Di sebuah taman yang sangat ramai tampak seorang perempuan yang sedang duduk disalah satu bangku taman yang kosong dengan tangan terlipat di dada, wajahnya terlihat sangat kesal dengan alis yang menukik tajam kebawah. Berkali-kali dia menolehkan kepalanya untuk mengecek jam yang berada beberapa meter jauhnya dari tempat dia duduk–jam empat lewat dua puluh tujuh menit, sudah lewat satu jam lebih dari waktu janjian mereka sebelumnya.
Di mana dia?
.
.
.
*Let's go Home*
Naruto by Masashi Kishimoto
Let's go Home by Mayu Tachibana
Genre: romance, drama
Warning: crack pairing, AU, OOC, missed typo(s)
Disertakan untuk event #CrackPairingCelebration
Don't like? Don't read :)
.
.
.
Perempuan itu melihat sekelilingnya yang sangat ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan dengan kekasihnya atau sekedar bermain dan bersantai bersama keluarga dan teman mereka, dia berharap dapat menemukan sesosok laki-laki yang berjanji akan datang menyusulnya diantara orang-orang itu. Dia juga melihat banyak anak kecil bermain dengan gembira disetiap fasilitas yang tersedia ditaman tersebut, entah itu perosotan, ayunan, permainan panjat, kotak pasir dan air mancur dimana kapal-kapal kertas diapungkan disana. Tapi sosok yang dia cari tidak terlihat sama sekali.
Perempuan itu mendesah keras lalu mengalihkan pandangannya kearah ponselnya yang berada didalam saku jaketnya. Tangannya bergerak menekan-nekan layar sentuh ponselnya itu untuk mencari sebuah nama lalu menekan tombol 'call' untuk menyambungkannya dengan seseorang itu. Terdengar nada sambung yang cukup lama sebelum akhirnya telepon itu diangkat, sebuah suara yang agak parau khas bangun tidur menjawab telepon tersebut.
"Halo?" sapa seseorang itu.
"Asuma," gumam perempuan itu pelan.
Seseorang yang ditelpon itu terdiam lalu dalam beberapa detik terdengar sebuah suara yang cukup gaduh yang menandakan bahwa seseorang itu telah sadar sepenuhnya. "Anko...?"
"Kau di mana sekarang?" tanya perempuan itu masih dengan volume suara yang sama.
"Di... rumah?"
Perempuan itu terdiam, entah kenapa tangannya tiba-tiba terkepal erat disamping tubuhnya setelah jawaban itu sampai ditelinganya, sebuah nada 'putus' juga terdengar dari kepalanya beberapa saat kemudian–dia marah. Orang-orang yang berada disekitarnya masih tampak asik berbincang ria sehingga tidak menyadari sebuah goncangan yang akan terjadi pada perempuan yang kini sudah siap untuk menumpahkan emosi yang ditahannya sedari tadi.
"KAU MASIH ADA DI RUMAH?!" tanya Anko dengan suara keras yang sarat akan nada tidak percaya, beberapa orang yang mendengar seruan emosi Anko lantas menoleh dan memandang perempuan itu penasaran. "AKU SUDAH MENUNGGUMU SELAMA HAMPIR SATU JAM, BAKA!"
"Maaf, Anko, aku–"
Telepon ditutup. Anko sudah terlalu kesal untuk mendengar permintaan maaf kekasihnya yang sudah terulang untuk entah yang keberapa kalinya setiap janji ini dibuat. Janji kencan mereka semenjak mereka pertama kali saling menyatakan rasa tertarik. Harusnya dia tahu kalau hal ini akan terjadi lagi padanya, dia memang terlalu berharap.
Anko mendecih pelan lalu segera bangkit dari tempat duduknya untuk segera beranjak dari sana, mengabaikan tatapan penasaran yang ditujukan kearahnya tanpa disembunyikan sedikitpun. Kedua kakinya bergerak cepat melewati taman yang cukup luas itu menuju dengan pasti ke halte bis yang tidak terlalu jauh dari taman. Kedua tangannya tampak masih terkepal dengan setia didalam saku jaketnya yang sedikit menggelembung, menunjukkan bahwa emosinya masih belum membaik dari percakapan singkat lima belas menit yang lalu.
