Angin sepoi-sepoi berhembus dengan lembutnya. Air lautan yang bening menggulung membentuk sebuah ombak besar. Pasir-pasir putih berhamparan di tepi pantai. Sungguh suasana yang menyenangkan untuk liburan.
Seorang gadis berkemeja putih duduk santai di atas kursi sambil bersandar pada sandaran kursinya. Sementara itu kedua kakinya lurus terselonjor ke depan. Di sampingnya terdapat sebuah meja dengan segelas strawberry juice yang masih penuh. Sebuah payung pantai yang besar menghalangi tubuhnya terkena pancaran langsung cahaya matahari. Sebuah topi pantai dipakai di kepalanya.
Srak..srek..srak..
"Permisi," sapa seorang pria muda tiba-tiba.
Dua pria muda berpakaian serba hitam berdiri di samping kiri gadis itu. Tubuh tinggi tegap mereka sedikit menghalangi pemandangan laut di depan gadis itu. Dia menghela nafas lelah lalu menatap kedua pria itu baik-baik. Dia tahu kalau liburannya tidak akan bisa berjalan dengan lancar seperti yang direncanakannya.
"Ada urusan apa denganku?" tanya sang gadis datar.
Terlihat jelas dia tidak suka dengan kedatangan dua pria berparas tampan itu.
"Kami datang atas perintah Komandan. Beliau meminta Anda segera datang ke kantor apapun yang terjadi," jawab pria yang tadi menyapanya.
"Apapun yang terjadi, huh?"
Tiba-tiba gadis itu berdiri dari kursinya. Menatap dua pria itu dengan tatapan tajam menusuk. Kedua pria itu menelan ludahnya dengan terpaksa. Bulu kuduk mereka merinding. Perasaan mereka tiba-tiba menjadi tidak enak seolah akan ada badai yang datang ke pantai indah itu. Angin pantai datang menerpa tubuh ketiga orang itu, menambah suasana semakin terasa 'menyeramkan'. Kedua tangan gadis itu mengepal kuat.
BUK! BAK! BIK BUG! BAK!
Tanpa aba-aba, gadis bertopi pantai itu memukuli kedua orang itu dengan tangan halusnya. Alhasil mereka jatuh terkapar di atas pasir putih. Wajah mereka penuh luka memar, tubuh mereka merasakan nyeri yang luar biasa, dan jangan lupakan soal kaki mereka yang terasa tak bisa digerakkan seakan-akan telah patah. Mereka mengeliat-liat seperti cacing kepanasan sambil memegangi bekas pukulan-pukulan itu. Terdengar umpatan-umpatan kecil keluar dari bibir mereka.
Sementara itu sang pelaku tindak pemukulan berjalan santai meninggalkan kedua orang itu begitu saja. Dihiraukannya tatapan-tatapan aneh dari para pengunjung pantai itu terhadapnya. Dia justru menyeringai kecil. Merasa puas dengan hasil 'kejahatan kecil'nya tadi.
.
.
Title : SECRET AFTER SCHOOL
Disclaimer : NARUTO belongs to Masashi Kishimoto
Rate : T
Genre : Romance, friendship, slice of life, gender bender, shounen-ai, yaoi, shoujo-ai, yuri, strike
Warning : AU, miss typos, Don't Like Don't Read!
Summary : Liburan Sakura terganggu karena Naruto. Gara-gara Naruto pula Sakura harus pergi ke Suna. Sementara itu ada murid baru di Suna Gakuen. Siapa dia?
Chapter 1 : Hajimete Kimi to Shabetta (I Talked to You for the First Time)
.
.
Seorang gadis berjaket hijau lumut yang terlihat lusuh berjalan dengan langkah terburu-buru memasuki sebuah gedung tinggi bercat putih. Kedua kakinya mengenakan sepatu kets putih yang terlihat sedikit kumuh (?). Di balik jaket lusuh kebesarannya itu terlihat sebuah kemeja putih yang dipadu dengan sebuah celana jeans biru tua panjang. Kulitnya putih halus bagaikan salju di musim dingin, kedua matanya berwarna hijau emerald yang menyejukan, dan rambutnya berwarna pink sebahu seperti permen kapas.
Gadis tomboy itu berjalan dengan langkah lebar-lebar menyusuri koridor gedung itu. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Tiba-tiba seorang wanita berdiri di depannya, menghalangi jalannya.
"Haruno-san, akhirnya Anda datang juga. Kami.."
Ucapan wanita itu terpotong akibat death glare dari sang gadis tomboy. Wanita itu perlahan mundur teratur sambil menatap ke bawah, tidak berani membalas tatapan tajam yang ditujukan padanya. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar.
