Hujan turun begitu saja tepat saat Chanyeol berjalan dari halte bis dekat rumahnya, dan Chanyeol membiarkan suara rintik-rintik itu memenuhi gendang telinganya, membiarkan derasnya air membasahi seluruh tubuhnya, membiarkan dinginnya udara memeluk kulitnya.
Ia tidak tahu sejak kapan ia menyukai hujan.
Chanyeol lebih merupakan tipikal musim panas. Cerah, ceria, penuh tawa dan kadang melelahkan.
Tapi Chanyeol kehilangan dirinya sejak beberapa waktu lalu. Dan jika sekarang ia menjadi melankolis, sendu, kelabu dan berserakan seperti hujan.
Maka ia tidak peduli.
.
.
"Kenapa tidak menunggu hujan reda dulu ?! Tunggu sebentar, eomma ambilkan handuk untukmu."
Chanyeol hanya tersenyum tipis, berdiri sedikit canggung di depan pintu masuk rumahnya, dan segera saja membasahi keset yang dipijaknya dengan sejumlah butiran air yang mengalir turun dari tubuhnya.
"Ini, keringkan rambutmu lebih dulu, atau kau akan sakit!" Eommanya masih sedikit membentak dan menatapnya tajam, tapi kalau ada satu orang di dunia ini yang akan menerimanya selalu dengan tangan terbuka bagaimanapun keadaannya, Chanyeol tahu, itu adalah eommanya.
"Letakkan sepatumu diluar, dan segera ganti bajumu, eomma akan siapkan air hangat untukmu."
Chanyeol mengangguk, dan lagi-lagi tersenyum. Ia melangkah masuk, masih dengan handuk yang kini sudah basah menutupi kepalanya, langkahnya terhenti ketika ia hendak memakai slipper rumahnya, ada dua pasang sepatu yang begitu familiar, tergeletak rapi disana.
"Eomma.."
Eomma Chanyeol sudah berjalan beberapa langkah, namun ia tetap menoleh, "Hmm ?"
"Ada tamu ?"
"Baekhyun dan Jongdae sudah menunggumu sejak tadi, mereka ada di kamarmu."
Dan Chanyeol ingin berbalik, ingin menerjang hujan sekali lagi.
"Hadapi mereka Yeol, berhentilah menghindar."
Kalau bukan karena tatapan eommanya yang tulus dan meyakinkan, sungguh, Chanyeol tidak masalah kalau harus basah-basahan sekali lagi.
.
.
"Eommonim bilang sekarang kau kerja sebagai guru seni di TK dekat sini, aku ikut senang mendengarnya, selamat Yeol."
Baekhyun memecah keheningan, meski ia tahu kalimatnya terdengar begitu awkward, begitu asing, seperti diucapkan kepada orang yang hanya dikenalnya sepintas, bukan kepada sahabat yang telah bertahun-tahun ada dalam hidupnya.
Jongdae berdecak, mengamati Chanyeol yang hanya mengangguk, dengan sedikit senyum, namun terlihat begitu kosong. Ini bukan ide yang baik, Jongdae sudah bilang itu berkali-kali, ini sudah hampir dua bulan, Chanyeol memilih menjauh dari mereka, dan meski Jongdae tahu dalam hati ia merindukannya, tapi ia juga tak dapat menampik rasa marah yang entah sejak kapan munculnya, Chanyeol menyembunyikan banyak rahasia yang seharusnya mereka bagi bersama, Chanyeol meninggalkan mereka begitu saja dengan berbagai pertanyaan tanpa bersedia memberikan jawaban, dan Jongdae rasa, ini yang disebut dengan dikhianati.
"..well yeah, setidaknya kau tidak perlu kerja serabutan di kontraktor lagi, iyakan ?"
Baekhyun membiarkan suaranya memenuhi kamar Chanyeol sekali lagi, yang lagi-lagi Chanyeol balas dengan sebuah anggukan. Baekhyun benar, meski Chanyeol tidak pernah membayangkan gelar sarjana seni yang ia dapat dengan susah payah akan membuatnya sebagai seorang guru TK, yang kadang membuat Chanyeol merasa sebagai seorang baby sitter untuk sekumpulan bocah-bocah kecil itu, tapi setidaknya mereka dapat membuat Chanyeol tertawa, dan membelikan eommanya sebuket bunga saat ia menerima gaji pertamanya tiga hari lalu. Lebih daripada cukup.
