat, "Maaf, tapi kami tidak suka berurusan dengan kelas bangsawan! Kalian terlalu banyak aturan!"
Bangsawan? Mereka tahu aku Kuchiki Rukia? Cepat sekali gosip beredar, benar-benar menyebalkan sekolah di lingkungan serba elit begini, semuanya serba melihat status.
"Banyak aturan iya, tapi tidak banyak tingkah seperti kalian!" semburku kesal.
"Terserah saja! Kami tidak punya urusan denganmu, tapi dengan Si Gagu!"
Dengan sebaris kalimat itu mereka pergi meninggalkan Ulquiorra yang meringkuk di rerumputan, tapi mereka masih sempat-sempatnya menendang Ulquiorra lagi hingga ia terjerembab di rerumputan basah bekas gerimis. Kelihatannya dia cukup kesakitan sampai tidak cepat bangun dari tempatnya.
Hah... Mungkin aku memang ditakdirkan berurusan dengan orang satu ini, karena itu juga aku berlari turun menuju tempatnya berada. Kaki kecilku berusaha memperlebar langkah yang aku ambil, tapi tetap saja ini justru membuat kakiku cepat pegal.
Aku sampai di pintu berkarat menuju bagian belakang gedung utama, melihat kanan kiri untuk mencari sosok menyebalkan dan berwajah kaku Ulquiorra. Mataku membulat sempurna sampai rasanya akan melompat saat melihat tetesan darah di sepanjang jalan paving block yang berfungsi sebagai jalan. Aku mengikut jejak darah yang mengarah pada bagian samping gudang, sontak aku berlari menuju lorong sempit yang hanya cukup dilewati satu orang bertubuh langsing. Benar saja! Aku mendapati Ulquiorra tengah berjalan tertatih-tatih menuju tempat yang tidak aku kenal.
"Hei!" aku berteriak memanggilnya, tapi dia pura-pura tuli dan terus meninggalkanku.
Kupacu langkahku hingga bisa meraih tangannya, dan dia sempat berdesis saat ku tarik tangan kirinya. Baru aku sadar, darah menetes dari ujung jari tangan kirinya, sementara tangan kanannya menekan pergelangan tepat di atas sikunya. Reflek dan tanpa pikir panjang lagi aku meraih pinggangnya (aku terlalu pendek untuk dapat menjangkau bahunya! Jangan singgung aku lagi masalah tinggi badan!) dan membantunya agar bisa melangkah lebih cepat.
Aku tidak banyak bicara, dan saat kami keluar dari lorong sempit berbau asap pekat, aku melihat ke kiri dan papan bertuliskan unit kesehatan langsung menyapa mataku. Aku memosisikan diri di samping Ulquiorra, menariknya hingga kami masuk ke ruang kesehatan.
Dia benar-benar manusia paling keras kepala yang pernah aku kenal. Bayangkan saja! Aku sudah susah payah membawanya ke ruang unit kesehatan, tapi dia malah menghentakkan tanganku saat akan memeriksa lukanya.
"Dengar ya, Ulquiorra Schiffer. Pertama, kau terluka, kau tahu itu kan?" aku menunjuk-nunjuk hidungnya, dan dia tetap pasang wajah es baloknya.
"Kedua, kau tidak berhak menolak pertolonganku, atau kubiarkan kau kehabisan darah di sini karena tidak ada petugas kesehatan yang jaga sekarang!"
Dia masih saja tidak berekspresi, hanya sorot matanya yang monoton membalas kemarahanku yang menggelegar seperti gunung api yang meletus berkali-kali.
"Ketiga! Aku-"
Satu lagi tindakan tidak terduga dari pria tanpa suara di depanku. Dia melepas genggamannya dari luka di tangannya, dan dengan tangan berlumuran darahnya itu, ia menarik turun tanganku yang masih sibuk menuding-nudingnya, dan aku agak ngeri saat ia mengarahkan tanganku ke lengan seragamnya yang sudah berwarna jadi merah.
Sepertinya ini kode kalau aku harus berhenti memarahinya dan mulai mengobati lukanya.
Ragu-ragu aku menggulung lengan bajunya hingga batas bahu, dan aku benar-benar melihat luka segar bekas goresan dalam, sepertinya dia terkena semacam seng atau kawat saat dipukuli tadi. Merasa ini urusan penting, aku segera mengobrak-abrik lemari obat unit kesehatan, mencari alkohol untuk membersihkan lukanya agar tidak infeksi. Aku tidak mau disalahkan jika nantinya dia kena tetanus.
"Aku menyentuhmu, Ulquiorra. Kau tidak keberatan?" aku berbisik dengan tangan tidak berhenti bergerak. Bukan hal yang mengejutkan kalau tiba-tiba dia mendorongku nanti, jadi selama dia masih jinak, biar saja aku obati lukanya.
"Ada apa?"
Baik aku maupun Ulquiorra, sama-sama mendongak ketika suara panik dan histeris hampir memecahkan gendang telinga kami. Sosok bertubuh seksi berdiri di ambang pintu, jas putih yang menandakan dia petugas unit kesehatan terpasang dengan pas di lekuk tubuhnya, rambutnya yang panjang hingga pinggang tergerai indah dan menunjukkan warna orange menyala menyilaukan mata. Aku jadi bertanya-tanya, ini petugas kesehatan atau suster-suster seksi yang sering ada di majalah BL ya? Soalnya Nnoitra sering membawa-bawa dvd baru yang covernya menunjukkan suster berdada besar dengan pose menggoda.
"Umm, kecelakaan kecil," bisikku sambil menunjuk luka di tangan Ulquiorra yang hampir sepanjang tiga sentimeter. Sekarang lukanya terlihat karena sudah bersih dari bercak darah, tapi ini justru mengundang kepanikan yang berlebih saat sang petugas melihatnya.
"Apa saja yang sudah kau lakukan?"
Aku melirik Ulquiorra yang justru menunduk melihat telapak tangannya yang masih bernoda darah. Hah, orang ini memang tidak bisa diajak kerjasama.
"Hanya membersihkan, tidak lebih!" selorohku sambil mengangkat kapas basah bernoda darah di tanganku.
Wanita bertubuh tinggi nan seksi itu langsung menarikku menjauh dari Ulquiorra, tapi memang dasar badanku yang terlalu enteng, aku sampi jatuh terduduk di lantai. Jadi sebenarnya tenaga wanita ini yang terlalu besar atau aku yang terlalu lemah?
"Syukurlah, aku kira kau sudah meneteskan cairan macam-macam pada lukanya."
Aku menggeleng cepat menyangkal prasangka wanita bermake-up tebal di seberangku ini.
"Lagipula aku sedang tidak ingin buang air kecil," celetukku asal.
"Apa? Jadi kau berpikiran untuk meneteskan air seni ke lukanya?" sembur wanita itu lagi, hingga aku merasakan napas wangi mintnya ke cuping hidungku.
"Aku 'kan cuma bilang aku tidak mau buang air kecil! Siapa juga yang berpikiran seperti itu..." gerutuku, dan sesaat Ulquiorra melirikku, sorot matanya sekilas terlihat datar sih, tapi aku bisa merasakan ia tersenyum di balik wajah expressionless-nya itu.
Melihat posisiku sekarang, aku tidak banyak berkutik. Memang dasar aku sudah terlanjur jatuh di lantai, sekalian saja aku duduk di lantai, dan melihat bagaimana gesitnya tangan wanita itu merawat luka Ulquiorra.
"Untung tidak perlu dijahit, kalau tidak aku akan diteriaki kakekmu."
Kakek? Jadi wanita ini mengenal Ulquiorra. Sebuah kartu pengenal menggantung di dekat gantungan baju, dan sebaris nama dengan tulisan Matsumoto Rangiku dengan jenis font Monotype tertera di sana. Wah, jadi wanita ini bernama Matsumoto, kelihatannya jenis perawat yang baik dan perhatian, sekalipun agak overreacting.
"Kau selalu saja terluka seperti ini, kau membiarkan murid-murid nakal itu menindasmu?"
"Ibu Matsumoto, luka it-"
"Panggil aku Nona! Aku belum setua itu!" sergah wanita berbulu mata panjang itu. Aku sampai mengelus dada sangking kagetnya karena dia berteriak begitu keras. Habisnya mana aku tahu kalau dia ternyata belum cukup tua untuk dipanggil Ibu?!
Matsumoto melirikku tajam. "Kau mau bilang apa? Kenapa diam?" kejarnya.
Aku mengendikkan bahu dan berkata, "Tidak jadi, kata-katanya langsung kabur, takut mendengar suara keras Anda!" jawabku cuek.
"Kau ini... Benar-benar tidak punya darah bangsawan. Padahal kau Kuchiki, kan?" sindir Matsumoto terang-terangan.
Dengan mudahnya aku mengendikkan bahu dan mengacuhkan ucapannya, duduk bersila di lantai, membiarkan Ulquiorra maupun Matsumoto melihat celana pendek olahraga yang kukenakan di balik rokku. "Aku tidak punya darah bangsawan, karena aku besar di jalanan. Kurasa itu sangat jelas. Iya 'kan? Aku lebih suka diriku yang begini," kataku tanpa beban, baik itu beban karena julukan bangsawan ataupun karena mata mereka yang melihat rokku.
