Disclaimer:

Naruto © Kishimoto Masashi

Lantai Empat © Haruno Aoi

Warning: AU, OOC, TYPO(S)

.

.

.

Lantai Empat…

Bab I

.

.

.

Seorang wanita berjalan dengan cepat melewati lorong sepi suatu apartemen. Cahaya temaram lampu di lorong, membuatnya ingin segera menemukan tempat yang lebih terang. Ia memeluk erat kantung coklat yang berisi penuh dengan barang belanjaannya. Nafasnya memburu, seolah baru saja berlari beberapa kilometer. Raut wajahnya menyiratkan ketakutan yang luar biasa. Rambut biru tuanya yang panjang turut melambai seiring cepatnya ia berjalan.

Wanita bermata sewarna mutiara itu adalah Sabaku Hinata; komikus berumur 24 tahun yang cukup terkenal karena karya terbarunya dimuat bersambung di majalah komik Konoha. Bahkan, beberapa karyanya sudah ada yang diterbitkan. Hinata berhenti di depan pintu yang bernomor 121. Ia menggenggam gagang pintu dengan tangan gemetar, dan mendorongnya dengan cepat saat mengetahui kalau pintunya tidak dikunci.

"Kamu lewat tangga lagi?"

Hinata mengabaikan pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia terlihat terburu-buru saat menutup pintu apartemen. Setelah memastikan kalau pintu telah terkunci, ia mengabaikan pria berambut merah yang menghadangnya di undakan depan pintu. Hinata berjalan ke dapur yang bersebelahan dengan ruang tengah. Pria berekspresi datar itu mengikuti Hinata dan duduk di salah satu kursi makan. Ia memperhatikan Hinata; yang meletakkan kantung belanja di meja dapur dan menata isinya di dalam kulkas.

"Kenapa kamu tidak mau lagi menggunakan lift?" tanya pria itu setelah Hinata menutup pintu kulkas.

Hinata terlihat gemetaran. Kedua tangannya saling menggenggam dengan erat. Ia berbalik dan menatap pria yang melihat ke arahnya. "Aku sudah bilang kalau aku takut—"

"Kamu mau bilang, 'Aku takut melihat hantu di lift'?"

Mata Hinata memanas karena melihat senyuman sinis pria yang sudah dua tahun seatap dengannya. "Aku ingin pindah…"

"Kenapa?"

"Empat itu—"

"Cukup." Sepertinya pria stoic itu sudah bosan mendengarkan Hinata yang akhir-akhir ini sering mengatakan, 'Empat adalah angka sial.'

"Saat ini, hanya kita yang menempati lantai empat, Gaara-san…"

"Mungkin mereka semua pindah karena sudah menemukan tempat tinggal yang lebih nyaman."

"Tapi—"

"Ketakutanmu tidak ada hubungannya dengan apartemen. Kamu seharusnya berhenti mengerjakan komik horror, agar kamu tidak lagi berhalusinasi," potong Gaara, dingin.

Kata orang, kalau sering mengerjakan komik horror, kejadian yang menakutkan akan benar-benar dialami oleh komikus. Gaara yang selalu berpikir rasional, menganggap kejadian seram itu hanya bagian dari halusinasi Hinata. Dan Hinata jadi merasa kalau pria yang sudah menikahinya dua tahun lalu itu, tidak percaya lagi padanya.

"Gaara-san mau bilang kalau aku sudah gila?"

Gaara masih berwajah dingin. Belum tampak keinginan untuk menenangkan Hinata yang mulai menangis. Hinata jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat paman Gaara—Yashamaru, yang merupakan seorang psikiater—datang untuk membawakan beberapa obat untuknya. Hinata selalu meneteskan air mata ketika satu per satu tablet pahit itu terpaksa ditelannya. Yang makin membuatnya bersedih; Gaara belum tahu tentang semua itu.

"Gaara-san mau membawaku ke rumah sakit jiwa seperti yang diinginkan keluarga Gaara-san?"

Gaara menutup matanya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya dengan bosan. Helaan nafasnya yang lemah bisa didengar oleh Hinata. Setelah itu, isak tangis Hinata semakin terdengar dengan jelas. Gaara bisa menebak apa yang selanjutnya terjadi; Hinata akan berlari ke kamar dan membenamkan diri di bawah selimut yang tebal.