"Ah ya! Bagaimana dengan kakimu ? Err..tentu saja aku sudah mendengar kabar dari eommonim, tapi..well..euhm…"
Baekhyun berusaha, Chanyeol tahu itu. Dan ia juga mencoba melakukan hal yang sama.
"Baik.." Suara Chanyeol sedikit serak, entah karena ia belum membuka mulutnya sejak memasuki kamarnya atau karena hujan, "Aku—baik-baik saja, terimakasih Baek."
Jongdae lagi-lagi mendecakkan lidahnya, lebih keras kali ini, membuat Baekhyun yang duduk disebelahnya menyikut perut Jongdae dengan sengaja.
"Oh, baguslah kalau begitu, jadi..err..kau tahu Yeol, aku—kita—"
"Aku, Baekhyun dan Kyungsoo memutuskan untuk pindah ke apartemen baru." Potong Jongdae tak sabaran. Bertahun-tahun ia mengenal Baekhyun baru kali ini melihat sahabatnya yang terkenal chatterbox itu menjadi seperti ini.
Chanyeol menatap mereka berdua selama beberapa detik. Lalu mengangguk. Dan sungguh, Jongdae rasa itu merupakan hobi baru Chanyeol.
"Aku akan mengambil barang-barangku dengan segera kalau begitu."
Baekhyun gantian menatap Chanyeol, sedikit melotot, dan tampak panik.
"Dumbass," desis Jongdae, "Baekhyun dan Kyungsoo ingin kau kembali dan kita tinggal bersama lagi, oke ? Hell, Kyungsoo bahkan bersikeras untuk menyewa apartemen dengan empat kamar."
Baekhyun memukul kepala Jongdae kali ini, membuat keduanya saling menatap galak satu sama lain.
"Bagaimana denganmu ?"
"Huh ?" Sahut Baekhyun dan Jongdae dengan ekspresi yang sama.
"Kau bilang, Baekhyun dan Kyungsoo meinginkanku, bagaimana denganmu Dae ?"
Jongdae menghela nafas, mengamati Chanyeol yang masih saja tampak lebih kurus, yang tampak terlalu redup, "Sejujurnya Yeol, aku merasa tidak mengenalmu lagi," Chanyeol tak berekpresi dihadapannya, dan ia tahu Baekhyun siap membunuh dengan tatapannya, "kita bukan baru kenal kemarin, iyakan Yeol ? Kita berbagi semuanya, dan aku pikir, kita akan terus seperti itu. Tapi tiba-tiba saja kau berubah. tiba-tiba saja yang aku tahu kau kecelakaan karena berkerja pada kontraktor bangunan, tiba-tiba saja kau memutuskan untuk pulang ke rumahmu tanpa memberikan alasan apapun, tiba-tiba saja kau memilih untuk mematikan ponselmu dan menghindariku, Baek dan Kyungsoo, semuanya serba tiba-tiba, dan aku benar-benar tidak tahu harus menghadapi perubahan-perubahanmu ini seperti apa! Kau bahkan tidak memberi celah untukku, Baek ataupun Kyungsoo untuk tahu apa yang terjadi denganmu, Yeol! Are we still bestfriend, Yeol ?! Because with all the secrets you held by yourself, I fuckin doubt it!"
Jongdae mengatakan semua yang ingin ia katakan. Ia menunggu beberapa detik, berharap Chanyeol menyahutinya, atau memukulnya, atau apapun. Tapi Chanyeol tetap hanya duduk di pinggir ranjangnya, tetap terdiam.
Dan bahkan hujan yang terus turun di luar, yang menguarkan udara dingin dan menyelinap masuk dari celah-celah jendela kamar Chanyeol tak mampu meredakan emosi Jongdae. Dan Jongdae tidak ingin melakukan apapun lebih daripada ini, apapun yang ia tahu, akan membuatnya menyesal nanti. Jongdae berdiri, berjalan menuju pintu.
"Pernah melihatnya dari sudut pandangku ?"
Chanyeol bersuara. Cukup untuk menahan langkah kaki Jongdae, namun tak cukup untuk membuatnya berbalik.