"Dasar anak zaman sekarang, tidak tahu cara berterimakasih."
"Yah, setidaknya aku mengerti sedikit," sangkalku sambil membungkuk dalam penuh penghormatan.
Tiba-tiba saja tawa keras Matsumoto pecah memenuhi ruang unit kesehatan, suaranya persis tawa tokoh anime, hanya bedanya dia tidak mengangkat tangannya ke mulut sambil melirik penuh sindiran padaku. "Kau menarik! Setidaknya ada hiburan tersendiri untukku melihat kau berada di kalangan elite seperti ini," kicau Matsumoto lagi.
"Selesai!" pekiknya lagi penuh bangga, jelas saja aku langsung membelalak kaget melihatnya yang tengah merapikan peralatannya. Cepat sekali tangannya bergerak, seperti melihat sihir atau sulap saja, karena tangan Ulquiorra sudah dibalut perban berwarna putih dan lengan bajunya diturunkan lagi hingga menutupi sebagian perban.
"Kau mau ganti seragam?" tanya Matsumoto saat melirik seragam Ulquiorra, tapi si empunya malah diam saja. "Kurasa tidak!" sambar Matsumoto cepat, dan dia beranjak dari hadapan Ulquiorra. "Hei, Kuchiki!" Matsumoto melotot padaku, dan aku balas membelalak padanya. Dia tersenyum lembut menghadapi tatapanku. "Tidak perlu galak begitu," candanya sambil tertawa.
"Anda duluan yang mulai," sahutku santai.
Matsumoto menepuk bahuku, dan dia sempat melirik Ulquiorra yang tengah merapikan bajunya, sebelum berbisik padaku, "Aku minta tolong kau antar dia sampai halte bus, setidaknya pastikan dia tidak diganggu anak berandalan itu lagi sampai dia naik bis nanti. Sepertinya kau bisa diandalkan, Kuchiki? Kudengar kau pernah menumbangkan tiga orang pria sekaligus di sekolah lamamu." Aku sontak saja menjauh dan membelalak tidak percaya ke arahnya, ternyata berita lebih cepat sampai dari pada bantuan korban bencana alam.
"Baiklah, tapi apa yang aku dapatkan sebagai imbalannya?" sahutku penuh pertimbangan, dan wanita berdada besar di depanku mendesis kesal melihat sikap materialistisku.
"Makan siang gratis besok siang?" ucapnya ragu-ragu, seolah dia sendiri tidak yakin kalau aku akan menerima tawaran barter-nya ini.
Aku menggaruk daguku perlahan, pura-pura berpikir berat sambil melirik Ulquiorra dan Matsumoto bergantian. Ulquiorra yang dengan cueknya berdiri santai sambil menyelempangkan tasnya, dan Matsumoto yang berharap-harap cemas menunggu jawabanku, sangat bertolak belakang. Yah, sepertinya tidak buruk juga menolong orang.
"Baiklah, tapi aku mau dua porsi sekaligus!"
"Kau-" Matsumoto menggeram kesal. "Kecil-kecil makanmu banyak juga ya?"
"Kenapa? Anda iri karena Anda berusaha diet setengah mati tapi tidak pernah kurus?" ledekku asal, tapi sepertinya ucapanku tepat kena sasaran, karena wajah Matsumoto langsung pucat saat kata diet lolos dari mulutku.
Aku menggaruk kepala penuh rasa bersalah. Hah... perempuan dimanapun pasti sensitif dengan umur dan berat badan, tidak terkecuali aku, tapi perlu catatan tambahan karena ada satu hal lagi yang membuatku sensitif, yaitu tinggi badan.
"Maaf..." gumamku sungguh-sungguh, lalu melanjutkan, "Kalau begitu aku permisi. Ayo, Ulqui!" aku menggandeng tangan Ulquiorra yang tidak terluka, menariknya tanpa ampun menuju pintu keluar unit kesehatan. Langkah kakiku tidak imbang dengan kakinya yang panjang, sehingga sekalipun aku berjalan di depannya, dengan cepat ia mengimbangi langkahku.
Aku biarkan tatapan mata penuh tanya dari penghuni sekolah jatuh padaku, beberapa di antaranya bahkan berbisik seolah aku akan menerkam mereka kalau aku mendengar apa yang tengah mereka ributkan. Hanya dalam sekilas pandang, aku tidak ragu mereka sedang membicarakanku yang tengah menggandeng Ulquiorra (tidak lagi menarik tangannya karena posisi kami sejajar sekarang), menuju gerbang utama sekolah. Ditambah lagi tangan Ulquiorra yang diperban (sekalipun tidak terlihat keseluruhan) di balik seragamnya yang berbercak darah. Persis korban yang terkena pembantaian di film-film suspense.
"Nona Kuchiki! Jemputan Anda-"
Aku melihat petugas antar jemputku sudah standby dan berusaha mengejarku yang justru meninggalkannya.
"Aku akan kembali, sebentar tunggu aku. Kalau kau tidak mau menunggu, kau bisa pergi!" seruku seraya terus berjalan.
Di halte bis kami duduk berdampingan. Aku melepaskan tangan Ulquiorra, membiarkan tangannya menggantung. Aku melihat beberapa orang ikut menunggu bis datang bersama kami, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang mengenakan seragam sekolah kami. Aku tidak heran kalau ternyata hampir seluruh siswa di sekolah kami memiliki petugas antar jemput pribadi, atau mereka lebih memilih untuk naik angkutan antar jemput yang sudah disiapkan oleh sekolah. Tapi kenapa Ulquiorra tidak memilih satupun dari kedua pilihan itu? Dia malah naik bis.
"Apa kau tiap hari naik bis?" tanyaku dan ini pertama kalinya ia merespon pada apa yang aku ucapkan. Bayangkan saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Ulquiorra menganggukkan kepalanya untuk menjawabku, entah mengapa aku senang.
"Aku juga mau pulang naik bis, tapi sayangnya kakakku lebih disiplin dari sipir penjara," celetukku sambil menghela napas berat dan menyandarkan kepalaku ke tiang halte tepat di sebelahku.
Angin berhembus lembut menerpa wajahku, rasanya segar, semacam kelegaan setelah melewati hari pertama yang bisa dibilang tidak biasa di sekolah baru. Andai Szayel di sini, dia pasti akan mengolok-olokku sampai perutnya sakit karena menertawakanku yang melewati hari berat begini dengan sabar.
"Ah! Bisnya datang!" pekikku saat melihat bis menepi dari jalan, dan para calon penumpang yang sudah menunggu sudah berlomba untuk menaikinya, sementara Ulquiorra tetap di tempatnya.
"Kau tidak naik?" tanyaku bingung, dia menoleh padaku secepat kilat, dan detik kemudian dia membuang wajahnya, seolah melihat Godzilla saja! Dia beranjak dan menaiki bis tanpa ucapan apa-apa. Yah, dia memang tidak berucap satu katapun kan?
Tapi apa yang salah dengannya? Kenapa dia terlihat menjadi sangat tidak bersahabat dalam sekejap? Dia sepertinya punya kepribadian yang rumit dan kusut seperti silsilah keluarga Kuchiki yang terlalu banyak cabangnya, dan payahnya harus aku hapal dalam waktu dua jam.
"Kau kira aku akan diam saja? Kita lihat besok! Dasar aneh! Setidaknya tunjukkan rasa terima kasihmu setelah aku menolongmu!" umpatku sambil memukul-mukul udara kosong di depanku, dan bispun melaju meninggalkan halte.
.
.
.
.
"Rukia?"
Aku mengangkat wajahku dari buku yang tengah aku baca, bersiap untuk mengerjakan soal PR yang diberikan guru-guruku hari ini. Aku persis Nobita yang tidak pernah cocok mengerjakan PR, tapi sayangnya aku sudah dijadwalkan untuk mengerjakan PR sepulang dari sekolah hingga menjelang waktu makan malam. Menurut kakak itu adalah waktu yang terbaik, karena materinya masih segar dalam otakku.
"Ya? Ada apa, Kak?"
Kakak duduk di tempat tidurku, tentu saja aku reflek memutar kursiku hingga kami berhadapan.
"Bagaimana hari pertamamu di sekolah?" tanya kakak pelan.
Kakak Byakuya adalah sosok 'cantik' dalam wujud seorang pria dewasa. Dia berumur 29 tahun, bertubuh tinggi dengan bentuk badan ideal idaman para wanita dewasa (aku sering lihat di situs survey, jangan berprasangka buruk dulu denganku!), rambut kakak juga panjang mencapai bahunya, tapi jenis potongan rambutnya sangat mencerminkan darah bangsawan yang ia miliki, wajahnya putih bersih tanpa cela tanpa satupun titik bekas jerawat, hanya saja dia jarang tersenyum dan terkesan dingin, karena itu aku tidak pernah berani berspekulasi dengan apa yang tengah ia pikirkan. Jadi sebaiknya aku ikut arus yang ia ciptakan dulu sebelum mengenal lebih jauh tentangnya.
Aku menunduk dalam memikirkan pertanyaannya yang jelas-jelas terasa punya makna interogasi yang mendalam.
"Tidak buruk. Semuanya baik, aku bahkan ditempatkan di kelas yang berisi anak-anak pintar," jelasku sekenanya.
