Ti Voglio Bene

Author : Blacksuzushii

Cast : Do Kyungsoo, Kim Jong In

Genre : Angst, Romance

Rate : M || Lenght : Chapter 1

Summary :

"Kenapa kau tidak membunuhku saja eoh?" "Lebih baik kau bunuh aku daripada aku harus menjadi manusia hina macam ini, tuan Kim."

-D.K.S-

"Sayangnya aku tidak akan melakukan hal itu padamu, Do Kyungsoo."

- K.J.I-

(Ga bisa bikin summary, bad summary but GOOD STORY)

Note :

Semua karakter milik Tuhan YME

Jika ada kesamaan alur cerita, ini hanya sebuah ketidak sengajaan ini original my fanfiction

.

"Just Read and enjoy. I recieve criticsm and sugestion"

.

.

.

Semua ini terjadi karena suatu kondisi yang dinilai telah melampaui batas kemampuan manusia dalam menangani suatu masalah.

Ketika tak ada lagi jalan keluar dalam sebuah pemikiran satu individu, ketika hanya jalan buntulah yang dihadapi, pada saat itulah akal manusia mengacu pada sebuah pemikiran pendek.

Tetapi apabila kau bersabar, maka badai yang menerjang akan berlalu, dan mentari pun akan menampilkan cahaya agungnya menyambutmu di ujung jalan.

.

.

.

.

.

.

"Apa?"

Aku menatap tak percaya pada sesosok pria paruh baya yang dengan santai duduk di sofa butut yang berada di ruang tamu rumah ini. Seorang pria yang dengan sangat muak harus kupanggil 'ayah'.

"Seperti yang kukatakan tadi." Katanya acuh tak acuh.

"Micheosso?!" Seruku berang.

Seruan protesku tak digubrisnya, mataku hanya menatap ayahku tengah menghisap puntung rokok murahan yang terapit diantara jemarinya.

Aku muak. Tak tahan lagi menghadapi sikap menjijikkannya, aku melangkah ke arah meja nakas disamping sofa tempatnya duduk, melayangkan tanganku pada sebuah vas bunga lantas menepisnya kasar hingga vas tersebut jatuh menubruk lantai dan terurai menjadi beberapa keping bersamaan dengan suara nyaring keramik pecah.

Tatapan amarah kulayangkan pada pria bejat dihadapanku ini. "Aku tak sudi." Desisku.

Ayah melambaikan tangannya enteng dan berkata, "Tentu tak bisa kau tolak, Kyungsoo anakku sayang. Aku sudah menerima pemberiannya, sebagai uang muka bahwa ia serius dan aku tidak akan lari dengan membawa uangnya sedang kau tidak kuserahkan padanya."

"Kau menjijikkan!" Makiku. Tubuhku bergetar penuh emosi. "Bagaimana bisa kau menjual anakmu sendiri, bajingan?!" Lagi, tanganku melayang pada sebuah pigura kemudian membantingnya kelantai, bergabung bersama pecahan vas bunga yang teronggok mengenaskan.

Pria dihadapanku memandang jengah padaku. Seolah malas, ia mengucapkan beberapa kalimat yang semakin menyulut emosiku.

"Apa boleh buat, kita jatuh miskin karena ibu sialanmu itu sakit keras. Merugikan sekali, toh pada akhirnya dia mati juga 'kan? Dan sekarang aku harus kebebanan kau? Jangan bercanda. Mana mau aku mengurus bajingan cilik sepertimu. Seharusnya kau bersyukur karena aku hanya menjualmu pada satu orang, bukan menjajakanmu layaknya pelacur – pelacur murahan."

"BRENGSEK!" Teriakku.

Ayahku melengos tak peduli. "Masa bodoh denganmu. Aku tak mau lagi peduli padamu. Toh sekarang kau sudah menjadi milik orang lain."

"Orang tua macam apa kau ini, bedebah?! Aku tidak terima kau jual seenaknya! Kurang pengorbanan apa aku padamu eoh?! Disaat aku bekerja membanting tulang untuk menghidupi kita, kau malah berjudi dan mabuk!" Nafasku terengah – engah akibat amarah yang telah meluap hingga ke ubun – ubun kepalaku, menggelegak dalam tubuhku hingga rasanya tubuhku bisa meledak kapan saja.

