Malam telah menyelimuti langit desa Konoha ketika seorang pria dengan haori berwarna putih dan topeng elang bertarung dengan beberapa pasukan berpedang. Lengan pria itu sudah tergores dengan tajamnya logam mengilat hingga darah menetes membasahi pakaiannya.

Pria itu terlihat sangat santai dan tak ada ekspresi kesakitan sama sekali. Kenyataannya ia telah berhasil memukul mundur berpuluh-puluh pasukan rendahan hingga tersisa beberapa saja.

Salah seorang pasukan menghunuskan pedang kembali dan berhasil ditangkis dengan tongkat yang dibawanya. Dua orang lagi datang padanya dan mereka mendapatkan nasib yang sama. Pria itu mendengus. Benar-benar pasukan rendahan.

"Kau tidak bisa kabur lagi, Taka. Kami sudah mengepungmu," salah seorang dari pasukan itu berseru. Orang itu adalah pria yang berhasil menggores lengannya.

Tak lama kemudian, beberapa pasukan berdatangan dengan membawa pedang dan tombak. Pasukan itu siaga di dekatnya dengan mengelilinginya. Sial. Pria itu merasakan darahnya sangat mendidih. Ia benar-benar dikepung.

Sekelebat bayangan dari arah samping datang menerjangnya, beruntung pria itu masih bisa membaca gerakan musuh dan beringsut menghindar. Pasukan lain masih berupaya menyerangnya; menghunuskan pedang, menodongkan tombak dan mengepalkan tinju.

Apapun yang terjadi ia tidak akan kalah. Semua serangan itu harus ditangkisnya. Bahkan ketika sebuah pedang nyaris memotong lehernya, pria itu juga berhasil menahan dengan tongkatnya. Serangan lain datang dari arah belakang dan ia segera menarik tawanannya hingga pedang itu meleset, mengenai sasaran yang salah.

Bagus, hanya tinggal lima orang lagi yang tersisa. Pria itu bersiap menyerang sampai ia merasakan pandangannya berputar. Benar juga, ini pasti efek dari luka di lengannya. Para pasukan itu membawa pedang-pedang beracun yang salah satunya berhasil mengenainya.

Melihat buronannya tidak fokus, hal tersebut tak disia-siakan oleh salah prajurit yang ada di depannya.

"Mati kau, Keparat!"

Ia lengah. Ia merasakan benda yang tajam menusuk perutnya dengan dalam dan kasar. Pria itu dengan cepat menendang Si Penyerang dan segera meraih pedang yang tergeletak di tanah. Menyabetkannya ke arah kepala tiga pasukan yang menyerangnya.

Tanah kering itu seketika menjadi lautan darah. Sabetan pedang masih terdengar sampai dua orang yang tersisa lain benar-benar ikut tumbang.

'Sial. Aku tidak boleh tumbang di sini,' umpatnya.

Pria itu segera pergi sebelum ada pasukan lain yang menyadari keberadaannya. Pandangannya sudah semakin buram dengan keringat yang terus mengalir dari wajahnya. Tak jauh dari tempatnya berada, pria itu menemukan aliran sungai yang cukup deras dan segera menangkup banyak air untuk mencuci lukanya.

Desis kesakitan lolos. Sebab pandangannya makin kabur, ia segera melepas topeng elang disusul haori putih yang melekat di tubuhnya. Menyisakan yukata hitam yang sudah basah pada bagian perut dan lengan. Mengikuti instingnya, ia segera menjauh dari sungai tersebut dan masuk ke dalam hutan. Ia harus melewati jalan utama yang memang berseberangan dengan hutan tersebut.

Bila sampai di rumah, ia akan segera mengobati luka-lukanya. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika harus tumbang di hutan ini. Ia harus bertemu dengan kakaknya. Ia ingin bertemu dengan sang kakak yang sudah menunggunya—bagaimanapun caranya.

"Aniki."

Naruto © Masashi Kishimoto

The Clans Conspiracy © liaprimadonna

Genre: Romace, Hurt/comfort, Action

Rated: T / PG-13

Pairing: NarutoxSasuke / Narusasu

A/N: OOC, Typo(s), violence, bloody, Shounen-ai, Non-canon, AU, aneh dan gaje (makasih)

.

.

Uzumaki Naruto, 22 tahun. Seorang mahasiswa semester akhir di sebuah universitas terkenal di Tokyo. Ia adalah pria tampan bertubuh tegap dengan tanda lahir tiga garis horisontal di kedua pipinya. Kulitnya cokelat, postur tubuhnya tinggi, rahang yang tegas dan rambut pirang serupa kulit durian yang bersinar seperti matahari.

Pria itu melirik jendela kereta kudanya dengan jengah. Ia baru saja melakukan perjalanan panjang yang menghabiskan waktu enam jam dari kotanya. Sampai di tengah malam dan udara yang dingin wilayah terpencil Konoha seperti ini, tidak membuatnya lekas beristirahat.

Bagaimana bisa beristirahat, kalau saja ia masih menyimpan dendam kesumat pada orang yang mengirimnya kemari. Demi Tuhan, ini Malam Minggu dan Naruto sudah bersiap kencan dengan Hinata di salah satu restoran di sana. Ayahnya memang tidak pernah mau mendengarkannya. Beliau memaksanya untuk datang dengan ancaman-ancaman yang konyol.

Seperti; 'Kalau kau tidak mau datang, aku akan mengurungmu di penjara Konoha sebulan penuh.'

Naruto berharap ayahnya main-main, namun kalau ayahnya itu sudah bersekongkol dengan ibunya yang tak kalah keras kepala itu, bukan hanya sebulan ia akan mengecap penjara—namun seumur hidupnya ia bisa mendekam di sana.