Begitu wanita itu menyingkir, gadis berambut soft pink itu kembali melangkah lebih jauh. Dia berhenti di depan sebuah ruangan yang cukup besar.
BRAKKK!
Tiba-tiba dia menendang pintu di depannya menggunakan kaki kanannya dengan kasar. Pintu malang itu terjatuh ke atas lantai. Engselnya sampai penyok gara-gara serangan tiba-tiba itu.
Di dalam ruangan itu terlihat seorang pemuda berjas hitam lengkap dan rapi tengah sibuk menulis sesuatu di buku tebalnya. Dengan terpaksa pemuda blonde itu menghentikan kegiatannya sejenak hanya untuk melihat ulah dari tamu tak diundang itu. Kedua mata biru saphirenya menatap pintunya yang sudah hancur. Lalu beralih menatap sang pembuat ulah yang tengah menatapnya tajam.
Tersirat kemarahan pada kedua mata gadis itu. Tiba-tiba dia melesat menghampiri pemuda blonde itu.
BRAK!
Digebraknya meja kerja sang pemuda dengan keras.
"Apa maksudmu memanggilku ke sini? Kau sudah mengacaukan liburanku, Naruto!" bentak gadis itu tiba-tiba. "Kau tahu aku sedang cuti tapi malah mengirim dua anak buahmu menemuiku. Kau sengaja melakukannya?"
"Ehm..tu-tunggu dulu Sakura, aku tidak bermaksud melakukannya. Sungguh," jawab Naruto membela diri.
"Kau pikir aku percaya dengan kata-katamu itu? Katakan, ada apa lagi sekarang?"
Haruno Sakura, seorang inspektur kepolisian distrik Konoha yang paling berbakat. Dalam usianya yang masih muda, 24 tahun, dia sudah berhasil menangani berbagai macam kasus berat dalam tempo waktu yang terbilang cukup singkat. Paras cantiknya membuatnya terlihat menawan, kalau saja dia tidak memakai pakaian-pakaian tomboy seperti yang biasa dilakukannya setiap harinya. Walau sudah berusia 24 tahun dia masih terlihat muda seperti remaja 17 tahunan.
Sakura mendudukan diri di kursi di depan meja kerja Naruto. Kedua kakinya diangkat dan diletakkan di atas meja kerja Naruto, sementara tubuhnya bersandar santai pada sandaran kursi. Terdengar suara helaan nafas dari pemuda blonde itu.
Dasar, tidak sopan seperti biasanya.
"Kami mendapat kasus baru yang cukup sulit. Dalam kasus ini melibatkan sebuah sekolah," ujar Naruto memulai pembicaraan.
"No thanks," sahut Sakura tiba-tiba.
"Eh?"
"Aku tahu kemana arah pembicaraanmu, Namikaze Naruto-san."
Naruto terdiam sambil mengerucutkan bibirnya.
Namikaze Naruto, seorang Komandan kepolisian distrik Konoha yang tampan namun imut pada saat yang sama. Kulitnya tan eksotis seperti orang terlalu lama berjemur, rambutnya blonde, dan kedua matanya biru saphire indah bahkan lebih indah dari langit siang. Di paras tampannya terdapat tiga garis tipis seperti kumis kucing pada kedua pipinya. Naruto adalah sahabat sejak kecil sekaligus sepupu Sakura. Sejak dulu mereka selalu bersama. Bersekolah di TK yang sama, SD yang sama, SMP yang sama, dan SMA yang sama pula. Dan kini mereka bekerja di tempat yang sama pula.
"Sakura..kumohon..tangani kasus ini," pinta Naruto dengan puppy-eyes no jutsunya.
"Cara itu tidak mempan Naruto," timpal Sakura.
"Tapi aku yakin kau akan menyukainya. Kau tahu, ini kasus yang hebat!" bujuk Naruto pantang menyerah.
"Aku tahu. Tapi aku tidak tertarik."
"Setidaknya tanganilah kasus ini sebagai tanggungjawab atas tindakanmu menghajar dua utusanku. Sekarang mereka harus dirawat di rumah sakit gara-gara tulang kaki dan tangan mereka patah."
Death glare.
Naruto terdiam mendapat death glare dari sang sahabat. Tiba-tiba Sakura beranjak dari kursi tempatnya duduk. Dengan santai dia berjalan menuju pintu keluar.
"Jangan ganggu liburanku lagi," pesan Sakura dengan nada dingin.
