Naruto (c) Masashi Kishimoto
Daily Logbook (c) Me
Naruto x Karin
AU/Agak OOC
Rating: Teen
Sekuel: Lalu, Dia pun menangis-dan-Putar Ulang, Satu Tahun lalu (kalau sempat silakan dibaca juga)
RnR~
.
.
Ini adalah hari penentuan.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali ia menggumamkan 'pasti berhasil!' di depan cermin selama hampir tiga puluh menit lamanya untuk memasukkan energi positif, karena belia delapan belas tahun ini yakin akan membutuhkan pasokan energi tersebut untuk dapat menopang tubuhnya agar tetap bisa berdiri.
Ia berpakaian cukup tebal, karena udara di luar sana masih dingin hingga menusuk tulang. Padahal sekarang harusnya sudah masuk musim semi, tapi nampaknya pengaruh global warming membuat musim menjadi tidak teratur seperti ini. Huft, apalah... dia malah menggerutui suhu di luar daripada mengkhawatirkan nasibnya yang masih belum jelas.
Pemilik rambut sewarna api itu lalu mengangguk yakin sebelum memantapkan langkah ke luar apartemen kecilnya.
"Yo!"
Tenor itu bergetar di telinganya, membuat gadis berkacamata dengan frame hitam itu menoleh pada sumber suara. Lalu, entah mengapa ia merasa lebih rileks, kegugupannya berkurang drastis hingga langkah kakinya terasa ringan.
"Naruto, kau datang?"
"Tentu saja," ujar Naruto pelan, "setidaknya itu yang dapat kulakukan selama aku masih ada di sini," imbuhnya dengan nada pelan.
"Oh... ya, tentu," gadis itu mendadak lesu, seakan semangat barunya hilang secepat datangnya.
"Karin?"
"Ya?"
"Kau tak apa-apa, kan?"
"Maunya sih kubilang tak apa-apa."
Mereka berdua terdiam dalam kebisuan mendadak yang canggung. Karin menghela napas pelan disertai uap napasnya yang mengepul, mendandakan udara semakin dingin sore ini. Ia mendongakkan kepalanya, menatap pemuda berambut pirang spike yang berdiri di hadapannya. Di latar belakangi langit senja yang membiru, safir kembar milik Naruto berkilau tertimpa cahaya matahari sore. Lembut, seperti langit cerah di musim semi yang sejuk. Dengan menatap mata pemuda itu, Karin selalu berhasil mengumpulkan semangatnya. Hal itu sukses membawa senyum gadis berkacamata itu kembali.
"Akhirnya kau tersenyum," ucap Naruto seraya menyentil jidat Karin dengan jari telunjuk, "kukira kau akan cemberut terus sepanjang perjalanan nanti."
"Kurasa wajahku akan jadi pucat daripada cemberut nantinya," keluh Karin dengan senyum kikuk, "aku jengah menunggu hasil pengumuman tes ini, rasanya aku mau muntah setiap mengingatnya."
"Jangan sampai muntah dong, nanti kalau orang mengira kau lagi 'isi' bagaimana?" Gurau Naruto yang dibalas kerlingan tajam dari belia berambut merah itu.
"Hah... sudahlah Naruto," ucap Karin pada akhirnya seraya mengusap perutnya yang jadi mual sungguhan, "hari ini aku sedang tidak ada nafsu untuk berdebat denganmu, antarkan saja aku ke tempat pengumuman deh," Karin lalu menatap ke bawah apartemennya, kemudian dahinya berkerut seraya menatap Naruto dengan bingung.
"Aku tidak bawa motor hari ini," ujar Naruto singkat, mengerti akan arti tatapan Karin barusan, "tempatnya dekat begitu, naik kereta malah lebih cepat."
Sudah jelas kalau naik motor lebih cepat, tapi Karin tak mau berdebat. Maka dari itu ia hanya mengangguk. Namun, baru saja ia hendak melangkahkan kaki, mendadak Naruto menggenggam jemari Karin dengan lembut. Dapat ia rasakan kehangantan tangan Naruto menjalar ke seluruh tubuhnya dengan cepat.
