Disclaimer : demi neptunus naruto bukan punya saya, punya masashi sensei. sasuke punya saya *dibantai masashi sensei dan sakura
Warning : OOC, TYPO tingkat akut, AU, OOT, EYD berantakan, flame tidak diijinkan, tidak di ijinkan untuk mengcopy fic ini tanpa ijin dari author.
.
.
Peringatan..!
Fic ini mengandung unsur dewasa meskipun 'mungkin' adegan kekerasan 'mungkin' kehidupan yang tidak patut tiru 'hanya yang unsur negatif saja tidak boleh' bijaklah menjadi seorang reader, author sudah peringatkan sejak awal, jika ada hal yang mengganjal dari fic ini, maka baca kembali peringatannya. XD
.
Don't Like Don't Read !
.
~ Mafia ~
[chapter 1]
.
.
.
Aku? Ahk, baiklah, aku hanya seorang anak sekolahan, lebih tempatnya murid SMP kelas 3 di salah satu sekolah bergengsi di Konoha, sekolah yang bagus tentu saja isinya pun bagus dan sangat berkelas, ini sungguh menyebalkan, hanya terdengar dari namanya saja, murid dari sekolah lain akan merasa minder, tapi, bagaimana dengan isinya? Hanya murid manja yang sok ingin mengatur, aku tahu kedudukan mereka sangat wah, seakan mereka adalah tuhan yang bisa berkuasa, sudahlah, aku tidak punya pemikiran dan sikap seperti mereka, tugasku sekarang ini hanya belajar-bejalar- dan belajar, peringkatku tidak pernah turun sejak kelas satu, aku tidak pernah mencari masalah dengan siapapun, aku ingin segera menyelesaikan sekolahku dan mencampai tujuan utamaku.
Menyembunyikan latar belakang keluargaku adalah hal yang terbaik, aku tidak benar-benar ingin ketahuan oleh siapapun, aku sedikit jarang bergaul dengan siapapun di sekolah, hanya buku yang selalu bersamaku, orang tuaku seorang mafia yang sangat di takuti, tapi, aku sama sekali tidak takut pada mereka. Apa kau pernah mendengar, bahkan seekor singa lapar pun tidak akan menerkam anaknya, yaah, seperti itulah orang tua, mereka selalu bersikap baik padaku tapi tidak pada orang lain, dengan memegang kekuasaan dan meskipun tidak menggunakan tangan mereka, tetap saja cara mereka kotor, aku tidak menyukainya, selama ini aku hanya diam saja dan menunggu saatnya aku bisa menjatuhkan mereka, tapi tidak sebagai anak yang keras kepala, aku akan mengalahkan mereka dengan kepintaran, bukan seperti mengambek dan marah besar pada mereka, itu hanya kekanak-kanakan dan tidak akan menghasilkan apa-apa.
Mereka tidak pernah memanjakanku, mereka tahu, anak yang manja tidak akan berguna di masa depan, mereka mengajarkanku cara untuk mandiri dan displin, setiap harinya aku harus tinggal sendirian di rumah yang besar, mereka sibuk menjalankan bisnis yang tentu saja ilegal, aku muak akan hal itu. Tapi, setiap permintaanku akan di kabulkan, jangan berpikir permintaan seperti hura-hura, berpesta, membeli barang-barang yang mahal atau semacam berkeliling dunia, tidak akan, walaupun semua hal yang ku sebutkan tadi bisa dengan mudah mereka kabulkan, tidak, aku hanya meminta mereka membuatkanku perpustakaan pribadi di rumah, bahagianya, dengan begitu aku tidak merasa kesepian di rumah, satu hal lagi, aku tidak tahu apa yang membuatku harus meminta mereka membangun sebuah dojo 'tempat latihan bela diri' di rumah, aku sudah lupa untuk apa hal itu, setiap harinya selain menghabiskan waktu di perpustakaan, aku akan menghajar semua anak buah ayahku, uhm? aku mengingatnya, dojo itu untuk tempat pelampiasan amarahku ketika aku sangat marah pada kedua orang tua, aku tidak peduli dengan anak buahnya yang harus babak belur dan aku pun akan babak belur karena mereka, sejak awal aku sudah mengatakan pada mereka, jangan bersikap seolah-olah aku anak pemimpin mereka, tapi anggap aku musuh mereka, dengan begitu, aku tidak pernah merasakan mereka main-main padaku, beberapa kali aku harus mengalami terkilir dan beberapa luka lebam di tubuhku, semuanya harus merahasiakan hal ini jika orang tua ku pulang, aku tahu mereka sangat takut jika melakukan hal buruk pada putri tunggal seorang pemimpin mafia di Konoha. Mereka mau bekerja sama denganku, aku harus selalu berbohong jika jatuh dari tangga di perustakaan. Orang tua mempercayaiku dan para anak buahnya bisa bernapas lega.
Setiap ke sekolah, aku meminta di turunkan di jalan, sebuah limosin mewah akan terlalu mencolok dengan gayaku, aku tidak suka terlalu menonjol, meskipun jika nilai di papan keluar, namaku yang paling pertama, aku rasa itu cukup menonjol, tapi kedua hal itu berbeda.
Aku tahu setiap gadis akan selalu tampil cantik dan mempesona, apalagi sekolahku yang rata-rata gadis-gadisnya cantik, tentu, aku pikir mereka sudah menghabiskan banyak waktu untuk mempercantik diri tapi tidak mempercantik otak, sayangnya aku tidak ada waktu dengan hal itu, rambut softpink sepinggang ku kepang dua, mereka sering katakan seperti model rambut anak desa, itu tidak penting, mataku sudah minus sejak Sekolah dasar, aku terlalu sering membaca sambil tidur dan terlalu dekat, akhirnya aku kapok dan menyadari betapa pentingnya mata normal, kacamata bulat sebagai pilihanku. Berkat pengobatan dokter spesialis mata, salah satu kenalan ayahku, minus ku tidak bertambah, tapi belum ada tanda-tanda kembali normal, katanya aku harus bersabar, yaa, aku akan menunggu hal itu.
"Sakura...!" Teriakkan ini? aku tidak katakan jika aku harus menyendiri, jika ada yang ingin berteman, aku akan berteman dengan baik, berhenti dan berbalik, gadis berambut cepol dua, dia satu-satunya yang bisa akrab denganku sampai sekarang, aku tidak tahu dengan yang lain, mereka tiba-tiba menjauh satu persatu saat tahu aku tidak akan memberi contekan atau tugas semudah yang mereka pikirkan saat mengucapkan ingin berteman denganku. Dasar munafik.
"Tumben kau telat?" Ucapku, kami tengah berjalan menuju sekolah. Dia murid yang rajin dan tepat waktu.
"Ada yang harus ku kerja di rumah sebelum berangkat." Ucapnya. Gadis ini, panggil saja Tenten, aku menyukainya, dia gadis yang kuat dan mandiri, orang tuanya pengusaha mie dan dia tidak pernah bermanja, meskipun kedudukan orang tuanya tidak bisa menyaingi kedudukan orang tua murid lainnya, dia hanya murid biasa dan bisa di bilang tergolong orang rendahan, tapi tidak untukku, dia sama sepertiku, tidak ada namanya golongan atas atau bawah, kami masa-masa manusia dan tidak ada yang berbeda.
"Baiklah, sebaiknya kita cepat sebelum bel berbunyi." Ucapku, dia mengangguk dan kami berjalan sedikit cepat.
Haruno Sakura, namaku, anak satu-satunya dari Haruno Kizashi dan Haruno Mebuki, SMP kelas 3, berpenampilan kurang menarik, kata mereka, anak seorang mafia, salah satu geng mafia terbesar di Konoha, ini memalukkan. Cita-citaku? Aku ingin menghalahkan orang tuaku sendiri. aku janjikan hal itu!
.
.
.
.
.
.
Sudah kelas 3 dan tugas semakin banyak, aku juga harus siap-siap mengikuti ujian akhir sekolah, aku santai melakukannya karena aku sudah belajar, Tenten akan bertanya jika mendapati kesulitan, aku akan senang membantunya, setidaknya dia bahkan tidak pernah meminta tugas dariku dia hanya akan menyelesaikan tugasnya sendirian, dan jika ada yang tidak di pahaminya, dia akan menghubungiku. Aku suka teman seperti itu, dari pada beberapa orang yang hanya memanfaatkan.