Tidak, Naruto tidak mau. Sehari di sana saja membuatnya ingin muntah. Naruto tidak mengerti kenapa ayahnya bersikeras mempertahankan wilayah itu. Di jaman modern ini, Naruto hampir tidak percaya jika masih saja ada adat yang mengharuskannya memakai yukata, tidur dengan futon, menggunakan yakigeta dan bersopan santun dalam berbicara dan bersikap.

Hell, yeah. Ia akan ditertawai teman-temannya di kota jika ketahuan melakukan hal itu semua.

"Baka, Oyaji," umpatnya.

Naruto ingat, siang itu ayahnya berkata padanya, bahwa beliau akan pergi ke wilayah Klan Nara untuk jamuan makan malam pernikahan pewaris tunggal klan tersebut. Putera tertua mereka bernama Nara Shikamaru, Naruto jelas mengenalnya, mereka teman masa kecil dan besar di lingkungan adat yang sama.

Akan tetapi saat usinya menginjak sebelas tahun, Naruto dikirim ke kota besar guna mempersiapkan diri untuk masuk sekolah di luar negeri. Ia jadi bertanya-tanya seperti apa temannya yang hobi bermalas-malasan itu?

"Huff, apakah aku harus ikut pertemuan itu?" gumamnya pada diri sendiri. Tapi sepertinya seseorang yang berada di sebelahnya mendengar jelas ucapannya. Sehingga laki-laki itu tertawa kecil.

"Tidak, Tuan Muda. Anda tidak perlu ikut jamuan itu. Tuan Besar sudah berangkat ke wilayah Klan Nara sejak sore tadi," jelas pria berambut hitam dengan kuciran tinggi di kepalanya. Pria itu terlihat sangat ramah meski wajahnya tercetak bekas luka di bagian hidung.

"Haaah, membosankan sekali. Lalu untuk apa aku datang ke Konoha?"

Lelaki bernama Umino Iruka itu tersenyum, "Tentu saja menjaga wilayah Klan Uzumaki. Meski banyak pasukan hebat di sana, Tuan Besar tidak pernah tenang meninggalkan wilayahnya."

"Bukankah ada Sai di sana?"

Oh, ya. Sai. Naruto sudah sangat lama tidak pernah bertemu pria itu juga, terakhir kali mereka bertemu adalah lima tahun lalu. Sai adalah cucu dari tetua Klan Senju yang memilih mengabdi di bawah pimpinan penguasa lima klan yang ternyata adalah Namikaze Minato—ayahnya.

Bagaimana wajahnya terakhir kali? Ah, saat itu mereka berlatih pedang bersama dengan Ketua Kakashi 'kan? Ia jadi rindu saat-saat itu—

—dan juga wajah bersenyum palsu milik Sai yang ingin sekali dipukulnya itu.

"Sai-sama ikut dengan Tuan Besar sebagai pengawal," Iruka menjelaskan, ia tetap tersenyum menanggapi ekspresi anak asuh yang pernah dijaganya saat masih bayi tersebut. Ia sudah menganggap Naruto seperti anaknya sendiri.

"Benarkah? Apakah dia sehebat itu? Pengawal tou-san?

Iruka mengangguk kecil. "Tentu saja, Sai-sama sangat hebat dalam bertarung. Sebenarnya ada satu orang hebat lagi. Kebetulan dia yang menjaga wilayah Klan Uzumaki sekarang, namanya—"

Belum sempat Iruka menyelesaikan kalimatnya, kereta kuda mereka berhenti mendadak dan beberapa kuda mengikik keras bersahutan. Beberapa pengawal terdengar meributkan sesuatu di luar dan Naruto segera membuka tirai jendela keretanya.

"Ada apa?" tanya Naruto, Iruka ikut melongok dari sisi jendela yang lain dan ternyata mereka masih tiba di tengah hutan. "Kenapa berhenti mendadak?"

"Ada yang menghalangi jalan kita, Tuan Muda," jawab salah satu pengawal.

Dari tempat Naruto jelas ia tidak bisa melihat apapun yang terjadi di depan. Dua pasukan berkuda berbaris menghalangi pandangannya. Melihat keingintahuan tuannya, Iruka segera turun sebelum menawarkan diri.

"Biar aku yang lihat, Tuan."

"SASUKE-SAMA!" teriak salah satu penjaga di depan. "Beri jalan, bawa Sasuke-sama dengan kuda dan pastikan ada seseorang lagi yang memeganginya."

Naruto segera bersitatap dengan Iruka. "Ada apa itu?"

Wajah Iruka tampak pias. "Sepertinya orang yang terluka di depan adalah Sasuke-sama, Tuan."

Terluka? Sasuke-sama?

"Siapa itu? Aku tidak mengenalnya."

Iruka mengerutkan dahi, tidak percaya jika Naruto tidak mengenal Sasuke.

"Sasuke-sama adalah tangan kanan Tuan Besar, sama seperti Sai-sama. Dan dia adalah penjaga yang bertugas menjaga wilayah Klan Uzumaki malam ini, Tuan. Aku khawatir sebab terlukanya Sasuke-sama adalah penyerangan di Klan Uzumaki. Sepertinya kita harus segera sampai di istana untuk melihat situasinya."

Naruto terkejut.

"Aku akan melihat keadaannya sebentar," kata Iruka, namun tangannya segera di tahan oleh Naruto.

"Aku ikut."

Iruka tersenyum dan mengangguk.

Pria bernama Sasuke sudah dibaringkan di tanah begitu Naruto menghampirinya. Wajah pria itu tampak sangat pucat dan kesakitan. Naruto melihat yukata hitam pria itu sobek pada bagian lengan dan perut. Darah terus mengalir deras sementara pria itu sudah mengeluarkan banyak peluh.

Tiba-tiba seorang pasukan datang dengan kuda berwarna cokelat dari kejauhan. Lelaki itu turun dan wajahnya tampak pias. "Iruka-sama, istana Uzumaki diserang. Keadaan istana sekarang porak poranda dan penyerang berhasil kabur," lapornya.

"Lalu dimana Tuan Besar?" tanya Iruka.