"Kalau pergi naik kereta, kita bisa pegangan tangan lebih lama dibandingkan naik motor," ucap Naruto sembari memasang senyum lebarnya. Karin tak tahu harus merespon seperti apa mendengar alasan Naruto barusan, yang dapat ia lakukan hanyalah diam dengan wajah sedikit merona. Lalu, sekonyong-konyong Naruto menempelkan telapak tangan Karin yang ia genggam ke permukaan wajahnya, "tanganmu dingin sekali."
"Tanganmu saja yang terlalu hangat," ujar Karin setengah berbisik, "wajahmu dingin, kau pasti sudah lama di luar."
"M-hm, soalnya aku berharap ada tangan seorang gadis yang menghangatkannya," Naruto terkekeh pelan, menertawakan kalimat gombal murahan yang ia lontarkan barusan. Ah dia memang tidak menyusun kalimat-kalimat romantis. Well, dia bukan Sasuke yang bisa berlaku romantis bahkan saat ia tak bicara sepatah katapun.
"Dasar." Gadis berambut merah itu meloloskan kekehan kecil yang sirna sedetik kemudian.
Lampu-lampu mulai menyala, suara klakson kendaraan bermotor sahut menyahut menandakan arus pulang kantor sudah dimulai. Angin kembali berhembus, makin terasa dingin. Membuat keduanya tersadar kalau mereka sudah berdiri di tempat cukup lama.
"Kau siap?" Tanya Naruto pelan dan anggukan mantap Karin mengawali langkah mereka sore ini.
.
.
.
Mereka menyusuri jalanan universitas yang mulai sepi. Mahasiswa yang tersisa di sana tinggal sedikit, sebagian besar hanya nongkorng di kursi panjang taman yang juga mulai gelap. Tidak jarang Naruto dan Karin melewati remaja-remaja yang memakai pakaian seragam SMA, sepertinya mereka baru selesai melihat pengumuman nama-nama mahasiswa baru yang diterima. Hal itu kembali membuat sesuatu dalam perut Karin kembali bergejolak, rasanya seperti ada ratusan sayap kupu-kupu mengepak secara bersamaan di perutnya.
Ufff...
Gadis itu menarik napasnya pelan. Setidaknya genggaman tangan Naruto yang menjadi sumber kehangatannya masih ada di sana sehingga ia tak begitu kalap. Karin tak bisa membayangkan bagaimana kondisinya kalau ia pergi ke sini sendirian. Oh mungkin kalian berpikir kalau tingkah Karin ini berlebihan. Namun sayangnya hal tersebut dapat dimengerti. Pasalnya ini adalah kesempatan terakhir Karin untuk dapat masuk perguruan tinggi tahun ini. Tesnya di tiga universitas pilihan teratas gagal semua dan hanya tersisa yang satu ini.
Ia bisa sih mengulang tes tahun depan, tapi biaya yang harus dikirimkan orang tuanya untuk biaya hidup Karin di Tokyo selama satu tahun menjadi NEET* akan sangat membebani mereka. Lagipula hidup sebagai NEET itu benar-benar memalukan!
Saat itu ia mendegus cukup keras, lalu dirasakannya genggaman tangan Naruto menjadi makin erat.
Sejujurnya rasa risaunya bukan hanya berasal dari pengumuman tes masuk perguruan tinggi. Tapi fakta kalau Naruto, yang baru saja jadian dengannya saat tahun baru dua bulan lalu, akan segera berangkat ke Hokkaido untuk kuliah jurusan pertanian di sana.
Hokkaido-Tokyo itu jauh.
Karin bahkan tidak mau repot-repot mencari tahu jarak antara dua kota itu.