"Ha-hai," sahut Naruto tak berkutik.
Drap, drap, drap.
"Wah, apa yag terjadi dengan ruang kerjamu Naruto? Ck, ck, ck, seperti kapal pecah," ujar seorang kakek-kakek berambut pitih panjang yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerja Naruto.
Dia mengamati keadaan lantai Naruto yang berantakan lalu mengalihkan perhatiannya pada sosok di depannya. Dia tersenyum senang.
"Untung saja kau ada di sini, Sakura. Kau datang pada saat yang tepat," ucap pria itu sambil menatap Sakura.
"Ada apa, Jiraiya-san?" tanya Sakura penasaran.
Jiraiya menyodorkan sebuah map merah pada Sakura. Gadis itu menerima map itu dan mulai membaca apa yang ada di dalamnya dengan seksama. Dicermatinya dari kata demi kata.
Jiraiya adalah kakek tua berambut putih bertubuh tinggi besar dengan kelakuan mesum. Memiliki kebiasaan berburu wanita muda yang cantik-cantik, menggoda dan merayu mereka. Selain itu dia juga hobby minum sake. Jiraiya adalah Komisaris kepolisian Tokyo, atasan Naruto dan Sakura.
Sakura menutup map itu. Melemparnya ke atas meja kerja Naruto lalu melihat ke arah Jiraiya.
"Jadi ini kasus yang sedang ditangani Naruto?" tanya Sakura memastikan.
Jiraiya dan Naruto mengangguk sebagai jawaban.
"There is nothing to do with me. I'll go. Farwell..," ucap Sakura seraya berjalan menuju pintu yang sudah dihancurkannya.
"Tunggu dulu Sakura," ucap Jiraiya menginterupsi.
Sakura menghentikan langkah kakinya.
"Bagaimana kalau seandainya aku memberitahu Kepala Komisaris tentang tindakanmu menghancurkan pintu ruang kerja Naruto? Kira-kira apa yang akan terjadi ya? Kalau tidak salah..bulan ini saja kau sudah menghancurkannya untuk yang kelima kalinya kan?" ancam Jiraiya.
"Ukh!" Sakura berusaha menahan amarahnya. Sial! Dia mengancamku. Sakura berbalik dan menatap tajam pada Jiraiya dan Naruto.
"Bagaimana Sakura? Kau mau menangani kasus ini kan?" tanya Naruto.
"Aku tidak suka liburanku diganggu dengan pekerjaan," papar Sakura dengan penekanan pada kata liburan dan pekerjaan. "..Tapi apa boleh buat, sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Baik, dengan terpaksa kuterima misi ini."
Jiraiya dan Naruto saling memandang. Mereka menyeringai puas berhasil mengalahkan Sakura. Tanpa mereka ketahui, Sakura tengah menyeringai kecil.
"Tapi dengan satu syarat!" seru Sakura tiba-tiba.
"Katakan," perintah Naruto.
"Aku akan ke sana tapi bukan sebagai Haruno Sakura. Melainkan sebagai..."
.
.
.
Sakura duduk di pinggir tempat tidur queen sizenya dengan kedua iris sibuk membaca deretan-deretan huruf pada sebuah buku tebal di kedua tangannya. Dimasukannya buku tebal itu ke dalam sebuah koper besar di samping kanannya. Dia berdiri dari tempatnya duduk, berjalan menghampiri rak dengan buku-buku berjajar rapi di samping tempat tidurnya. Lalu dia mulai memasukan buku-buku itu ke dalam koper hitam besar itu. Di samping koper hitam itu ada koper lainnya yang tak kalah besar, hanya saja isinya yang berbeda. Koper itu berisi pakaian-pakaian Sakura.
Sekarang lemari pakaian Sakura sedikit berkurang. Yang tersisa hanya beberapa potong baju feminin, beberapa rok, dan gaun-gaun pesta yang tak pernah dipakainya sehingga terlihat masih tampak baru. Di samping lemari pakaian itu terdapat sebuah meja belajar bercat putih dengan ukuran yang lebih kecil. Di atas meja itu masih ada beberapa barang. Sepertinya belum dibereskannya atau mungkin justru sengaja tidak dibereskan?
Tok..tok..tok..
Pintu kamar Sakura diketuk seseorang.
"Masuk saja, tidak dikunci," ucap Sakura setengah berteriak.
Clek!
Seorang wanita berambut hitam bergelombang memasuki kamar bercat dinding pink muda itu. Perutnya besar karena sedang mengandung anak pertamanya. Dia berjalan menghampiri tempat Sakura berada. Mengamati apa yang sedang dikerjakan gadis berambut soft pink itu di cuaca seterik ini. Kedua iris merah menyalanya melihat dua koper di atas tempat tidur Sakura.