"Beliau belum kembali dari wilayah Klan Nara, beberapa pengawal sudah melapor padanya."

Iruka mengangguk, melirik ke arah Naruto. "Tuan Muda, kita harus sampai ke istana secepatnya."

Sementara Naruto masih diam dan sibuk memandang wajah putih pria itu dengan tatapan sulit. Entah kenapa, Naruto merasa pernah mengenalnya—wajahnya sangat tidak asing. Bagaimana mungkin pria itu bisa ada di tengah hutan seperti ini, terlebih lagi dalam keadaan luka parah.

"Tuan?"

"Ah, bawa saja menggunakan keretaku," putus Naruto.

"Maaf?"

"M-Maksudku Sasuke, orang ini."

"Tapi, dia sangat kotor, Tuan."

Naruto mendengus, "Kau tidak mungkin membiarkannya menunggu di atas kuda dengan keadaan terluka begini, bukan, Jii-san?" lalu Naruto menatap pengawalnya yang terdiam menunggu perintahnya. "Tunggu apa lagi? Bawa sekarang juga ke dalam kereta dan suruh Shinnou-sensei mengobatinya."

"Tuan muda—"

"Aku sedang tidak ingin menerima pendapatmu, Jii-san. Pria ini butuh pertolongan atau tidak dia akan mati."

Tanpa menerima perintah dua kali, tiga orang pengawal mengangkat tubuh Sasuke dan membaringkannya di dalam kereta. Kereta kuda milik Naruto cukup untuk dihuni empat orang. Naruto segera masuk ke dalam dan membiarkan pahanya menjadi sandaran kepala Sasuke yang sekarang tidak sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian seorang tabib yang dibawa mereka masuk dengan Iruka mengekor di belakangnya.

"Aku sudah memerintahkan asistenku untuk mencari beberapa tanaman yang dibutuhkan. Mereka akan segera kembali. Untuk sementara aku akan menghentikan pendarahannya dengan kain ini."

Laki-laki tua itu mengambil sobekan kain yang selalu dibawanya kemanapun untuk digunakan dalam keadaan darurat seperti ini. Ia melepaskan yukata bagian atas milik Sasuke dan memperlihatkan luka gores di lengan serta luka yang cukup dalam pada bagian perut.

"Lukanya sangat parah," gumam tabib itu sambil menekan kainnya pada bagian perut Sasuke dan kain itu segera basah oleh darah.

Iruka yang melihat itu bergidik ngeri. Minato memang sudah mempersiapkan beberapa persiapan perang jika sewaktu-waktu ada penyerangan dadakan, namun ia tidak menyangka bahwa penyerangan ini benar-benar terjadi saat Minato pergi ke wilayah Klan Nara dan membiarkan penjagaan istana lengah.

Menurut Iruka, Minato tidak mungkin gegabah seperti ini. Mereka sama-sama tahu kalau Sasuke adalah seorang ahli pedang hebat yang dimiliki klan mereka. Tapi, bagaimana mungkin pria itu bisa terluka separah ini? Bisa dipastikan penyerang mereka kali ini cukup kuat.

Naruto terlihat tidak peduli dengan apa yang di pikirkan Iruka, tangannya sibuk mengusap peluh di wajah Sasuke dengan lembut.

Asisten tabib itu datang tak lama kemudian dengan membawa beberapa tanaman. Tabib itu segera menyiapkan alat tumbuk dari batu dan mulai meracik obat.

"Jalankan kudanya!"

Terdengar perintah dari pemimpin pasukan pada baris depan. Kereta bergoyang dan mulai berjalan melewati hutan yang dingin itu. Sedingin telapak tangan pria yang sedang Naruto genggam.

Sasuke.

.

.

.

Sasuke mendengar suara sobekan kain. Kemudian sesuatu yang dingin menyapa kulit perutnya secara tiba-tiba dan membuatnya menjerit kesakitan.

"Ah, maaf, apa aku membuatmu terbangun?"

Pandangannya masih sangat kabur, namun Sasuke melihat lensa biru menatap ke arahnya dengan tatapan cemas.

"Kau baik-baik saja?"

Sebuah pertanyaan lagi, Sasuke mendapati suaranya benar-benar tercekat di tenggorokan. Pandangannya belum teralih dari satu titik, berusaha mengubah fokusnya dengan baik. Detik berikutnya ia melihat seraut wajah pria tampan dengan tanda lahir unik di pipinya. Pria itu tersenyum ke arahnya.

Sesuatu yang dingin menyentuh perutnya lagi dan kembali memaksa Sasuke menjerit sekuat tenaga. Perutnya seperti mendapat tekanan yang kuat ketika seseorang menekan sebuah kain di sana dengan erat. Benda dingin iitu semakin membuat perutnya perih. Ah, ya. Sasuke ingat. Ia tertusuk belati salah seorang pasukan Klan Uzumaki dan kemudian melarikan diri ke hutan.

Lalu, apa yang terjadi?

Sasuke tidak ingat apapun.

"Selesai," kata sebuah suara yang terdengar lebih tua. Sasuke menoleh ke arahnya dan lelaki tua itu tengah menatap pria bermata biru di sebelahnya. "Aku akan memantau keadaannya selama duabelas jam. Pastikan Sasuke-sama tidak melakukan gerakan apapun sampai lukanya benar-benar kering. Aku sudah mengeluarkan racun di tubuhnya dan memberinya ramuan penambah darah."

Lelaki tua itu membereskan peralatannya dan menaruh beberapa obat di meja pendek yang ada di sudut kamar. Melihat ke arah Sasuke lagi dan tersenyum.

"Lekas sembuh, Sasuke-sama. Aku akan kembali lagi."

Siapa?

"Terima kasih, Shinnou-sensei."