Ayah berdecak kesal. Ia mendelik padaku. Asap rokok terhembus dari celah bibirnya. "Kau tuli eoh? Sudah kukatakan aku tak lagi peduli padamu. Pergilah. Sehabis ini kau akan dijemput oleh pesuruh dari pria yang membelimu."

Aku terperanjat. "Mworago?"

"Ah sudahlah. Bersiap – siaplah." Ayah mengecek arlojinya. "Tak lama lagi mereka akan datang membawamu."

Aku mematung. Waktu disekelilingku seakan berhenti kala aku mulai menyadari bahwa ayahku tidak sesumbar.

Dijual. Aku dijual? Hina sekali diriku ini.

Aku tertawa sinis menertawai nasibku yang jauh dari kata mujur.

"Jangan tertawa, bodoh, kau terlihat menyeramkan." Sergah ayahku.

Aku memandang penuh dendam padanya. "Jadi ini keputusanmu?" Tanyaku pelan.

"Geureomyeon. Aku capek jika harus mengurus dirimu, dasar bocah sial." Jawabnya ketus.

Aku terdiam. Kedua mataku menatap kosong padanya, yang –kembali– dengan santai menghisap tembakau mematikan itu dengan khidmat. Aku berpikir, lebih baik aku menjalani kehidupanku sehari – hari bersama manusia jahanam ini daripada menjadi manusia hina yang telah dijual kepada entah siapa itu. Mendadak aku ngeri membayangkan kehidupanku yang akan datang.

"Kau benar – benar membuangku, eoh, manusia laknat?" Tanyaku berdesis.

Ia tersenyum. Senyum pertamanya yang tersungging pada hari ini. Dia bangkit dari sofa, mendekatiku, dan tangan kotornya dengan lancang megusap kepalaku. Kepalanya merunduk mensejajarkan dengan kepalaku, lantas ia berbisik. Suara manis dibuat – buatnya yang memuakkan merasuk ditelingaku.

"Tentu saja, Do Kyungsoo, putraku yang manis. Anggap saja ini sebagai rasa sayangku padamu. Berterima kasihlah padaku, karena setelah ini kau tak perlu lagi bekerja keras."

Kecupan basahnya yang terasa begitu menjijikkan mampir di pipi kiriku. Aku hanya bisa terpancang kedalam tanah. Tubuhku seperti kehilangan jiwanya.

Seusai ia mengusap lagi kepalaku, ia pergi bergitu saja. Meninggalkanku yang masih termenung dalam pijakanku, tenggelam dalam berbagai pikiran mengerikan yang dengan kurang ajar merangsek masuk di otakku. Tanpa sadar aku terjatuh. Bersimpuh bagai seorang abdi yang memohon belas kasihan pada tuannya. Kutatap nyalang lantai di depan mataku. Tak tahu bagaimana mulainya, sebutir air mata lolos dari pelupuk mata kananku. Pecah berhamburan ketika bulirnya jatuh menabrak punggung tanganku yang terkepal erat.

Apa yang telah kuperbuat hingga aku dihadapkan pada situasi seperti ini?

.

.

.

.

.

.

"Lepaskan aku, dasar brengsek!"

Teriakan berunsur makian itu bagai angin lalu bagi para pria bersetelan hitam yang dua diantaranya tengah mencekal lenganku dan menyeretku untuk berjalan mengikuti langkah mereka.

Satu jam yang lalu, tiba – tiba saja sekelompok pria bersetelan hitam ini menerobos masuk kedalam rumahku. Tanpa ijinku mereka langsung membawaku bersama mereka dengan semena – mena. Pertanyaan beruntunku perihal siapa mereka dan kemana mereka akan membawaku serta dalang dibalik semua ini dan lain – lain, hanya dijawab singkat oleh salah satu dari mereka yang duduk disebelah pengemudi.

"Diharap anda tenang dan menikmati perjalanan ini, tuan Do Kyungsoo. Tuan kami menunggumu."