Aku tidak mengerti dengan sistem sekolah, kelas di rolling, aku terpisah dengan Tenten, uhk! Ini sungguh mengganggu, kenapa aku harus terpisah dari Tenten? Dia termasuk anak yang pintar, aku tidak suka ini. kelas baru dan suasana baru, aku tidak mengenal mereka, walaupun ada yang menyapaku aku hanya harus tersenyum ramah. Aku ingin duduk di sebelah Tenten dan aku rindu mendengarnya bercerita tentang komik yang lucu, aku tidak pernah membaca komik, sejujurnya aku tidak tahu cara membaca komik yang benar, kotak-kotaknya membuatku bingung, aku hanya suka mendengar Tenten bercerita dengan gaya khasnya, dia akan meniru cara bicara dan sedikit memperagakan yang terjadi di komik itu. Membaringkan kepalaku di meja, bosan, aku merasa bosan.
"Hai, namamu Haruno Sakura?" Ucap seorang gadis, aku menoleh dan berpikir jika dia hanya sendiri, 1, 2, 3, 4, aku menghitungnya dalam hati, mereka ada empat orang, bangkit dari meja dan menatap mereka, siapa di antara mereka yang berbicara tadi? Ah, wajah mereka cantik, perawatan diri yang bagus.
"Iya? Ada apa?" Jawabku, aku harus selalu ramah, aku tidak mau menjadi murid yang antisosial.
"Wah, benar, dia Haruno Sakura, aku tidak menyangka bisa sekelas dengannya." Ucap salah satu gadis lainnya, suaranya berbeda dengan yang pertama ku dengar, lalu? Apa uruskanku dengan mereka jika satu kelas?
"Kami sering mendengarmu, kau murid yang sangat pintar, bahkan memegang peringkat pertama sejak kelas satu." Ucap gadis lain. Lagi-lagi suara yang berbeda.
"Apa kami bisa berteman denganmu?" Ucap salah satu gadis lagi, aku melihatnya, suara gadis yang pertama menegurku, aku melihatnya sejenak, haa, tatapan itu, aku tahu mereka akan menjadi teman 'sementara' lagi, wajah mereka terkesan sangat licik.
"Sakuraa...!" Suara ini, aku menoleh, akhirnya, beb tersayangku, sahabat sejatiku datang. Aku tidak tahu kenapa aku lebih merespon panggilan Tenten dan pergi begitu saja menghampiri Tenten dari pada harus merespon ucapan para gadis itu.
"Kenapa kita berpisah? Aku sangat merindukanmu." Ucapku. aku kadang terkesan lebay sendiri di hadapan Tenten.
"Dasar kau ini, aku akan datang ke kelasmu setiap harinya jika sudah bel jam istirahat, ayolah, aku sudah lapar, kita ke kantin." Ucapnya.
"Yeey, makan-makan, aku akan mentraktirmu Tenten." Ucapku, kami berjalan menuju kantin.
"Tidak, aku tidak ingin di traktir olehmu, nanti kau akan minta traktir balik." Ucapnya.
"Huee, aku tidak akan minta traktir balik, sebagai permintaan maaf kita tidak sekelas." Ucapku, aku merasa kesepian jika tidak ada Tenten.
"Untuk apa? Kepala sekolah yang merolling kelas, seharusnya kepala sekolah yang mentraktirku, hahahahaa." Ucapnya. Yang di ucapkannya lebih tepat, aku ikut tertawa. Mungkin hanya kami berdua termasuk murid yang paling norak, tertawa sedikit keras saat berada di koridor, anggun? Untuk apa? Anggun tidak ada gunanya.
Kami terus berjalan, aku sempat merasakan tatapan tidak senang dari mereka tadi, saat aku berlari begitu saja meninggalkan mereka, ya sudahlah, aku juga tidak peduli, kalau mereka mau berteman silahkan saja.
.
.
.
.
.
.
Sebulan berlalu, bosannya, Tenten hanya akan datang ke kelas jika sudah jam istirahat, yang ku lakukannya hanya menghela napas dan sibuk memandangi jendela, biasanya jika saat jam pelajaran aku akan mengganggu Tenten dan membuatnya menjitak kepalaku. Ah..~ bosan. Pelajaran yang sedang di terangkan guru matematika di depan papan sudah ku pelajari, bahkan sudah jauh dari yang tengah dia jelaskan, bosan.
"SAKURA!"
Kaget, ya ampun, guru matematika ini apa tidak bisa bersuara dengan pelan, aku sampai kaget dan menoleh ke arahnya, dia terlihat marah, apa ada yang salah? Perasaan aku tidak melakukan hal yang salah.
"I-iya pak?" Ucapku.
"Kerjakan soal di papan ini dan jelaskan kepada teman-temanmu! Sekarang!" Lagi-lagi suaranya meninggi, aku bisa melihat urat-urat marahnya keluar, apa dia tipe orang bertekanan darah tinggi?
Aku hanya mengikuti apa yang di perintahkannya, berdiri dari kursiku dan berjalan perlahan ke depan, aku bisa mendengar beberapa teman kelasku terdiam dan seperti tengah menatapku, beberapa dari mereka berbisik, bahkan terdengar sampai ke telingaku.
Rasakan! Dia hanya melamun saat pelajaran matematika.
Dasar sombong, bahkan penjelasan sulit seperti ini dia tidak memperhatikannya.
Hahaha, dia terlihat seperti orang bodoh ternyata, aku curiga dengan nilai tertingginya selama dua tahun berturut-turut.
Mungkin saja dia curang, mana mungkin gadis cupu dan tidak menarik itu bisa mendapat nilai yang bagus? Latar belakang orang tuanya saja simpang siur,
Benar-benar, dia mungkin anak orang miskin yang terlalu mempunyai mimpi tinggi bersekolah di sini, dasar tidak tahu diri.
Membosankan, hanya kata itu yang terlintas di pikiranku, aku tiba di depan papan, guru memberiku spidol, wajahnya masih marah saat ku lihat, tapi aku tidak berani menatap matanya, aku tahu, saat orang yang lebih tua marah, jangan sekali-kali menatap mata mereka, itu sama halnya kau seperti membangkang, aku menunduk pasrah. Menatap dua soal di papan tulis dan menghela napas sejenak. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat dan membuat guru matematika yang reseh itu tidak marah lagi, aku mulai menuliskan pengerjakannya, ini cukup mudah tapi penyelesaiannya rumit, aku harus membuatnya lebih mudah di pahami mereka, seperti saat Tenten bertanya dan aku menjelaskannya.
Selesai, dua soal itu selesai dan sudah ku jelaskan seperti yang di minta pak guru. Aku hanya menundukkan kepala saat masih berdiri di depan, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pak guru dan teman kelasku, terasa sunyi. Berbalik ke arah pak guru dan...
"Sudah pak." Ucapku perlahan, aku melihatnya tengah menganga di depan papan. Melihat ke depan, teman-teman kelasku juga seperti pak guru. "Pak, a-apa ada yang salah?" Tanyaku hati-hati, aku sudah mengitungnya di luar kepala dan menurutku benar, penjelasanku juga tidak rumit, justru buku yang di pegangnya itu amat sangat rumit, kenapa pak guru terdiam? ayolah, aku ingin segera duduk.
"Ti-tidak, semua benar dan lebih mudah saat kau jelaskan dari pada buku ini, baiklah kau boleh duduk." Ucapnya. Syukurlah, marah pak guru hilang begitu saja.
Aku berjalan santai menuju kursiku. Lagi-lagi aku merasa di tatap sinis oleh mereka, ahk, masa bodoh, aku tidak tahu ada masalah apa mereka denganku, aku hanya mengerjakan seperti apa yang di minta pak guru.
Pelajaran ini akhirnya berakhir, aku segera menghilang dari kursiku, aku sudah sangat lapar dan menunggu Tenten di koridor. Beberapa menit berlalu dan akhirnya Tenten sudah datang, rasanya hidup kembali saat kau bertemu sahabatmu, itu adalah hal yang terlintas di pikiranku.
.
.
.
.
.
.
Beberapa bulan berlalu, sebentar lagi, tinggal dua minggu akan ujian, ahk, rasanya mau mati saja, kepalaku sakit untuk belajar, aku kadang lebih suka membaca buku, apapun, asal jangan buku pelajaran, aku sudah bosan membaca mereka.