Sasuke mendengar suara baritone yang tegas masuk ke dalam sensor pendengarannya. Dengan susah payah Sasuke berusaha mendongak dan melihat seorang pria dengan mata biru yang juga melihat ke arahnya. Mereka bersitatap. Dan saat itu Sasuke menyadari satu hal; bahwa pria itu punya wajah yang sama dengan tuannya. Kulit yang cokelat dan rambut berwarna kuning terang.

Pria itu seperti kloning dari Namikaze Minato.

Penguasa lima klan tempatnya bernaung.

Klan Uzumaki.

"S-Sakit," rintih Sasuke. Perutnya terasa tidak nyaman antara rasa dingin dan nyeri. Rasa sakitnya benar-benar luar biasa tidak seperti saat ia mendapat luka itu.

"Tidak apa-apa, sakitnya hanya sementara."

Sasuke berusaha untuk mengucapkan sesuatu saat rasa nyaman karena usapan lembut diterimanya pada bagian perutnya. Seketika pandangan Sasuke menggelap karena usapan itu telah merambat di rambutnya. Ia tiba-tiba mengantuk.

"Tidurlah. Kau akan baik-baik saja."

.

.

.

Semalaman Minato terduduk di ruangannya dengan pikiran berkecamuk, berita yang didengarnya dari seorang penjaga yang menyusulnya ke wilayah Klan Nara membuatnya sangat kalut. Sebenarnya sudah beberapa jam sebelumnya Minato berniat untuk kembali ke rumah—yang beralih fungsi sebagai istana itu. Namun, beberapa tetua melarangnya karena menurut mereka keadaan belum terlalu aman.

Jarak dari wilayah Klan Nara sampai ke rumahnya membutuhkan waktu dua jam. Setelah acara benar-benar usai tanpa terganggu, Minato segera meluncur ke rumah—menyusul para pasukan Nara yang sudah terlebih dahulu pergi. Beberapa tetua dan pengawal yang digiring dari Klan Nara mengantarnya sampai ke tempat tujuan.

Istana sudah sangat kacau ketika Minato tiba dini hari. Mayat bergelimpangan, bau darah menyengat dan beberapa bangunan yang hancur. Anehnya dari kekacauan tersebut hanya para pasukan penjaga yang diserang—para wanita; pelayan dan anak-anak dalam keadaan aman. Selain itu ruang tahanan bawah tanah di barat istana dibobol dan para tahanan melarikan diri.

Salah satu pengawal yang menjadi saksi melaporkan bahwa Taka menyerang tiga jam setelah Minato pergi. Taka adalah pria bertopeng elang dan memakai haori putih. Pria itu adalah petarung yang hebat dan disebut-sebut sebagai penjahat nomor satu di lima desa klan.

Tujuan Taka adalah menghancurkan kesenjangan antara klan dan membunuh para tetua. Namun berita ini masih simpang siur karena eksistensi Taka sendiri lebih kepada usahanya melepaskan tahanan yang berada di penjara bawah tanah. Taka sering kali melakukan penyerangan secara mendadak. Untuk itulah Minato terus meningkatkan penjagaan istana. Meski kenyataanya, mereka tetap lengah dan dikalahkan oleh buronan nomor satu tersebut.

Minato tidak habis pikir, sekuat apa Taka itu?

"Tou-san?"

Minato menoleh dan mendapati Naruto berdiri di ambang shouji yang bergeser sedikit. Sejurus kemudian anak semata wayangnya tersebut memasuki ruangannya dan duduk di mejanya. Minato mengamati, berapa lama ia tak melihat wajah puteranya? Naruto terlihat lebih tampan dari terakhir ia melihatnya.

"Tou-san baik-baik saja?" tanya Naruto lagi.

Minato mengangguk. Lupa bahwa ia sempat melupakan anaknya karena berita buruk ini. "Kenapa kau baru menemuiku?" katanya.

"Seseorang bernama Sasuke terluka dan aku merawatnya sebentar."

Ah, ya. Minato ingat pengawalnya juga berkata bahwa Taka berhasil melukai tangan kanannya yang terkenal ahli pedang itu. Lihatlah, untuk seorang ahli pedang semacam pria itu saja, Taka bisa melumpukannya. Sudah sewajarnya pasukan penjaga istana tumbang dalam sekali serang.

"Kami menemukannya terluka di hutan ketika dalam perjalanan kemari," lanjut Naruto. "Mereka bilang dia adalah tangan kanan Tou-san."

Minato mengiyakan.

"Aku akan menemuinya nanti," cetus Minato, menghela napas.

Setuju dengan idenya, Minato mengangguk-angguk. Kalau tidak salah pengawal juga mengatakan bahwa mereka berhasil melukai Taka di bagian lengannya. Pengawal yang menjadi saksi itu langsung kabur saat beberapa pasukan pembantu datang dan menyusul beberapa pengawal yang melapor kepadanya.

Setelah pasukan tambahan dari Klan Nara tiba, semua sudah sangat terlambat. Seluruh pengawal istana sudah bergelimpangan di tanah tanpa ada tanda-tanda Taka di sana. Ia berhasil kabur—lagi.

Sebelum ini, Taka memang sedang terobsesi dengan tahanan mereka. Namun, biasanya serangannya dengan mudah digagalkannya karena beberapa ahli pedang Uzumaki turun tangan. Entah kenapa, kali ini mereka lengah dan membiarkan Taka berada di atas angin.

"Tabib bilang dia kehilangan banyak darah karena luka di perutnya. Sepertinya tusukan belati," jelas Naruto.

Mendengar hal itu membuat dahi Minato mengerut. Belati? Apa sekarang senjata Taka bukan berupa tongkat besi lagi? Apakah karena itu beberapa pasukannya kalah?

Minato melirik anaknya dan sadar akan sesuatu, "Bisakah kau ganti pakaianmu, Naruto."

Naruto mengerang jengkel. "Ayolah, Tou-san. Aku membawa banyak pakaian di ranselku. Aku tidak mau memakai yukata. Itu terlihat sangat kuno."