Selama beberapa lama dia menunggu akhirnya bis jurusan ke rumahnya datang, dia langsung menaikinya lalu duduk di tempat yang masih kosong. Bangku barisan kedua dekat jendela, tempat yang cukup disukainya.
Untuk mencegah dirinya agar tidak bosan selama perjalanan didalam bis, dia akhirnya mengeluarkan tangannya dari saku jaket lalu membuka tasnya untuk mengambil posel dan headset-nya yang segera dihubungkannya ke telinga. Dia kembali menekan-nekan layar poselnya lalu segera memilih daftar putar lagu kesukaannya untuk dia dengarkan sampai tiba ditempat tujuan.
Matanya perlahan terpejam akibat angin yang menerpa wajahnya berulangkali, memaksanya untuk hanyut dalam kesejukan angin yang menerpa dan secara perlahan mengikis rasa kesalnya terhadap kekasih pemalasnya tersebut. Alunan lagu yang mengalir di headset-nya pun turut membantunya menjadi lebih rileks. Dia menghembuskan napas pelan lalu memejamkan matanya, membiarkan dirinya secara perlahan terseret ke alam mimpi.
.
Asuma mengacak rambutnya yang berantakan akibat dirinya yang baru beberapa menit lalu terbangun dari tidurnya. Dia menatap kosong layar ponselnya yang kini hanya menampilkan wallpaper ponselnya tanpa tanda-tanda adanya telpon masuk atau pesan lain dari perempuan yang baru saja membentaknya di telepon.
Dalam hati dia merasa sedikit menyesal karena telah melupakan janji kencan mereka untuk yang ke tujuh kalinya. Dia memang sangat keterlaluan. Beberapa hari yang lalu selama mereka berada di sekolah Anko selalu mengingatkannya tentang janji yang harus ditepatinya tersebut, entah selama pelajaran, waktu istirahat, pulang sekolah ataupun saat dia sudah tiba dirumah. Perempuan itu–yang merupakan kekasihnya sendiri–dengan gencar selalu mengingatkannya dengan janji itu agar dia tidak melupakannya.
Tapi gagal. Ternyata virus malas yang selalu menjangkitnya setiap hari sabtu jauh lebih kuat dan memaksanya untuk tidur maraton sesudah makan siang. Dengan pasti ingatan untuk menepati janji itu tersingkir sesering apapun itu sudah diingatkan.
Laki-laki dengan rambut sehitam arang itu menghentikan lamunannya lalu kembali mengacak rambutnya dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk menyusul perempuan itu sekarang juga untuk meminta maaf, setidaknya dia harus datang kesana meskipun nanti harus kembali menerima perkataan tajam dari perempuan itu.
Setelah selesai bersiap-siap, Asuma segera keluar dari rumahnya lalu berjalan menuju halte yang berada didepan kompleks rumahnya, menunggu bis selama beberapa menit lalu menaikinya setiba bis itu tepat dihadapannya. Sesampainya di halte tujuan taman itu, Asuma segera turun lalu mulai menyusuri taman untuk mencari jam yang berada ditengah-tengah taman tersebut. Anko berkata padanya kalau dia akan menunggunya disalah satu bangku yang berada diseputar jam itu.
Dia berjalan dengan cukup cepat menyusuri taman itu, mencari sesosok gadis berambut ungu yang selalu dikuncir asal dengan gaya pakaian kasual yang terkesan lebih tomboy jika dia yang mengenakannya. Di atas kepalanya langit mulai memancarkan warna senja akibat matahari yang secara perlahan mulai terbenam di barat seiring dengan langkahnya memutari taman. Dalam beberapa menit saja taman yang sebelumnya penuh dengan banyak orang perlahan-lahan segera berkurang dan menyisakan sebagian kecil orang yang masih berjalan-jalan ataupun menyelesaikan olahraga sore mereka.
Asuma masih mencari sosok perempuan itu selama beberapa saat, tapi tidak ada. Dia sudah mengelilingi taman itu berulangkali tapi tidak menemukan sosok perempuan itu dimanapun. Apa dia sudah pulang? Batin laki-laki itu menduga-duga.
Laki-laki itu membuka ponselnya lalu mengetik nomor perempuan itu untuk dia hubungi. Terdengar nada sambung selama beberapa saat sebelum akhirnya sebuah suara menyambut teleponnya.
"Halo... Asuma?" tanya perempuan itu membuka suara.