Gaara masih bisa memaklumi sifat kekanakan istrinya yang lebih muda dua tahun darinya. Karena itu, ia akan menyusul dan mencoba meminta maaf kepada Hinata; memberikan pelukan atau sekedar belaian lembut di rambutnya. Gaara mengerti akan hal terpenting dan sangat dibutuhkan Hinata di saat seperti ini; senyumannya.

.

.

.

"Pagi," ucap Gaara saat Hinata mulai terbangun dari tidurnya.

Hinata yang masih mengerjapkan matanya bisa melihat Gaara yang duduk di tepi ranjang. Ia ikut tersenyum ketika melihat senyum Gaara yang hanya ditujukan kepadanya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan memperhatikan suaminya yang sudah rapi dengan setelan jas coklatnya; Gaara sudah siap berangkat kerja.

"Kenapa semalam membiarkanku tertidur?" tanya Hinata dengan suara parau khas bangun tidur. "Nanti editorku dari perusahaan penerbitan akan datang…"

"Editormu tidak akan marah karena kamu adalah mantan kekasihnya."

"Tentu saja dia marah kalau aku menyerahkannya lewat dari deadline. Tidak ada hubungannya dengan masa lalu, kan…"

Gaara tersenyum tipis saat melihat Hinata mengerucutkan bibirnya. Ia mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut bibir Hinata. "Berhentilah mengerjakan komik horror," gumamnya setelah menjauhkan kepalanya.

Hinata mengangguk lemah.

"Kamu terlihat lebih kurus. Akhir-akhir ini, kamu juga kurang tidur karena mengerjakan komikmu itu."

"Tenang saja. Hanya tinggal dua chapter lagi…" Hinata tertawa kecil saat melihat kekhawatiran di wajah suaminya. "Setelah ini, aku akan menjadi ibu rumah tangga yang baik." Hinata tersenyum lebar.

Gaara membalas senyum Hinata. "Aku tidak menyuruhmu berhenti total. Bagaimanapun, menggambar adalah hobbymu. Aku hanya melarangmu mengerjakan komik horror."

Hinata mengangguk dengan semangat. Ia senang karena suaminya begitu pengertian.

"Oh iya, aku akan dinas ke Iwa selama lima hari—"

"Ta… tapi Gaara-san… a… aku takut…" Kening Hinata tampak berkerut. Jantungnya mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya.

Gaara menggenggam jemari Hinata yang mulai gemetaran. "Aku akan menyuruh Hanabi menemanimu selama aku pergi. Atau kalau kamu mau, aku akan mengantarkanmu ke rumah Otousan."

Hinata menggigit bibir bawahnya. Selama ini jika ia ditinggal sendiri di apartemen, ia akan ditemani oleh asistennya. Tapi karena ia sudah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai komikus, ia memberhentikan asistennya tersebut. Alasannya, karena ia ingin berhemat. Jadi, sekarang Hinata hanya bekerja sendiri untuk karya terbarunya—yang juga merupakan karya terakhirnya sebelum berhenti sebagai seorang komikus. Walaupun Gaara tidak menyuruhnya untuk berhenti total, tapi Hinata sudah memutuskan itu atas keinginannya sendiri.

"Mulai kapan dinasnya?"

"Besok."

"Gaara-san… kenapa kita tidak pindah saja?"

"Bersabarlah. Tabungan kita belum cukup untuk membeli rumah."

"Kita bisa tinggal di rumah Otousan dulu, kan…"

Gaara hanya diam. Seharusnya Hinata tahu; sebagai pria, Gaara ingin mandiri setelah memutuskan untuk menikah.

"Ma… maaf…" ucap Hinata sambil menundukkan kepalanya.

"Hm, tidak apa." Gaara mengecup lembut kening Hinata. "Aku berangkat," pamitnya seraya tersenyum—sebelum berdiri dan keluar kamar.

"Hati-hati…"

Hinata menghela nafas panjang setelah Gaara menutup pintu kamarnya dari luar. Hal yang membuatnya tidak nyaman saat menjadi seorang komikus, karena ia merasa tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Gaara. Sejak menikah, ia yang selalu dikejar deadline lebih sering tidur menjelang pagi dan bangun di siang hari. Seharusnya ia bangun lebih awal daripada Gaara; mengisikan air di bak mandi, memilihkan setelan kerjanya, menyiapkan sarapan, dan mengantarnya sampai pintu depan saat berangkat ke kantor.