"Kau terlihat seperti alien dengan pakaian seperti itu."

Sontak, Naruto melirik penampilannya sendiri. Kaus hitam yang dibalut jaket orange, celana jeans belel dan sepatu sneaker yang trendy. Lalu tindikan anting di telinga kanannya.

Hei. Naruto terlihat sangat bergaya, bukan?

"Dasar Tou-san ketinggalan jaman."

Minato mendengus. "Konoha berbeda dengan Tokyo, Uzumaki."

Omong-omong soal Uzumaki—

"Bagaimana keadaan Kushina?"

Naruto tertawa kecil melihat wajah ayahnya, "Aku tidak mengajak Kaa-san kemari, Tou-san. Maafkan aku."

"Ah, tidak, tidak. Akan lebih baik kalau dia di sana sebelum keadaan di sini aman."

Banyak pertanyaan kenapa Naruto lebih suka memakai nama keluarga ibunya daripada ayahnya. Selain nama Uzumaki sangat disegani eksistensinya, Naruto juga merasa namanya sangat tidak cocok bersanding dengan nama keluarga ayahnya.

Selama ini ayahnya tidak pernah protes, bagaimanapun Uzumaki adalah klan terkuat dan Naruto bangga menggunakan nama itu.

Naruto menatap ayahnya dengan serius. "Cepat akhiri semua ini, Tou-san. Tutup saja desa ini dan bangun desa yang baru. Apa kau tidak lelah dengan perebutan tahta wilayah ini dari tahun ke tahun?"

Sang ayah bangkit dari posisinya dan menepuk bahu Naruto dengan pelan. Anaknya sudah sangat tinggi bahkan melebihi dirinya sendiri.

"Tolong pahamilah keputusanku, Naruto. Para tetua menginginkan wilayah ini selayaknya seperti ini. Kita akan mengalami musibah jika saja kita tidak meneruskan pembagian wilayah ini dan menentukan siapa penguasa lima klan yang naik tahta setiap lima tahun."

Naruto menggeleng pelan, ia merasa tangan ayahnya meremas sebelah bahunya.

"Saat ini Uzumaki adalah klan terkuat, sebentar lagi masa jabatanku akan habis dan tetua mengharapkan Uzumaki lain yang memimpin seluruh klan. Dalam hal ini Tou-san sangat mengharapkanmu, Naruto. Untuk alasan itulah aku membawamu kemari."

"Tidak, Tou-san," tolak Naruto tegas. "Aku tidak mau memimpin tempat ini. Aku masih sangat muda dan aku punya impian lain."

Cukup lama sang ayah terdiam hingga Naruto merasa tangan sang ayah tidak lagi bertengger pada bahunya.

Minato menghela napas. "Lupakan impianmu, Naruto. Apakah kau mau klan kita mendapat kutukan seperti Klan Uchiha?"

Benar, Klan Uchiha—nama itu juga tidak asing di telinga Naruto. Lima tahun lalu klan itu adalah klan pendosa yang akhirnya dimusnahkan oleh penguasa pada masa itu. Beberapa puluh kepala keluarga dibantai tanpa belas kasih sesuai perintah tetua dan anehnya mereka menyisakan dua orang dari klan tersebut tanpa diketahui alasannya.

Kedua orang itu adalah Itachi dan Sasuke.

Ya—Sasuke. Pria yang sekarang tengah terluka karena bertarung melawan Taka (atau itu yang didengarnya dari para pengawal).

"Tou-san, sebenarnya apa yang dilakukan Klan Uchiha itu?" tanya Naruto penasaran.

Pandangan sang ayah kembali menyendu mengingat kejadian lima tahun yang lalu, kejadian dimana dirinya belum menjadi siapa-siapa—hanya seorang pemimpin Klan Uzumaki dan tidak dapat menghentikan sahabatnya, Uchiha Fugaku.

Minato menerawang pada pintu jendela ruangannya yang mengarah langsung pada taman bunga yang bermekaran dengan cantik. Mengingat sekilas kejadian lima tahun lalu.

"Saat itu pemimpin Klan Uchiha melakukan kudeta terhadap penguasa lima klan," Minato memulai ceritanya, "Pemimpin klan itu bernama Uchiha Madara. Sejak dicetuskannya kudeta itu, klan tersebut melakukan pemberontakan besar-besaran di depan kerajaan besar para tetua. Kelompok mereka tidak segan-segan membunuh, menghakimi seseorang yang lemah dan membantai siapapun yang berada pada jalur depan untuk menghalangi niat mereka. Kewarasan mereka benar-benar dipengaruhi oleh kekuasaan."

Naruto mendengarkan.

"Para tetua kemudian mengutuk klan itu dan membuat pernyataan bahwa; jika klan tersebut masih berdiri di atas tanah Konoha, maka rakyat akan menerima kutukan itu secara turun temurun selama tujuh generasi. Dalam hal ini adalah akibat dari pemberontakan panjang klan tersebut," Minato mengambil jeda sejenak, "beberapa puluh tahun yang lalu, kudeta yang sama pernah dilakukan oleh Klan Hatake. Mereka memaksa tetua untuk melepas dan mengalihkan jabatan penguasa klan pada tetua Klan Hatake dengan demo besar. Para tetua akhirnya mengutuk mereka dan pada jaman itu penguasa mereka melakukan hal yang sama; yaitu membantai klan tersebut."

Naruto menggeleng, "Tapi, Tou-san, itu sangat aneh. Bukankah seharusnya mereka bisa mendengar alasan mereka baik-baik sebelum melakukan pembantaian?"

"Dan mengorbankan lebih banyak orang lagi?" tanya Minato, sarkastik. Lalu menggeleng, "Itu tidak mungkin, Naruto."

