Love Ver 5 By Rameen
Naruto By Masasi Kisimoto
Romance & Drama
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
Note : Au, Ooc, Typo, NaruHina, DLDR
Senju. Sebuah keluarga yang dikenal sebagai keluarga terpandang yang menjadi nomor satu di Jepang. Kepala keluarganya adalah seorang pria paruh baya yang ramah dan tegas bernama Senju Hashirama. Memiliki seorang istri bernama Uzumaki Mito. Dan lima orang anak.
Senju Corp. adalah salah satu perusahaan yang besar di Jepang. Keberadaannya yang dipimpin oleh sosok Hashirama yang ramah dan tegas membuat banyak orang menyenanginya, tapi banyak juga yang tidak suka. Dan karena hal itulah. Sekarang…
"Ita-nii… Ayo makan!" suara seorang gadis yang terdengar dari arah dapur membuat seorang pria menoleh dan tersenyum. Dia menutup berkas-berkas laporan pekerjaannya dan mulai berdiri dari kursinya. Dia membuka pintu dan mulai melangkah menuju dapur. Sampai dia berpapasan dengan sang Ayah.
"Ayah."
Seorang pria berambut hitam panjang menoleh dan tersenyum padanya. "Hinata sudah memanggil. Kita harus datang kan?" Sang anak ikut tersenyum dan mengangguk. Lalu mereka berjalan bersama. "Itachi.."
Suara sang Ayah kembali membuat anaknya, Itachi menoleh, dia mengerutkan keningnya bingung saat mendapati raut keraguan diwajah sang Ayah. "Kenapa? Apa ada masalah?"
"Hah,, tidak ada apa-apa. Ayah hanya ingin membicarakan sesuatu padamu nanti."
"Tentang?"
"Nanti saja." Itachi hanya terdiam dan mengangguk ragu.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai didapur. Dimana Hinata dan sang Ibu sedang menyiapkan makanan. Dan dimeja makan, sudah duduk tiga pemuda lainnya yang menatap hidangan dengan senang.
"Seharusnya kalian membantu kan?" sang Ayah kembali bersuara kepada tiga anaknya yang lain saat dilihatnya mereka hanya duduk tanpa membantu istri dan putrinya. Dia lalu mendudukan diri disalah satu kursi yang berada diujung meja dan menghadap kepada yang lain.
"Aku sudah membantu membuat jus tomat tadi." Satu anak berambut biru kehitaman membela diri.
"Huh, itu karena kau memang suka hal itu. Dan juga, kau membuat itu untukmu sendiri, Sasuke." Satu anak lain yang bermata lavender menyela.
"Berisik Neji, yang penting, dengan begini, aku mengurangi pekerjaan mereka. Yah, walau aku lebih suka jus tomat buatan Hinata."
"Tidak apa. Hinata sudah cukup untuk membantu Ibu."seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik menengahi perdebatan anak-anaknya.
"Benar! Karena aku hebat dan pintar memasak. Kalau Sasuke-nii yang masak, bisa sakit perut kan?!"
"Hahaha…" semua orang disana tertawa mendengar perkataan Hinata, sementara Sasuke hanya berdecak kesal. Memang, Sasuke tidak pandai memasak. Antara keempat saudara laki-laki itu. Hanya Neji yang lumayan bisa memasak.
"Tertawalah, memangnya kalian bisa masak?"
"Aku bisa." Neji menyela cepat. Membuat Sasuke memutar mata bosan.
"Selain kau."
"Aku juga bisa walau tidak jago." Itachi menimpali. Membuat Sasuke semakin kesal. Lalu pandangannya mengarah pada pemuda lain berambut merah.
"Gaara juga tidak bisa memasak." Ujarnya lagi mencari teman.
Gaara mendongak dan menatapnya datar. "Setidaknya aku tidak pernah memasak dan menyebabkan orang sakit perut."
Ppfftt… sekarang semua seolah mengejeknya. Membuat pemuda raven itu mendengus kesal.
"Sudahlah. Lebih baik kita mulai makan. "Hashirama, sang Ayah menengahi.
"Ha'i… selamat makan!"
Mereka… adalah satu keluarga yang harmonis. Itachi, Neji, Sasuke, Gaara dan Hinata adalah lima saudara yang selalu tampak akrab satu sama lain. Tidak seperti saudara lain yang sering bertengkar. Pertengkaran mereka hanyalah perdebatan sepele yang justru terasa semakin mempererat hubungan persaudaraan mereka.