Hanya itu. Dasar bedebah. Tidak sopan sekali mereka. Sialan. Dan karena aku ngeri membayangkan lengan berotot dua orang dikanan kiriku akan meremukkan seluruh tulangku dan memberiku pada anjing untuk camilan, aku memilih menuruti ucapan mereka untuk tenang dengan sangat terpaksa. Sepanjang perjalanan aku terus bungkam. Sesekali aku mencuri dengar pembicaraan mereka di telepon yang sepertinya adalah tuan mereka, yang kuketahui dipanggil tuan muda Kim oleh mereka. Hingga perjalanan yang serasa berabad – abad itu berakhir ketika kedua mataku menangkap sebuah siluet bangunan megah dibalik rimbunnya pepohonan. Sempat aku terpesona dalam mengagumi tampilan bangunan megah itu yang tak cocok disebut 'rumah', namun aku harus menunda kekagumanku karena lagi – lagi mereka menarikku turun dari mobil dan membawaku – menyeretku lebih tepatnya– masuk kedalam mansion tersebut.

Aku masih meronta – ronta dalam kungkungan lengan berotot besar di kedua lenganku. "Ya! Lenganku sakit, bodoh!" Makiku, meringis karena cengkraman mereka kurasa terlalu kencang. "Kau tuli eoh?!" Seruku pada pria berbadan kekar disisi kananku. Mendapati ia mengabaikanku, aku menggeram frustasi.

Terlalu sibuk mencoba melepaskan diri, aku tak sadar ketika kami telah berhenti dan seseorang di barisan paling depan sedang membuka pintu.

"Tuan Do, silakan tunggu didalam, tuan kami akan menemui anda disini." Tuturnya sopan.

"Mwo?" Sahutku tak fokus. "Ya! Pelan – pelan, bodoh!" Seruku protes ketika tanpa aba – aba aku ditarik masuk kedalam ruangan itu dan meninggalkanku didalam.

Aku menggeram kesal. Saking kesalnya aku memandang sekelilingku untuk mencari sesuatu yang bisa kusiksa sesuka hati. Namun niat laknatku itu pupus seketika kala aku menyadari diruangan apa aku berada.

Aku yakin mulutku tengah menganga lebar saat ini. Kedua mataku berasa dimanjakan oleh betapa indahnya desain kamar ini. Seluruh dindingnya terlapisi wallpaper berwarna emas dengan ukiran serta aksen rumit yang entah apa itu. Karpet berwarna coklat membentang sepanjang kamar ini. Ranjang besar dengan empat tiang disetiap sudut ranjang guna menopang sebuah kanopi, terpajang apik didepanku, dengan tumpukan bantal putih yang tampak empuk serta kelambu tebal berwarna merah yang pastinya akan sangat memanjakanku ditengah musim dingin seperti ini. Bahkan terdapat beberapa meja, kursi, dan sofa didalam kamar ini. Gila, pikirku, rumahku bahkan bisa dipindahkan kekamar ini.

Aku terkesiap. Kukerjap – kerjap mataku guna menyadarkanku dari trans singkat barusan.

Kamar sialan, batinku, lancang benar membuatku tampak seperti orang bodoh.

Aku clingukan kesegala arah. Mengingat rencana utamaku ketika pertama kali aku dibekuk dengan seenaknya oleh mereka: melarikan diri. Aku hampir melompat girang begitu menemukan pintu kaca besar yang berada di sisi kananku. Kuhampiri pintu kaca besar tersebut dengan dada berdebar – debar penuh harap. Tetapi harapan itu luluh lantak kala aku menemukan bahwa pintu kaca itu terkunci, dan tak terdapat kunci apapun yang menggantung. Bahkan, ketika saking frustasinya aku melempar sepatu bootku kekaca tersebut, aku dibuat tercengang karena kaca itu tidak pecah. Penasaran, kelempar salah satu kursi berkaki kurus kearah kaca didepanku. Dan kembali aku dibuat tercengang ketika alih – alih kaca itu hancur, justru kursi itu yang hancur.

"Biadab." Makiku ketika otak pas – pasanku menangkap sebuah fakta. "Kaca ini anti peluru."

Sial sial sial! Orang macam apa yang membuat kamar bak penjara begini?! Sialan!

Aku berputar – putar seperti orang gila sembari mencengkram rambutku. Mengeluarkan gerutuan – gerutuan tanpa unsur kesopanan sedikitpun. Masa bodoh jika kini aku seperti sesorang yang tidak pernah diberi pembelajaran sepanjang hidupku. Aku tak peduli. Dan bagaimana aku bisa memperhitungkan apa yang akan kuucapkan apabila kini aku berada dalam situasi yang –menurutku– berbahaya dimana aku tidak tahu aku dimana, siapa yang membeliku, dan apa yang akan terjadi padaku?! Demi ayahku tertabrak mobil aku tidak bisa santai – santai saja saat ini! AKU HARUS KELUAR!