"Benarkah? Lalu bagaimana dengan fasilitas sekolahnya? Kau suka?"
Tuh kan! Apa aku bilang, ini akan menjadi pertanyaan berantai yang tidak akan selesai dalam waktu singkat..
"Sangat lengkap, beda sekali dengan Hueco Mundo, tapi di sekolah baru tidak akan mudah beradaptasi ketika aku terbiasa sekolah di Hueco Mundo yang penuh dengan keributan," gelakku sambil menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak ada ketombenya.
"Tapi aku dengar kau masuk ke ruang unit kesehatan sebelum pulang. Apa kau terluka?"
Bingo!
Kakak memasang mata-mata juga di sekolah. Lalu kenapa dia bertanya kalau ternyata dia tahu hal lebih detail dari apa yang akan aku katakan? Keluarga bangsawan memang mengerikan, kehidupanku bukan milikku lagi kalau ternyata mereka selalu mengintai tiap gerak-gerikku.
Kepalaku tertunduk dalam, seketika saja aku merasa sangat tidak dipercaya. Kalau ternyata mengadopsiku sebegitu membahayakannya untuk reputasi mereka sebagai keluarga bangsawan, kenapa tidak kembalikan saja aku ke tempatku semula? Toh aku tidak keberatan untuk menjalani kehidupan lamaku. Tidak selamanya menjadi bagian dari keluarga bangsawan adalah hal baik.
"Aku sedikit membantu teman yang dikerjai murid lain," tuturku perlahan. Tunggu dulu! Aku bilang teman? Sejak kapan aku dan Ulquiorra yang rumit itu punya hubungan yang bernama teman? Dia bahkan lebih menjauhiku dari pada tong sampah. "Tapi jujur saja aku tidak suka diawasi. Aku tahu batasan yang harus aku pegang erat, jadi aku mohon kakak tidak..."
"Maaf..." tangan besar kakak Byakuya menyentuh puncak kepalaku, membuatku mendongak menatap wajahnya. Dia terlihat terluka dan penuh penyesalan. "Aku hanya cemas. Tapi sepertinya aku berlebihan. Lanjutkan PRmu, setelah itu kita makan malam," bisik kakak Byakuya seraya beranjak dari tempat tidurku, dan dia sempat membelai pipiku lembut sebelum melangkah pergi meninggalkan kamarku.
"Apa ini?" bisikku seraya menyentuh dadaku yang berdebam tak karuan, detaknya seperti akan memberontak keluar dari rusukku. Tangan kakak lembut sekali, bahkan hangat, tidak sedingin wajahnya yang biasa. Aku tidak percaya aku bisa deg-degan hanya dengan sentuhan ringan seperti ini.
Tenang Rukia... Tenang... kau hanya mengalami sugesti karena kau tidak pernah dikelilingi cowok-cowok selembut kakak Byakuya. Kau biasa ditinju makhluk bernama cowok dari pada diperhatikan seperti tadi, jadi ini hanya , tenang, tarik napas panjang, hembuskan...
.
.
.
.
"Jam berapa Nona mau dijemput?"
Aku melirik jam di tanganku, dan menghela napas berat. Setiap kali aku berangkat sekolah, pasti sopir pribadi (yang entah totalnya berjumlah berapa, karena setiap hari pasti mereka ganti orang) dari keluarga Kuchiki akan bertanya jam berapa aku harus dijemput, padahal mereka tahu jadwal pelajaranku sampai jam berapa.
"Aku akan ada pertemuan kelas setelah pulang nanti, jadi tidak usah dijemput, aku akan naik bis," jawabku dengan 100% ketidakyakinan.
"Tidak bisa, Nona. Pak Direktur..."
Aku mengangkat tangan ke udara, cepat dan tepat untuk menghentikan nama kakak keluar dari mulut sopir dengan jas dan dasi rapi di depanku. Dia adalah sopir yang baru aku lihat, jadi aku tidak tahu siapa namanya, tapi kalau dilihat dari sikapnya yang begitu ketakutan, dia punya pengalaman buruk dengan mengabaikan perintah sang kepala keluarga Kuchiki. Kutarik napas berat, terpejam sambil berpikir betapa menyedihkannya hidup dalam kekangan seperti ini.
"Baiklah, jemput aku jam 5," tandasku sebelum beranjak meninggalkan pelataran parkir.
Sudah lewat dua minggu sejak aku pertama kali masuk sekolah ini, dan tidak sekalipun aku melihat sosok Ulquiorra setelah aku mengantarkannya ke halte bis. Dia menghilang dari peredaran begitu saja, bahkan tidak ada satu orangpun di kelas, terlebih guru yang menanyakan kemana perginya cowok bermata hijau emarald itu. Dia seperti tidak pernah hadir di antara kami saja.
Pak Omaeda, wali kelas kami, mengatakan bahwa dalam dua bulan lagi akan ada festival olahraga di sekolah, dan dia meminta kami berpartisipasi dalam acara tahunan sekolah yang bisa dibilang cukup menjadi konsentrasi sendiri karena melibatkan kehadiran orang tua dan wali murid.
Ketua kelas, yang tidak lain adalah Ishida Uryuu. Yah, bisa dilihat dari namanya, dia adalah anak dari guru kami yang juga sama berkacamata, Pak Ishida. Cocok sekali penampilan keduanya, sangat mencerminkan sosok ayah dan anak yang mirip. Uryuu meminta kami semua berkumpul seusai pelajaran hari ini, makanya aku berpikir ini adalah peluang bagiku untuk sejenak lepas dari kekangan sopir yang setiap saat menungguku pulang. Sekalipun aku belum memilih satupun klub yang akan kuikuti, aku ingin melihat-lihat sekeliling lingkungan yang tidak pernah aku jamah dengan kakiku, karena mobil keluarga Kuchiki selalu menuntunku pulang tanpa pernah memberiku kesempatan untuk mencari jalur memutar.
"Kuchiki! Kau sudah mengerjakan PR Kimia?"
Aku baru saja sampai di kelas, dan sosok yang tidak jauh tingginya dariku menghampiriku. Siapa namanya ya? Aku punya masalah berat dengan mengingat wajah dan nama orang, kecuali mereka memberi kesan khusus pada pertemuan pertama. Seperti Ulquiorra (yang menatapku penuh benci) dan Matsumoto yang menyebutku tidak punya darah bangsawan.
"Senna?" ucapku ragu-ragu.
"Iya, kenapa kau harus menyebut namaku seperti itu?" dia mengerutkan alis dalam.
"Tidak, aku hanya ingin menyebutnya, he he he," aku menarik sudut bibirku lebar-lebar, menunjukkan betapa tampak bodohnya diriku.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, malah melangkah menuju tempat dudukku, dan tanpa kusadari mataku melirik tempat duduk Ulquiorra di sebelahku. Tempat itu kosong, sekosong aura yang terpancar dari pemiliknya. Sekarang aku bisa melihat meja Ulquiorra yang berisi banyak coretan yang berisi semacam kalimat: 'PERGI KAU!' atau yang bernada 'BISU! MATI SAJA KAU!'
Aku tidak percaya dia bisa duduk tenang dengan meja yang penuh tulisan seperti itu. Lagipula memangnya masih zamannya mengerjai orang seperti ini? Memangnya apa salah dia? Kalau dia bisu, apa jadi merepotkan mereka? Aku jadi geram kalau memikirkannya.
"Kau tidak usah cemas. Dia sering menghilang seperti itu, tapi biasanya dia akan kembali lagi kurang dari tiga minggu," ucap Senna tiba-tiba, membuatku mengalihkan pandangan dan menatapnya penuh tanya.
Senna tersenyum lirih padaku, dan dia tidak terlihat keberatan saat menduduki kursi Ulquiorra untuk bisa bicara berhadapan denganku. "Tidak ada yang tahu apa yang dia lakukan, tapi aku salut dia tidak pernah turun dari peringkat satu sekalipun dia sering tidak masuk," tutur Senna seraya mengusap permukaan meja yang kasar penuh goresan bekas pisau cutter.
"Memangnya ada apa dengannya? Sampai semuanya seperti menganggap dia tidak ada."
Senna menggeleng cepat. "Aku tidak begitu mengerti, tapi dia memang seperti itu sejak upacara penerimaan siswa baru. Lalu tersebar rumor bahwa siapapun yang dekat dengannya akan terkena nasib sial. Percaya tidak percaya memang itu adanya. Jadi semua orang mulai menjaga jarak dengannya, termasuk guru-guru juga."
Tanganku terkepal kuat, tidak terima ada gosip murahan yang bisa membuat seseorang terkucil seperti ini.
"Yang aku dengar seluruh keluarganya meninggal da-" Senna berhenti berucap, matanya membesar dan wajahnya memucat seketika, seolah melihat hantu.
"Sepertinya nanti saja aku tanya PR Kimia-nya," kata Senna mengakhiri pembicaraan kami, dan hilang secepat angin, kembali ke kursinya yang berada di bagian depan kelas, tepat di hadapan meja guru.
Aneh!
Aku meletakkan tas yang masih berada di bahuku, meletakkannya di gantungan tepat di sisi meja. Meja dan kursi kelas terlihat serasi dengan warna cokelat muda yang senada dengan warna tanah merah sehabis hujan. Melihat meja ini membuatku merasa kembali ke masa-masa saat aku masih hidup di jalanan dan berjuang tanpa akhir hanya untuk dapat bertahan hidup. Argh... aku jadi kangen teman-teman seperjuanganku.
