PROLOG
Malam..
Di bawah sinar pucat bulan dan lolongan anjing malam, berselimut dingin angin jahanam bulan November.
Terbungkus mantel menyeberang salju yang menenggelamkan mata kaki, dia berjalan menuju kerlip api unggun di sebuah halaman rumah, ditepi kota mati itu. Seorang pemuda berjalan membungkuk, bermata cekung, berhidung mancung, berambut merah, berwajah bintik-bintik dan bermantel abu-abu usang. Tatap matanya nyalang, namun langkahnya tertatih. Sebuah luka yang sudah hampir mengering tertoreh dalam di paha kanannya. Luka yang akan meninggalkan bekas abadi, buah dari kutukan sihir hitam dan tak termaafkan.
Baru beberapa jam yang lalu ia lolos dari kematian setelah berduel dengan para penyihir hitam yang sedang memburunya. Membunuh satu, melukai tiga, namun masih ada setengah lusin lain yang mengepungnya dengan tongkat sihir yang memutahkan mantra-mantra dan kutukan sihir hitam. Mantelnya terkoyak di beberapa tempat, pahanya tergores mantra yang sedikit meleset dan pasti dia juga akan bertemu dengan sang kematian jika tidak segera melakukan apparation, lari, untuk mempertahankan nyawanya tetap di badan atau hanya sekedar menunda kematiannya.
Api unggun itu berkelip mungil, namun tak padam walau di dera angin dingin yang sangat menggigit tulang. Nyalanya hanya sekedarnya saja, namun mampu manjadi petunjuk bahwa di dekatnya tengah duduk bersila seorang berjenggot putih tebal dan bermantel gelap sedang menghadapi api itu. Kota mati dibelakangnya menjulang seperti monster dan menjadi latar yang cukup suram kendati rumput-rumput liar belum tumbuh di sepanjang jalan beraspal yang baru beberapa hari ditinggalkan warga kota. Semua orang pergi karena kematian-kematian misterius yang tak dapat di jelaskan oleh para muggle dan para petugas forensik. Tapi bagi para penyihir, mereka tau persis apa yang menyebabkan kematian-kematian itu. Kutukan kematian dan sihir-sihir hitam lainnya. Legenda pelahap maut yang bangkit lagi dari masa isolasi mereka yang panjang...
Sang Pewaris Kegelapan Menuntut Balas...
Segala sesuatu yang berhubungan dengan Harry Potter didalam cerita ini adalah milik JK. Rowling.
CARELESS
Pagi itu awal desember yang sangat menggigit. Daun-daun di pepohonan sepanjang jalan tersepuh warna putih, begitu juga rumah-rumah kosong diantaranya nampak seperti kue jahe berlapiskan taburan gula halus.
Angin yang berdesir tak menggoyahkan butir-butir halus itu, namun tiba-tiba udara sedikit terhentak dan permukaan salju licin segera terusik oleh serangkaian kejadian yang akan terlihat asing jika ada seorang muggle yang sedang memperhatikannya.
Lelaki berjubah hitam muncul dengan tiba-tiba dari udara kosong didahului oleh suara letupan apparation dan desir udara yang terkoyak.
Tangan kananya berada disaku mantelnya yang gelap serta panjang sampai pada mata kaki dan matanya hampir tertutup oleh tudung yang menutupi kepalanya, melindungi dari hawa dingin yang menyengat. Sepatu boat bergasper terbuat dari kulit naga terbaik melindungi telapak kakinya..
Sesaat ia mengamati keadaan sekeliling. Sempat melirik pada bunyi berkeresak di sebuah ranting yang disebabkan gerakan tiba-tiba seekor rubah. Tapi hanya matanya saja yang melirik walau kewaspadaan tinggi menghiasi ekspresi wajahnya.
Lalu beberapa saat lamanya ia mengamati sebuah rumah kecil di antara deretan kue jahe di sepanjang kompleks itu. Rumah dengan cat abu-abu itu nampak tidak terlalu suram jika hari sedang tidak bersalju walau dibeberapa bagian cat pada dinding ada yang sudah mengelupas. Tanaman-tanaman dihalamannya total telah tersaput warna salju. Kaca jendelanya nampak beku dengan embun dan titik air yang menjadi es.
Bekas tapak kaki baru pada salju di halaman rumah itu menuju pintu, mengabarkan pada siapapun bahwa ada kehidupan didalam rumah itu meski tak ada asap yang keluar melalui cerobong.
"Ceroboh sekali mereka." Pikir lelaki itu.