Tiba-tiba ada hal aneh yang terjadi, Tenten tidak lagi datang menemuiku di kelas dan mengajakku ke kantin, perasaanku tidak enak, aku berjalan keluar kelas dan mendatangi kelasnya, di sana aku melihatnya sedang berbicara dan tertawa girang dengan beberapa temannya sekelasnya. Aku tidak bisa menyapanya, terasa ada jarak di antara kami, aku hanya bisa mengintipnya dari jauh dan pergi, ada apa ini? apa hubungan pertemanan kita berakhir sampai di sini? Apa Tenten sama seperti mereka? Aku jadi merasa tidak ingin berteman dengan siapapun, langkahku terhenti saat beberapa gadis menghalangi jalananku, mereka lagi, mereka yang pernah menegur dan meminta ingin menjadi teman.
"Sakura, bisa ikut kami?" Ucap mereka, nada suara mereka terdengar santai dan terlihat senyum di wajah mereka, itu bukan senyum seperti kau senang mengajak seseorang pergi, tapi senyum seperti kau ingin menghancurkan seseorang.
Kami tiba di halaman belakang sekolah yang sunyi, jarang ada murid yang akan lewat di sana, untuk apa mereka mengajakku kemari? Aku sedang tidak mood dan mereka seperti tengah merencanakan sesuatu.
"Hei Sakura, kau ini sebenarnya siapa? Jangan sok hebat di sini." Ucap salah satu dari keempat gadis itu dan mendorong kasar bahu kiriku.
Apa ini namanya pembullyan? Kenapa mereka harus membullyku? menyebalkan, padahal aku sudah berusaha untuk tidak mencolok, berusaha bergaul dan berteman, tidak antisosial, tidak berusaha mencari masalah dengan murid lain dan sekarang? Apa akar masalah dari mereka?
"Maaf, aku tidak mengerti, apa aku bisa kembali ke kelas?" Ucapku Santai. Aku ingin kembali ke kelas saja, melihat Tenten bersama teman sekelasnya membuatku iri, aku sudah kehilangan sahabat.
"Jangan pura-pura bodoh! kamu itu pintar kan!" Ucap gadis lain dan lagi bahuku di dorong, kali ini yang kanan.
"Ahk, sudahlah! Dia itu tidak akan mendengar, dia itu hanya pura-pura, sebaiknya kau beri dia nasehat yang benar agar dia tidak usah sok-sokan di sekolah." Ucap gadis lainnya.
Aku melihat tatapan mereka jadi semakin aneh, aku tahu tatapan apa itu, mereka bukan ingin memberiku nasehat tapi memberiku pelajaran dalam bentuk kekerasan fisik. Apa yang akan ku lakukan saat seperti ini? Aku harus segera mengambil keputusan yang tepat.
Aku membiarkan mereka memukulku, menamparku, kacamataku di buang dan rambutku di acak-acak, apa ini namanya perkelahian antar gadis? Aku tidak merasakan apa-apa, bahkan pukulan anak buah ayahku masih berkali-kali lebih sakit dari pukul mereka.
Akhirnya semua berhenti, ahk, meskipun perih, aku tidak peduli, yang penting mereka sudah kembali ke kelas setelah puas memberiku pelajaran fisik ini, tapi, aku tidak akan menerima setiap hal yang mereka suruhkan padaku, memberi mereka contekan dan menjadi babu bagi mereka, tidak akan, aku akan membuat mereka membayar semua hal ini, tapi tidak sekarang, aku harus bertindak santai dan perlahan.
Kacamataku? Sebelahnya retak, tapi tidak apa-apa setidaknya aku masih bisa melihat, mungkin aku bisa membeli kacamata baru dengan model yang sama. Berjalan perlahan kembali ke kelas. Aku bisa melihat beberapa pasang mata menatapku, aku berpapasan dengan Tenten, aku melihatnya, tatapan kami bertemu, tapi Tenten seakan-akan tidak peduli dan berjalan melewatiku bersama temannya. Aku tahu Tenten, ini bukan dirimu yang sebenarnya, ada hal yang Tenten sembunyikan. Sebelum kembali ke kelas, aku merapikan sedikit keadaanku, memplester pipiku yang terluka. Aku tidak ingin ada masalah baru lagi.
Pelajaran hari ini ku lewatkan dengan tidur, aku sedikit lelah dan bersyukur guru yang mengajar hari ini tidak memperhatikanku tertidur sepanjang pelajarannya. Sekolah hari ini berakhir, aku sudah merapikan buku-buku, melihat sejenak ke arah teman kelasku yang sudah berbuat jahat padaku. Mereka bahkan merasa tidak bersalah. Kelas sudah sepi, aku baru pulang. Berjalan keluar gerbang, rasanya aku tidak ingin pulang, jika pulang pun rumah hanya berisi anak buah ayah dan pembantu, aku pulang melewati arah lain, menjauh dari jalan yang dimana mobil jemputanku akan selalu menungguku pulang, aku ingin berjalan sebentar sebelum pulang.
Menyusuri keramaian kota, aku lupa jika masih mengenakan pakaian seragam, di kota Konoha, akan di kenakan razia bagi anak sekolahan yang masih berkeliaran memakai seragam sekolah di waktu malam, aku masuk di salah satu butik, ah, ini butik milik ibu. Para pegawai di butik sangat baik-baik, mereka bahkan sampai khawatir akan wajahku yang mulai terlihat lebam, aku bisa melihatnya saat berdiri di cermin yang sengaja di taruh di toko itu.
"Anda tidak apa-apa nona Sakura?" Tanya salah satu pegawai ibu.
"Iya, aku baik-baik saja, tadinya hanya jatuh." Ucapku. sepertinya kata jatuh adalah bohong yang terbaik, semua pasti tidak akan bertanya macam-macam lagi jika aku hanya mengatakn jatuh tanpa sengaja.
Aku mulai memilih salah satu baju dan menggantinya, mengatakan pada pegawai di sana untuk tidak memberitahukan siapapun jika aku tadi singgah di butik ini, mereka mengangguk mengerti. Ahk, aku lupa, kacamataku, aku harus singgah di toko kacamata juga, setelah mendapat kacamata yang cocok dengan ukuranku, aku kembali berjalan santai, lebih nyaman saat memakai kacamata yang baru dari pada yang retak tadi.
"Copeeeettt...!"
Hm? Aku mendengar suara seorang wanita dari arah belakangku, segera berbalik dan ada seseorang pria yang berlari dengan tergesah-gesah, aku bisa melihatnya membawa sebuah tas, aku yakin itu bukan tas miliknya, lagi pula seorang pria membawa tas pink nyentrik akan sangat mencolok. Dia berlari ke arahku seakan-akan memberi isyarat jika aku harus membiarkannya lewat jika tidak dia seperti sudah siap akan mendorongku dengan kuat.
Jarak kami semakin dekat, tapi maaf, aku tidak berniat memberimu jalan, aku rasa dia sudah siap mendorongku, tangan kanannya terulur ke depan, dasar bodoh, itu adalah kesempatan terbesarku, harus cepat, aku menarik tangannya yang ingin mendorongku dan dengan berat badannya sendiri membantingnya dengan satu kali dorongan. Pria itu terjatuh hal ini memberiku peluang yang lebih leluasa, tangannya masih ku pegang dan sekali tendangan bagian tulang rusuk sebelah kanan. Aku rasa itu cukup membuatnya kesakitan dan sesak napas.
"Cih, dasar lemah." Umpatku perlahan.
Pria itu terlihat kesakitan, wanita yang teriak tadi sudah datang menghampiriku dan mengambil tasnya segera.
"Oh, terima kasih, terima kasih." Ucapnya. Dia terlihat sangat bersyukur menemukan kembali tasnya.
"Ah, iya, sama-sama." Ucapku.
"Ini ambil-"
"-Tidak usah, maaf aku sedang buru-buru, sebaiknya anda menghubungi pihak berwajib agar pria ini segara di tahan." Ucapku, wanita itu ingin memberiku uang, tapi aku menolaknya dan bergegas pergi.
Beberapa jarak ke depan dan langkahku terhenti dengan seseorang yang tiba-tiba berdiri tepat di hadapanku. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan, wajahnya terlihat datar, bahkan ekspresinya pun tak terlihat. Mau apa dia? Dan kenapa dia menghalangi jalanku? Aku sediit menundukkan wajah, aku yakin wajahku akan terlihat aneh jika dalam keadaan ada beberapa lebam dan plester pada pipiku.
"Kau yang melumpuhkan pria itu?" Tanyanya padaku.