Membuat Hashirama yang melihat wajah gembira putra dan putrinya ikut tersenyum. Dia selalu bersyukur karena bisa memiliki istri dan anak-anaknya itu. Dia selalu berharap bisa selalu ada disisi anak-anaknya sampai dia menua nantinya.
Tapi, saat satu masalah terlintas dipikirannya. Senyum itu menghilang dan tatapannya berubah sendu. Sungguh, dia selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, tapi apa daya jika masalah datang tanpa diduga.
Raut sendu Hashirama yang tenggelam dalam pikirannya tertangkap oleh mata sang istri. Membuat Mito, istrinya menggenggam tangan besar nan hangat itu. Mito tahu apa yang dipikirkan sang suami dan dia tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya memberi semangat dan dukungan pada suaminya. Berusaha mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Ah, Ayah dan Ibu romantis sekali…" suara Hinata memutus pandangan Hashirama dan Mito yang sedang saling menatap mesra. Membuat mereka tersenyum dan melepas pegangan tangan mereka.
"Kenapa? Apa kau mau tanganmu digenggam juga?" Gaara yang duduk disamping Hinata membuka suara. Dan Hinata hanya menjawab dengan senyuman. Membuat Gaara langsung meraih tangan kanan Hinata.
"Tangan Gaara-nii benar-benar hangat." Hinata berujar senang. Tanpa menyadari tatapan kesal Neji, Itachi dan Sasuke.
"Kalau tanganmu digenggam, lalu bagaimana kau makan Hinata." Sang raven langsung protes.
"Oh iya. Hehe.." Hinata menjawab polos dan segera menarik tangannya dari genggaman Gaara. Membuat Gaara melempar delikan pada Sasuke. Tapi… memangnya Sasuke peduli?
. . .
Tok tok tok… ceklek…
Itachi membuka pintu dan mendapati sang Ayah yang berdiri didepan jendela. "Ayah."
Hashirama menarik nafas dan berbalik dengan perlahan. Melihat Itachi yang melangkah masuk lalu menutup pintu dibelakangnya. Dan kembali menatap pria paruh baya didepannya. "Tadi Ayah bilang ingin membicarakan sesuatu denganku."
Hashirama menatap anak sulungnya dalam diam dan menghela nafas lagi. "Duduklah!" perintahnya sambil menunjuk sofa ruangan itu. Itachi melangkah, menuruti kata-kata sang Ayah. Dalam hati dia masih bingung saat tadi sang Ayah menatapnya dengan wajah yang tidak bisa ditebak.
Setelah Hashirama ikut duduk dan berhadapan dengan Itachi, suasana kembali hening dan sunyi. Tidak ada yang memulai percakapan. Hashirama sebenarnya masih ragu untuk bercerita tapi masalah itu mendesak dan membuatnya harus mulai membicarakan hal itu kepada seluruh anak-anaknya, dan anak sulungnya adalah orang yang dia pilih untuk menjelaskan lagi hal itu kepada adik-adiknya.
Sementara Itachi hanya diam dan menunggu. Dia tidak pernah diajarkan untuk membantah perkataan orang tua ataupun menyela orang tua lebih dulu jika dalam suasana yang serius seperti itu. Tapi dia yakin, pasti ada sesuatu.
"Itachi…" pria 25 tahun itu menatap sang Ayah yang memanggil. "…bagaimana pekerjaanmu? Apa semua berjalan lancar?"
Itachi diam sejenak, mencoba mencari arah pembicaraan Ayahnya. "Lancar. Semua baik-baik saja."
Jawaban tegas Itachi membuat Hashirama mengangguk. "Lalu bagaimana dengan adik-adikmu?"
"Mereka juga baik-baik saja Ayah. Neji sudah berpikir untuk membuka usahanya saat S2 nya selesai. Sasuke dan Gaara juga sepertinya tidak mengalami kesulitan apapun dikampus. Hinata justru sedang sangat senang karena akan mengisi salah satu acara festival disekolahnya."
Hashirama tersenyum dan mengangguk puas. Dia sungguh bangga dengan anak-anaknya.
"Ayah, ada apa ini?"
"Hah.." Hashirama mendongak, menatap langit-langit untuk sesaat sebelum menatap putra sulungnya dengan mantap, "..Itachi… mungkin semuanya tidak akan mudah lagi."
"Maksud Ayah?"
"Ayah, hanya bisa percaya padamu untuk menjaga adik-adikmu. Mulai sekarang, berjuanglah dan berusahalah untuk terus menjaga mereka. Ayah juga akan membantu, tapi tidak dari sini. Kau orang yang pandai Itachi. Kau juga seorang pria yang sangat bisa diandalkan. Jadi, Ayah berharap seutuhnya padamu."