Gadis itu tak pernah menyuarakan keluhannya akan keputusan Naruto untuk kuliah di tempat yang jauh seperti itu. Kota yang bahkan tidak sepulau dengan Tokyo. Ia tak ingin menujukkan sifat needy yang berlebihan pada Naruto karena takut pemuda itu akan merasa risih padanya. Karin bukan tipe perempuan manja, ia berwatak keras dan tak mau menunjukkan kelemahannya pada orang lain.
Terlebih lagi pada seseorang yang amat penting dalam hidupnya saat ini.
Walaupun demikian rasa takut tetap tidak hilang dari dirinya.
Long distance relationship. Mendengar istilah itu, yang terbayang oleh Karin adalah sebuah pemutusan hubungan yang akan terjadi secara perlahan-lahan.
Ia takut.
Benar-benar takut.
Perasaannya pada Naruto begitu besar hingga dirinya tidak tahu harus berbuat apa jika hal itu sampai terjadi di kemudian hari. Ia tahu kalau Naruto bukanlah tipe yang akan berpaling pada orang lain dengan mudah. Tapi dengan jarak yang memisahkan mereka kelak, tidak mustahil kalau hal terburuk yang bisa Karin pikirkan akan terjadi.
Ia benar-benar kalut. Pikirannya tambah semerawut ketika papan pengumuman telah terlihat. Digigitnya bibir bawah dengan cemas, pandangannya berpindah dari Naruto ke papan pengumuman yang dikerubungi beberapa murid SMA.
"Naruto... aku takut," ucap Karin. Pada akhirnya ia tak dapat menutup-nutupi perasaan risaunya yang ia simpan dengan rapi. Matanya panas, rasanya ia ingin menangis saat itu juga, bahkan genggaman tangan Naruto yang sedari tadi menjadi sumber energinya tidak cukup untuk menenangkannya. Pikirannya berkecamuk antara kata 'tidak lulus' dan 'LDR'. Bahkan bagi Karin yang selalu bersikap tegar sekalipun, hal ini terlalu berat baginya.
"Tenanglah... aku akan menemanimu sampai selesai," bisikan pemuda itu tak ubahnya musik penenang jiwa, memaksa Karin untuk melepaskan segala kerisauannya saat itu. "Ada aku di sini."
Tidak adil.
Sungguh tidak adil.
Ucapan Naruto barusan terdengar amat menenangkan, bahkan Karin yang kacau bisa kembali tenang hanya mendengar kata-kata pemuda itu. Padahal si pirang akan pergi ke tempat yang jauh tidak lama lagi. Karin merasa Naruto mencurangi dirinya. Benar-benar deh, Karin sampai kesal dibuatnya.
Naruto harus setengah menyeret Karin untuk membawa gadis itu ke papan pengumuman. Susah sekali, pasalnya Karin melangkah ogah-ogahan sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Untungnya usaha Naruto berhasil, kini mereka berdua tengah berada di depan papan pengumuman. Siswa SMA lainnya telah pergi ketika urusan mereka selesai di sini, hanya tersisa mereka dan beberapa orang lagi yang masih sibuk mencari-cari nama di daftar mahasiswa baru.
"Mau sampai kapan kau tutup matamu?" Tanya Naruto.
"Sampai kiamat."
"Heh, jangan ngomong begitu, nanti kualat."
"Biarin."
"Hah... ayo cepat buka matamu," ucap Naruto pelan kemudian berpindah ke belakang gadis berambut merah itu. Karin dapat merasakan kalau dada pemuda itu menempel di punggungnya, kedua tangan Naruto yang lebar menekan pundaknya seakan tengah berusaha mentransfer energi positif pada agar Karin menjadi agak berani.
"Kita cari sama-sama," ucap Naruto lembut tepat di telinga Karin yang berhasil memberi kejut-kejut kecil di seluruh tubuh belia delapan belas tahun itu. Tangan lebar Naruto mengangkat jari telunjuk kiri Karin, lalu menempelkannya ke daftar nama yang terpampang di papan pengumuman. Naruto menuntun telunjuk Karin menyusuri satu per satu nama yang tertera di sana dengan sabar.
