Dynasty Warriors © KOEI
Sun Lijuan © Author Sia Leysritt
Summary
"Aku tak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. Kurasa kita bertemu di sini karena itu memang tak terelakkan."
Sun Lijuan percaya bahwa segala sesuatu dalam hidupnya tidak terelakkan. Bahwa semua terjadi karena takdir berkata demikian, termasuk pertemuannya dengan Guan Xing. Baginya, takdir yang datang kepadanya, sudah sepatutnya ia terima karena sebesar apapun manusia berjuang, takdir tak akan bisa berubah.
Namun, ketika ia dihadapkan dengan pilihan; Jika ia harus memilih antara memihak suami atau keluarganya, pihak mana yang akan dia pilih? Dan apakah ia telah melakukan keputusan yang tepat? Apakah pilihan yang ia pilih sudah benar? Terkadang saat kau sudah begitu mencintai seseorang dengan teramat sangat, kau berakhir mengambil keputusan yang melukai orang-orang disekitarmu.
Sia Leysritt presents:
Inevitable
AD 219
PROLOG
Prelude to Battle of Fan Castle
"Death could be waiting for him, but he wasn't afraid. Whether it be sooner or later, he welcomed the inevitability with open arms."
― Craig R. Key, Iniquitous
Segala hal yang terjadi di dunia ini adalah takdir, begitu menurut Sun Lijuan. Seperti musim semi. Musim semi selalu identik dengan bunga, walau kau memotong dan membakar semua bunga di seluruh dunia, kau tak bisa menghentikan takdir jika ia berkata musim semi harus datang saat itu juga, walaupun tanpa satu kelopak bungapun. Atau saat seseorang tidak ingin mati, tapi takdir berkata bahwa ia harus mati saat itu juga, maka ia akan mati. Segala yang di atur oleh takdir tak bisa dielakkan.
Termasuk juga untuk saat ini.
Sun Lijuan selalu tahu bahwa takdir selalu merencanakan sesuatu yang tidak terduga, karena itulah ia tidak pernah melawan apapun yang takdir lemparkan padanya. Tapi ada saat-saat di mana ia berharap takdir tak memutar arah takdirnya ke jalan buntu tanpa jalan keluar seperti sekarang ini. Ia selalu berpikir, bahwa dirinya bahagia. Ia punya keluarga yang mnyayanginya. Ia punya suami yang baik dan selalu memperhatikannya. Dan ia punya teman-teman yang baik padanya. Segalanya baik bagi Lijuan.
Namun segala hal yang baik pasti akan berakhir suatu saat nanti. Seharusnya Lijuan tahu itu. Seharusnya dia tidak terbuai dalam kebahagiannya yang hanya sesaat. Harusnya dia sadar bahwa hidup tidak mungkin seindah ini, terutama di tanah yang masih tercemar oleh peperangan yang tidak ada habisnya ini. Kebahagiaan hanyalah sebuah jarum yang harus kau cari di antara tumpukan jerami dan begitu kau berhasil menemukannya jarum itu akan jatuh lagi dan kau harus mencarinya lagi hanya untuk menemukannya terjatuh kembali dalam tumpukan jerami. Terus begitu seperti lingkaran tanpa akhir.
Hujan terus turun tanpa henti dari pagi. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti dan hujan biasanya bukan pertanda baik. Terutama untuk hari ini, Lijuan tidak yakin ia suka melihat hujan ini. Padahal, ia adalah tipe orang yang menyukai hujan, ia bahkan tidak bosan memandangi rintik hujan yang turun berjam-jam lewat jendela kamarnya. Kini, ia mengalihkan pandangan dari pemandangan yang biasa disukainya tersebut dan berharap hujan segera reda.
Istana Fan yang megah dan kokoh pun kini terlihat rapuh. Mungkin karena atmosfer suram yang mengelilingi istana, atau mungkin juga karena mereka kini telah dikepung pasukan Wei dan Wu yang berjumlah banyak, atau mungkin dirinyalah yang menyebabkan atmosfer suram ini. Dia dulunya berasal dari Wu. Anggota keluarga Sun. Kini, ia tidak berdiri bersama pasukan keluarganya melainkan berdiri bersama suaminya yang kini menjadi musuh keluarganya. Berkali-kali ia berpikir apakah ini keputusan yang tepat. Apakah tragedi bisa dihindarkan seandainya dia lebih memilih keluarganya. Tapi pemikiran itu sudah tidak ada gunanya. Ia sudah menetapkan pilihannya.
"Nona Lijuan."
Lijuan tersentak dari lamunannya dan mendongak, mendapati suaminya sudah memisahkan diri dari keluarganya dan kini berdiri di hadapannya. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Rambut cokelatnya basah karena terguyur air hujan yang terus turun. Ikat kepala dan pakaiannya berwarna hijau, warna Kerajaan Shu. Dia adalah pemuda yang gagah. Pemuda yang terlalu tampan dan gagah untuk Lijuan. Lijuan merasa ia tidak pantas menjadi pendampingnya.
"Tuan Guan Xing." Lijuan berusaha memberikan senyuman tulus, tapi tampaknya tidak berhasil.
Guan Xing menatap istrinya. Sungguh, ia tidak bermaksud menempatkan istrinya dalam posisi seperti ini. Ia tidak bermaksud menempatkan istrinya dalam posisi di mana ia harus memilih antara ia suaminya, atau keluarganya sendiri. Namun nasi sudah menjadi bubur dan perang tak dapat dihindarkan sekarang. Istana Fan telah dikepung oleh pasukan Wei dan Wu dan satu-satunya jalan bagi mereka untuk bertahan adalah melawan balik. Ia menatap istrinya. Rambut coklat gelapnya juga telah basah karena hujan. Mata merahnya tampak sendu dan Guan Xing tahu itu salahnya.
"Aku…" … Apa? Minta maaf? Menyesal? Ia tidak bisa mengatakan apapun. Apapun yang ia katakan, segalanya sudah terlambat dan tak akan mengubah apapun. Namun ia harus mengatakan sesuatu. Apapun boleh. Sesuatu…
Lijuan menatap suaminya, lalu ia mendekat. Ia meletakkan jari telunjuknya pada bibir suaminya sambil memeberikan sebuah senyum lembut.
"Aku akan tetap berada disisimu, Tuan Guan Xing, tidak perduli apapun yang terjadi. Aku akan mengikutimu kemanapun kau pergi. Karena aku adalah istrimu."
Dan itu benar. Mungkin kebelakangnya, hasilnya tidak akan sesuai dengan harapannya. Mungkin Lijuan akan bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika ia mengambil keputusan yang berbeda, dan mungkin pertanyaan "Bagaimana jika?" tidak akan meninggalkannya. Namun ia tahu… Keputusannya kali ini benar. Dan ia tidak akan menyesal.
To be Continued