"Kau akan pergi?" tanya wanita cantik bernama Yuhi Kurenai itu.
"Iya, Kurenai-obaasan," jawab Sakura tanpa mengalihkan kedua mata emeraldnya dari tumpukan buku-buku yang harus dimasukannya ke dalam koper. "Ada misi mendadak dan aku tidak bisa menolaknya."
Sakura adalah anak dari sahabat Kurenai sejak kecil. Karena urusan pekerjaan, kedua orang tua Sakura harus pergi keluar negri dan sekarang tinggal di Italia. Awalnya Sakura tinggal bersama dengan keluarga Namikaze yang masih kerabat dengan keluarga Haruno, tapi begitu menginjak dewasa Sakura meninggalkan rumah itu karena harus kuliah di luar negri. Sepulangnya dari Amerika dia memutuskan tinggal di rumah Kurenai yang sudah dianggapnya sebagai keluarganya sendiri. Lagipula tidak ada orang lain yang tinggal di mansion megah itu kecuali Kurenai, suaminya yang bernama Sarutobi Asuma, dan para pelayan.
"Kau ini..ada misi saja kenapa sampai membereskan kamarmu seperti ini? Seperti mau pindah rumah saja."
"Hahaha.. Ada kemungkinan misi ini akan berlangsung lama jadi untuk jaga-jaga aku mengemasi semua barangku. Lagipula tempat yang harus kudatangi cukup jauh."
"Kemana?"
"Suna."
Suna adalah salah satu kota yang cukup jauh dari Tokyo. Perlu dua jam perjalanan jika menggunakan mobil sebagai alat transportasi.
Kurenai melihat meja belajar Sakura masih berantakan dan banyak barang di sana, seperti biasanya.
"Meja belajarmu belum kau bereskan," ucap Kurenai mengingatkan.
"Iya. Aku sengaja tidak membereskannya. Aku ingin membiarkannya seperti itu sampai saat aku kembali nanti."
"Kapan kau akan berangkat?"
"Hm..nanti malam."
"Jangan lupa menghubungi obaasan begitu kau sampai di sana, mengerti?" pesan Kurenai.
"Uhm!" jawab Sakura disertai anggukan mantap.
.
.
.
.
.
Sebuah gedung tinggi dengan halaman yang luas berdiri tegap di salah satu sudut kota. Di atas pintu gerbangnya terukir nama "SUNA GAKUEN" di atas tembok gapura. Gedung itu adalah gedung sekolah Suna Gakuen di kota Suna. Merupakan sekolah elite pertama di kota itu. Banyak mncetak urid-murid berbakat dan berprestasi.
Drap! Drap! Drap! Drap!
Terdengar suara langkah kaki menggema dengan kerasnya. Sepasang kaki jenjang berbalut celana hitam berlari di koridor yang sepi itu. Dia membawa sebuah tas ransel hitam pada bahu kirinya. Wajar saja, jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Semua murid sekolah itu telah memasuki kelas mereka masing-masing, duduk manis di belakang meja mereka dan mendengarkan pelajaran dengan seksama.
Tapi tidak dengan pemuda berkulit putih itu. Dia sibuk berlarian menyusuri koridor sekolah itu. Pemuda itu mengenakan seragam Suna Gakuen, kemeja putih lengan panjang dengan jas hitam beraksen putih dipadu dengan dasi merah hitam diagonal. Pemuda berambut merah itu melewati sebuah ruangan dengan papan nama "Laboratorium", lalu berbelok ke kiri. Sekarang dia menaiki tangga menuju lantai di atasnya. Kedua mata coklatnya sibuk mengamati kanan dan kirinya. Berharap ada orang lewat yang bisa ditanyainya. Tapi harapan hanyalah harapan, tak ada seorangpun yang lewat.
Sekolah ini luas sekali..keluhnya dalam hati.
"Menurut petunjuk yang diberikan Shizune-sensei tadi kelasku ada di deretan keenam dari tangga," gumamnya seraya berlari. Dihitungnya satu per satu ruang kelas yang dilewatinya dalam hati.
1..
2..
3..
4..
5..
Bagitu eampai pada hitungan keenam, pemuda itu menerjang masuk ke dalam ruangan di balik pintu kayu coklat karamel itu.
Dan..6!
Clek!
Kedua mata pemuda itu terbelalak melihat beberapa pasang mata menatapnya dengan tajam.
"KYAAAA..!"