"Kau tahu," ucap Karin pelan.
"Apa?"
"Kalau kau sampai berani selingkuh, kupastikan kau akan tenggelam di Teluk Tokyo dengan pemberat di tubuhmu."
"Setdah! Kejam amat! Yang agak ringan dong! Seperti lari memutari Tokyo Dome tiga kali, misalnya."
"Enak saja! Jangan disamakan dengan hukuman telat masuk kelas dong," ucap Karin dengan nada yang meninggi, jelas sekali kalau rasa kalutnya mulai luntur, "Hah, dari cara bicaramu nampaknya kau sudah bersiap-siap untuk selingkuh saat datang ke Hokkaido."
"Oh oke, jadi kau bersikeras kalau aku akan selingkuh. Baiklah aku tidak hanya akan selingkuh dengan cewek cantik, tapi cowok ganteng pun aku sikat, lihat aja nanti."
"Ih dasar lekong!"
"Kau yang mulai sih...eh?" Naruto terdiam sejenak, "Karin! Ada! Namamu ada di sini!"
"Hah?" Karin segera membenarkan letak kacamatanya yang agak miring ke kiri, kemudian membaca nama di samping jari telunjuknya.
"NAMAKU ADA DI SANA!" Karin memekik tertahan, ia membaca namanya berulang-ulang untuk meyakinkan dirinya.
"Naruto! Aku lulus! Aku lulus! Ya Tuhan, terima kasih!" Seru Karin dengan amat bersyukur. Karin masih berada dalam euphoria yang meletup-letup saat itu ketika ia sadar kalau Naruto tengah termenung menatap papan pengumuman.
"Naruto?"
"Hm?"
"'Ham, hem, ham, hem' bukannya beri selamat padaku kau malah termenung sendiri seperti itu?" Ucap Karin setengah menggerutu.
"Oh bukan, aku lagi cari sesuatu... ah! Ada!"
"Apanya yang ada?" Karin yang penasaran mengikuti arah pandangan Naruto dan ia terkesiap. "Kok ada namamu di sana?"
"Itu artinya aku diterima masuk universitas ini lah, masa begitu saja kau tidak mengerti?"
Hening.
"Apa? Coba ulangi sekali lagi?" Karin merasa ada yang tidak beres dengan pendengarannya.
"Aku diterima masuk universitas ini, Karin-chan~."
"Hah? Lalu yang di Hokkaido?"
"Sudah lama ditolak, sa-yang~," jawab Naruto dengan nada genit.
"Hah? Kok aku tidak tahu?"
"Kau gak nanya, sih," ucap Naruto dengan entengnya. Walaupun pemuda itu mulai memasang ekspresi was-was karena sebentar lagi pasti ada gunung yang akan meletus.
Tik, tik, tik...
Suara detik jarum jam taman di dekat mereka terdengar begitu nyaring ketika keduanya membisu. Naruto bahkan sudah bersiap dengan kedua tangan disilangkan di depan wajah, mengantisipasi tamparan yang mungkin akan datang tak lama lagi. Tapi sudah lebih dari sepuluh detik, namun hal itu tidak kunjung terjadi.
"Jadi... kau akan ada di sini?" Ucap Karin seraya menarik lengan kemeja panjang Naruto agar ia bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas, "Kau tak akan pergi?" Lanjutnya dengan suara yang bergetar.
"E-eh," Naruto yang kebingungan dengan rekasi Karin hanya bisa termenung sejenak sebelum bicara, "tentu saja."
"Jadi aku tak perlu menunggu enam bulan untuk melihat wajahmu secara langsung kan?" Karin seperti tersedak. Matanya panas hingga ia harus melepaskan kacamatanya agar bisa mengusap air mata mulia membasahi pelupuk matanya.