"Kau ada di mana?"
Perempuan itu terdiam, terdengar tidak yakin akan jawaban yang akan diberikannya. "Aku... tidak tahu."
Asuma mengerutkan keningnya bingung. "Kau tadi naik bis kearah mana?"
"Entahlah... sepertinya aku salah naik bis," jawab Anko terdengar semakin lirih. "Aku sama sekali tidak mengenal tempat ini. Gelap."
"Baiklah, tunggu sebentar, Anko."
Asuma segera mematikan telepon genggamnya lalu kembali ke halte bis untuk kembali ke rumahnya dan mengambil motornya, dia menganggap kalau lebih cepat dan mudah mencari dengan motor daripada menaiki bis yang jauh lebih lambat.
Setibanya di rumah, Asuma segera menyalakan motornya lalu memasuki rumahnya untuk mengambil helm cadangan dan sebuah syal. Dalam beberapa menit dia segera mengendarai motornya dan melaju pasti ke tempat kemungkinan besar Anko berada, Asuma berterima kasih pada GPS yang sebelumnya sudah dia sinkronkan dengan milik Anko sehingga dia dengan mudah bisa menemukan tempat perempuan itu berada sekarang.
Malam mulai menjelang, salju mulai menghujani jalan yang dia lewati dan perlahan mulai membentuk kumpulan di beberapa sudut jalan raya bersamaan dengan Asuma yang menghentikan laju motornya ketika tiba disebuah teluk yang dibatasi pagar disepanjang laut itu tersebar. Laki-laki itu meninggalkan motornya disana lalu mulai mencari keberadaan Anko yang seharusnya berada di sekitar sini. Disekeliling mata memandang dia hanya bisa melihat bangunan-bangunan yang berdiri tegak dengan cerobong asap tanpa ada orang yang berada diluarnya. Jelas saja, Anko mengarahkan dirinya ke tempat khusus pabrik-pabrik beroperasi setiap harinya, jarang sekali ada orang yang datang berkunjung ke tempat ini kecuali untuk berkerja.
Beberapa menit mencari dia akhirnya menemukan keberadaan Anko. Perempuan itu bersandar di pagar teluk dan dalam posisi menguburkan kepalanya diantara tempurung kakinya, rambutnya yang terkena angin laut bergoyang bebas mengikuti arah angin yang semakin dingin dengan salju yang mengikuti.
"Anko," ucap Asuma pelan ketika tiba dihadapan perempuan itu, dia sedikit membungkuk untuk menyingkirkan sebagian rambut Anko yang menutupi bagian depan wajahnya.
Secara perlahan gadis itu mendongakkan kepalanya dan dengan pasti menemukan mata Asuma yang kini tengah memandangnya sedikit khawatir. Tanpa berkata apa-apa, Anko segera memeluk laki-laki itu dan merangkulkan tangannya seerat mungkin diseputar pinggang laki-laki itu. Hangat. "Asuma..."
Asuma tersenyum kecil, dia mengusap rambut perempuan yang memeluknya lalu balas memeluknya dengan salah satu tangannya. "Maaf aku terlambat."
Anko menggelengkan kepalanya, sebuah gumaman teredam dipakaiannya akibat Anko yang tidak mau melepas pelukannya saat dia berbicara. Dengan berpelukan seerat ini Asuma juga dapat merasakan jantung Anko yang masih berdebar keras, reaksi dari ketakutannya akan rasa sepi yang sempat membuatnya trauma dulu sekali.
"Mau pulang?"
Anko mengangguk, kali ini dia akhirnya mau melepas pelukannya dan menunjukkan wajahnya yang sedikit sembab akibat air mata. Asuma mengulurkan syal yang dibawanya sebelumnya kepada Anko yang kemudian dia terima untuk menghapus air mata yang tersisa sebelum melingkarkannya dilehernya.
"Maaf, Asuma," ujar Anko menundukkan kepalanya, tangannya tiba-tiba saja sudah berada digenggaman Asuma dan memberinya sebuah remasan pelan. "Terima kasih sudah mau menjemputku."
"Tidak masalah, ayo kita pulang sekarang."
"Ya."
.
.
.
Fin
.
.
.
A/N
... Astaga.
*speechles*
Aku buat crack pairing?! /pingsan/
Asuma & Anko: terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca fanfic ini~