Eh? Apa dia melihatnya? Padahal tadi aku merasa suasananya sepi, bahkan wanita yang teriak tadi cukup jauh jadi dia tidak melihat apa yang tengah ku lakukan pada pria itu, jika di lihat dari jauh, pria itu hanya terkesan jatuh sendiri.
"Maaf, aku tidak tahu, pria itu terjatuh sendiri." Ucapku, aku tidak ingin menatap laki-laki itu, tubuhnya lebih tinggi dariku, tapi aku rasa dia masih anak sekolahan, mungkin sama sepertiku, mungkin saja.
"Wajahmu? Apa kau sudah di pukuli?" Tanyanya lagi, mau apa laki-laki ini, bertanya hal yang bukan urusannya.
"Maaf, aku sedang terburu-buru." Ucapku dan berjalan lebih cepat dan melewatinya, dia tidak menahanku dan membiarkanku pergi, syukurlah, aku tidak ingin terlibat dengan siapa pun.
Merasa sudah cukup untuk berjalan-jalan, aku bergegas pulang, di tengah jalan aku bertemu dengan mereka, anak buah ayahku, mereka sampai repot dan khawatir mencariku, yaa, aku tahu mereka lakukan itu semua demi ayah, mereka orang-orang yang setia, mereka tidak ingin aku kenapa-kenapa selama ayahku keluar negri.
"Nona wajahmu kenapa?" Ucap mereka, ahk tidak lagi, mereka seperti akan mengintrogasiku, jangan sampai mereka tahu jika aku sudah di pukuli teman, sepertinya kata 'teman' tidak cocok untuk mereka, rekan sekolah, yaa, mereka tidak memiliki hubungan apapun denganku.
"Sudahlah, hanya jatuh." Ucapku santai.
Setibanya di rumah aku segera berbaring, cukup lelah juga, aku jarang untuk berjalan-jalan seperti itu, aku tidak senang jika kemana-mana harus di kawal, mereka sangat mencolok.
"Nona, lain kali jangan lakukan seperti itu, setidaknya nona mengatakan jika ingin pergi keluar." Ucap Haku.
Dia adalah pembantu pribadi milik ibu, sejak kecil dia sudah yatim piatu, bahkan dirinya sering di siksa ayah tirinya, ayah membawanya dari tempat ayah tirinya dan memperkerjakannya sebagai pengasuhku sekaligus teman bermainku, itu adalah hal yang di ceritakan Haku padaku. umurnya lebih tua dariku, seharusnya dia menjadi seorang mahasiswa sekarang, tapi dia tidak ingin kuliah, dia merasa cukup tinggal di rumah dan membantuku, kami sering belajar bersama, aku mengajarkan hal apapun padanya, kali ini dia sudah kembali. ibu sering mengajaknya pergi dan membuatku kesepian. Oh iya, jangan sampai tertipu dengan wajah cantiknya, dia adalah seorang pria.
"Haku? Kau sudah kembali?" Ucapku.
"Iya nona, Ahk, nona? Apa yang terjadi?" Ucapnya, dia segera menghampiriku setelah melihat wajahku. Dia melihat wajahku yang sudah terlihat lebam. "Siapa yang sudah melakukannya? Aku rasa hari ini tidak ada latihan di dojo kan?" Ucapnya.
"Tidak perlu khawatir seperti itu, aku baik-baik saja." Ucapku dan tersenyum. Aku tidak ingin membuatnya khawatir berlebihan, dia terlihat seperti kakak laki-laki bagiku.
"Katakan jika kau punya masalah." Ucapnya.
"Uhm, apa luka ini akan sembuh?" Ucapku, aku mengabaikan ucapannya.
"Sebaiknya di kompres dulu, biar aku ambilkan airnya." Ucapnya.
Dia menghilang dari hadapanku dan bergegas kembali dengan membawa air hangat dan handuk.
"Tolong lepas kacamatamu." Ucapnya. Dia menatap kacamataku. "Ini kacamata baru, dimana kacamata lama mu?" Tanyanya.
"Tidak sengaja jatuh dan keinjak, hei, kau ini bahkan mengetahui kacamataku." Ucapku, bahkan dia tahu jika aku sudah mengganti kacamata.
"Aku yang memilihnya saat itu, tuan besar memintaku." Ucapnya.
Pantas saja, ahk, aku harus berbohong padanya lagi, dia mulai mengompres perlahan wajahku. Semoga tidak ada pembengkakan di sana.
"Haku." Panggilku.
"Hmm?"
"Kenapa kau tidak berpenampilan seperti pria pada umumnya? Kau itukan cukup tampan, jadi terlihat seperti pria cantik nantinya." Ucapku. Dia membiarkan rambutnya panjang, bahkan sama panjang dengan rambutku.
"Aku lebih percaya diri seperti ini nona." Ucapnya. Dia terkesan seperti wanita dewasa. Bukan pria dewasa.
"Sakura, ingat, panggil namaku, tidak ada ayah di rumah, kau tidak perlu seformal itu." Ucapku, aku malas di panggil 'nona'.
"Baiklah, nona Sakura."
"Buang 'Nona'nya...!" Ucapku kesal. Dia hanya tertawa pelan.
Setelah mengompres wajahku, Haku memberiku obat penghilang rasa sakit, aku tidak tahu jika sampai harus meminum obat. Padahal hanya luka biasa. Berbaring di kasurku dan Haku pamit untuk keluar. Tiba-tiba aku kembali mengingat laki-laki tadi, dia seperti melihatku, tapi selama aku tidak mengatakan 'iya aku yang menghajar pria itu' semua akan baik-baik saja, iya, semua akan baik-baik saja, aku tidak ingin terlibat dengan orang tidak ku ketahui.
.
.
.
.
.
Esok harinya, berjalan seperti biasa setelah turun dari limosin, Haku sampai memberiku peringatakn untuk tidak pergi setelah pulang sekolah. Berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah, mataku tertuju pada seorang gadis, Tenten, dia tengah berjalan sendirian, biasanya kami akan berjalan bersama sambil bercerita hingga ke kelas, apa masa-masa itu benar-benar sudah hilang? Berjalan lebih cepat, aku butuh penjelasannya, kenapa dia tiba-tiba menjauh dan tidak peduli padaku.
"Tenten." Sapaku perlahan. Aku bisa melihat wajahnya tadi, dia cukup terkejut dan kembali tenang. Dia bahkan tidak ingin menatapku.
"Ada apa?" Ucapnya dingin.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya merasa senang jika kau baik-baik saja dan akhirnya mempunyai banyak teman." Ucapnya. Aku tahu itu bukanlah yang ingin aku katakan, tapi aku tidak punya hak untuk ikut campur kehidupan Tenten, dia berhak memutuskan dengan siapa dia akan berteman. "Baiklah, aku duluan." Ucapku.
"Lukamu.. uhmm apa kau baik-baik saja?" Tanyanya. Aku sedikit terkejut, dia menanyai hal itu, aku pikir dia tidak peduli dengan keadaanku kemarin.
"Uhm, aku baik-baik saja, dah." Ucapku dan bergegas pergi. Rasanya sedikit sesak, aku tahu Tenten masih ingin bersahabat denganku, tapi dia seakan tidak bisa menolak sesuatu yang membuatnya harus menjauh dariku.
Sakura, aku minta maaf, hiks.
Tiba di kelas, suasana di kelas terasa mendingin, tatapan teman-teman kelasku seakan menajam ke arahku, ada apa lagi? Aku benar-benar tidak ingin bermasalah. Tanpa sengaja tatapanku mengarah ke empat teman kelasku yang membullyku kemarin, mereka terlihat menyebalkan dan tersenyum licik. Aku tahu, mereka akan melakukan hal buruk lagi. Aku sudah duduk di kursiku. Aku rasa mereka berdiri dan datang menghampiriku.
"Sakura, kau tahu kan, ada tugas hari ini. Apa boleh kami meminjam buku tugasmu dan juga kami mau minta tolong belikan minuman dingin." Ucap salah satu dari mereka.
Aku terdiam, bersikap santai dan tidak memperdulikan apa yang mereka ucapkan.
"Sakura, apa kau tidak mendengar kami!" Suara mereka mulai meninggi, aku bisa melihat murid lain memilih untuk tidak ikut campur dan merasa di mejaku sedang tidak terjadi apa-apa.
Mereka semakin kesal dan mencoba mengambil buku tugasu secara paksa, tanganku menahan tangannya dan jika aku tidak menahan diri aku bisa mematahkan tangannya.
"AAAAHK..! SAKIT!"