Itachi terdiam, jujur saja, dia semakin tidak mengerti dengan pembicaraan ini. Apa maksud Ayahnya? "Ada masalah apa Ayah?"
"…perusahaan… bangkrut."
Lagi –Itachi terdiam. Berusaha mencerna setiap perkataan Ayahnya. Perusahaan… bangkrut. Perusahaan itu adalah sumber dari usaha keluarga mereka. Bahkan semua cabang dan usaha lain yang dibukapun, berpegang pada perusahaan. Dan sekarang perusahaan itu…
"Jadi?" hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Perusahaan gagal dalam tiga proyek besar. Ayah juga tidak mengetahui hal itu karena laporan yang Ayah terima selalu bagus. Tapi sebulan yang lalu, semua klien mulai protes dan mulai memutuskan kerja sama. Semua biaya kegagalan proyek ditanggung oleh perusahaan kita karena kelalaian ada dipihak kita. Karena hal itu juga, nilai saham menurun dan mempengaruhi pemasukan.
"Semua karyawan terancam PHK. Lebih dari itu, semua sudah terlambat. Dan…" Hashirama menghembus nafas beratnya perlahan, "…semua usaha terancam akan disita oleh Bank."
Itachi tersandar ditempat duduknya. Semua usaha? Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka?
"Tapi rumah ini masih bisa kita pertahankan untuk beberapa waktu. Ayah akan mencoba mencari cara dan bantuan dari teman Ayah yang ada di Kumo. Karena itu…"
Itachi mengerti sekarang. perusahaan bangkrut dan semua usaha akan disita untuk menutupi hutang. Hanya saja, rumah mereka bisa dipertahankan sedikit lebih lama. Dari itu, Ayahnya akan pergi ke Kumo untuk mencoba mencari jalan dengan bantuan temannya disana. Huh, tentu saja sekarang Itachi tahu kenapa sang Ayah menitipkan adik-adiknya padanya.
Ayahnya akan pergi ke Kumo untuk waktu yang mungkin akan lama. "Lalu… Ibu?"
"Ayah sudah mengatakan agar Ibu tetap disini untuk menemani kalian. Tapi dia bilang kalau kalian akan baik-baik saja disini karena kalian berlima bisa saling menjaga. Tapi kalau Ayah sendirian disana…"
Itachi mengangguk mengerti, "Yah, itu benar. Ayah akan lebih membutuhkan keberadaan Ibu disana." Itachi kembali menegakkan tubuhnya. "Kapan Ayah akan berangkat?"
"Minggu depan. Masih ada hal yang harus Ayah urus."
"Ayah tidak perlu khawatir. Ayah bisa mengandalkan aku, Neji , Sasuke dan Gaara. Bahkan Hinata akan menjadi bagian penting dalam kehidupan kami. Tidak perlu mencemaskan disini. Seperti kata Ibu, kami akan baik-baik saja."
Hashirama tersenyum lagi. "Ayah tahu. Kalian semua adalah keluarga yang paling bisa Ayah andalkan."
. . .
Itachi membaringkan tubuhnya diranjang dan menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya, dia sedikit merasa menyesal dengan apa yang terjadi. Dari dulu, Ayahnya tidak pernah sekalipun membicarakan tentang perusahaan dan kepemimpinan padanya dan yang lain.
Bukan karena Ayahnya tidak mau digantikan. Tapi, Ayahnya tidak ingin memaksa. Sang Ayah hanya ingin anak-anaknya menjalani pekerjaan yang mereka inginkan tanpa harus terikat dengan posisi pimpinan perusahaan. Dan karena itu, Itachi memilih keinginannya sendiri untuk menjadi dokter. Begitu pun dengan yang lain. Adik-adiknya tidak terlihat tertarik dengan perusahaan.
Dan sekarang? Perusahaan bangkrut tanpa ada hal yang bisa dia lakukan. Andai dulu Itachi memilih untuk membantu sang Ayah diperusahaan, mungkin masalah seperti ini akan lebih mudah dihadapi bersama. Bahkan akan lebih bagus jika bisa dihindari dari sebelumnya. Tapi dia malah tidak pernah mau tahu pekerjaan Ayahnya di kantor.
"Hah.." dia menghela nafas lelah.