"Yang benar saja, Tou-san. Mana mungkin rakyat bisa mempercayai begitu saja tentang teori Klan Pendosa dan kutukan tujuh generasi," kata Naruto, jengkel. "Di dunia ini mana ada yang namanya kutukan? Bukankah Klan Hatake itu adalah klan milik Ketua Kakashi? Lantas kenapa tetua menyisakan dua orang dari klan tersebut dan membiarkan mereka tetap beranak isteri? Atas dasar apa, Tou-san?"

Tak ada jawaban yang bisa didapatkan Naruto dari sang ayah. Lelaki paruh baya itu bungkam dan terlihat tidak nyaman dengan alur pembicaraan mereka.

"Katakan, Tou-san, aku tidak mengerti. Jelaskan!"

"Saat itu aku memang masih sangat kecil, Naruto, tapi kebencian Klan Hatake adalah musibah terburuk desa Konoha pada masa itu. Mereka melakukan kudeta, membunuh pengawal kerajaan dan memburu para tetua."

Naruto berdecih, entah kenapa ia melihat ayahnya begitu lemah dengan peraturan konyol yang dibangun berdasarkan ketentuan para tetua itu. Apakah mereka itu dewa? Kutukan apa? Jelas itu sama sekali tidak masuk akal.

"Ketika aku sudah beranjak dewasa, aku benar-benar merasakan bagaimana penderitaan para isteri yang ditinggal mati oleh suami mereka yang turun ke medan perang. Saat itu untuk pertama kalinya aku ikut melawan pemberontakan Klan Uchiha.

Sesaat sebelum pembantaian terjadi, Fugaku datang menemuiku. Dia mengatakan sesuatu, bahwa—"

Minato memutus ucapannya dan mengembuskan napas kasar. Baru saja ia hampir mengatakan sesuatu yang tidak mungkin diceritakannya pada siapapun. Sementara Naruto dibuat semakin mendidih karena kelemahan ayahnya hari ini.

"Ingatlah ini, Tou-san, aku tidak mau menjadi penguasa apapun, terlebih menjadi alat para tetua bangka itu," kata Naruto, kedua tangannya menjalin dan saling meremas. Ada kemarahan yang tiba-tiba muncul di benaknya. "Percayalah, ketika Tou-san sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap para tetua itu, suatu saat nanti Klan Uzumaki juga akan melakukan kudeta yang sama dengan kedua klan yang sudah dibantai para tetua itu!"

"Naruto! Jaga bicaramu."

Naruto tidak menanggapinya. Ia keluar dengan keadaan marah bahkan membanting pintu shouji ketika keluar dari ruangan ayahnya. Ia bersumpah, ini adalah hal terkonyol yang pernah didengarnya selama seumur hidupnya.

Kalau dulu ia tidak pernah mau tahu, jelas kali ini hal itu tidak bisa dilakukannya lagi. Klan dan kekuasaan ini bersangkutan dengan sang ayah. Naruto tidak mau sang ayah terus menerus mengikuti adat konyol yang ditetapkan para tetua dan menjadi budak pemuas keinginan tetua-tetua itu. Dalam dongeng ini sudah jelas bahwa tetua klan-lah yang sesungguhnya menjadi tokoh antagonis. Naruto yakin pasti ada yang salah dengan para tetua itu hingga kedua klan mengincar nyawa mereka.

Mendengar nama Klan Uchiha disebut, membuat darah Naruto mendidih. Teringat akan teman masa kecilnya yang sudah selamat dari pembantaian lima tahun silam tersebut. Benar saja, Sasuke—pria itu adalah teman masa kecil Naruto yang dulu sangat manis dan memiliki mata bulat besar yang menggemaskan.

Naruto tidak bisa membayangkan penderitaan apa saja yang sudah dialami sahabatnya tersebut setelah pembantaian terjadi.

Apakah Sasuke masih mengingatnya?

Sayup-sayup Naruto mendengar teriakan serta beberapa benturan benda jatuh menghantam tanah. Pria pirang itu mempercepat langkah kakinya menuju doujo yang berada di utara istana. Ia melihat Sai di sana, bertarung dengan seorang pria yang memakai hakama biru. Naruto tidak bisa melihat wajahnya, namun saat pria itu terjatuh, Naruto segera memekik.

"Apa yang kau lakukan, Brengsek!" Naruto menahan pedang kendo yang nyaris menghantam sang Uchiha.

Nampaknya pembicaraannya dengan sang ayah masih menyisakan kemarahan-kemarahan dan ia yakin sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan pelampiasan. Ditariknya pedang kendo itu sehingga tubuh Sai yang lengah segera tertarik dan Naruto menghantam rahangnya kuat.

Tubuh Sai ambruk dengan rahang yang memerah dan kebas.

"Kau pikir apa yang kau lakukan, Sai? Melawan orang yang terluka! Apa kau tidak punya teman bertarung lain yang lebih kuat?" Naruto berteriak. Sai segera mendongak dan terkejut.

"Naruto—Aw."

Naruto memilih mengabaikan Sai. Ia segera memeriksa keadaan Sasuke dan melihat perut pria itu basah oleh darah. Naruto hanya bisa mengumpat dengan darah yang tidak henti-hentinya mengalir tersebut.

"Kau bisa berdiri... Sasuke?" tanya Naruto agak canggung.

Tapi, Sasuke segera menepis tangannya. "Aku tidak butuh bantuanmu, Dobe!" ia segera bangkit dengan sangat perlahan dan mengerang begitu rasa sakit kembali menusuk perutnya.

"Sangat jelas bahwa kau membutuhkanku, Teme."

Kali ini Naruto membiarkan Sasuke melakukan apapun keinginannya. Nyatanya pria itu tetap terlihat kesakitan ketika hendak bangkit. Tapi, pria itu memang cukup keras kepala. Ia memegang perutnya dan darah segera membasahi telapak tangannya.

"Aku harus memulihkan tenagaku," gumam Sasuke dengan terbata. Ia kembali menantang Sai dan melihat pria pucat itu tersenyum—atau menyeringai ke arahnya.