"Gaara-san pasti belum sarapan…" gumam Hinata sedih.

.

.

.

"Suamimu mau kemana?" tanya seorang pria berambut hitam yang berdiri di ambang pintu kamar Hinata—saat melihat Hinata memasukkan beberapa setelan Gaara ke dalam tas besar.

"Dinas ke luar kota," jawab Hinata sembari tersenyum dan meneruskan kegiatannya semula.

"Kamu ditinggal selama berapa hari?"

"Lima. Mulai besok." Hinata menutup resleting tas berwarna coklat itu, kemudian menutup lemarinya.

"Apa aku sudah boleh pulang?" tanya pria berkulit putih itu sambil tersenyum ramah.

Hinata terlihat terkejut. "Tu… tunggu sampai Gaara-san pulang. A… aku takut…" Hinata berjalan mendekat pada pria itu dan menunjukkan wajah memelasnya.

"Baiklah…"

Pria itu tersenyum lagi seraya duduk di sofa beludru merah yang tidak jauh dari pintu kamar Hinata. Ia mengambil remote di meja depan sofa dan menyalakan televisi di hadapannya.

Apartemen yang ditinggali Hinata dan Gaara memang tidak luas; hanya ada satu set sofa di ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur, meja makan, dan meja kerja Hinata; satu kamar tidur, dan satu kamar mandi.

"Akan kubuatkan teh."

"Oke."

Untuk beberapa saat hanya ada suara dari televisi, sampai ada suara cangkir yang beradu dengan meja kaca di depan sofa. Hinata duduk di samping pria itu dan ikut memusatkan perhatian pada acara berita sore.

"Aku tadi melihatnya." Pria di samping Hinata terlihat serius. Senyum yang biasanya menghiasi wajahnya, kini tidak ditunjukkannya.

"Li… lihat a… apa, Sai-kun?" tanya Hinata mulai panik. Sebenarnya ia tidak ingin menanyakannya, karena ia sudah bisa menduga kemana arah pembicaraan pria yang bernama Sai itu.

"Seorang perempuan meringkuk membelakangiku di sudut lift, dan—"

"Hentikan!" Hinata menutup telinganya dengan kedua tangannya dan matanya tertutup rapat. Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya terlihat gemetaran. "Aku tinggal di sini. Jangan membuatku semakin takut…"

Sai dengan perlahan menjatuhkan kedua tangan Hinata yang menutup telinganya. Tidak lama kemudian, Hinata membuka matanya dan nafasnya yang semula memburu menjadi normal kembali.

"Aku tidak akan meneruskan." Sai tersenyum ramah. "Tenanglah…"

Hinata mengangguk pelan.

"Dari dulu kamu memang penakut," ledek Sai.

Hinata memukul pelan lengan Sai, lalu tersenyum lebar. "Aku akan menyiapkan makan malam," katanya sambil berdiri dan berjalan menuju meja dapur.

.

.

.

Hinata berbaring miring di ranjangnya dan sudah membenamkan sebagian tubuhnya di bawah selimut. Ia memperhatikan Gaara yang masih berbicara dengan seseorang di ponsel, dan berdiri membelakanginya. Hinata tersenyum saat Gaara berhenti bicara dan meletakkan ponselnya di meja kecil dekat ranjang. Tidak lama kemudian, Gaara menyingkapkan selimut dan berbaring di samping Hinata. Ia memiringkan tubuhnya untuk menghadap Hinata. Senyum yang tidak kunjung pudar, menghiasi wajah Gaara yang terlihat lelah.

"Aku akan merindukanmu," bisik Gaara di telinga Hinata. Ia melingkarkan lengannya untuk mempersempit jaraknya dengan Hinata. Bukan hanya mempersempit, tetapi juga menghilangkan setiap penghalang di antara dirinya dan Hinata.

Malam ini akan terasa panjang untuk mereka…

.

.

.

Bersambung?

.

.

.

Kenapa Gaara-san?

Karena dari dorama Jepang yang saya tonton, yang sudah menjadi suami istri malah manggilnya pakai suffix –san. Nggak tahu juga sih.

Jepang menganggap angka empat sebagai angka yang kurang baik. Jadi, biasanya tidak pernah ada lantai empat di sana. Mungkin ada, tapi tidak difungsikan sebagaimana mestinya, katanya.

.

.

.

Maaf dan Terima Kasih…

10 Januari 2011

CnC? RnR?