Mulai sekarang, dia harus bekerja untuk membantu sang Ayah dalam membiayai hidup. Ayahnya sudah bilang kalau dia akan tetap mengirim uang untuk mereka berlima, tapi tidak mungkin Itachi hanya diam saja kali ini. Dia akan bekerja lebih keras lagi agar bisa membantu biaya pendidikan dan biaya sehari-hari keluarga.
Setidaknya, jika uang pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, maka dia akan berusaha mencari jalan lain agar pendidikan adik-adiknya tidak terputus.
Dia bangun dari ranjangnya dan keluar kamar. Mungkin segelas air putih bisa sedikit menenangkan pikirannya. Dia melangkah sambil memperhatikan setiap detail rumah itu. Rumah yang sudah dia tinggali selama belasan tahun, rumah dimana dia tumbuh, belajar, bermain dan menerima semua kasih sayang orang tuanya.
Sekarang rumah itu akan menjadi tempat baru baginya, dimana dia harus membayar setiap bulannya kepada pihak Bank sampai semua sisa hutang benar-benar lunas. Langkahnya terhenti dan dia menunduk, apa yang harus dia lakukan untuk membantu dengan baik? Sungguh, dia sangat bingung sekarang.
"Ita-nii.." dia mengangkat kepalanya dan menoleh ke kanan, mendapati adik perempuannya yang menatapnya bingung, "Ita-nii kenapa? Apa ada yang sakit?"
Itachi menatap Hinata sendu, lalu tersenyum. Dia menggeleng untuk menghilangkan kekhawatiran adiknya. "Tidak apa, Nii-chan hanya tidak bisa tidur."
"Benarkah? Kalau begitu…" Hinata memutus omongannya dan segera menarik Itachi kearah dapur. Dia memaksa Itachi untuk duduk dikursi konter sembari menunggunya membuat sesuatu, "…Ita-nii duduk saja. Aku akan membuatkan susu coklat hangat untuk Nii-chan."
Gadis itu berjalan dan mulai mengambil gelas. Membuat Itachi tersenyum melihatnya. Adik perempuannya itu, selalu bisa membuat perasaanya kembali tenang. Adiknya, Hinatanya.
Dia berdiri dan menghampiri Hinata. Berdiri dibelakang gadis itu lalu membelai rambut indigo lembut gadis itu. Hinata menoleh dan tersenyum lalu kembali fokus pada pekerjaannya membuat susu. Sementara Itachi berpikir, kalau nanti dia tidak bisa mencukupi biaya hidup mereka setelah orang tuanya pergi, bagaimana dengan gadis itu. Apa senyum Hinata masih akan terlihat?
"Nah, sudah selesai. Segelas susu coklat hangat untuk Ita-nii yang sedang susah tidur." Hinata berujar ceria sambil menyodorkan segelas susu itu pada Itachi, dan pria itu langsung mengambilnya. Meminum dan merasakan hangat air yang mengalir ditenggorokkannya. "Bagaimana?"
"Ini enak. Pasti akan membuat Nii-chan mengantuk sebentar lagi."
"Tentu saja. Hehe…"
Itachi kembali tersenyum dan menaruh gelas susunya dimeja. Dia meraih tubuh mungil dihadapannya ke dalam pelukannya. Membuat gadis itu terdiam bingung. Memang sudah biasa jika keempat kakaknya terkadang memeluk atau menggendongnya. Dia justru senang karena memiliki keempat kakak yang sangat menyayanginya, tapi dia merasakan kekhawatiran dalam sorot mata Itachi.
"Ita-nii, ada apa?" Hinata bertanya pelan sembari membalas pelukan itu, membuat Itachi memejamkan matanya untuk merasakan pelukan Hinata.
"Tidak ada apa-apa, Nii-chan hanya ingin memelukmu saja."
"Sungguh?"
"Iya."
Oke, Hinata diam dan tidak bertanya lebih lanjut. Membiarkan sang kakak memeluknya dan membelai rambutnya. Dia nyaman setiap kali kakak-kakaknya bersikap hangat dan lembut seperti ini. "Ini sudah malam…" Itachi melepas pelukannya dan menatap lembut kearah Hinata, "…lebih baik kau tidur karena besok kau harus sekolah."
Hinata mengangguk mengiyakan. Dan mereka pun kembali ke kamar masing-masing.
. . .
"Hinata-chaann…" gadis bersurai indigo itu tersenyum saat Ino berlari memasuki kelas sambil memanggil namanya. "Ohayou.."
"Ohayou Ino-chan. Kau sangat cantik hari ini."
"Benarkah, apa kau melihat ada yang berubah?"
