Halo, semuanya.
Masih ada yang ingat dengan kisah Padma Patil?
Sebenarnya ini fic lama yang saya remake. Sengaja saya upload kembali untuk membawa nuansa baru setelah sekian tahun saya tinggalkan terbengkalai.
Saya membawa pair yang anti-mainstream, yaitu Padma Patil dan Ron Weasley. Semoga pembaca menyukainya :)
.
Harry Potter Series by J.K Rowling
Kisah Padma Patil, si Cantik dari India by Last-Heir Black
.
London, Desember 2012.
Musim dingin di London semakin ekstrim. Badai salju dimana-mana membuatku enggan keluar rumah. Saat ini aku bersantai di depan perapian dengan segelas cokelat hangat. Memandang dan mengenang. Aku tidak tahu entah sihir apa yang membuatku seperti ini, namun cokelat hangat dan salju selalu ampuh membawaku kembali ke masa lalu. Ke masa remajaku yang sangat mendebarkan. Merasakan sulitnya beradaptasi, bertarung dengan Pangeran Kegelapan, hingga mencintai seorang pahlawan. Pandanganku menerawang menembus ruang. Kembali ke masa rapuhku bertahun-tahun silam.
Hogwarts, 1994
Pesta dansa Yule Ball itu mengubah segalanya. Mengubah pandanganku terhadap murid-murid Durmstrang yang menawan, menepis persepsiku terhadap murid-murid Beauxbatons yang menyita perhatian, sekaligus menegaskan perasaanku pada Ron Weasley. Ya, Ronald Billius Weasley. Cowok berambut jahe yang tidak sekedar kusukai, tetapi kucintai setengah mati. Cowok yang pada malam itu sukses membuatku patah hati.
Malam itu setelah Yule Ball selesai, aku menangis sejadi-jadinya di kamarku. Meratapi kepingan-kepingan hatiku yang telah hancur. Aku patah hati, aku hancur karena cinta yang tak akan pernah terbalas. Masih terngiang di benakku pertengkaran heboh di Aula Besar tadi, yang membuatku ingin mengakhiri hidupku di Menara Astronomi.
Aku dan Parvati berjalan riang menuju tangga pualam di Aula Besar. Berdansa dengan cowok-cowok Beauxbatons cukup menyenangkan. Setidaknya bisa melenyapkan kejengkelan kami karena diabaikan oleh pasangan dansa kami, Harry dan Ron.
"Padma, lihat!" ujar Parvati sambil menunjuk ke arah Harry, Ron, dan Hermione berada.
"Apa? Astaga! Apakah mereka bertengkar?"
"Ayo kita lihat!"
Kami pun berjalan menuju mereka. Aku bisa melihat Hermione tampak gusar, sanggul licinnya sudah tidak rapi lagi. Wajahnya memerah. Sama halnya dengan Ron, yang mengepalkan tangannya dan berteriak marah.
"Dia anak Durmstrang!" bentak Ron. "Dia bertanding melawan Harry! Melawan Hogwarts! Kau... kau…" jelas Ron mencari kata-kata yang cukup keras untuk menjelaskan kesalahan Hermione, "bergaul dengan musuh, tahu!"
Hermione ternganga. "Jangan konyol!" katanya sejenak kemudian. "Musuh! Astaga... siapa yang begitu bersemangat ketika melihatnya datang? Siapa yang menginginkan tanda tangannya? Siapa yang punya bonekanya di dalam kamarnya?"
Ron mengabaikan hal ini. "Kurasa dia memintamu untuk pergi bersamanya ketika kalian berdua di perpustakaan?"
"Ya, betul," kata Hermione, rona di pipinya semakin merah. "Jadi kenapa?"
"Bagaimana kejadiannya-kau mengajaknya bergabung di spew, kan?"
"Tidak! Kalau kau memang ingin tahu, dia... dia bilang dia ke perpustakaan setiap hari untuk mencari kesempatan bicara denganku, tetapi dia tak kunjung punya keberanian!" Hermione mengucapkan kata-kata itu amat cepat, dan pipinya menjadi merah sekali sehingga sewarna dengan jubah Parvati.