Langkahku berhenti tepat di depan perapian besar. Aku menahan diri dari keinginan yang begitu menggelitik diriku untuk menyulut api kedalam perapian itu lantas melempar diriku kedalamnya. Tidak. Aku tidak mungkin melakukan tindakan putus asa seperti itu. Aku tidak bodoh asal kau tahu. Menarik pandangku dari perapian keparat itu, aku kembali membawa mataku berkelana menjelajah ruang kamar ini. Ugh sialan. Dilihat berapa kalipun kamar ini tetap keren. Aku menggeleng keras. Membuang nafasku kasar lantas mendudukkan diriku disalah satu sofa yang ada disini. Kunaikkan kedua kakiku keatas kemudian memeluknya didadaku. Kutenggelamkan wajahku diantara celah lututku lalu berteriak, mencoba melepaskan segala kekesalan yang tertimbun didadaku, tak ayal pula aku membenturkan dahiku ditempurung lututku berharap rasa berputar – putar didalam kepalaku bisa teratasi. Beberapa saat aku terdiam, sesekali menggerutu tak jelas, lalu mengeluarkan suara seperti rintihan menjijikkan, hingga teriakan – teriakan teredam yang menghiasi posisiku mematung. Secara mendadak, aku mendongak. Mataku menyipit dan menyorot tajam pada meja didepanku seakan ialah yang harus disalahkan atas segala ketidak-beruntunganku dalam hidup. Kutiup poniku yang menutupi mata lantas bangkit berdiri, melompat lebih tepatnya.

"Andwae." Gumamku, mondar – mandir mencari celah yang mungkin bisa kulalui. "Aku tidak boleh seperti ini. Kau kuat Kyungsoo, jangan biarkan kegelapan hatimu menang."

BRAK

Sial!

Aku mengeluakan geraman tertahan menahan sakit sembari berjongkok guna menggenggam kaki bersepatu bootku yang tadi dengan bodohnya menendang kaca yang kutahu anti peluru itu.

"Aish menyebalkan!" Seruku kesal. "Mati saja kau kaca sialan!" Anggap aku gila karena kini aku tengah mengancam sebuah kaca kokoh tebal yang bergeming dihadapanku.

Hati – hati aku berdiri, sesekali meringis ketika ujung jemari kakiku terasa seperti tersengat. Dengan berjalan terpincang – pincang aku menuju ranjang, menjatuhkan diriku begitu saja diatasnya. Poniku berhamburan menutupi mata ketika kepalaku bertemu dengan permukaan ranjang yang empuk dan nyaman. Aku menaikkan kedua kakiku dan berbaring menyamping dengan posisi meringkuk. Kutatap nyalang sebuah lukisan buah – buahan yang tergantung didinding. Aku menghela nafasku panjang. Aku lelah sekali. Kedua kelopak mataku kututup secara perlahan, mencoba menghalau rasa pening dikepalaku yang membuatku seakan berputar dan melayang tak tentu arah. Hingga aku jatuh dalam sebuah pusaran tanpa dasar yang disebut terlelap.

.

.

.

Perlahan – lahan, kesadaran mulai menhampiriku. Seluruh indraku memulai kembali kinerja mereka sesuai fungsinya. Aku membuka mataku pelan – pelan. Masih buram. Aku kembali terpejam, dan membukanya lagi, mengerjap – kerjap hingga kudapatkan kesadaran sepenuhnya. Tubuh lelahku kubangkitkan hingga terduduk ditepi ranjang. Mata mengantukku menatap kosong pada lukisan buah – buahan yang entah kenapa kini terlihat amat menggiurkan, dan pada saat itulah aku sadar aku belum mengisi perutku semenjak siang hari. Kepalaku tertunduk, menghalau denyutan – denyutan menjengkelkan yang masih menghinggapi kepalaku. Ah aku benar – benar lemas. Aku mendongak dan mendesah.

"Kyungsoo?"

"Wuaaaa!"