Kelas sepi, tidak ada lagi siswa yang mengeluarkan sepatah katapun, jadi aku meraih buku Matematika yang tidak lain adalah mata pelajaran yang masuk dalam sepuluh mata pelajaran yang harus dimusnahkan dari dunia ini. Aku tidak terlalu buruk dalam hal hitung-hitungan, kalkulus, logaritma dan phytagoras, tapi kepalaku akan berdenyut hebat setiap kali aku akan mengerjakan rangkaian soalnya. Aku benci berpikir terlalu banyak tentang satu hal.
"Selamat pagi, Bu!" aku ikut berdiri ketika seluruh isi kelas berdiri dan membungkuk untuk memberi salam pada guru yang baru saja masuk. Tapi bukannya memerhatikan guru yang baru saja masuk, aku malah memusatkan seluruh konsentrasiku pada seseorang yang berjalan menuju meja di sebelahku. Sosok dengan wajah kosong dan pandangan tanpa tujuan yang jelas.
"Selamat pagi semuanya. Silahkan duduk!" ucap Bu Sungsun seraya menciptakan bunyi 'brak!' yang keras saat meletakkan buku panduan matematikanya yang setebal kamus lengkap bahasa Jepang.
Aku duduk, bersamaan dengan penghuni utama kursi lusuh di sebelahku.
"Kau kemana saja?" bisikku dengan kepala menunduk, menjauh dari perhatian guru dan penghuni kelas yang lain, tapi Ulquiorra lagi-lagi mengabaikanku. Aku sendiri juga bodoh! Sudah tahu tidak pernah ditanggapi, masih saja mengajaknya bicara.
.
.
.
.
Uryuu membetulkan letak kacamatanya sambil terpejam penuh pemikiran berat, seolah sedang memutuskan apakah ia akan membiarkan kami ikut wajib militer atau tidak. Yah, bagaimana tidak? Seluruh kelas ribut karena saling tunjuk mengenai siapa saja yang akan berpartisipasi dalam empat cabang olahraga yang diperlombakan dalam festival olahraga kali ini.
"Aku butuh sukarelawan, bukan malah saling tunjuk begini! Kalau begitu kita undi saja!" akhirnya sang ketua kelas memutuskan, matanya tajam menatap beberapa orang cowok di kelas yang masih saling dorong untuk meminta temannya yang lain jadi korban.
"Ketua kelas benar! Kita butuh 25 orang, jadi semua penghuni kelas akan ikut!" tambah Senna yang memegang jabatan sekretaris kelas. Dia memegang daftar nama seluruh anggota kelas.
Dalam sekilas pandang aku menghitung tiap kepala yang ada dalam satu kelas. Hari ini seluruh siswa masuk, jadi semuanya... Aku menghitung satu persatu, dari sisi kananku yang duduk paling depan. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,... 15... 21... 24, dan 25. Pandanganku jatuh pada Ulquiorra sebagai orang ke-25. Dia seperti biasa melihat ke bagian luar bangunan, menerawang sesuatu yang hanya bisa dia sendiri yang lihat. Sang cowok tanpa sepatah katapun ini sedang berada di dunia lain, jadi abaikan saja. Yang menjadi kesimpulanku adalah... seluruh anggota kelas akan ikut dalam pertandingan, tidak terkecuali. Tapi aku tidak yakin kalau Ulquiorra akan ikut bergabung.
"Setiap orang ambil kertas undian ini! Jangan dibuka sampai semua orang mendapat kertas undian!" perintah Uryuu yang memberi aba-aba pada Senna untuk berkeliling memberikan jatah nasib tiap orang. Kasihan juga melihat Senna yang berdiri kaku saat tangannya terulur, meminta Ulquiorra untuk mengambil satu-satunya kertas yang tersisa dari gelas plastik di tangannya. Sudah lebih dari satu menit yang terasa kikuk itu terlewat, tapi Ulquiorra tidak bergerak dari posisinya yang bertopang dagu.
"Aku saja yang ambilkan, semua tangannya sibuk menopang berat kepalanya!" celetukku seraya menarik tangan Senna, menyelamatkannya dari kelumpuhan otak akibat diacuhkan Ulquiorra.
"Terimakasih, Kuchiki..." gumamnya sebelum kembali ke depan kelas.
Aku meletakkan kertas tadi di meja Ulquiorra, dia terlihat melirik apa yang aku letakkan, namun lagi-lagi wajah kakunya membuatku geram setengah mati.
"Silahkan dibuka, dan aku minta kalian angkat tangan saat aku menyebutkan cabang olahraga yang ada dalam kertas kalian."
Kelas tetap tenang, dan aku bisa merasakan pandangan mereka yang takut-takut mengarah pada Ulquiorra (yang masih berada di dunia lain).
"Sepak bola!"
Aku melihat sebelas orang mengangkat tangan, campuran, ada cewek dan cowok, sepertinya ini akan menjadi festival olahraga yang menarik. Aku belum pernah menonton pertandingan sepak bola dengan peserta campuran, akan seperti apa jadinya nanti.
"Basket!"
Enam orang mengangkat tangan, dan sepertinya mereka cukup senang ketika jadi satu tim dengan teman yang dekat. Uryuu jatuh dalam turnamen basket bersama Senna.
"Sekalipun undian, sepertinya kita cukup beruntung punya Uryuu dan Senna yang sama-sama mahir dalam basket!" celetuk salah satu suara dari depan.
"Aku setuju!" sahut yang lain.
Aku melirik kertas di tanganku yang bertuliskan 'lari'. Jadi aku akan ikut dalam turnamen lari? Semoga bukan lintas alam, hanya maraton atau sprint biasa. Aku agak punya masalah dengan arah dan peta.
"Selanjutnya, volly!"
Enam orang lain mengangkat tangan, dan lengkaplah sudah semua peserta dalam festival ini. Jadi aku akan ikut lomba lari, tapi bagaimana dengan Ulquiorra?
"Jadi kita sudah tahu, bahwa yang akan ikut dalam lomba lari berpasangan adalah Kuchiki Rukia dan ... Ulquiorra Schiffer," kata Senna mengumumkan, matanya menyiratkan keraguan yang mendalam sebelum menyebut nama Ulquiorra.
"Tunggu dulu!" aku mengangkat tangan ke udara, meminta perhatian semua orang. "Apa maksudnya lari berpasangan?" aku benar-benar tidak mengerti, dan terlebih lagi harus berlari dengan Ulquiorra, baru membayangkannya saja kepalaku terasa lebih berat dari pada mengerjakan tugas Matematika tadi pagi.
Uryuu membetulkan letak kacamatanya lagi. Argh... aku mulai benci tingkahnya yang sok intelek begini!
Sementara menunggu Uryuu mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaanku (karena dia sepertinya akan memberikan pidato panjang lebar), aku merampas kertas undian di meja Ulquiorra dan membacanya cepat. Tulisannya sama persis dengan yang ada di kertasku. Kenapa bisa begini?
Ulquiorra menoleh padaku, dia tidak punya firasat apa-apa tentang ini semua, kan? Kenapa wajahnya begitu? Seperti sedang menertawakanku saja. Padahal selama seharian ini aku berhasil menghindar darinya. Bukan karena rumor yang dikatakan Senna, tapi setidaknya aku ingin menjawab sikapnya padaku, itu saja. Dia mengabaikanku, jadi aku juga bisa melakukan sebaliknya.
"Dengar, Kuchiki. Lari berpasangan berarti, kalian harus lari bersamaan, tapi salah satu kaki kalian harus diikat, sehingga kalian harus menyelaraskan langkah. Jika tidak bisa, maka sudah pasti kalian akan terjatuh. Perlombaan lari berpasangan agak sulit karena harus menyamakan langkah dua orang, sehingga dibutuhkan latihan lebih keras dari pada pertandingan beregu. Kau dan pasangan larimu harus benar-benar sehati, sehingga kau-"
"Ok!" aku mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah untuk mendengar penjelasan yang lebih panjang lagi, tapi karena tingkahku juga, Uryuu langsung mendelik seram, tidak terima kuliah subuhnya dipotong dengan kasar begitu. "Aku mengerti, tapi kenapa harus..." seruku seraya melirik Ulquiorra yang tampak tidak tertarik sama sekali dengan apa yang aku katakan, karena dia malah merapikan bukunya dan beranjak dari kursinya.
"Hei, Ulqui!" pekikku histeris, membuat para penghuni kelas menutup daun telinga mereka, takut gendang telinga mereka pecah seketika. "Mau kemana kau?"
"Kau terlalu ribut, Kuchiki!" Uryuu mengingatkanku.
"Tapi aku tidak terima kalau aku berpasangan dengannya, tidak adakah relawan yang mau menggantikannya? Aku sudah menyerah mencoba berteman dengannya. Kalian lupa kalau aku belum genap sebulan jadi murid di sekolah ini? Bayi saja butuh satu tahun untuk bisa berjalan, terus kenapa aku sudah disuruh lari? ... Atau bisakah aku lari sendirian saja? Sebagai gantinya ikat saja sebelah kakiku dengan barble!" cerocosku tanpa tujuan, yah setidaknya aku tidak akan berjuang untuk mencoba menjadi teman seperjuangan yang akrab dengan Ulquiorra.
