Inspired by some stories.
Warning: character death
Status: In-Progress
13 April, 1898.
Changmin melirik keluar jendela dari kamarnya yang berada di lantai dua. Kaca jendelanya yang bertiraikan kain tipis membuat pemandangan di luar rumahnya menjadi agak buram dan coklat.
Benar-benar menyebalkan.
Hari ini adalah hari terpanjang yang pernah Changmin rasakan.
Hari dimana teman-temannya berada di luar rumah, bercengkrama dan berkumpul dengan yang lain atau hanya sekedar melakukan hal bodoh di luar sana.
Dan disinilah dia. Tidak bisa berbuat apapun kecuali beristirahat karena flu yang sudah dideritanya selama 3 hari. Kakaknya mengatakan kalau dia mungkin saja terkena tuberculosis. Tapi yang benar saja, tidak ada laporan kasus wabah tuberculosis di tempat daerah dia tinggal akhir-akhir ini. Dan karena Jung Yunho, kakaknya, sudah terkenal gampang khawatir, Changmin tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiam di atas ranjangnya dan membaca buku.
Changmin mengambil nafas dalam, kemudian mendekati meja di samping jendela kamarnya sembari menyelipkan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga. Dia harus memotong rambutnya sesegera mungkin. Sudah banyak orang yang bilang bahwa dia semakin mirip dengan hyungnya karena rambutnya yang agak panjang. Tidak apa-apa sebenarnya, hanya saja Changmin lebih suka kalau dia punya ciri khas sendiri.
Tangannya cekatan merapikan buku-buku di atas meja. Itu adalah buku-buku peninggalan ayahnya yang sudah lama meninggal.
Changmin termasuk pemuda yang ulet. dan itu sudah terlihat di semester keduanya ini. Tidak ada hari menganggur baginya. Kalau sedang sakit dan tidak bisa berangkat ke kampus seperti hari ini, dia akan mengambil pena dan menyelesaikan semua tugas yang diberikan oleh dosennya. Itu juga alasan kenapa dia menjadi salah satu mahasiswa dengan nilai tertinggi di bidangnya. Tapi itu kalau tugasnya masih menumpuk. Sekarang dia benar-benar tidak ada kerjaan karena semuanya telah selesai.
Changmin hendak mengikuti jejak hyungnya menjadi polisi. Hyungnya adalah salah satu polisi dengan jabatan tertinggi di kepolisian kotanya. Semenjak ditinggalkan oleh orang tuanya 5 tahun lalu akibat pembunuhan, sudah menjadi cita-cita Changmin untuk meneruskan pekerjaan kakaknya itu kelak.
Tapi lama-lama membosankan juga. Dan ini sudah siang, Changmin juga lapar. Minum limun dan es krim di taman depan rumah nampaknya bukan ide yang buruk.
Setelah memastikan bahwa ini masih jam kerja dan kakaknya masih ada di kantor, Changmin meraih dompet dan keluar dari kamarnya, mengendap-endap menuruni anak tangga. Bagaimanapun juga, dia harus keluar dari rumah ini.
Changmin menoleh ke kanan dan kiri ruangan santai di lantai 1. Hanya ada televisi yang menyala. Entah dimana pamannya yang selalu menjaga rumah. Semoga saja sedang ke dapur.
"Ting tong!"
Suara bel pintu depan membuat changmin terhenti di langkahnya.
"yaaa!"
Dari kejauhan datang pamannya yang membawa nampan berisi makanan. Makanan changmin. Ugh. Dia bosan dengan segala sayur dan salad yang nampaknya masih sama dengan menu tadi pagi.
Changmin menyembunyikan tubuhnya dari lapang pandang pamannya yang tengah meletakkan makanannya di atas meja ruang televisi. Dia meringkuk di samping meja telepon. kalau ketahuan pamannya, maka gagal sudah rencananya untuk kabur. paman dan hyungnya adalah orang yang kompak. dan dia pasti akan langsung dilaporkan ke Yunho. konsekuensinya kalau melanggar perintah yunho tentu saja, uang jajan yang dipotong.
Untung saja suara volume acara berita di televisinya agak keras, jadi suara gesekan langkah kaki Changmin tadi tidak terlalu terdengar.
"…warga Gwang-Ju diminta untuk berhati-hati. …Park Junsu, narapidana kasus pembunuhan berantai di di kota ini, dilaporkan melarikan diri—"
Changmin tengah memperhatikan pamannya itu membuka pintu dari balik tempat persembunyiannya, saat tiba-tiba suara keras terdengar.
"DOR!"
"Agh!"
Mata Changmin terbelalak kaget melihat pamannya terjatuh, sembari memegangi dadanya yang berlumuran darah. Changmin tercekat kaget. Namja berambut hitam itu membungkam mulutnya sendiri dengan tangan dan tidak bisa bergerak.