"Sai, hentikan! Jangan ladeni dia, kau bisa membunuhnya!" seru Naruto.

"Kenapa, Naruto? Kau boleh ikut bermain jika kau mau," balas Sai, melemparkan senyum.

Di sisi lain, Sasuke mengabaikan keberadaan Naruto. Memilih mengambil pedang kendonya, begitu juga Sai. Lalu memberi isyarat pertarungan. Kedua pria itu memang cukup keras kepala untuk mendengar nasihat Naruto. Naruto merasa ia harus melakukan sesuatu.

"TEMEEEEE!"

Dua pria dengan warna rambut serupa itu segera terjatuh karena dihantam tinju Naruto.

.

.

.

Sai meringis, pipinya sangat perih karena mendapat pukulan dua kali dengan tenaga yang tidak main-main. Ia melirik pada sang pelaku yang saat ini tengah serius mendengarkan perkataan salah satu asisten tabib yang sedang merawat luka Sasuke.

Sebenarnya Sai tidak berniat melawan pria yang terluka itu, namun Sai sudah sangat hapal watak sang Uchiha yang tidak pernah mau menuruti larangan orang lain. Saat itu Sai terpaksa mengikuti permainan Sasuke dan membiarkan dirinya melawan pria itu.

Sai tidak melakukan apapun, hanya melepaskan beberapa pukulan ringan. Namun, nampaknya pukulan Sai mengenai bagian perut Sasuke yang terluka.

Naruto meliriknya. "Tolong obati Sai juga, pipinya terluka."

Asisten muda bernama Yamanaka Ino itu segera menuruti perintah Naruto dan memberikan telur pada Sai sementara ia mengambil air dingin di dapur. Sai menggunakan telur itu untuk menekan memar di pipinya secara berulang.

"Kau puas?" tanya Naruto sinis.

"Hei, ini 'kan bukan salahku," Sai tersenyum dan meringis saat lukanya perih. "Uchiha itu yang menantangku bertarung."

"Kau tidak bodoh, Sai. Pria ini jelas sangat sakit tanpa kau memukulnya sekalipun."

"Dan kau juga tidak bodoh, Naruto. Kau tahu seberasa kuat Sang Uchiha memperlihatkan kekeras kepalaannya. Kau pikir apa yang terjadi jika aku menolak keinginannya?" Sai mengangkat bahu tak acuh. "Tentu saja, dia akan tetap menyerangku."

Naruto setuju dengan apa yang dikatakan Sai. Sasuke juga sempat memperlihatkan kekeras kepalaannya ketika Naruto membantunya untuk berdiri tadi. Padahal tanpa bantuannya, Sasuke jelas tidak bisa bangkit dan membuat dirinya sendiri mati secara perlahan.

Sasuke sudah banyak kehilangan darah dan pria itu tetap bersikeras melakukan pertarungan dengan dalih memulihkan tenaga. Sasuke itu bodoh atau apa, memulihkan tenaga tidak harus dengan berlatih bertarung 'kan?

"Ya, ya, tetap saja kau tidak harus menurutinya."

Sai memasang ekspresi terluka. "Kau masih menyalahkanku, Naruto? Uh, kau kejam sekali."

Naruto memutar bola mata, lalu melirik Sasuke yang sudah tertidur dengan tenang. Merapikan letak selimut sang Uchiha dan menariknya sebatas dagu. Sasuke baru saja tertidur setelah meminum obatnya. Ia tidak henti-hentinya mengerang saat Ino membaluri lukanya dengan obat.

Astaga. Itu pasti perih sekali.

Akhirnya Naruto berjalan menuju Sai dan menarik pria pucat itu keluar dari kamar Sasuke. Keduanya berjalan dengan tenang di koridor tanpa berniat memecahkan suasana. Naruto sudah sibuk dengan pikirannya, kali ini amarahnya sudah benar-benar luntur.

Sepertinya, lain kali ia harus memukul sesuatu jika ingin amarahnya hilang. Dan mungkin Sai siap menjadi samsak dadakan demi dirinya.

"Terima kasih, Ino-chan," kata Sai saat bertemu dengan Ino di koridor dan mendapatkan kompres air darinya.

Gadis itu tersenyum malu-malu, benar-benar durian runtuh jika mendapat senyum menawan dari Sai. Meski nyatanya pria itu adalah pawang senyum.

"Aku akan menyiapkan obat lain agar memarnya segera hilang, Sai-sama," tawar Ino, malu-malu.

Sai tersenyum, "Tentu saja. Ternyata kau tidak hanya cantik, tetapi juga baik hati, Ino. Terima kasih."

"Hei, itu 'kan memang tugasnya," cibir Naruto.

Sebenarnya Sai mendengarnya, tetapi ia memilih mengabaikannya dan membiarkan Ino pamit padanya untuk membuat obat.

"Naruto, bagaimana menurutmu. Si Ino itu?" tanya Sai tiba-tiba.

"Entahlah. Dia memiliki dada yang besar, sepertinya."

"Bukan 'sepertinya', Bodoh. Dadanya terpampang dengan jelas di depan," balas Sai.

Naruto bergidik ngeri. Selama ini Naruto mengenal Sai adalah pribadi yang cukup ramah dan murah senyum, tetapi ia tidak menyangka dapat melihat karakter lain pria itu—yang terlihat cukup mesum.

"Kau menyukainya, ya?" cetus Naruto.

"Eh, apa terlalu kelihatan?" Sai balik bertanya.

Sudah cukup, Naruto sedang tidak ingin membahas hal remeh temeh ini. Pikirannya sedang sibuk mengingat ucapan sang ayah dan mengambil beberapa kesimpulan yang masuk akal.

Hampir semua kesimpulan Naruto mengarah pada satu titik, yaitu; Klan Uzumaki pantas melakukan kudeta.

"Hei, Sai, kenapa kau mau jadi pengawal ayahku?"

Sai di sebelahnya masih memasang ekspresi datar. "Apakah harus ada alasan spesifik?"