Dia teriak kesakitan, bahkan aku tidak membuatnya patah, dia menarik tangannya dan menangis menahan rasa sakit.
"Hei, kau berani melawan kami ahk!" Temannya membentakku dan menarik paksa kerah bajuku hingga membuatku berdiri dan menatap wajahnya yang penuh make up itu, dasar, masih SMP dan sudah berdandan, aku menatap datar ke arahnya, aku sedang tidak ingin berkelahi, menatap jam dinding, saat ini guru sudah berjalan ke arah kelas dan sebentar lagi sampai. Melirik ke sana kemari, murid lain masih tidak ingin melihat ke arah mejaku, ini kesempatanku, aku menendang keras tulang kering gadis yang mencengkram kerahku ini, dia melepaskan tangannya dan memegang kakinya yang sakit.
Sisa dua orang lagi, mereka terlihat sangat marah dengan dua temannya yang merasa kesakitan karena ulahku, mereka tidak peduli lagi dan segera menyerangku.
"Berhenti!"
Sesuai perhitunganku, guru masuk dan melihat mereka menyerangku.
"Apa yang kalian lakukan pada Haruno! Kalian ikut bapak ke ruangan kepala sekolah!" Ucap guru itu dengan nada tegas.
Guru itu terlihat marah dan langsung mengajak dua murid yang sudah menyerangku ke kantor kepala sekolah, sementara dua yang lainnya memilih kembali ke kursinya dan tidak ingin ikut di bawa ke ruangan kepala sekolah. Baiklah, ini sudah cukup, lain kali aku akan mematahkan tangan dan kaki mereka jika kembali macam-macam denganku.
Dua murid itu belum kembali ke kelas dan aku juga di panggil ke ruangan kepala sekolah. Mereka sampai ribut mengatakan aku duluan yang mencari masalah, aku hanya terdiam dan menunduk, kepala sekolah berjalan ke arahku dan mengangkat wajahku, tentu saja dia ingin melihat apa yang terjadi, pinggir bibirku sedikit robek, mereka tadi memukul berkali-kali di tempat yang sama, aku rasa luka lebam kemarin masih akan terlihat dan plester yag ku lepas menyisahkan luka gores.
"Apa yang sebaiknya hukuman di berikan pada mereka?" Tanya kepala sekolah padaku.
"Ha! Apa? Kami sudah jelaskan jika Sakura duluan yang macam-macam pada kami." Mereka mulai membela diri.
Aku rasa sekolahku adalah sekolah yang paling adil dalam masalah memberi hukuman, pak kepala sekolah tidak takut dengan latar belakang orang tua mereka yang mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala sekolah yang adil. Sejujurnya, kepala sekolah berada di dalam naungan ayahku, mereka teman dekat, tapi pak kepala sekolah mementingkan keadilan dan tidak ada berani macam-macam padanya, dia berhak melakukan hal yang benar, mereka, orang tua murid yang anak-anaknya hanya melakukan kenakalan di sekolah tidak dapat berbuat apa-apa, tentu saja, hukuman untuk murid yang nakal adalah wajar.
"Aku ingin mendengar dari sisimu Sakura." Ucap pak kepala sekolah.
"Mereka meminta paksa buku tugasku, aku tidak bisa memberikannya dan mereka marah padaku." Ucapku, polos.
"Baiklah, hukuman kalian bersihkan seluruh kamar mandi selama seminggu."
"Apa!"
"Jika kalian menolak, hukuman kalian akan di tambah."
Mereka sudah mendapat hukumannya, pak kepala sekolah menyuruhku untuk ke ruangan UKS, sudut bibirku harus di plester, berbalik sejenak dan menatap ke arah mereka, saat ini yang terbaik adalah melempar senyum meremehkan ke arah mereka. Ini sangat mudah, biarkan pembalasan itu mengalir begitu saja.
Berjalan ke arah UKS, suasana koridor sangat sepi, saat ini murid-murid masih belajar.
"Permisi." Ucapku dan berjalan masuk, di sana ada seorang guru kesehatan.
"Oh, Haruno Sakura. Ada apa?" Ucanya, dia mengingat setiap murid di sekolah ini, guru yang hebat, aku bahkan jarang ke ruang UKS.
"Hanya butuh sedikit pertolongan." Ucapku.
Dia menyuruhku duduk di kursi yang berhadapan dengannya, kemudian dia melihat ke arah wajahku. Setelahnya dia mengambil obat merah dan plester.
"Aku rasa ini luka pukulan, apa kau berkelahi? Aku rasa kau murid yang pintar dan teladan, tidak mungkin kau berkelahi." Ucapnya.
"Aku tidak punya masalah dengan mereka dan tiba-tiba saja mereka menyerangku." Ucapku.
Bughht.
Aku sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang seperti jatuh dari ranjang yang di sediakan di ruangan uks ini, tapi ranjang itu tertutup gorden putih.
"Tenten, apa kau baik-baik saja? Apa kau masih pusing?" Ucap Anko.
Eh? Tenten? Aku melihatnya keluar dari balik gorden, tatapannya terlihat sedih.
"Tidak sensei, aku mulai merasa baikkan, hanya saja tadi tidak sengaja hilang kendali dan terjatuh." Ucap Tenten.
"Uhm, sebaiknya kau beristirahat lagi." Saran Anko.
Tenten mengangguk dan menatap ke arahku, tatapan kami bertemu.
"Apa kau sakit Tenten?" Tanyaku, aku merasa sedikit khawatir padanya.
Dia tidak menjawab dan kembali berbaring di ranjang, bahkan saat seperti ini dia tidak ingin berbicara denganku, padahal tadi pagi kita sempat berbicara.
"Tenten hanya merasa pusing, aku sudah memberinya obat dan dia ku biarkan beristirahat di ruangan UKS." Jelas Anko.
Aku hanya terdiam, Anko sensei sudah mengobati lukaku, aku pamit padanya dan juga pada Tenten meskipun dia tidak menjawabnya. Berjalan kembali ke kelas, guru masih menjelaskan beberapa materi, aku di persilahkan masuk, berjalan menuju mejaku, aku bisa merasakan jika mereka yang tadi sudah mencari masalah denganku menatap sangat kesal, aku rasa mereka akan membalasku lebih parah dari ini, lagi-lagi aku akan repot dengan hal yang tidak berguna sama sekali, ini semacam lingkaran setan, dimana jika kau membalas, mereka akan kembali membalas dan akan berlanjut hingga salah satunya tidak mampu membalas lagi. Apa yang harus ku lakukan agar mereka berhenti?
Pelajaran berakhir, aku segera menghalangi mereka untuk pulang, meskipun mereka terlihat marah tapi aku harap mereka mau tinggal hingga kelas sepi. Sekarang semua murid sudah pulang.
"Ada apa? Apa kau mau membuat kami di hukum lebih parah lagi!"
"Kau sebenarnya siapa? Bahkan kau membuat tanganku terluka!"
"Kau juga sudah menendang kakiku, apa kau tahu rasanya sakit sekali!"
Mereka mulai protes padaku, ini sungguh lucu, merekalah yang berbuat salah padaku, awalnya.
"Aku hanya ingin bertanya pada kalian, kenapa kalian menggangguku? Aku tidak pernah punya masalah dengan kalian?" Ucapku, aku ingin semua berakhir dan aku tidak ingin punya masalah apa-apa lagi kedepannya.
Mereka terdiam dan saling bertatapan, aku rasa mereka merasa bingung dan tidak tahu jawaban apa yang mesti mereka ucapkan.
"Kami iri padamu! Nilaimu selalu bagus, meskipun kau tidak memperhatikan pelajaran, kau bahkan bukan siapa-siapa, dandanmu seperti murid miskin yang berharap beasiswa dari sekolah, kami rasa ini bukan tempatmu, kau bahkan tidak ingin berteman dan membantu kami mengerjakan tugas." Ucap salah satu dari mereka.
Benar saja, alasan konyol, ini sangat konyol, mereka mempermasalahkan hal yang tidak perlu di permasalahkan.
"Akan aku jelaskan, pertama, aku selalu belajar keras di rumah, kedua, aku tidak suka berdandan, itu menyita waktu dan aku tidak suka memakai apapun di wajahku, ketiga, aku tidak suka berteman dengan orang-orang yang hanya memanfaatkan temannya." Jelasku.
Mereka terdiam, aku rasa otak mereka buntu dan tidak bisa berpikir untuk membalas ucapanku yang lebih logis dari pada harus menyampaikan sebuah angan-angan.