"Aku tinggal dengan tiga sahabatku dan bersama-sama beranjak dewasa, dan tiga sahabatku itu menjalani mimpi masa kecil mereka, kecuali aku. Aku tidak pernah berharap jadi orang dewasa yang seperti ini, kau tahu ? Tidak memiliki perkerjaan, hanya mengandalkan uang dari orang tuaku, menumpang hidup pada kalian. Aku tahu, seharusnya aku berterimakasih karena kalian tidak pernah mempermasalahkan itu, tapi bagaimana dengan harga diriku ? Apa kau tahu rasanya tidak memiliki uang yang cukup untuk sekedar naik subway ? Untuk sekedar membeli ramyeon di minimarket ? Sampai-sampai sahabatmu perlu meninggalkan lembar-lembar uang supaya kau tidak kelaparan ? Aku tahu, seharusnya aku tidak merahasiakan banyak hal pada kalian, tapi bagaimana caraku menyampaikannya ? Permasalahan kita jauh berbeda. Kalian sudah cukup pusing dengan target dan deadline dari kantor, sementara aku ?! Permasalahanku berputar pada lamaranku yang ditolak, tentang sulitnya mencari perkerjaan, tentang saldo tabunganku yang terus menipis. Kalaupun aku mengatakannya, apa yang akan kalian lakukan ?! Memberiku lebih banyak uang ?! Mengasihaniku ?!"
Chanyeol lupa kapan terakhir ia berbicara sebanyak ini. Tapi ia tahu ia perlu melakukannya, lagipula semua sudah terlanjur rusak, kenapa tidak menghancurkannya sekalian, iyakan ?
"Gajiku sebagai guru TK tidak akan mampu menyaingi gaji kalian, lagipula aku masih harus menemui psikiater beberapa kali dan aku tidak ingin memberatkan eommaku lagi. Jadi tolong katakan pada Kyungsoo, tidak perlu mencari apartemen dengan empat kamar, aku tidak akan sanggup membayarnya."
Jongdae masih terdiam. Matanya menatap pintu kamar Chanyeol intens, seolah benda keras itu dapat mengalihkan gumulan rasa yang terbangun seiring kata demi kata yang Chanyeol ucapkan. Jongdae ingin berbalik, ingin memeluk Chanyeol, ingin meminta maaf. Tapi kakinya mendadak kaku, seolah tertempel ke lantai-lantai yang dipijaknya.
"Yeol.."
Baekhyun menghembuskan nafas yang ia tahan sejak tadi, perlahan ia mendekati Chanyeol, sedikit ragu, ia menumpukan tangannya di salah satu pundak Chanyeol, membuat keduanya saling bertatapan.
"Ma—"
"Jangan Baek, kumohon." Potong Chanyeol, tersenyum tipis diujung kalimatnya, senyum Chanyeol yang paling penuh arti dari sekian senyum yang telah Chanyeol lakukan hari ini. Dan Baekhyun mengerti, atau setidaknya belajar untuk mencoba mengerti.
"Istirahatlah, aku dan Jongdae pulang dulu."
.
.
Kyungsoo tersenyum tipis meski hanya melihat dari kejauhan. Benar kata Baekhyun, Chanyeol masih terlihat begitu kurus, tapi setidaknya Chanyeol terlihat lebih bahagia daripada terakhir kali mereka bertemu. Chanyeol sedang berlutut, mensejajarkan tingginya dengan anak muridnya, tertawa kecil, dan kadang mengusap lembut kepala bocah-bocah yang sedang berbaris rapi menunggu giliran pulang.
Kyungsoo menunggu. Menanti sampai anak terakhir berlalu, dan Chanyeol berdiri. Tetap memperhatikan Chanyeol dalam diamnya. Dan ia mulai mendekat. Berharap kedatangannya tidak terlalu mengejutkan, meski Kyungsoo tahu, itu terdengar mustahil.
Chanyeol menatapnya dengan bola mata yang membulat sempurna, dan Kyungsoo mencoba menawarkan sebuah senyuman, mencoba mendekat, tapi Chanyeol reflek mundur satu langkah kebelakang.
"Sebentar saja Yeol, aku minta waktumu sebentar saja."