Isi kelas sempat tertawa mendengar ucapanku, tapi Senna dengan cepat meredakan suara mereka.
"Maaf, Kuchiki, tapi ini kesepakatan seluruh kelas," tandasnya penuh kebijaksanaan. Benarkah ini kebijaksanaan atau justru ini adalah jebakan? Mereka sengaja menjadikanku pihak yang menderita dan tertindas, padahal tanpa perlu berusaha mendekati Ulquiorra saja aku sudah cukup menderita dan tertindas.
Argh... kalau dia tidak ingin berpartisipasi dalam festival olahraga sekolah, kenapa juga dia masih berada di kelas hingga kami memutuskan semua ini. Dasar wajah kaku menyebalkan, sekarang kau senang bisa menjadikan posisiku semakin sulit?
Bagus! Sekarang aku yang menjadi objek penderita berkat sikap tak acuh Ulquiorra, dan keputusan tak adil dari para penghuni kelas. Menyebalkan!
.
.
.
.
Rumah keluarga besar Kuchiki ramai sekali hari ini, karena hari ini adalah tepat hari kematian Kuchiki Soujun. Ayah kandung dari kakak Byakuya. Jujur saja aku hanya melihat fotonya dan mendengar cerita tentangnya dari orang-orang dalam keluarga Kuchiki, dan sedikit penjelasan saat pertama kali aku diadopsi dan harus belajar silsilah keluarga Kuchiki. Banyak orang yang bilang kalau beliau adalah orang yang baik hati, ramah dan selalu bersikap lembut, sangat bertolak belakang dengan kepala keluarga Kuchiki sekarang, yang tidak lain adalah kakak Byakuya.
Bahkan seorang pelayan keluarga, pernah berkata, "Orang baik memang selalu lebih dahulu meninggalkan kita."
Aku tidak pernah mengerti apa makna kata itu, tapi mungkin memang benar.
Aku diharuskan mengenakan pakaian berwarna putih yang menujukkan bahwa aku adalah anggota keluarga yang ikut berduka dan memperingati kematian Kuchiki Soujun, sementara para tamu yang hadir untuk menunjukkan rasa turut bersedih mereka mengenakan pakaian serba hitam.
Tradisi di keluarga kelas atas yang notabene bangsawan, seperti keluarga Kuchiki ini, kurang aku mengerti, atau lebih tepatnya tidak akan bisa aku mengerti. Aku hanya tidak mengetahui runut logikanya yang benar-benar jauh dari jangkauan pikiranku.
Pertama, mereka memperingati kematian seseorang yang sudah pergi dipanggil Tuhan bertahun-tahun lalu dengan acara sebesar ini.
Kedua, orang yang datang bukan hanya keluarga, tapi juga dari relasi bisnis dan para keluarga bangsawan lain yang tidak aku kenal.
Ketiga, memangnya aku harus ikut terlibat dalam semua acara ini? Aku kan hanya adik adopsi, lagipula aku punya banyak PR dari guruku. Kalau tidak aku kerjakan sekarang, habislah. Senin yang menjadi momok menyeramkan bagi kami para murid sekolah, akan datang menghantui kami dan meneror kami lewat guru-guru yang menanyakan PR akhir pekan kami yang banyak dan tidak bisa-
"Rukia."
"Ya?" lamunan pikiranku yang sedang melanglang buana di dunia fiktif langsung buyar, menoleh pada arah datangnya suara berat dan dingin milik kakak Byakuya yang sedari tadi setia menemaniku (atau sebaliknya? Yah, pokoknya seperti itulah kurang lebih).
"Guru dan teman kelasmu datang," ucap kakak Byakuya seraya melirik rombongan beberapa orang yang berpakaian resmi. Wajah-wajah mereka kukenali dengan cepat, ada Pak Omaeda, Senna, Uryuu bersama Pak Ishida, wakil kelas yang kalau tidak salah bernama Hanatarou. Hanatarou termasuk pemalu, karena itu dia tidak terlalu menonjol di kelas, sampai-sampai yang paling sering muncul adalah Senna, sang sekretaris kelas. Lalu lima orang lainnya lagi adalah Keigo, dan komplotannya, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Maaf kalau ternyata ingatanku lemah, karena aku tidak bisa mengingat satupun nama dari empat orang lainnya itu.
Tapi kenapa bisa kakak Byakuya tahu kalau mereka adalah teman kelasku? Oh ya, dia kan selalu memasang mata-mata untukku di sekolah, jadi jangan heran, ok?
Para rombongan datang menghampiriku, menjabat tangan kakak Byakuya seraya memberi hormat yang begitu mendalam.
"Kami teman Kuchiki Rukia, Pak. Kami turut berduka." Uryuu sebagai ketua iring-iringan langsung menyampaikan salamnya, kakak menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Terima kasih," ucap kakak, dan aku meniru sikap kakak, tapi aku begitu canggung saat Senna dan dua orang perempuan teman kelasku memelukku, wajah mereka terlihat seperti akan menangis.
"Yang sabar ya, Kuchiki. Kami turut berduka," bisik Senna seraya memelukku begitu erat. Sumpah! Rasanya aneh sekali dipeluk dengan dada kami yang beradu, alhasil aku hanya bisa meringis pasrah. Habisnya aku juga tidak sesedih apa yang mereka bayangkan, bahkan wajah mereka jauh lebih meyakinkan daripada aku sendiri yang punya status hubungan keluarga.
"Selamat siang Pak Kuchiki." Pak Omaeda berada paling belakang dari barisan yang menjabat tangan kami. Tangannya yang bulat dengan jari sebesar-besar wortel kualitas satu terasa menutupi semua tanganku, tapi wajah simpatinya tidak membuatku ragu kalau ternyata dia memang orang yang sangat perhatian. Tubuhnya mungkin lemak semua, tapi setidaknya hati yang ia miliki tidak lantas tertutup lemak.
"Silahkan!" kakak mempersilahkan mereka masuk ke ruangan yang khusus dijadikan ruang berkabung, dan di sana orang-orang bisa berdoa untuk Kuchiki Soujun.
Tapi bagiku ini bukan peringatan kematian seseorang, lebih terlihat seperti openhouse. Karena beberapa orang lain seperti tampak sedang terlibat pembicaraan bisnis yang sangat serius. Dunia bangsawan dan orang dewasa memang tidak mudah untuk dimengerti.
Kakak melirik jam tangannya, dan detik kemudian dia memanggil Kouga. Aku memanggilnya Paman Kouga, mengingat status hubungan kami yang agak aneh. Karena dia adalah menantu dari kakek, dan mengingat usianya yang tidak jauh dari kakak Byakuya aku jadi bingung mau memanggilnya apa.
"Aku dan Rukia akan berangkat ke makam lebih dulu, kau tangani acara ini sampai selesai," ucap kakak langsung pada intinya. Kakak bahkan bukan meminta tolong, tapi memerintah. Memang kekuasaan adalah segala-galanya sekalipun kakak Byakuya seharusnya lebih hormat pada Paman Kouga karena jalur sisilah keluarga.
"Baiklah, akan kukatakan pada Ayah. Kami akan menyusul nanti," jawab Paman Kouga santai dan melirikku dengan mata dingin. Kebencian terlihat jelas dari sepasang matanya yang mengilat licik. Tapi aku terbiasa mendapat tatapan seperti itu, karena di Hueco Mundo dan lingkungan sekitarnya yang keras terbiasa memberikan tatapan intimidasi padaku.
"Ayo, Rukia!"
Kakak menuntunku dengan tangan setengah merangkul bahuku, sikap protective-nya terkadang membuatku risih sendiri, dan dia tetap meletakkan tangan lembutnya di bahuku saat kami berjalan menuju halaman parkir yang seharusnya aku sebut lapangan parkir, bukan halaman. Luasnya melebih lapangan sepak bola sih!
Kakak mengambil salah satu mobil mewah yang biasa digunakan pihak keluarga untuk keperluan birokrasi dengan pemerintahan. Aku tidak bisa taksir berapa harganya mobil semewah itu, soalnya aku tidak terlalu tertarik dengan harga mobil kelas atas.
Perjalanan kami menuju makam tidaklah lama, bukan karena jaraknya yang dekat, tapi karena kakak menginjak gas tanpa ampun, kami sampai hanya dalam setengah jam. Kakak mengarahkanku pada salah satu bagian makam yang berjajar dengan hiasan-hiasan mahal. Kenapa orang yang sudah matipun tetap diberikan penghormatan sebagus ini? Kenapa semuanya harus selalu terkesan khusus untuk keluarga Kuchiki?
Aku melihat sekeliling makam, mendapati beberapa makam terdapat bunga-bunga yang masih segar, banyak pepohonan yang ditanam sebagai pembatas antara tiap bagian sektor makam, sedangkan bagian yang kami lewati dipagari oleh pohon akasia yang tengah berbunga, indah sekali.
Mataku tengah asik memerhatikan bunga yang bergerak saat angin menerpanya, tapi kemudian aku menangkap sosok yang sepertinya aku kenali. Kupicingkan mata, ingin melihat lebih jelas orang yang berdiri puluhan meter dariku, aku sulit mengenalinya dalam sekali pandang karena tubuhnya hanya terlihat separuh akibat tertutup rimbunnya mawar yang mengelilingi tempatnya berdiri, ditambah lagi badannya yang membelakangi pandanganku.