"Jangan berpura-pura! kami tahu, bahkan murid dari kelas lain bisa memanfaatkanmu, kenapa kami tidak? kami sampai harus melarangnya untuk bertemu denganmu, dia tidak ingin mengatakan bagaimana cara bisa memanfaatkanmu dengan mudah. Ha, bahkan dengan sedikit ancaman dia sangat takut." Ucap salah satu dari mereka.
Apa? Jadi? Mereka yang membuat Tenten seperti ini? dia bahkan menjauh dariku. Semua gara-gara mereka.
"Apa yang kalian lakukan padanya?" Tanyaku, aku ingin mendengar semuanya.
"Ha, dia hanya murid biasa juga, kebetulan ayahku yang memberi modal pada ayahnya, aku hanya sedikit mengancamnya jika dia tidak mengikuti apa yang aku perintahkan, ayahnya akan bangkrut." Ucapnya, aku menatap murid gadis ini. Dia terlihat senang untuk melakukan hal buruk kepada orang lain, bahkan dengan menggunakan kekuasaan orang tuanya.
Sudah cukup, aku tidak bisa menahan emosiku lagi ini sungguh keterlaluan, mereka membuat satu-satunya sahabatku terpisah, dia bahkan tidak ingin berbicara padaku.
Braakkkkkk...
Aku harap meja itu akan segera di ganti. Aku benar-benar kesal dan mematahkan mejaku sendiri, melihat ke arah mereka dan aku tidak akan main-main lagi. Mungkin mematahkan tangan mereka satu persatu akan lebih baik.
"A-ada apa denganmu Sakura, kau sudah memukul dan kami mendapat hukuman." Ucap mereka secara bergantian. Mereka takut? Yang benar saja, bahkan saat di belakang sekolah mereka memukulku tanpa ampun dan merasa sangat bangga.
"Aku akan memberitahukan kalian cara melukai yang benar." Ucapku.
Menarik salah satu dari mereka aku hanya memegang tangannya dan membuatnya teriak kesakitan sampai-sampai temannya yang lainnya meminta ampun untuk tidak melukai temannya yang sedang sedang berada di hadapanku. Sejujurnya aku tidak benar-benar memegangnya, tapi meremas pergelangan tangannya, caranya ini di ajari oleh orang-orang terlatih anak buah ayahku, cara cepat untuk melumpuhkan orang.
"Sakura!"
Aku segera melepaskan tangan gadis itu dan mendorongnya. Suara ini, suara milik Tenten, aku berbalik dan dia menatapku, dia menatap ke arahku dengan penuh tanda tanya dan rasa takut. Apa dia melihatku melakukannya?
"Tenten? A-aku-"
Belum sempat aku mengucapkan apa-apa dia segera menarikku keluar kelas, kami berlari sepanjang koridor hingga keluar sekolah. Kenapa Tenten melakukan hal ini padaku? Tenten melepaskan tangannya dan kami sudah berada di depan gerbang sekolah. Rasanya cukup lelah kami masih ngos-ngosan.
"Aku tahu, kau akan sangat mudah melawan mereka, tapi kau menahannya selama ini, aku hanya tidak ingin mereka mencampuri urusan keluargaku dengan urusanku di sekolah, lagi pula aku berteman denganmu bukan untuk memanfaatkanmu, mereka salah paham dan berdampak buruk pada hubungan pertemanan kita. Aku minta maaf Sakura." Ucap Tenten, dia sudah menjelaskannya panjang lebar.
Memeluknya erat, aku tahu dia adalah sahabat terbaikku. Aku tidak boleh membuang kepercayaannya selama ini.
"Aku minta maaf Tenten, ini semua kesalahanku, jika saja aku menurut pada mereka-"
"-Tidak Sakura, yang mereka lakukan itu salah, kau sudah benar melakukanya dengan menolak permintaan mereka, aku hanya tidak ingin kau di perbudak mereka demi kepentingan mereka sendiri." Ucap Tenten.
Aku melepaskan pelukkanku dan menatap Tenten. Dia tersenyum padaku. Uhm, aku tidak ingin melihatnya terlihat dingin lagi padaku.
"Sampai kapanpun kita akan tetap berteman, janji?" Ucapku padanya dan menaikkan jari kelingkinku.
"Janji." UcapTenten dan mengait kelingkinnya di kelingkinku.
Apa ini sudah berakhir? Aku harap sudah, aku ingin kembali bercanda gurau dengan Tenten, aku ingin kita tetap ke kantin bersama, aku ingin mendengar Tenten bercerita sambil memperagakannya, aku ingin kita belajar bersama, meskipun beda kelas aku ingin kita tetap bersama.
.
.
.
.
.
Ujian akhir sekolah di mulai. Sebelumnya, setelah kejadian di kelas, murid-murid yang menggangguku jadi pendiam dan tidak menggangguku lagi, aku rasa mereka sudah kapok dan tidak akan membalas, ah, itulah hal yang ku inginkan, aku tidak ingin ada masalah lagi.
Aku mengikuti ujian dengan serius, aku ingin nilai terbaik lagi, aku dan Tenten akan belajar bersama setelah ujian selesai. Tanpa terasa ujian akhir sekolah berakhir, tinggal menunggu hasil dan aku bisa terlepas dari sekolah ini, tapi aku ingin tetap ke sekolah yang sama dengan Tenten.
"Kau akan lanjut dimana?" Tanyaku pada Tenten saat kami tengah berada di kantin sekolah. Tenten terdiam, bahkan dia berhenti untuk memakan roti isinya. "Ada apa?" Tanyaku lagi, aku bisa melihatnya menghela napas.
"Mungkin setelah ini aku akan pindah kota. Aku tidak akan di Konoha lagi Sakura." Ucapnya.
"Kenapa?" Aku terkejut mendengar hal ini, kenapa Tenten Harus pindah.
"Sepertinya kami tidak cocok tinggal di kota besar ini." Ucapnya.
"Apa ada yang terjadi pada keluargamu?"
"Tidak apa-apa, ini sudah sering terjadi, aku rasa ini masih hal yang wajar." Ucap Tenten, aku rasa dia menyembunyikan sesuatu.
"Jika saja aku bisa membantumu."
"Hahaha, sudahlah, tenang saja, aku akan memberi nomer ponselku jika aku sudah punya ponsel, apa kau punya nomer ponsel atau nomer rumah? aku akan sering-sering menghubungimu." Ucap Tenten. Dia berusaha tenang dan tetap ceria.
Aku menuliskan nomer rumahku di sebuah kertas dan memberikannya pada Tenten, sebenarnya aku punya ponsel, tapi aku tidak menggunakannya, aku hanya menyimpannya di rumah, lagi pula di larang membawa ponsel di sekolah, guru akan menyitanya. Mungkin jika Tenten sudah memiliki ponsel seperti yang di katakannya, aku akan memberi nomer ponselku.
Masih terasa sedikit ganjal dengan perpindahan Tenten, aku harap tidak ada alasan lain kenapa mereka tiba-tiba pindah. Mungkin aku perlu menyelidikinya sendiri.
"Tenten, boleh aku main ke rumahmu? Kau akan pergi dan aku tidak bisa mengunjungimu lagi jadi, apa boleh?" Ucapku.
"Sekarang?"
"Uhm, sekarang juga boleh."
"Baiklah. Eh, baru kali ini kau ke rumahku yaa, ahk, aku sepertinya belum membereskan kamarku." Ucapnya.
"Tidak apa-apa, aku bisa membantumu beres-beres." Ucapku dan tertawa pelan.
Selama ujian akhir sekolah selesai, kami tidak melakukan apapun tapi masih tetap di suruh ke sekolah, Pulang di waktu yang cepat, jam 1 siang kami sudah boleh pulang.
Rumah Tenten dari sekolah tidak begitu jauh, cukup berjalan beberapa meter dan sekarang aku tiba di sebuah rumah sederhana, dua lantai dan terlihat papan besar di depannya, rumah pembuatan mie, saat masuk aku bisa mencium bau tepung.
"Permisi." Ucapku sopan.
"Tenten sudah pulang? bawa teman yaa. Untung saja ibu sudah membereskan kamarmu." Ucap Ibu Tenten.
"Huaaa, ibu, kau sangat baik, terima kasih." Ucap Tenten, aku rasa dia tidak perlu membereskan kamarnya lagi.
"Salam kenal, namaku Haruno Sakura." Ucapku ramah.