"Yeah, tapi... itu kan kata dia," kata Ron sangar.
"Dan apa maksudmu?"
"Jelas, kan? Dia murid Karkaroff, kan? Dia tahu siapa yang selalu bersamamu... Dia cuma mencari cara lebih dekat dengan Harry untuk mendapat informasi dari teman terdekatnya atau agar bisa cukup dekat untuk menyihirnya..."
Wajah Hermione tampak seakan Ron baru saja menamparnya. Ketika bicara, suaranya bergetar. "Asal kau tahu saja, dia tidak menanyakan satu pertanyaan pun tentang Harry, sama sekali tidak..."
Secepat kilat Ron ganti haluan. "Kalau begitu dia mengharap kau membantunya memecahkan teka-teki telurnya! Kurasa kalian asyik bertukar pikiran di perpustakaan..."
"Aku tak pernah membantunya soal telur itu!" kata Hermione, tampak berang. Dan anak-anak yang berlalu-lalang di Aula mulai memperhatikan mereka. "Tak pernah. Bagaimana mungkin kau mengatakan sesuatu seperti itu-aku ingin Harry memenangkan turnamen, Harry tahu itu. Iya kan, Harry?"
"Caramu menunjukkannya aneh benar," cemooh Ron.
"Ide utama turnamen ini adalah untuk mengenal penyihir dari negara lain dan berteman dengan mereka!" kata Hermione panas.
"Bukan!" teriak Ron. "Yang utama adalah menang!"
Hening sejenak. Aku melihat pundak Hermione bergetar, ia terisak pelan. Kemudian ia mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata.
"Nah, kalau kau tidak suka, kau tahu solusinya, kan?" ujar Hermione dingin.
"Oh yeah?" balas Ron dengan nada mencemooh. "Apa solusinya?"
"Kalau lain kali ada pesta dansa lagi, ajak aku sebelum orang lain mengajakku, dan jangan anggap aku sebagai cadangan terakhir!" teriak Hermione lantang kemudian berbalik menaiki tangga.
Mulut Ron membuka-menutup tanpa suara seperti ikan mas yang dikeluarkan dari air, sementara Hermione berbalik dan berlari menaiki tangga ke kamarnya. Ron menoleh memandang Harry.
"Ah..." gagapnya, termangu-mangu, "ah... itu membuktikan... masalahnya sama sekali bukan itu..."
Ron Weasley cemburu, aku tahu itu. Dia menyukai Hermione Granger, dan Hermione juga menyukainya. Terbukti dari pertengkaran mereka tadi. Semuanya begitu jelas. Mereka saling menyukai. Hal itu seakan menjadi sebuah vonis untukku. Bahwa aku, Padma Patil, tidak akan pernah mendapatkan cinta seorang Ron Weasley.
Seakan-akan musibah patah hati tidak cukup, masalah lain mengahampiriku. Nilai-nilaiku yang merosot, pertengkaranku dengan teman-teman bahkan saudara kembarku sendiri. Bangkitnya Pangeran Kegelapan dan ketakutan orangtuaku yang memaksa aku dan Parvati agar tidak kembali ke Hogwarts. Tentu saja aku menolak mentah-mentah ide tersebut. Akhirnya aku dan Parvati kembali ke Hogwarts, menyelesaikan O.W.L, hingga turut andil dalam Perang Besar Hogwarts.
Yah, begitulah hidup. Kita merasakan pahit dan manis, melihat hitam dan putih, serta merasakan titik terendah dan titik tertinggi dalam hidup. Namun, kita harus berusaha untuk menetralkan rasa pahit dan manis tersebut. Kita harus menyeimbangkan hitam dan putih. Kita harus berusaha untuk tidak tenggelam di titik terendah, dan tidak terjatuh dalam titik tertinggi.
Sebaiknya kuceritakan dari awal. Kuharap kau mau mendengarkan.
Inilah kisahku.
Bagaimana? Apakah ini layak untuk dilanjutkan?
Silahkan review apa saja.
Review dari pembaca merupakan asupan gizi bagi saya untuk melanjutkan fic ini :D
Salam sihir,
Last-Heir Black.