"KELUAR KAU DASAR MANIAK!"
"GYAAA..! KELUAAAR..!"
Terdengar teriakan beberapa gadis yang ada di dalam ruangan itu dengan kencangnya. Mereka melempari pemuda berambut merah itu dengan berbagai macam alat tulis, mulai dari pensil, bolpoint, penggaris, penghapus karet, sampai buku pelajaran juga. Pemuda itu hanya menunduk menghindari serangan-serangan tiba-tiba itu. Dengan cepat dia bergegas keluar dari ruangan itu.
"Jangan masuk kemari! Dasar mesum!" seru seorang gadis berambut merah panjang.
"Gomen nasai!" teriak pemuda itu seraya berlari menjauh dari ruangan itu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Sepertinya pemuda itu salah masuk kelas. Ruangan yang dimasukinya bukan kelas yang dicarinya tapi ruang ganti baju untuk wanita. Wajar saja begitu dia menginjakkan kaki di sana langsung disambut dengan teriakan dan lemparan barang-barang dari gadis-gadis itu.
BRUAAKK..
Pemuda itu terus berlari sampai tidak memperhatikan jalan, padahal di depannya ada seorang gadis tengah berjalan dengan membawa banyak buku sampai menjulang tinggi menutupi pandangannya. Pemuda itu menabrak gadis itu. Buku-buku yang dibawanya sampai jatuh berhamburan di lantai. Pemuda berambut merah itu jatuh terduduk, begitu pula dengan gadis berambut biru tua panjang itu.
"Gomen nasai," ujar pemuda itu seraya memunguti buku-buku yang berserakan di sekitarnya.
"Daijobu," balas gadis itu dengan lembut.
Kedua remaja itu memunguti buku-buku itu dan menumpuknya menjadi satu. Sang pemuda berdiri sampil membawa beberapa buku pada kedua tangannya. Keadaan yang sama juga berlangsung pada gadis beriris ungu lavender itu. Seifuku (seragam sekolah) yang dikenakan gadis itu sedikit kotor. Rok hitamnya terlihat kotor juga.
"Maaf, aku tidak sengaja menabrakmu," ujar pemuda itu meminta maaf lagi.
"Tidak apa-apa," balas gadis itu.
Kedua iris mereka bertemu. Coklat bertemu ungu. Tiba-tiba gadis itu memalingkan wajahnya dari pemuda itu.
"Kau tahu dimana kelas 2-F? Dari tadi kucari tidak kutemukan juga."
"Kebetulan aku murid kelas 2-F. Mari kuantar, aku juga mau ke sana."
Gadis itu tersenyum pada pemuda itu. Kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju kelas mereka, 2-F.
Sesampainya di kelas 2-F dua remaja yang sedang membawa banyak buku itu berdiri di depan pintu kelas. Pemuda itu menggeser pintu kelas dengna hati-hati. Dia tidak mau sampai menjatuhkan buku-buku yang sedang dibawanya. Pemuda itu langsung masuk ke dalam kelas, disusul gadis berambut biru tua itu. Seorang pria berambut putih perak mengalihkan pandangannnya ke arah dua remaja yang baru saja memasuki kelas itu.
"Akhirnya kau datang juga, Hinata," ujar guru itu seraya mengambil alih buku-buku yang dibawa Hinata dan pemuda itu.
"Maaf sensei, saya datang terlambat," ucap Hinata sopan.
"Tidak apa-apa." Guru berkacamata bingkai hitam itu melihat ke arah pemuda bermabut merah itu. "Kau murid baru itu ya?"
"Ya," jawab pemuda itu singkat.
"Hinata, kau bisa kembali ke tempat dudukmu."
"Baik, sensei."
Gadis bernama lengkap Hyuuga Hinata itu berjalan menuju bangkunya yang ada di dekat jendela baris ketiga dari depan.
"Namaku Hatake Kakashi, wali kelas 2-F. Yoroshiku. Sekarang perkenalkan dirimu."
Pemuda berambut merah itu melihat ke arah teman-teman barunya di kelas 2-F.
"Namae wa Haruno Sasori desu, yoroshiku," ucap pemuda berambut merah itu singkat dan jelas.
.
.
TBC
Ciaossu!
Apa kabar semuanya? Buat yang belum kenal..aku Dark, salam kenal ya.
Maaf kalo chapter 1 pendek. Ini masih chapter awal jadi kupikir nggak masalah kalo pendek. Untuk chapter 2 akan dibuat lebih panjang.
Buat para readers sekalian, jangan lupa review ya.
Jaa..