"Selama kenal. Anggap saja rumah sendiri." Ucap Ibu Tenten dengan ramah, ibunya sangat baik, aku hanya tersenyum dan mengikuti Tenten naik ke lantai dua.
Rumah yang sederhana. Tapi cukup nyaman untuk di tinggali. Aku sudah tiba di kamar Tenten, tidak begitu luas, semuanya rapi seperti yang di katakan ibu Tenten, ada sebuah meja kecil dan aku duduk di karpet.
"Kamarku memang seperti ini, tidak begitu luas." Ucapnya.
"Memangnya aku pengukur luas kamar,aku tidak perlu luas kamarmu." Candaku.
"Hahahaha, baiklah, baiklah."
Tok Tok Tok
"Tenten, setidaknya kau harus memberi temanmu minum dan cemilan." Ucap ibu Tenten, pintu kamarnya terbuka, ibu Tenten membawakan dua gelas jus dan beberapa makanan ringan.
"Maaf merepotkan." Ucapku.
"Tidak apa-apa, tamu itu harus di layani juga." Ucap Ibu Tenten ramah.
"Ahk, ibu the best deh. Terima kasih lagi. Eh, Sakura, apa kau mau mencoba mie hasil buatan rumahku?" Ucap Tenten.
"Kalau tidak merepotkan."
"Ahk, temanmu ini sungkan sekali yaa Tenten. Tunggu sebentar yaa, bibi akan membuatkan mie spesial." Ucap Ibu Tenten dan pintu kamar Tenten sudah tertutup.
"Aku jadi membuat ibumu repot." Ucapku, aku merasa tidak enakan.
"Ibu ku sudah katakan tadi, kau jangan sungkan." Ucap Tenten.
Sementara ibu Tenten menyiapkan mienya, aku melihat sekeliling kamar Tenten, mataku tertuju pada rak yang tepat berada di dinding dekat ranjangnya, semuanya buku komik dan bagian bawah buku pelajaran. Banyak sekali buku komiknya.
"Apa kau sudah membaca semua ini?" Tanyaku.
"Sudah, dan kadang aku sering membacanya ulang." Ucap Tenten.
"Kalau itu aku, mungkin berminggu-minggu pun aku tidak akan kelar membaca satu komik." Ucapku. Aku sungguh tidak mengerti cara membaca komik yang benar.
"Hahahaha, sekali-kali kau harus belajar membaca komik. Ini menyenangkan loh." Ucapnya.
Tenten berdiri depan rak komiknya, sepertinya dia tengah mencari komik. Jangan-jangan dia mau menyuruhku belajar membacanya, ahk tidak-tidak, apapun itu, jangan komik, aku pusing membacanya.
"Untukmu." Ucap Tenten, dia memberiku satu komik. Sedikit usang, sepertinya komik lama.
"Tidak Tenten, aku tidak tahu tata cara membaca komik." Ucapku.
"Hahahaa, ambillah, ini hadiah untukmu, sebenarnya ini komik pertamaku, hanya oneshoot saja kok, jadi tidak akan bersambung, kau boleh menyimpannya." Ucap Tenten.
"Tapi, ini pasti komik yang paling berharga, komik pertamamu."
"Uhm, karena itu, aku ingin kau menyimpannya. Aku harap kau bisa membacanya dengan benar, ada beberapa hal yang tersimpan dalam alur komik ini, jika kau membacanya dan memahaminya, aku harap kau bisa sedikit menerapkannya."
"Ini bukan komik dewasa kan?"
"Bu-bukan! mana mungkin aku membaca komik dewasa."
"Hahaha, hanya bercanda, baiklah, akan aku simpan." Ucapku, memasukkan komik itu ke dalam tasku.
"Eh, boleh pinjam toiletmu?" Ucapku.
"Tentu, turun saja ke bawah, toilet ada di lantai bawah dekat dapur." Ucap Tenten.
Setelah mendengar penjelasan Tenten, aku berjalan turun ke arah lantai satu, berjalan masuk ke dapur dan melihat ibu Tenten sedang membuat mie secara tradisional, sangat unik dan bahkan jika aku yang melakukannya aku tidak sanggup.
"Eh, Sakura, ada apa?" Ibu Tenten melihatku.
"Ke toilet." Ucapku.
"Di pintu itu." Ucap ibu Tenten, dia menunjuk pintu berwarna hitam.
Setelah dari kamar mandi, aku terdiam sejenak, memperhatikan ibu Tenten membuat mie. Terlihat sangat melelahkan. Apa ibu Tenten tidak capek.
"Berat?" Tanyaku.
"Ah, lumayan, tapi karena sudah terbiasa, jadi tidak apa-apa kok." Ucap Ibu Tenten.
"Maaf, bukan aku bermaksud ikut campur, tapi apa Tenten benar-benar akan meninggalkan Konoha?" Ucapku.
Ibu Tenten berhenti membuat adonan dan berbalik menatapku.
"Ayah Tenten sudah tidak bisa memperbaiki pabrik rumahan ini, bahkan para pekerja kami sudah di pulangkan, kami tidak bisa menggaji mereka lagi. Setelah Tenten selesai, kami akan pindah di kota Kirigakure, disana kami akan memulai membangun segala sesuatu dari nol lagi. Lagi pula ayah Tenten mendapat pekerjaan tetap di sana. Mungkin kami akan tetap memproduksi mie." Ucap ibu Tenten.
"Apa tidak cara lain selain pindah?" Tanyaku. Aku seperti ingin menahan Tenten.
"Bibi tahu, kau satu-satu orang yang biasa di ceritakan Tenten, kau pasti merasa sedih dengan Tenten yang tidak bisa tinggal lama di Konoha dan melanjutkan sekolah bersamamu. Maaf, hanya itu yang bisa bibi ucapkan, kami memang harus pindah." Ucapan ibu Tenten membuatku tidak berbicara apa-apa lagi ini sudah keputusan akhir mereka. "Sebaiknya kau naik dan menunggulah." Ucap Ibu Tenten, dia tersenyum seakan-akan ingin membuatku tenang dan tidak perlu cemas.
Aku berjalan naik ke lantai dua dan kembali bercerita dengan Tenten. Tidak beberapa lama, ibu Tenten datang dan membawa semangkuk mie. Bahkan kuahnya di racik sendiri, uhm, bau kuahnya harum, ini hanya mie tanpa toping atau tambahan bahan apapun di atasnya, hanya kuah kaldu dan mie, aku mulai meniup pelan, mienya masih panas, mencoba memakan sedikit.
"Enak. Mienya sungguh enak, kenyal dan tidak lembek, bahkan kuahnya terasa gurih." Ucapku.
"Syukurlah, kalau kau menyukainya. Bibi tinggal dulu yaa." Ucap ibu Tenten dan keluar kamar.
Aku menatap mangkuk berisi mie itu, ini hanya mie biasa, tapi terasa seperti makanan yang mewah.
"Terima kasih, ibu pasti sangat senang kau mengatakan mie hasil buatannya enak." Ucap Tenten.
"Kenapa kau tidak menjual ramen atau semacam makanan yang terbuat dari mie? Mie ini terasa seperti mie yang mewah dengan tekstur yang tidak bisa di ragukan. Pasti banyak yang akan membelinya." Ucapku.
"Ide yang bagus, nanati aku akan membujuk ibuku, semoga dia mau membangun restoran mie sederahan." Ucap Tenten.
"Aku harap restoranmu akan berhasil, jika ada waktu, aku akan mengunjungimu di Kirigakure." Ucapku.
Kami menghabiskan waktu bersama dengan bercerita, aku lebih senang mendengar Tenten bercerita, aku tidak punya banyak hal yang bisa di ceritakan.
"Aku ingin mengunjungi rumahmu." Ucap Tenten tiba-tiba.
"Ha? A-apa? Rumahku? kau ingin berkunjung?" Ucapku. Ini terlalu tiba-tiba, Tenten mau ke rumahku? apa yang akan di pikirkannya nanti jika ke rumahku? aku tidak ingin Tenten berpikir aku sama seperti beberapa murid di sekolah yang memiliki kedudukan tertinggi. Tidak, tidak, Tenten tidak seperti itu. "Apa kau yakin ingin berkunjung?" Tanyaku.
"Tentu, aku juga ingin ke rumahmu, seperti yang kau katakan saat ke rumahku, kita mungkin tidak akan bertemu dalam jangka waktu yang dekat, aku hanya ingin berkunjung. Apa tidak boleh?" Ucap Tenten.