"Sebelah sini, Rukia."
Aku tersentak dan menoleh pada kakak yang sepertinya ikut melihat kemana mataku tertuju. "Ah, iya!" langkah kakiku ragu menjauh dari tempatku memandang sosok kurus dengan bahu bungkuk penuh putus asa di seberangku.
Kakak Byakuya memberi aba-aba padaku untuk ikut memberi penghormatan sepertinya. Aku mengulang gerakan penghormatan sebanyak tiga kali, dan kami duduk bersimpuh dengan tangan terkatup sambil berdoa dalam hati. Entah apa yang kakak minta, tapi aku mengucapkan salam kenal untuk sosok Kuchiki Soujun yang tak pernah aku kenal.
"Kuchiki Soujun, aku Rukia. Mungkin aku asing untukmu, tapi sejak beberapa bulan lalu aku masuk dalam keluarga yang selalu kau jaga. Salam kenal. Aku adalah adik dari Hisana, istri dari kakak Byakuya. Tidak pernah mengenal sosokmu mungkin sebuah ketidakberuntunganku, tapi aku yakin kau akan selalu menjaga kami dari sana."
Aku membuka mata, menyelesaikan doa dalam hatiku.
"Rukia..."
"Ya?" aku mendongak ke kananku, menoleh pada kakak.
"Kau tidak perlu mengucapkan keras-keras isi doamu," bisik kakak seraya menghembuskan napas perlahan.
Seketika itu juga wajahku seperti diletakkan di atas oven, panas hingga kurasakan telingaku ikut berdenging. Benarkah aku mengucapkan doaku begitu keras? Aku takut-takut melirik kakak lagi, dan sekilas aku melihat senyum tipis milik kakak.
"Memangnya kakak dengar ap-apa yang aku katakan?" gagapku sambil menekuri makam Kuchiki Soujun.
"Kau bukannya tidak beruntung tidak bertemu dengan ayah, kau hanya tidak sempat karena dia sudah pergi lebih dulu, bahkan dia pergi sebelum aku memasuki usia dewasa," bisik kakak seraya menatap makam lagi, matanya sedih sekalipun ia tetap berusaha menyembunyikannya di balik wajah datarnya.
Dia terlihat sangat kesepian, bahkan di usia seperti ini seseorang bisa terlihat sangat sendirian. Aku juga pernah berada dalam posisi seperti itu, tapi aku membuang seluruh kesedihanku yang hanya membuatku tidak mampu melanjutkan hidup.
"Ayah pasti bangga punya anak seperti kakak," ucapku berusaha membesarkan hatinya, dan seketika itu juga kakak menggerakkan badannya cepat ke arahku, seolah aku baru saja mengucapkan sebuah kalimat terlarang untuknya. Tangan kakak terulur, dan aku reflek menghindarinya. Tapi jarak yang aku ambil tidak cukup jauh, karena kakak berhasil merengkuhku masuk dalam lingkaran tangannya.
Tangan kakak melengkung di pinggang dan kepalaku, membelaiku perlahan seraya berbisik, "Terima kasih."
Jantungku berdetak tak karuan, lagi! Aku benci diriku yang mudah sekali terpacu setiap kali kakak bersikap lembut. Bagaimana ini? Kepalaku kosong seketika, panas menjalar hingga seluruh tubuhku, kalau aku baca manga, pasti sekarang aku sudah digambarkan memiliki kepala berasap karena saking panasnya. Gawat...
"Sam- sama-sama, Kak!" ucapku yang kehilangan seluruh fungsi otak.
Kakak melepaskan pelukannya dan dia membuang muka, mencegahku melihat langsung wajahnya, dan seketika juga aku menyadari bahwa seorang dewasa, terhormat dan kaku seperti kakak Byakuya juga punya sisi manis seperti ini. Beruntungnya aku bisa melihatnya yang seperti ini, karena aku sadar sekali dia juga merasa malu sama sepertiku.
Tapi untungnya kami tidak perlu melanjutkan kecanggungan ini, karena anggota keluarga yang lain datang dan membuyarkan kekakuan di antara kami.
Ah... sekarang aku bisa menghela napas lega, tapi tetap saja jantungku menghantam rusukku tanpa henti. Akh, sial...
.
.
.
.
"Kuchiki! Kau tidak bisa latihan seperti ini terus, besok pertandingannya," protes Uryuu saat aku mengambil jeda istirahat dari latihanku yang cuma sendiri, karena Ulquiorra tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap pedulinya setiap kali aku berteriak agar ia latihan bersama denganku.
Aku menyeka keringat seraya mengatur napas yang masih terengah-engah. Siapa yang tidak kelelahan berlari sendiri dengan sebelah kaki diikat botol air ukuran satu setengah liter yang terisi penuh?! Ini adalah langkah terakhirku untuk berusaha menujukkan bahwa aku tetap komitmen mengikuti festival olahraga sekolah, dibilang seperti orang gila pun aku tidak peduli. Dari dulu, sejak aku sekolah di Hueco Mundo, aku memang paling suka dengan festival olahraga, dan biasanya aku akan dapat jatah olahraga bulutangkis.
"Jangan banyak protes, aku sudah melakukan yang terbaik! Siapa suruh aku harus berpasangan dengan Ulquiorra. Seharusnya kau mengorbankan satu orang dari tim sepakbola untuk berpasangan denganku. Kenapa aku yang jadi korban, Ketua Kelas?" protesku keras, dan Uryuu hanya terdiam, tidak banyak bicara.
"Kalau begitu kita mundur saja dari cabang olahraga ini," tandasnya tanpa permisi lagi, sontak aku mendelik padanya.
"Mundur? Yang benar saja! Aku sudah latihan sampai kakiku memar dan lecet begini!" aku menunjukkan pergelangan kakiku yang melepuh akibat gesekan tali selama berhari-hari, dan Uryuu terlihat agak menyesal dengan apa yang aku alami.
"Kau sendiri yang memutuskan melakukan ini semua," katanya mengembalikan ucapanku.
"Iya, memang aku! Karena itu jangan sembarangan memutuskan aku harus mundur dari pertandingan ini! Aku yang latihan, aku yang memutuskan ikut atau tidak, Ketua Kelas Kacamata nan Egois!" hantamku tanpa ampun, membuatnya agak tertegun mendapati ucapanku yang kasar dan bernada permusuhan.
Uryuu menghela napas berat, dan lagi-lagi ia mendorong naik kacamatanya, membuatku makin sebal saja, rasanya ingin aku lem permanen kacamatanya, jadi dia tidak perlu lagi mendorong kacamatanya dengan gaya yang sama sebanyak ratusan kali dalam sehari. "Baiklah, aku akan bicara dengan Pak Omaeda, kita putuskan besok. Sekarang lebih baik kau pulang, sudah jam lima," ucapnya seraya melirik langit cerah yang sudah mulai berubah warna kejinggaan, menunjukkan matahari akan semakin turun dan tidak lama lagi akan menjadi gelap.
"Kau duluan saja, aku mau lari satu putaran lagi!" kataku seraya memijat kaki, bersiap lari lagi.
"Baiklah. Sampai nanti, Kuchiki."
Uryuu melengos pergi, tinggal aku sendiri di lapangan, melihat lintasan yang harus aku lalui besok. Aku bukan orang yang mudah menyerah dan aku tidak akan menyerah sebelum berperang, jadi aku akan melakukan apapun agar aku tidak kalah, kalaupun nanti aku kalah, yang terpenting adalah aku sudah berusaha sekeras mungkin, sampai batas kemampuanku.
Mataku menerawang melihat awan putih yang beriringan menutupi matahari sesaat. Seketika aku kangen teman-teman di Hueco Mundo. Mereka akan meneriakiku kalau tahu aku jadi lembek begini. Terlebih lagi Nnoitra, dia akan menjulurkan lidahnya dan mengancam akan melucuti semua pakaianku di lapangan kalau aku tidak menerima tantangannya yang selalu saja tidak masuk akal. Terkadang lomba makan sushi, lari jongkok satu kilometer, lompat galah, bahkan sampai bergaya meniru dirinya. Kami memang musuh abadi di Hueco Mundo, tapi tidak pernah sampai ada baku hantam jika berhubungan dengannya, dia termasuk orang yang menjaga tangannya untuk tidak memukul perempuan, beda dengan Szayel yang mudah sekali menepuk bahuku tanpa ampun. Setiap kali aku protes Szayel pasti hanya tertawa, dan tidak merasa berdosa sama sekali setelah meninggalkan jejak merah di bahuku. Mungkin untuknya itu hanya tepukan ringan untuk teman, tapi kan aku perempuan dan tenaga yang ia miliki adalah tenaga laki-laki.
Ah, sudahlah! Bukan waktu mengenang dan merindukan mereka, sekarang aku harus berlatih. Kalau sudah selesai festival olahraganya, baru aku pergi menemui mereka, pasti kakak akan memberikan izin jika aku memintanya baik-baik.