Jeritan menjijikkan bak wanita itu meluncur bebas beserta tubuhku yang teronjak beberapa senti. Mengutuk siapa pun itu yang memanggil namaku, aku mengelus dadaku yang dengan lancang berdebar – debar karena terkejut. Mataku terbelalak ketika menangkap siluet seorang pria muda yang duduk di salah satu sofa disisi ranjang. Astaga kapan dia ada disitu? Dan bodohnya aku kenapa pula tidak menyadari keberadaannya?!

"N-nuguya?" Tanyaku defensiv.

Pria muda itu tersenyum kekanakan. "Do Kyungsoo?" Panggilnya lagi, tak menggubrisku.

Mulutku terbuka dan tertutup. Aku masih shock.

"Kau benar Do Kyungsoo." Tuturnya, dan entah kenapa terkesan lega juga senang.

"Mw-, neo, nuguya?" Tanyaku lagi, menggeser diriku menjauh dari dirinya, menghindar dari kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi padaku. Tanganku terulur pada sebuah vas bunga yang berada di nakas.

Senyum lebar terpatri kembali dibibir pria berkulit kecoklatan tersebut. "Joneun Kim Jongin imnida." Katanya memperkenalkan diri.

Aku mengernyit. Kim Jongin? Kim? Seolma..

"Apa kau, tuan muda Kim yang disebut oleh gerombolan berbaju hitam itu?" Tanyaku hati – hati.

"Ne." Sahutnya.

Seketika darahku mendidih dalah tubuhku. Emosi yang sempat surut kembali membuncah. Aku berdiri sambil menggenggam erat vas bunga dengan tanganku yang bergetar karena luapan amarah. Kulihat pria bernama Kim Jongin itu bangkit dari sofa dan menatapku. Namun wajahnya begitu tenang. Aku muak melihat senyumnya masih setia menghiasi bibirnya.

"Jadi kau yang membeliku dari ayah?" Desisku.

"Kau benar." Jawabnya kalem.

PRANG

Pecahan vas bunga itu jatuh diatas karpet setelah menimpa kening Kim Jongin bersamaan dengan beberapa tetes darah yang turut serta. Dadaku naik turun akibat amarah yang tak dapat lagi kubendung. Emosiku ini makin tersulut kala Kim Jongin masih terlihat tenang meski keningnya kini bersimbah darah.

"Tuan? Tuan muda?! Anda baik – baik saja tuan?"

Kericuhan diliuar yang diserukan oleh bara bedebah lusuh hitam itu menghiasi keheningan yang kini meraja disekeliling kami berdua. Gedoran pintu yang tak ada hentinya terus terdengar. Sepertinya manusia bernama Kim Jongin itu mengunci pintu kamar ini.

"Biadab!" Makiku setelah sempat hening. "Dimana pikiranmu eoh?! Kau pikir aku barang yang bisa kau beli dengan mudah?!" Aku meraih bantal dibelakangku dan melemparnya pada tubuhnya yang masih bergeming. "Apa yang kau inginkan dariku, brengsek?!" Kuraih kembali sebuah bantal dan melemparnya lagi. "Apa yang kau inginkan dariku?!" Seruku histeris. Beringsut maju kearahnya dan mulai melayangkan kepalanku pada bagian tubuhnya yang bisa kucapai. Aku semakin membencinya karena ia hanya diam dan tak melawan. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kupahami.

"Kyungsoo.." Ucapnya pelan.

"Jangan panggil namaku!" Kepalan tanganku kuarahkan pada bahunya. "Jangan berani – berani memanggil namaku, kau jahanam!"

"Kyungsoo." Panggilnya lagi.

Gigiku menggertak penuh emosi.

BUK

Tubuh dihadapanku limbung ketika pukulanku menyapa rahangnya. Kuperhatikan tangannya menyentuh rahangnya yang kini memar. Ia melihatku dari balik tirai yang menutupi matanya.

Nafasku terengah – engah. Aku benar – benar membenci pria dihadapanku. Demi Tuhan aku sangat membencinya.

"Kenapa kau tidak membunuhku saja eoh?" Tanyaku pelan.

Kim Jongin sudah berdiri tegak dan mengamatiku intens.

"Lebih baik kau bunuh aku daripada aku harus menjadi manusia hina macam ini, tuan Kim." Tukasku dengan menekankan kata 'tuan Kim'.