"Ba-baiklah." Ucapku. ahh..~ semoga Tenten tidak memikirkan hal negatif tentangku.
Hari sudah mulai malam, aku pamit, ayah Tenten belum pulang dan aku tidak bisa bertemu dengannya.
"Mau aku antar?" Ucap Tenten.
"Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri." Ucapku.
"Baiklah, hati-hati di jalan." Ucapnya.
"Semoga bisa ketemu lagi yaa Sakura, bibi akan membuatkan mie yang lebih spesial lagi." Ucap ibu Tenten.
"Uhm, aku harap akan bertemu lagi, terima kasih atas mienya." Ucapku.
Aku berjalan meninggalkan rumah Tenten, berjalan ke arah sekolah dan berbelok, aku rasa mereka sudah menunggu sejak tadi. Limosin itu terlalu mencolok parkir di area yang terbuka ini.
"Sakura, kau dari mana saja?" Ucap Haku.
"Hanya ke rumah teman." Ucapku.
"Bisakah jika-"
"-Tidak Haku, aku sedang tidak ingin berdebat. Aku hanya ke rumah teman dan tidak berkeliaran." Ucapku. Aku hanya ke rumah teman dan tidak kemana pun, mereka terlalu menjagaku dan membuatku tidak bisa leluasa, aku merasa terkurung.
"Maafkan aku Sakura." Ucapnya.
Aku masuk ke dalam mobil dan Haku mengikutiku, limosin itu mulai melaju dengan kecepatan sedang.
.
.
.
.
.
Berpikir jika Tenten akan datang di hari yang lain, esoknya setelah pulang sekolah Tenten datang berkunjung. Aku rasa dia sudah mulai mencatat apapun yang perlu dia tanyakan padaku.
Kami sudah berada di kamarku. Tenten masih terdiam dan memandang seluruh kamarku, luas, iya kamarku sangat luas.
"Si-silahkan duduk." Ucapku, aku malah merasa canggung dan mempersilahkan Tenten duduk di sofa yang berada di kamarku. Beberapa pelayan masuk dan membawakan dua cangkir teh dan beberapa kue.
"Sakura! kau itu orang kaya!" Teriak Tenten setelah pelayan-pelayanku keluar.
"Bu-bukan seperti itu, hehehe aku tidak kaya, orang tuaku yang kaya." Ucapku.
"Aku tahu kau itu pintar dan selalu saja pandai menggunakan kata-kata, kau benar, selama kau masih anak sekolahan, orang tuamu yang kaya. Tapi tetap saja, semua ini akan turun padamu Sakura. Apa sebenarnya pekerjaan orang tuamu? Kau bahkan tidak terlihat seperti orang kaya, lebih terlihat gembel." Ucapnya. Aku rasa dia sedikit mengejekku.
"Hahaha, dasar kau Tenten, setidaknya aku masih terlihat lebih baik dari pada seorang gembel." Aku terdiam sejenak, apa yang aku katakan tentang pekerjaan orang tuaku. "Uhmm, orang tuaku bekerja di perusahaan." Ucapku, aku tidak ingin mengatakan hal lain dari mereka.
"Perusahaan pribadi?"
"Iya, semacam itu."
"Sakura, kau sangat hebat."
"Sudah ku katakan, semua itu karena-"
"-Iya-iya, yang hebat pun orang tuamu."
Aku tersenyum, sedikit merasa lega, aku pikir Tenten akan benci padaku dengan keadaan status sosialku ini, tapi tidak, dia menerima keadaanku, kali ini aku akan bercerita dan mengajak Tenten berkeliling ke rumahku. aku menyuruh orang-orang ayahku untuk bersembunyi dan jangan keluar hingga temanku pulang, mereka hanya akan membuat Tenten takut.
"Ini perpusatakaan pribadi!" Ucap Tenten dengan nada suara yang cukup besar.
"Apa ini berlebihan." Ucapku. Aku hanya ingin punya perpustakaan sendiri dan tidak perlu keluar.
"Tidak ada yang berlebihan Sakura, aku tahu kau suka membaca. Banyak juga buku di sini yaa." Ucapnya, berjalan ke arah rak-rak itu dan melihat buku-buku yang ku punya.
"Uhm, begitulah, aku ingin menambah beberapa koleksi buku lagi."
"Pantas saja kau sangat pintar."
"Aku rasa kau juga seperti itu, bahkan kau lebih pintar dariku, meskipun kau suka membaca komik nilaimu masih bagus." Ucapku, aku rasa Tenten lebih memiliki tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dari padaku, dia bahkan bisa membagi waktu membaca komik dan belajar, sedangkan aku, aku hanya belajar terus.
"Tapi nilaimu masih tetap di angkat 1 nona, aku hanya bisa masuk 5 besar sudah syukur." Ucapnya.
Aku hanya tertawa pelan, dia menyinggungku. Tapi yang ku katakan itu benar, Tenten lebih hebat dariku.
Akhirnya Tenten selesai berkunjung dan dia ku antar pulang, rumahku cukup jauh dari rumahnya, aku mengantarnya sampai rumah dan aku bisa melihat ayah Tenten, dari karakternya saja ayah Tenten adalah pekerja yang keras. Ibu Tenten datang menyambutku dan aku merasa sedikit tidak enak memarkirkan mobil yang panjang ini di depan rumah Tenten. Ibu Tenten tidak merasa risih padaku bahkan jika dia tahu aku anak orang kaya, hanya saja ayah Tenten tiba-tiba masuk ke dalam rumah, dia tidak senang melihatku.
"Tenten." Panggilku sebelum dia masuk ke dalam rumahnya.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Untukmu, aku bingung harus memberimu apa, anggap saja ini sebagai kenangan-kenangan terakhir kita." Ucapku.
"Sakura, ini indah sekali." Ucapnya.
Aku memberinya sebuah gelang berbahan besi putih murni yang akan awet lama, sederhana dengan dua manik-manik rubik berwarna merah maron.
"Seseorang menyaranku untuk memberikan ini pada sahabatmu." Ucapku.
"Sepertinya ini sangat mahal."
"Tidak Tenten, tolong jangan lihat benda ini dari harganya, aku hanya ingin kita punya sesuatu yang bisa di kenang setelah kita akan berpisah, lihatlah, gelang ini sepasang." Ucapku dan memperlihatkan gelang yang sama.
"Terima kasih Sakura, kau adalah teman terbaik." Ucap Tenten dan memeluk sekilas, aku pamit padanya untuk pulang dan dia tersenyum sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya.
.
.
.
.
.
Beberapa hari berlalu setelah pengumuman kelulusan, aku menjadi murid dengan nilai kelulusan yang tertinggi, membuat rekor baru untuk sekolah yang mulai aku tinggalkan, dan setelah ini, aku tidak bertemu lagi dengan Tenten.
.
.
TBC
.
.
sedang berusaha membuat fic baru dengan cerita yang semoga tidak membosankan, saat ini alurnya masih sedikit flat, masih banyak yang harus author ceritakan di setiap chapter. judulnya sendiri tidak ingin yang terlalu ribet, hehehe, kenapa harus 'Mafia' ini gara-gara lihat salah satu review reader dan berasa pengen buat yang tentang mafia-mafia-an, alurnya tidak terlalu berat dan santai aja, author masih sulit untuk membuat segala sesuatu di dalam fic terkesan mendetail, padahal berharap bisa membuat fic seperti itu, mungkin ini sebagai ciri khas author untuk membuat fic, author, kadang merasa sedikit iri dengan beberapa author lainnya mengetik fic dengan begitu bagus dan sangat mendetail, jadi kepengen buat seperti itu, tapi author mungkin harus banyak mendapat bahan dari ide-ide cerita lainnya, masih terlalu dini untuk author. sedikit rumit sih, jadi masih ada rasa takut-takut untuk membuat fic yang sangat bagus. hehehehe.
yossh...! semoga fic ini juga bagus dan terima seperti fic-fic author lainnya. rate M untuk jaga-jaga, di chapter kedepannya entah itu akan adegan yang berlebihan, dan rate M agar yang membaca bisa pahami, author malas dengan reader yang tinggalkan review tidak mengerti dengan isi fic author, padahal sudah di buat sesimpel mungkin, rate M juga agar author bisa membuat alur yang rumit. jadi kalau tidak paham tidak usaha review dan tekan back untuk kembali. jangan baca jika tidak suka. :) dan semuanya sudah author cantumkan di paling atas.
okey..~
review plisss...~ _