"Yos!" seruku memberi semangat pada diri sendiri, menepuk pantat celana olahragaku yang berdebu dan mulai merenggangkan tubuh lagi. Tanganku terjulur hendak meraih alat latihanku lagi, apalagi kalau bukan tali dan botol air mineral yang harus aku ika-
"Huh?" aku terdiam saat melihat sepasang tangan pucat meraih tali yang sudah aku pegang, tatapan matanya yang tajam membuatku melepaskan tali secara reflek.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku saat ia melepas ikatan dari botol air minum.
"Eh, apa-apaan kau? Aku tidak mau latihan dengan orang yang selalu menghindari permasalahan sepertimu, Ulq- Woah, hati-hati, kakiku sakit!" Aku memukul tangannya yang menyentuh luka di kakiku, dia tidak tahu apa kalau kakiku sudah perih bukan main?! Mungkin selain bisu dia juga sudah buta! Seharusnya dia bisa menebak dari warna kulitnya yang sudah berwarna merah dengan bercak kecokelatan di tengah, juga agak bengkak. Bahkan di bagian atas sudah menghitam, menunjukkan luka yang berumur lebih lama.
Cowok berwajah pucat itu meraih kakiku dengan kasar, aku sampai jatuh terduduk karena tenaganya yang tidak kira-kira. Pantatku sakit bukan main, tapi saat aku akan protes, dia malah menatapku dengan sorot berkata 'Diam!' tanpa suara.
Tentu saja aku tidak ingin ambil resiko dianiaya secara tidak manusiawi, berhubung sekolah sudah bubar dan bisa dibilang aku akan kesulitan minta tolong kalau sampai dia melakukan sesuatu diluar kuasaku untuk melawan. Jadi kali ini aku menurut, tidak bergerak saat ia meluruskan kakiku, sementara ia bersimpuh di lapangan berdebu, membiarkan seragamnya kotor, dan parahnya lagi... Bisakah kalian pikirkan logikanya? Apa teori yang bisa menjelaskan fakta bahwa seorang Ulquiorra bersedia bersimpuh dan menopang kakiku di pangkuannya?
Teori Newton? Pastinya bukan!
Teori Kuantum? Jangan bilang iya!
Apalagi teori evolusi!
Pokoknya mendekati tidak masuk akal. Iya kan?
Tapi inilah kenyataan pahit dan getir yang harus aku terima. Entah ada angin ribut atau badai dari mana yang datang hingga mengacaukan pikiran Ulquiorra. Dia sempat melirikku sebelum menyentuh permukaan lukaku, dan aku sudah hampir berteriak mencegahnya menyentuhnya, tapi terlalu terlambat karena dia sudah keburu menekan bagian yang bengkak.
"SAKIT!" pekikku marah, bahkan aku mendorong bahunya sampai-sampai cowok bermata hijau emerald itu hampir jatuh terjengkang. "Itu lecet! Kau tidak bisa lihat?! Kau buta?!" semburku kesal, dan aku mendorong tangannya, berusaha menarik kakiku dari cengkramannya yang lemah, tapi ia malah menahan kakiku dengan tangannya yang lain, mencegahku bergerak. "Lepas! Kau mau apa sih? Bicara kalau kau mau melakukan sesuatu. Memangnya aku ini cenayangan yang bisa tahu isi kepalamu! Mana aku tahu kalau kau tidak bicara dan tidak berekspresi. Oh aku lupa, kau kan bisu seperti yang mereka bilang! Lepas!" cerocosku berapi-api, dan meraih jari-jarinya, berambisi besar melepasnya dari betisku, mencemoohnya habis-habisan.
"Tidak."
Hah?
Barusan dia bicara?
Benar, kan?
Aku tidak sedang berhalusinasi! Aku mendengar suaranya yang pendek, serak dan bernada lembut di saat yang bersamaan. Kupegang kepalaku dan menggeleng cepat, berusaha membuang serangga yang mungkin bisa mengganggu pendengaranku.
"Ka-Kau tadi bicara?" bisikku tidak percaya, dan Ulquiorra kembali mengabaikanku, dia malah memanfaatkan sikap lengahku untuk meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah benda yang mirip pasta gigi berwarna bening. Dia membuka dan mengeluarkan isinya di tangannya, mengoleskannya di lukaku. Awalnya aku meringis kesakitan, tapi kemudian dingin yang menenangkan menyelubungi lukaku, rasanya nyaman sekali.
Nyessss!
"Kau benar-benar bicara, kan? Aku jelas-jelas mendengar suaramu barusan!" kejarku seraya mengguncang bahunya kasar, mendesaknya bicara lagi.
Ulquiorra menurunkan kaki kananku dari pangkuannya, dan dia mengambil benda lain lagi dari tasnya yang sepertinya sangat penuh. Aku tidak percaya dia mirip dengan Doraemon, yang bisa mengeluarkan alat apa saja dari dalamnya.
Cowok dingin itu mengeluarkan handuk berwarna putih tebal dari tas hitamnya, lalu ia meraih ketiakku dan membangunkanku dari duduk hingga berdiri tegak, seolah aku ini anak bayi yang baru akan belajar berjalan. Aku kan bisa berdiri sendiri, tidak perlu diperlakukan seperti ini. Dia membuatku malu, sangat malu dengan perlakuannya yang begini. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah tak karuan. Mentang-mentang aku ringan dia memperlakukanku sampai seperti ini.
Aku memilih tutup mulut dan tidak banyak komentar ketika dia berdiri di sampingku, dan memosisikan kaki kiriku bersebelahan dengan kaki kanannya, lalu melilitkan handuk tadi ke sekeliling kaki kami yang bersentuhan, tidak lama kemudian ia mengikatnya dengan tali yang tadi aku gunakan untuk mengikat botol air.
"Heeeh? Jadi kau mau latihan denganku sekarang?" tanyaku seraya meledeknya, menyeringai lebar hingga sekujur tubuhku merasa bangga karena di detik terakhir Ulquiorra akhirnya menyerah juga dan mau ikut berpartisipasi.
"Aku putuskan untuk menyerah."
Itu dia! Itu memang suaranya! Serak dan lembut!
"Benar! Kau bicara!" pekikku lagi kegirangan, dan Ulquiorra menyekap mulutku, dan menarik wajahku hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang wangi mint dan jeruk. Aku kaku seketika, tidak bergerak karena matanya perlahan menelanku masuk dalam kolam hijau tak berdasar miliknya.
"Aku tidak akan mengatakannya dua kali, Kuchiki Rukia."
Aku menelan ludah banyak-banyak saat melihat sorot mata tajamnya. Jantungku terasa akan jatuh ke perut sangking kagetnya.
"Aku katakan kalau aku menyerah, dan aku tidak akan menghindarimu lagi," bisiknya perlahan, lambat dan lembut. Aku sampai mampu merekam tiap gerakan bibirnya yang entah mengapa terlihat begitu indah dan ... jangan tertawa ya! Tapi ini memang nyata, kalau bibir tipisnya justru terlihat... seksi di mataku. Gila, kan? Ini memang gila! Dia sudah menghipnotisku dengan semua keterkejutan ini. Sadar, Rukia! Sadar! Kau tidak seharusnya jatuh dalam pesona menipu seperti ini. Kembalilah pada realitas kehidupan!
Aku mengeleng cepat, membuang mimpi-mimpi yang mulai merayapi akal sehatku.
Tapi kenyataan ini terlalu mengagetkan. Iya, kan?
Pertama ia bicara, hal yang tidak pernah ia lakukan, bahkan orang-orang menyebutnya bisu! Lalu sekarang dia berkata dia menyerah. Memangnya apa yang sudah aku lakukan? Apa aku menodongnya dengan pistol atau pisau atau pedang? Tolong jelaskan arah situasi ini sebenarnya.
"Aku hanya bersuara jika tidak ada yang bisa mendengarku selain dirimu. Kau dengar itu?" bisik Ulquiorra lagi, dan polosnya (atau bahkan terlalu bodoh?!) aku mengangguk menjawabnya. Dunia seperti dipenuhi pernik keperakan saat aku melihat matanya yang melembut, menyatakan ketenangan dan tatapan penuh sayang yang tidak pernah aku dapatkan darinya.
What?! Tadi aku bilang tatapan penuh sayang? Itu bukan aku yang bicara, tapi bagian lain dari diriku yang mengakui apa yang aku lihat sekarang. Tatapan mata Ulquiorra memang lembut dan penuh kasih, aku tidak berbohong (sekalipun bagian lain dari diriku ingin berbohong tentang kenyataan ini).
Setelah aku menganggukkan kepala, satu lagi keajaiban dunia terjadi! Ulquiorra tersenyum padaku, tipis dan samar, namun aku bisa melihat ketulusan di balik senyumnya. Ulquiorra mengusap kedua pipiku, jemarinya yang dingin dan kurus menyapu rahangku, mendongakkan wajahku, dan aku tidak cukup sadar ketika dia memiringkan wajah dan menyapa bibirku dengan bibirnya, sentuhan ringan yang perlahan menekan namun tidak memaksa. Kering namun terasa begitu dalam, seolah aku bisa merasakan kesepian yang ada dalam dirinya mengalir dalam diriku lewat bibirnya yang menyapu bibirku.
Perasaan apa ini? Seolah aku tertarik dalam dunianya yang kosong dan dingin, namun aku bisa merasakan hangatnya udara yang ia berikan lewat bibirnya. Aku terpejam, terbuai dalam ciumannya dan sentuhannya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkannya melakukan ini semua mendadak seperti ini, tapi...