"Karin..." Naruto membantu mengusap mata Karin yang basah. Rasa bersalah menguasai dirinya saat ini. Awalnya ia hanya ingin mengerjai Karin, tapi ternyata jadinya malah seperti ini. Melihat gadis yang selalu meneriakinya kini menangis membuatnya seperti ditikam pukulan telak di dada.
"Aku tak perlu merasa khawatir kau akan melupakanku kan?"
"Karin sudah... maafkan aku."
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika hal itu sampai terjadi," ucapannya makin tidak jelas ketika selanjutnya ia menangis cukup keras dengan air mata yang makin deras mengucur dari sudut matanya yang memerah.
"Shh...," Pemuda itu menarik Karin dalam pelukannya, tak memedulikan tatapan orang-orang yang ada di sekitar mereka, "shh... maafkan aku Karin, aku memang konyol, tapi aku tak tahu kalau aku setolol ini, maafkan aku... sudah jangan menangis," dagunya ditumpukan pada puncak kepala Karin, sedangkan kedua tangannya menepuk pelan punggung gadis yang bergetar menahan tangisannya. Naruto tak tahu harus berkata apa lagi untuk menenangkan gadisnya, ia merasa benar-benar bego saat ini.
"Syukurlah kau masih di sini," ucap Karin lirih di sela tangisannya yang mulai reda, "aku masih bisa melihatmu."
"Aku tak akan kemana-mana," ujar Naruto pelan, "akupun tak akan tahan jika tidak bisa melihatmu lagi dalam waktu yang lama."
Rasanya lama sekali mereka berpelukan dalam keheningan. Isakan tangis Karin telah reda, rasa kalutnya seperti diangkat dari tubuh hingga kini ia merasa seringan kapas. Tak ada lagi rasa risau, yang ada hanya rasa aman dalam dekapan Naruto.
Lalu, Narutolah yang pertama melepaskan pelukan itu. Tatapan safir kembarnya yang berkilau diterpa cahaya lampu jalan yang temaram membuat Karin kembali melengkungkan senyum simpul. Naruto juga tersenyum seraya mengucapkan kata 'maaf' sekali lagi. Karin hanya menggeleng, mengatakan kalau hal tersebut sudah tidak menjadi masalah.
"Ayo pulang," ucap Naruto seraya menjulurkan sebelah tangannya.
"Ayo," jawab Karin seraya menyambut tangan Naruto. Digenggamnya jemari kokoh pemuda itu dengan erat, kemudian dirangkulnya lengan Naruto. Kepalanya di sandarkan ke pundak bidang pemuda delapan belas tahun itu kemudian ditatapnya lekat-lekat wajah Naruto.
"Karin."
"Ya?"
"Aku benar-benar menyukaimu."
Karin hanya terdiam walaupun wajahnya kini sudah semerah rambutnya ia hanya bisa mengangguk pelan seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Naruto.
"Aku juga," bisiknya pelan.
.
.
.
TBC
Day 1 - Holding Hand
.
.
Catatan kaki:
*NEET = Not in Education, Employment, or Training (Pengangguran)
Halo Minna :'D
Terima kasih sudah mampir dan mau membaca (lebih komplit lagi kalau sekalian meninggalkan riview, ihik). Duh apalah ini, awalnya saya mau bikin drabble 500-1000an kata kok malah jadi 2K+ huft...
Ini adalah kumpulan cerita yang saya buat untuk melaksanakan 30 Days OTP challenge yang sudah ditentukan temanya perhari. Huft... kalau ngetik sepanjang ini tiap hari, bisa tepar juga saya hahaha... Sepertinya di chapter-chapter depan jumlah katanya akan saya kurangi biar bisa masuk kategori drabble. Rencananya sih cerita ini akan saya update setiap hari (doakan saja saya masih punya virtue buat menulis).
Akhir kata, jangan lupa riview ya reader-ku yang ganteng dan cuanteekk ;) karena riview adalah salah satu penyemangat untuk melanjutkan cerita ini.