.
.
Chanyeol bukannya tidak ingin bertemu dengan Kyungsoo. Meski itu juga bukan sepenuhnya sebuah kebohongan. Ada banyak hal yang Chanyeol tidak mengerti, banyak hal yang membuat kepalanya berdenyut tak nyaman, ia hanya tidak ingin hatinya melakukan hal yang sama, setidaknya untuk kali ini.
Tapi ini Kyungsoo. Orang yang selalu mendapatkan 'iya' dari Chanyeol. Jadi, Kyungsoo duduk di sebelahnya saat ini. Di depan ruang kelas yang kosong. Chanyeol tidak berubah menjadi pelupa, jadi ia tahu harusnya saat ini Kyungsoo ada di kantornya. Bukan disini, mengenakan hoodie abu-abu milik Chanyeol, dan meminta waktunya.
"Aku memberikan pukulan pada Jongdae, untukmu."
Kyungsoo masih sama. Terkesan dingin, namun dengan rasa yang tepat. Orang bilang Kyungsoo adalah musim dingin, tapi bagi Chanyeol musim gugur lebih tepat untuknya.
"Kau tidak perlu melakukannya, Soo."
"Dia tidak membalasnya, dia tahu, dia salah."
Chanyeol harusnya tertawa keras, lalu memeluk Kyungsoo, memberinya ciuman dan membuat Kyungsoo mendorongnya menjauh. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu, ketika Chanyeol hanyalah seorang anak chubby dengan kaca mata bulat yang tidak bisa diam dan menjadi bahan keusilan teman sekelasnya, yang membuat Kyungsoo memberikan sebuah tonjokan keras dan membuatnya ditakuti. Tapi saat ini Chanyeol adalah pemuda dengan pipi tirus tanpa kaca mata yang terlalu diam, yang hanya menolehkan sedikit kepalanya ke arah Kyungsoo, tersenyum tipis dan sebentar.
"Baekhyun selalu bilang, kita harus menemuimu, kalau kau memutuskan untuk menjauh, maka kita yang harus mendekat padamu," Kyungsoo menatap lapangan mungil di hadapannya, "tapi kupikir kau butuh space, butuh waktu untuk dirimu sendiri, jadi aku bilang, tunggu sebentar lagi…"
Kyungsoo tidak tahu bahwa Chanyeol tahu kalau Kyungsoo tidak pernah absen menanyakan kabar tentang Chanyeol pada eommanya setiap hari.
"…sampai tanpa aku sadar, ini sudah dua bulan, iyakan ? Ini pertama kalinya, kita melewati Seolal tanpamu. Kita semua merindukanmu, Yeol, termasuk Jongdae, kau tahu itukan ?"
Chanyeol tahu, ia mengaktifkan ponselnya kemarin, dan jumlah Ktalk dari Jongdae sebanding dengan Baekhyun, tapi sebelum ia bersuara, Kyungsoo sudah membuka mulutnya lagi.
"Aku masih ingat hari saat kau meminta untuk pulang ke rumahmu, aku ingat matamu hari itu, caramu menatapku, dan itu menakutkan Yeol, saat itu aku tahu, aku gagal menjadi sahabat yang baik bagimu, kau kehilangan dirimu sendiri, dan aku terlalu sibuk sampai terlambat menyadarinya."
"Soo kau—"
"Aku tidak akan minta maaf untuk apa yang terjadi padamu, Yeol. Aku minta maaf untuk kegagalanku, aku minta maaf karena tidak menyadari perasaanmu."
Chanyeol menoleh sekali lagi, tapi Kyungsoo tetap memandang lurus kedepan.
"Aku tahu aku terlambat, dan kita terlalu asing saat ini," Kyungsoo tersenyum kecil, Chanyeol dapat melihat sudut bibir Kyungsoo tertarik, "tapi aku ingin satu kesempatan lagi, memulainya satu kali lagi.."
"Soo.."
"Namaku Do Kyungsoo, senang mengobrol dan berkenalan denganmu."
Tangan Kyungsoo terjulur ke arahnya, membuat Chanyeol menatap jari-jemari itu beberapa detik, sebelum akhirnya menjabatnya, membuat Kyungsoo tersenyum lebar, nyaris menampilkan deretan gigi-giginya.