"Sayangnya aku tidak akan melakukan hal itu padamu, Do Kyungsoo." Ujarnya datar. Sama sekali tak menggubris bahwa darah segar mengalir tanpa henti dipelipisnya.

Aku mendelik padanya. "Lantas apa maumu? Apa tujuanmu membeliku?"

Kim Jongin hanya terdiam. Ia masih memandangiku.

"Berhenti menatapku dan jawab, tuan Kim. Kau terlihat menjijikkan." Ucapku muak.

Pria berkulit kecoklatan tersebut hanya mengulum senyumnya padaku.

Aku mengutuk dalam hati akan sikapnya yang terkesan meremehkanku.

"Kau sangat membutuhkan jawabanmu sekarang juga?" Ia bertanya.

"Ne!" Sahutku tak sabar akan betapa lambatnya ia.

Pria dihadapanku menatapku dalam diam. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu. Tatapan tajamnya yang penuh makna namun tak bisa kuartikan membuatku tak nyaman. Tanpa sadar aku mundur selangkah darinya. Entah kenapa aku agak merasa takut akan sorot matanya yang teramat mengintimidasi, seakan ia tengan memancarkan sinar X untuk menguak apa yang terdapat dalam diriku.

"Aku tak berniat memberitahumu sekarang." Akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya. Tetapi aku tak puas. Sangat tidak puas.

"Jangnan anijyo?" Geramku.

Senyum simpul kembali menghiasi bibirnya. Dan seakan baru sadar bahwa ia terluka, ia menyentuk keningnya dan melihat bercak darah yang mengotori tangannya. "Kau cukup bernyali juga, Do Kyungsoo."

Aku tersentak.

Kedua mata hitamnya yang bagai sorot mata elang kembali menghujamku. Mengalirkan sebuah perasaan aneh padaku, entah bagaimana aku menjelaskannya, tetapi tatapannya itu membuatku seolah kalah, menjadikanku manusia lemah yang takluk padanya.

"Aku penasaran akan seperti apa hari – hariku bersamamu." Seringai kekanakan namun tak menyamai matanya yang memancar dingin berhasil membuatku terkesiap. "Aku akan sangat menantikan hari – hari itu, Do Kyungsoo." Setelahnya ia berbalik dari hadapanku.

Aku bergeming tanpa kata memperhatikannya yang berjalan menuju pintu kamar. Saat ia sudah menyentuh handle pintum ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berucap, "Turun dan makanlah. Aku tahu kau belum makan." Dan seusai berkata demikian, ia keluar dari kamar.

"Tuan muda!"

"Astaga, tuan, kening anda."

"Tuan anda baik – baik saja?"

"Luka anda harus segera diobati, tuan."

Seruan – seruan demikian dapat kudengar dari dalam kamar. Dan aku juga bisa mendengar suara Kim Jongin yang menjawab.

"Aku tak apa. Kalian jaga saja kamar ini dengan benar. Dan pastikan dia keluar untuk makan malamnya."

Kusaksikan pintu kamarku terbanting menutup. Aku sadar dari transku ketika mendengar suara tembaga yang berbunyi klik.

Mereka mengunci pintu kamar ini.

Mendadak emosiku kembali tersulut. Aku melangkah hingga kepintu dan menendang – tendang pintu kayu didepanku dengan emosi.

"Brengsek! Brengsek kalian semua! Brengsek! Mati saja kalian!"

Kusalurkan semua rasa kesalku melalui tendangan bertubi – tubi yang kelayangkan pada daun pintu. Aku merasa sesak. Pandangan mataku mulai berkabut. Aku berhenti dan berbalik memunggungi pintu, bersandar disana. Tubuhku merosot dipintu. Kucengkram rambutku kasar. Aku menunduk. Air mata berlomba – lomba membasahi pipiku. Membentuk jalannya untuk jatuh kelantai.

"Hiks. Brengsek. Sialan. Aku benci kalian semua." Aku menarik nafasku kasar. Tenggorokanku terasa begitu sakit. Isakan demi isakan tak dapat kutahan. Hingga akhirnya aku berbaring dilantai dengan meringkuk. Lebih banyak isakan dan air mata yang menguasaiku. Kucengkram rambutku semakin keras, tak peduli apabila helai – helainya tartarik dari akarnya. Aku tak peduli. Karena, "Lebih baik aku mati."

-To Be Continue-

Present by

Blacksuzushii

2014