"Jawab saja yang jelas, Sai."

"Kenapa kau menanyakan itu?"

"Karena—" Naruto tertegun, lalu memukul bahu Sai dengan geram. "Jawab saja, Bodoh! Jangan banyak bertanya!"

Sai terkekeh dan mengetukkan telunjuknya di ujung dagu. "Tentu saja aku di sini karena kau berada di sini. Aku sangat menyukaimu, tahu."

–dan tersenyum lebar. Senyum polos seperti biasa dan membuat Naruto kesal sekaligus geli.

"KENAPA KAU BERKATA HAL MENJIJIKKAN SEPERTI ITU?!"

"Gomen, gomen."

.

.

.

"Tuan memanggilku?" tanya Iruka sesaat setelah memasuki ruangan Minato. Pria berkuncir itu terlihat rapi dengan setelan hakama perpaduan warna hitam dan putih.

Minato tidak meliriknya sama sekali, tetapi ia mendengar jelas suara pria itu.

"Sampaikan pesan kepada para pemimpin klan untuk mengikuti rapat tertutup di kerajaan besar tetua malam ini."

"Baik, Tuan. Apa ada yang lain?"

Minato melipat kedua tangannya di dada. "Siapkan pasukan lengkap bersenjata untuk mengawal jalannya rapat kali ini. Hanya itu saja, Iruka, kau boleh pergi."

Iruka segera melangkah ke luar dai ruangan itu setelah menutup shouji dari luar. Langkah kakinya menggema rendah tertangkap telinga Minato.

Kemudian pria paruh baya itu mendesah. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan untuknya. Ia lebih baik mempersiapkan keperluan rapat dan siap dengan argumen mengenai konsolidasi yang seringkali ia gadang-gadangkan kepada para tetua.

Minato bermaksud menyambung kembali tali persaudaraan dengan beberapa klan terbuang dan memperkuat ikatan desa agar tidak terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.

Minato juga ingin berjanji, di akhir kepemimpinannya nanti, ia akan mengungkap siapa petarung hebat di balik topeng Taka yang menjadi buronan desa. Orang itu bukan hanya buronan yang meresahkan, tetapi ia juga meloloskan beberapa kriminal yang dibuang oleh klan mereka.

Salah satu tahanan yang berhasil ia loloskan adalah Uchiha Itachi, tahanannya yang sebentar lagi mendapat hukuman mati.

.

.

.

Sasuke terbangun karena mimpi buruk. Ia bermimpi tengah berada di tengah-tengah mayat bergelimpangan. Sasuke mengenal mayat-mayat itu, semua dari mereka memakai pakaian dengan lambang Klan Uchiha. Di mimpi tersebut, Sasuke masih muda, ia bukan ahli pedang ataupun petarung, ia hanya seorang anak remaja yang ketakutan.

Mimpi itu sebenarnya adalah sebuah kenyataan yang terjadi lima tahun silam. Kejadian dimana pembantaian klan terbesar terjadi. Kejadian tersebut sudah merenggut seluruh keluarganya. Meskipun mimpi itu terus menerus terulang, Sasuke tetap merasa ketakutan. Ia merasa seperti anak kecil yang ditinggal pergi sang ibu.

Sasuke mengerjap, melihat langit-langit ruangan dan tersadar bahwa ia berada di kamarnya.

"Aniki," lirihnya.

Sasuke tidak mengerti kenapa ia masih harus tetap terjebak di sini. Ia ingin bertemu dengan kakaknya dan mengadu banyak hal. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di jalan utama ketika misinya selesai. Sekarang ini pasti Itachi sangat mengkhawatirkannya, pria itu pasti menunggunya semalaman.

Rasa nyeri pada bagian perutnya kembali terasa saat Sasuke memaksa untuk duduk dan bertumpu pada kedua tangannya. Tubuhnya benar-benar lemas dan tidak bertenaga. Efek dari pertarungan kemarin dan luka di perutnya masih sangat terasa.

"Brengsek," umpat Sasuke sambil mengacak-acak rambutnya. Lalu bangkit menuju lemari dan mengambil beberapa baju.

Ketika menjadi anak asuh di istana ini lima tahun yang lalu, Sasuke tidak datang dengan membawa apapun. Maka dari itu pergi pun ia tidak akan membawa apapun. Paling tidak ia hanya butuh beberapa pakaian yang akan dibutuhkannya nanti.

Sasuke merasa sangat beruntung, ia tidak tahu harus berapa kali mengucapkan terima kasih pada Minato dan keluarganya yang sudah mengasuhnya saat itu. Pengabdian yang Sasuke lakukan selama ini pada Klan Uzumaki nyatanya belum cukup untuk membayar semuanya.

Sasuke memang punya tujuan terselubung di balik pengabdiannya itu. Ia bahkan sudah mempersiapkan strategi penyerangan dengan matang. Dan malam penyerangan itupun tiba, malam dimana penjagaan istana lemah dan pemimpin mereka tidak ada di tempat. Saat itulah ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membebaskan sang kakak dari tahanan.

Senyum terukir di bibir Sasuke mengingat penyerangan itu. Ia merasa kekuatannya makin meningkat sehingga bisa melumpuhkan beberapa puluh penjaga. Ia juga berhasil membunuh semua saksi yang mengetahui luka di perut yang dialaminya.

Ini belum selesai, Sasuke tidak bisa membongkar rahasianya sebagai Taka secepat itu sebelum semua keinginannya tercapai.

Mendesah, Sasuke kembali meneruskan niatnya keluar dari kamar. Malam ini istana terlihat sangat sepi dan penjagaan masih lemah di beberapa bagian. Sasuke berpikir untuk melewati pagar belakang yang berada di selatan istana, sebelum ia merasakan tangan seseorang menepuk bahunya.

Sasuke merasakan tubuhnya menegang.

"Kau mau kemana, Teme?"

TBC...