Selama tiga detik lelaki itu kembali mengawasi keadaan sekeliling sebelum kakinya mulai melangkah perlahan. Tangan kananya mencabut sebuah tongkat sihir. Tongkat sihir kayu cemara berintikan sehelai bulu ekor phoenix yang dahulu pernah sangat di takuti oleh dunia sihir. Bahkan sampai sekarang, saat ia mulai menebarkan teror, buah dendam yang membuncah didalam dadanya selama limapuluh tahun.
Angin pusara kecil meliuk sekejap di atas permukaan salju. Menerbangkan bulir-bulir putih halus itu lalu menghilang. Hanya meninggalkan desah yang bergabung dengan desau disekitarnya.
Lelaki itu kemudian berjalan menuju rumah yang di amatinya tadi tanpa ragu-ragu. Langkahnya mantap, tatapanya lurus pada objek yang sudah sangat ingin dia hancurkan saat itu juga. Pintu putih dengan gagang bulat keemasan yang tampak beku di tengah musim salju ini. Tangannya yang memegang tongkat sihir sudah gatal dan mulutnya bergeramang, tak sabar lagi ingin menangkap seseorang yang akan sangat memuaskan hasrat dan dendamnya.
"Hutang itu harus ku tagih sekarang juga." Geramangnya bercampur dengan hembusan angin yanng mulai membawa butir-butir salju baru dari langit.
Ia melompati pagar rendah yang mengelilingi rumah itu dan langsung mengacungkan tongkat sihirnya lurus kearah pintu. Tak ingin berbasa-basi lagi, pintu itu pun tereducto dengan sempurna menjadi debu, bahkan tanpa suara sedikitpun. Reruntuhannya menggunduk dilantai dan sebagian diterbangkan angin untuk bergabung dengan salju yang sedang mulai turun lagi.
"Homenum Revelio..!" Katanya dalam hati sambil berjalan dan mengacungkan tongkat kearah lubang pintu.
Tak ada yang terjadi. Tapi sebuah sensasi di dalam dirinya memberi tau otaknya bahwa ada orang lain di dalam bangunan itu. Dan sesuatu yang lain memberinya firasat bahwa siapapun yang berada di dalam rumah sedang bergerak.
Apakah penghuni rumah itu tau bahaya sedang mendatangi mereka, lelaki itu sama sekali tak peduli. Ia hanya peduli pada kakinya yang harus membawa tubuhnya sebelum buruannya sempat meloloskan diri.
Tepat ketika telapak kaki lelaki itu menginjak gundukan debu, sisa pintu yang tereducto, terdengar suara teriakan dari ruang dalam rumah itu.
"SEKARANG, NAK...!"
Lelaki itu mengangkat tongkatnya secara naluriah, bersiap menghadapi serangan mendadak. Tapi sedetik kemudian ia menyesali sikapnya itu karena saat itu juga terdengar suara letupan yang memberitahukan bahwa mangsanya yang sudah berada di depan mata berhasil lolos sekali lagi.
Hatinya serasa tertohok sebuah alugora dan jantungnya seperti di tusuk dengan pedang yang sedang membara. Kemarahan yang sangat mencekam membuatnya tak mampu untuk memilih sasaran tongkatnya lagi. Dengan teriakan yang menggema di seluruh sudut kota mati itu, tongkatnya memuntahkan mantra-mantra peledak yang dalam beberapa detik saja telah membuat rumah kecil itu dan rumah-rumah lain di kiri kanannya rata dengan tanah.
"KEMBALI DAN HADAPI AKU, PENGECUUUUT...!" Teriaknya diatas reruntuhan berasap. Nafasnya memburu, dendamnya semakin terasa menggelegak dan matanya yang berpupil seperti mata ular berubah dari merah sewarna darah jadi membara.
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan lain kecuali gerakan angin yang semakin menderu-deru mengibarkan jubahnya dan membuat siluetnya nampak seperti kelelawar raksasa.
Tapi seperti apapun yang ia rasakan, tak ada harapan lagi yang bisa ia jadikan pegangan. Jika dendamnya ingin terbalaskan maka ia harus mulai lagi dari awal mula. "Ceroboh". Satu kata itulah yang kemudian terngiang dalam benaknya. Dan dalam hati kecilnya ia berjanji untuk lebih berhati-hati jika di kali lain ia mendapatkan kesempatan lagi.
Dengan pemikiran itu, si lelaki berjubah hitam itu pun berputar di tempat dan ber-disapparate, meninggalkan suara letupan yang dikaburkan oleh angin.
September, 17th 2011 at 02.15 - 03.30 pm
-masih ada lanjutanya egen esok-