"Park Chanyeol.."
.
.
Ini hari Jumat dan sudah lewat tengah hari. Seperti biasa, Chanyeol duduk di sofa empuk berwarna baby blue menghadap Minseok, Psikiater yang telah ditemuinya satu setengah bulanan ini. Minseok tersenyum hangat padanya, mendengarkan cerita Chanyeol tentang hari-hari yang telah ia lalui.
Tentang murid-muridnya yang akhirnya mampu membuat bangau kertas tanpa bantuannya lagi, tentang salah satu rekan sesama guru yang mengajaknya untuk makan siang bersama, tentang appanya yang memberi pelukan singkat setelah makan malam dua hari lalu, tentang kedatangan Baekhyun dan Jongdae dan konfrontasi terbuka mereka, dan tentu saja tentang Kyungsoo yang tiba-tiba muncul dan menawarkan awal yang yang baru.
Minseok menepuk lutut kiri Chanyeol, "Terdengar seperti minggu yang indah untukmu Yeol, apakah kau merasa bahagia ?"
Chanyeol terdiam. Pertama kali ia berjumpa dengan Minseok, mereka hanya menghabiskan dua jam dalam diam, dan Chanyeol pikir Minseok akan menyerah, tapi saat mengantarkannya ke pintu, Minseok memberinya pelukan singkat dan mengatakan mereka akan bertemu lagi.
Dan mungkin, mungkin saja, untuk pertama kalinya, Chanyeol merasa ada yang berjuang untuknya.
"Tidak perlu memaksakannya kalau kau memang belum merasa bahagia, Yeol." Minseok selalu tersenyum diujung kalimatnya. "Aku pernah bilang kan, jangan pernah merasa bersalah saat kau tidak bahagia, kau hanya perlu jujur pada dirimu sendiri, melepaskan tekanan yang kau rasakan."
"Aku terbiasa menjadi orang yang bahagia hyung, dan aku pikir akan selamanya begitu."
"Tidak ada yang selamanya di dunia ini Yeol."
"Aku tahu."
"Kalau begitu kau tahu kan, kalau keadaanmu sekarang juga tidak akan selamanya ?"
.
.
Chanyeol menatap pintu kayu kecoklatan dihadapannya, tangannya bergerak menekan kombinasi password yang ia harap belum dirubah. Dan harapannya terkabul. Pintu dihadapannya terbuka, dan ia segera melangkah masuk, ke tempat yang pernah menjadi rumahnya untuk bertahun-tahun.
"Sia—Chanyeol ?"
Chanyeol sudah memastikan untuk datang setelah lewat waktu sarapan, ia bahkan sengaja meminta izin untuk tidak mengajar pagi ini, ia tahu, ia terdengar pengecut, dan memang ia tidak memiliki pembelaan lain. Chanyeol hanya ingin mengambil barang-barangnya dan ia tahu, ia tidak akan bisa melakukannya kalau salah satu sahabatnya ada di rumah.
Kyungsoo berdiri beberapa langkah darinya, mengenakan salah satu hoodie Chanyeol lagi, dan selimut Chanyeol juga membalut tubuhnya, membuat tubuh Kyungsoo terlihat begitu mungil dan nyaris tenggelam, ujung hidungnya memerah, dan Chanyeol bahkan bisa melihat kedua matanya yang sedikit berair.
"Ap—Hatchii!"
"Kau sakit ?" Chanyeol segera menghampiri Kyungsoo, dan meletakkan tangannya di kening Kyungsoo, sedikit demam. Chanyeol melirik ke arah sofa ruang tengah, dan ia tahu, Kyungsoo baru saja tiduran disitu.
"Hanya flu Yeol."
Chanyeol baru menyadari suara serak Kyungsoo, dan melihat Kyungsoo berdiri dengan tidak stabil, Chanyeol segera melingkarkan tangannya di pinggang Kyungsoo dan menuntunnya untuk kembali ke sofa.
"Sudah makan ?"
Kyungsoo mengangguk, dan kemudian menggelungkan tubuhnya di sofa.
"Sudah minum obat ?"
Kali ini, Kyungsoo mengangkat jempolnya, dan keheningan yang tercipta setelahnya membuat Chanyeol merasa awkward.