Satu tangan Ulquiorra bergerak turun meremas tengkukku hingga aku terpaksa semakin mendongak dan ia semakin dalam menciumku, sementara tangannya yang lain meraih punggungku hingga tubuhku melengkung ke arahnya, menikmati setiap kecupan ringannya yang mendarat di bibirku.
Rengkuhan tangannya merenggang seiring wajahnya yang menjauh dariku. Napasku tidak beraturan saat kami berdiri dengan jarak sempit, membuatku sulit menyembunyikan diri yang terserang hawa panas di sekujur tubuh. Apa-apaan ini? Aku tidak terima dia menciumku sembarangan. Aku tidak terima, tidak terima, tidak ter-
"Saat aku mengangkat tangan kiriku, kau gerakkan kaki kirimu," dia kembali memberi perintah, dan memulai sesi latihan tanpa memberiku jeda sama sekali untuk memprotesnya. Apa dia tidak sadar kalau dia baru saja menciumku? Padahal aku bukan pacarnya, bukan juga orang yang pernah ia ajak bicara lebih dari lima menit! Kami baru mulai saling bicara dua menit lalu, dan dia sudah berani menciumku seperti tadi.
Ini dunia lain, pasti dunia lain yang isinya makhluk-makhluk bangsawan dan orang kaya aneh dengan kepribadian yang aneh juga.
"Jangan bengong atau kau mau aku menciummu lagi?" ancam Ulquiorra seraya menautkan tangannya dengan tanganku, sama dengan kaki kami yang diikat.
"Diam kau!" bentakku kesal, dan detik kemudian Ulquiorra tersenyum, tidak ada sedikitpun rasa bersalah.
Menyebalkan...!
Sial...!
Tiba-tiba saja pikiran itu melintas di benakku. Pikiran bahwa aku seperti tidak punya kekuatan untuk melawan cowok sepertinya. Jangan bilang kalau Rukia yang galak dan tidak kenal takut, bertekuk lutut di depan cowok yang bahkan baru dikenal. Ini tidak masuk akal.
Kurang aj...
"Kau melamun?"
Aku tersentak ketika tangan Ulquiora mendorong kepalaku hingga ke belakang.
"Jaga tanganmu, Kurang Ajar!" protesku seraya mendorong bahunya kesal.
Sepertinya ini akan menjadi latihan yang sulit.
.
.
.
.
Aku sampai di rumah tepat lima menit sebelum matahari tenggelam. Untungnya kakak belum pulang, jadi aku mengendap-endap masuk ke kamar tanpa bermaksud menunjukkan suara langkahku yang akan mengundang pertanyaan para anggota keluarga Kuchiki, karena ini pertama kalinya aku pulang sesore ini selama aku berada dalam keluarga bangsawan ini.
Peraturan nomor lima puluh enam untuk perempuan dalam keluarga Kuchiki adalah pulang sebelum pukul enam sore, dan diharuskan izin jika ingin pulang melebihi pukul enam sore. Aturan itu khusus dibuat untuk anggota perempuan dalam keluarga Kuchiki. Ini hal baru untukku yang biasa pulang tengah malam setiap harinya karena aku harus kerja sambilan.
"Aman..." bisikku seraya menarik pintu kamar hingga bergeser sepelan mungkin.
Aku sudah hendak menyelipkan diri masuk ke kamar saat sebuah suara berat berdehem di belakangku, membuatku berjengit kaku seketika.
"Rukia, apa yang kau lakukan di sekolah hingga sore seperti ini?"
Tidak perlu ditanya lagi siapa yang akan bertanya seperti ini padaku kalau bukan kakak Byakuya. Kukira dia belum pulang, karena mobil yang biasa ia pakai tidak terparkir di halaman. Pelan-pelan aku menoleh pada kakak, berdiri tegak di hadapannya dan membungkuk dalam menunjukkan penyesalanku yang sebenarnya tidak terlalu mendalam, tapi aku harus memperlihatkan pada kakak kalau aku mengiba maafnya. Argh, keluarga bangsawan memang benar-benar deh...
"Aku terlambat pulang karena tadi ada latihan untuk festival olahraga besok," jawabku tenang, sekalipun badan sudah gemetaran sampai keluar keringat dingin.
Kakak tetap diam, tidak bicara hingga akhirnya aku menegakkan badan. "Aku tidak akan melarang kegiatanmu yang berhubungan dengan sekolah, tapi sebagai anggota keluarga Kuchiki, kau harus menjaga sikap dan perilakumu. Kau bukan lagi hidup di jalan seperti sebelumnya, kau membawa nama baik keluarga," ucap kakak datar dan dingin.
Aku tertegun sejenak, namun mengangguk dalam, sekalipun dalam hati aku merasa begitu terluka saat menyebutkan aku yang pernah hidup di jalan. Aku berada dalam kekangan aturan dan tradisi keluarga bangsawan yang tidak pernah aku inginkan, dan sekarang mereka ingin membebaniku dengan nama baik mereka? Kebebasanku telah dirampas seluruhnya dariku, dan sekarang yang ada dalam diriku hanya nama Kuchiki.
"Maafkan aku, Kak. Tapi jika memang aku hanya akan mencoreng nama keluarga Kuchiki, aku tidak keberatan jika kakak mengembalikanku ke tempatku semula," gumamku dengan hati perih, namun aku beranikan diri menatap matanya langsung.
"Jaga bicaramu, Rukia!" kakak berseru dan tangan kanannya melayang ke pipiku.
Panas dan perih. Aku membelalak kaget menatap lantai yang aku jejak. Jadi begini perlakuan yang aku dapatkan dari tangan kepala keluarga Kuchiki? Mataku terbakar dan langsung berair. Tidak pernah ada satu orangpun orang terdekatku yang mampu mendaratkan tangan mereka sekalipun aku melakukan sebuah kesalahan besar. Lalu kesalahan kecil seperti ini membuatku berhak mendapat sebuah tamparan? Yang benar saja!
Aku mendongak dan mendapati kakak juga membelalak, antara marah dan tidak percaya. Tangannya terkulai lemah di sisi tubuhnya. Matanya menyiratkan penyesalan ketika tanpa sadar air mataku menetes. Aku tidak pernah menangis dengan sulitnya hidup yang aku hadapi, tapi sekarang aku menangis karena sebuah tamparan yang aku terima dari orang yang bahkan aku kenal baru beberapa bulan.
"Setelah berciuman dengan seseorang di tempat umum, kau sekarang berani mengabaikan nama keluargamu sendiri?" desis kakak, suaranya sarat dengan kemarahan.
Jadi ini permasalahan intinya? Karena Ulquiorra yang menciumku tanpa permisi, dan dia marah karena itu? Dia yang selalu mengawasiku. Tidakkah dia menerima informasi secara lengkap? Ataukah informannya hanya memberi tahu kalau aku berciuman? Tidak ada informasi tambahan kalau aku dan Ulquiorra tidak pernah akur sebelumnya? Aku bahkan marah setelah Ulquiorra menciumku. Seharusnya dia lebih membuka mata, bukan memendam kemarahan dan melampiaskannya padaku seperti ini.
"Aku tidak pernah mengharapkan untuk berada dalam kelu-" ucapanku terhenti karena Kakak mencengkram kedua bahuku begitu erat.
Wajah kakak semakin merah padam,tersulut kemarahan yang sepertinya sudah terlalu lama ia pendam. "Rukia! Beraninya kau bi-"
"Ada apa ini?"
Aku menoleh pada ujung koridor, dan mendapati kakek Ginrei berdiri meneliti kami bergantian.
"Tidak ada apa-apa," tandas kakak seraya berbalik memunggungiku. "Masuklah ke kamarmu, Rukia. Pelayan akan mengantarkan makan malammu ke kamar. Kau harus banyak istirahat, besok kau akan bertanding," lanjutnya datar, seolah kami memang tidak mengalami apa-apa. Topeng yang ia miliki begitu banyak.
"Permisi!" aku membungkuk sekenanya dan masuk ke kamar, menutupnya rapat dan langsung membanting badan di tempat tidur. Aku maunya membanting pintu di depan muka dua orang petinggi bangsawan Kuchiki itu, tapi kesadaranku masih terlalu bagus untuk bisa bersikap sekasar itu pada mereka.
Sangatan panas dari pipiku masih terasa sekali, dia mungkin tidak menamparku dengan sekuat tenaga, tapi sakit yang aku rasakan sampai menusuk hatiku. Bukankah dia orang yang lembut? Ataukah aku salah menilainya?
Kakak dan kakek masih bicara di depan kamarku. Kakek bertanya pertandingan yang akan kuikuti, dan kakak menjawabnya dengan singkat, tapi sepertinya jawaban itu cukup untuk menghentikan lanjutan dari pertanyaan kakek yang mungkin bisa mengantarnya pada penjelasan tentang pertengkaran antara kami tadi.
Aku tidak pernah ingin berada dalam keluarga bangsawan seperti ini jika hanya akan membuatku sulit bernapas.
Air mataku menetes tanpa kuminta.
.
.
.
To be continue…
.
.
Chapter 2 will upload on next Tuesday
-:- -:- Nakki Desinta -:- -:-
14.02.2018