"Hm?" Hinata memiringkan kepalanya sambil mengamati Ino, mencari apa yang berubah dari temannya itu. "Ah, kau mengganti warna lipstikmu?"
"Benar, bagaimana warna yang ini, cocokkah?"
Hinata tersenyum dan mengangguk. "Iya, itu sangat cocok untukmu. Tapi yang kemarin juga bagus kok. Kenapa ganti?"
"Hehe,,, ubah suasana boleh dong."
Hinata hanya menggeleng melihat tingkah sahabatnya itu.
Kriiiinggg…
Bel sekolah mulai berbunyi, menandakan kalau sesi belajar akan segera dimulai. Ino kembali ke bangkunya yang satu meja dengan Sakura. Sementara dia, duduk sendiri dibangku belakang dekat jendela. Bukan karena tidak ada yang ingin duduk dengannya, tapi tempat duduk kelas sudah dibagi saat awal semester dengan menggunakn nomer. Dan dia kebetulan dari nomor terakhir yang duduk sendiri karena jumlah siswa dikelasnya ganjil.
"Ohayou.." Kurenai menyapa dengan hangat.
"Ohayou sensei.." seperti biasa, jawaban kelas sangat semangat karena Kurenai adalah guru yang cantik dan ramah. Dia juga tipe orang yang baik dan penyayang.
"hm, sebelum mulai belajar. Sensei akan memberitahu kalian kalau ada murid baru dikelas ini."
"Benarkah sensei? Laki-laki atau perempuan?"
"Menurut kalian?"
"Ah, semoga perempuan cantik." Teriak Kiba.
"Heeeh,, kami disini kan juga cantik." Ino protes karena merasa Kiba menyindir.
"Cantik sih, tapi cerewet."
"Hahahaha…"
Para siswa mulai tertawa sementara para siswi mulai memasang tampang kesal. "Kami tidak akan cerewet jika kalian tidak jahil mengganggu kami."
"Hei, tidak seru kan kalau tidak mengganggu murid perempuan dikelas. Lagipula, Hinata tidak pernah protes dan cerewet seperti kalian."
"Apa katamu?"
"Sudah-sudah, tenang." Hah, Kurenai hanya menggeleng kepala melihat tingkah murid-muridnya yang super aktif. "Baiklah, kita panggil murid barunya sekarang ya?"
Setelah semua murid diam dan setuju untuk menyambut murid baru, Kurenai memanggil murid baru itu yang menunggu didepan kelas. Seorang pemuda berambut pirang dan bermata safir indah melangkah memasuki ruangan dengan tersenyum lebar.
"Nah, semuanya. Ini Naruto. Uzumaki Naruto. Dia yang akan menjadi teman baru kalian."
"Yosh! Aku Uzumaki Naruto ttebayo. Senang berkenalan dengan kalian semua." Ucapnya girang dan semangat. Tapi setelah itu, dia hanya mendapat tatapan aneh dari murid lainnya.
"Hei, bukankah dia terlihat eksentrik seperti Anko-sensei?"
"Dan kedengarannya dia akan berisik seperti Guy-sensei."
"Ck, mendokusai. Bertambah orang berisik dikelas ini. Akan semakin terganggu acara tidurku."
Celetukan terakhir membuat tatapan beralih pada pemuda berambut nanas yang ada disudut lain kelas. "Dasar pemalas!" Ino lebih dulu berteriak.
"Sudah-sudah. Nah Naruto, kau bisa duduk dengan Hinata disana." Kurenai menunjuk Hinata yang duduk didekat jendela.
"Oh oke. Terima kasih sensei." Pemuda pirang itu berjalan dan duduk disamping Hinata. "Hai, aku Naruto ttebayo!"
"Hinata. Senju Hinata."
"Senju?" Naruto mengulang marga itu, sepertinya dia pernah kenal. "Baiklah, salam kenal ya. Hehehe.."
Seketika wajah Hinata merona mendengar nada ceria dari perkataan Naruto. Jantungnya berdebar saat pemuda disampingnya itu tersenyum kearahnya. Hanya satu yang dia pikirkan tentang Naruto… 'Tampan!'
.
To be continued
.
Oke, ini fic terakhir hari ini. GaaHina belum dipublish karena ceritanya belum jadi. Ide fic ini aja baru aku dapat jam satu tadi siang. Hehe.
Kalau Jewel in the purpose kemarin kisah romansa tentang Naruhina yang kakak-adik tidak sedarah, sekarang Naruto dan Hinata benar-benar bukan saudara. Gimana menurut readers? Apakah ceritanya menarik untuk dilanjutkan?
Salam, Rameen.