"Uhm, aku—aku ingin mengambil barang-barangku, minggu depan kalian akan pindah ke apartemen baru, iyakan ?"
Kyungsoo menatapnya, mata merahnya terlihat semakin berair, seolah-olah Kyungsoo akan menangis, dan tiba-tiba saja Chanyeol merasa bersalah. Jadi Chanyeol segera bersimpuh dan mendekatkan wajahnya pada Kyungsoo.
"Aku bisa menemanimu sampai Baek dan Jongdae pulang, bagaimana ?"
Tidak ada jawaban, tapi Kyungsoo meraih tangan Chanyeol dan menggenggamnya, seakan-akan ingin menahan Chanyeol.
Dan Chanyeol bertahan. Seperti apa yang ia lakukan selama ini.
.
.
Jongdae pulang lebih dulu, dan suasana semakin canggung dengan posisi Chanyeol yang terduduk bersandar ke sofa, tanpa melakukan apapun, hanya menggenggam jemari Kyungsoo, dan menemaninya yang tertidur.
"Kau—disini ?" Jongdae menatapnya setengah ragu setengah malu, membuat Chanyeol reflek mengangguk. "Karena Kyungsoo sakit ?" sambung Jongdae lagi, sambil mengendurkan dasi yang ia kenakan dan mengalihkan pandangan dari Chanyeol.
Chanyeol menggeleng dan tentu saja Jongdae tidak melihatnya, jadi dengan pelan-pelan Chanyeol melepaskan tangannya dari tangan Kyungsoo, dan berdiri, berjalan ke arah Jongdae.
"Aku tidak tahu Kyungsoo sakit, hanya ingin mengambil barang-barangku, tapi melihat keadaan Kyungsoo, aku tidak enak meninggalkanya sendirian."
Jongdae mengusap tengkuknya, dan memberanikan diri sekali lagi menatap Chanyeol yang kini ada di hadapannya. "Dengar Yeol, aku—aku juga menginkanmu untuk kembali tinggal bersama lagi, dan aku—"
"Aku tahu Dae," Chanyeol memotongnya, "tapi keadaannya tidak memungkinkan untuk saat ini, aku ingin kalian mengerti, kali ini saja."
.
.
Chanyeol menemukan sikat giginya masih ada ditempat yang sama di kamar mandi, menemukan susu pisang favoritnya memenuhi kulkas, menemukan merk ramyeon kesukaannya di lemari dapur, dan kaos kakinya di rak jemuran.
Tapi yang lebih membuat keningnya berkerut adalah ia menemukan boneka rilakkumanya di atas tempat tidur Kyungsoo, menemukan setumpuk hoodienya di lemari Kyungsoo dan menemukan coat miliknya di gantungan baju Kyungsoo.
Dan yang paling membuatnya tidak tahu harus bereaksi bagaimana adalah ketika matanya menemukan kotak sepatu yang ia belikan untuk Kyungsoo tergeletak diatas meja kerja Kyungsoo, untuk memastikan, Chanyeol segera membukanya, dan tebakannya benar, ini memang miliknya yang seharusnya menjadi milik Kyungsoo kalau saja malam itu Kyungsoo tidak pulang dengan memamerkan sepasang sepatu yang sama.
Telinga Chanyeol memerah, ketika ia menyadari memo yang ia selipkan tidak lagi ada di tempatnya.
Kyungsoo pasti sudah membacanya.
"..aku minta maaf karena tidak menyadari perasaanmu."
Chanyeol memucat.
"tapi aku ingin satu kesempatan lagi, memulainya satu kali lagi.."
Kyungsoo pasti sudah membuangnya.
TBC.
Hai, karena banyaknya permintaan, jadi aku mutusin untuk nulis sekuel dari too little too late, tapi karena I'm a sucker for friendship thing dan mau mengeksplore tentang itu juga selain hubungan tentang ChanSoo, ceritanya jadi terlalu panjang makanya aku putusin untuk bikin jadi dua part. Makasih untuk sekian komen di too little too late, enggak nyangka bakal dapat komen sebanyak itu, hehe, so here your gift guys, let's meet with next chapter as soon as I'm done with it, tinggalin review yaa, thankyouuu!