"dikabarkan bahwa Park Junsu melarikan ke arah barat kota. Saksi mata menyebutkan kalau dia melihat sesorang dengan wajah mirip dan berpakaian coat panjang—"
"aa...a... ugh..."
Changmin ingin berteriak saat seseorang dengan coat hitam panjang masuk dan melangkahi pamannya yang tengah merintih kesakitan, namun suaranya tidak bisa keluar. Bola matanya mengikuti gerakan pria pembunuh itu yang sekarang berada di ruangan yang sama dengan dirinya.
'A—apa yang terjadi?' batin Changmin masih tidak percaya dengan kejadian yang sedang terjadi di depan matanya. Semuanya begitu cepat. Changmin tidak bisa bergerak dari duduknya.
Pembunuh itu kembali mendekati pamannya yang sudah tidak bergerak. Pandangan Changmin kabur karena air mata.
Takut.
Dia takut.
Dimana hyungnya?
Pembunuh tadi menendang badan pamannya dengan keras sampai pamannya berguling. Tatapan kosong pamannya sekarang mengarah kepadanya. Air mata Changmin jatuh melihat wajah pamannya yang kaget dan kesakitan dengan darah yang keluar dari mulutnya.
Pamannya sudah tak bernyawa.
"Dimana Jung Yunho…"
Changmin semakin tidak bergeming. Tubuhnya gemetar.
'hyung, hyung kau dimana.. aku takut hyung, aku takut—'
Pria ber-coat panjang itu lantas berjalan ke arah ruang kerja kakaknya di samping dapur. Changmin harus segera pergi. Harus segera pergi—
'hyung. Hyung. Telepon—'
Dengan tangan yang bergetar Changmin meraih gagang telepon diatasnya. Memencet nomor telepon tempat kakaknya bekerja dengan gugup.
"Sial. Dia tidak di rumah." Suara pria itu semakin membuat changmin panik.
'hyung kumohon angkat hyung, angkat teleponku—'
"Oh. Apa ini?"
Bayangan hitam menutupi sinar lampu ruangan, membuat tempat persembunyian Changmin menjadi semakin gelap. jangan bergerak Changmin, jangan—
'Halo Changmin, kenapa?' suara Yunho terdengar dari telepon.
"Apa yang kau lakukan, anak muda? Bersembunyi?" tanya pria itu dengan suara berat.
Selesai sudah.
"hei kau tahu dimana Jung Yunho?"
'changmin? Changmin ada apa? Jawab aku..'
alis pembunuh itu naik, "Apa itu Jung Yunho?"
Changmin memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Lagi-lagi matanya terbelalak. Dia kaget melihat orang yang ada di hadapannya sekarang. wajah itu-
Park Junsu.
Orang yang sama yang juga membunuh orang tuanya pada kasus pencurian di rumahnya sebelumnya. dia tidak berubah. hanya potongan rambutnya saja yang berbeda. sebuah bekas luka melintang di atas hidung masih menghias wajahnya. dan matanya—mata itu! Changmin membencinya!
Mulut Changmin membuka, tapi tidak ada suara yang keluar. Air matanya semakin turun dengan deras.
"..Oh. Kau pasti Changmin, adik manusia sialan itu."
"a-apa ma—maumu?" akhirnya suaranya keluar. Suara yang terdengar parau, ketakutan, dan naas bahkan oleh telinganya sendiri. Park junsu tersenyum menyeringai.
"Balas dendam. Apa lagi? Kakakmu dan keluargamu sudah membuat hidupku tersiksa."
'changmin? Ada apa sebenarnya! Suara siapa itu changmin—' Yunho semakin terdengar panik di telinga changmin. Tapi apa daya, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Yunho.
Belum sempat changmin membalas omongan Junsu, sebuah moncong pistol sudah diletakkan di dahinya. Bahkan lubang senjata api itu terasa panas di kulit Changmin.
"ti-tidak.. ke-kenapa..?"
"Kau tidak ingin bertemu ayah dan ibumu? Mereka pasti rindu padamu… dan kau akan meringankan bebanku untuk balas dendam. Tinggal kakakmu…"
'Changmin! Siapa itu! Jawab hyung!'
"Kau tidak mau ngobrol dengan kakakmu untuk yang terakhir kalinya, hmm?"
'changmin!'
Suara teriakan Yunho di telinganya, ditambah dengan suara acara berita di televisi sudah tidak mampu terdengar oleh Changmin.
"Baiklah. Bilang selamat tinggal padanya…"
Tangan Junsu memperbaiki letak pistolnya yang agak miring, mendorongnya hingga kepala Changmin terantuk meja dibelakangnya.
"H-hyung… Yunho-hyu—"
"DORR!"
'CHANGMIN!'
Sakit. Gelap. Semuanya menjadi hitam.
