Disclaimer: I own nothing but the story.


Ini bukan hal yang direncanakannya.

Aku sudah menyiapkan diri sejak lama. Memikirkan satu-satunya jalan keluar dari semua masalah ini. Aku sudah mengumpulkan niat untuk mengakhirinya karena sangat ini diluar batas kemampuanku.

Aku hanya ingin beristirahat.

Dengan rencana yang kususun rapi dari kemarin, hari ini adalah waktunya bebas dari segala masalah. Tapi menemukan orang lain lebih dulu berada di atap sekolah sungguh diluar ekspetasi. Padahal hari-hari sebelumnya, aku tak pernah melihat seorang pun berada di sana. Lelaki dengan tinggi badan yang sama denganku sedang berdiri di luar pagar pembatas, bersiap melakukan hal yang paling mungkin dilakukan dalam keadaan seperti itu. Dengan perasaan kesal karena telah didahului, aku terpaksa mengajaknya bicara,

"Hey, jangan melakukannya."


.

.

.

What You Know

Chanbaek pairing

WARN: Sho-ai, BL, Yaoi, suicidal [DON'T TRY THIS]

Sorry for typo(s)

.

.

.


Aku hanya bisa menyimpulkan kalau Tuhan pasti menginginkanku untuk berbuat hal baik selama hidup sebelum mengakhirinya. Itu pendapat positif. Negatifnya, aku mencap dewi fortuna sedang tertawa dimana pun dia berada karena berhasil menggagalkan rencanaku. Keberuntunganku benar-benar nol persen hari ini.

Aku menatap kesal pada lelaki yang menoleh setelah mendengar kalimatku. Well, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menghentikan percobaan bunuh diri yang akan dilakukannya. Kata-kata itu juga seperti terpeleset keluar begitu saja. Karena mencegah orang yang akan melakukan bunuh diri adalah reaksi paling normal dan pasti refleks dilakukan.

Padahal aku cuma kesal karena dia mendahului keinginanku.

Lelaki dengan kacamata itu menatapku dengan penuh kepedihan. Pandangannya benar-benar tersiksa seolah dia ingin segera bebas dari belenggu yang dinamakan kehidupan.

"Kau tidak mengerti apapun." ucapnya.

Aku maju selangkah tanpa menutup pintu besi di belakangku sambil berkata, "Kalau begitu, kenapa tidak kau ceritakan saja supaya aku mengerti?"

Si kacamata menatapku lama seolah berpikir apa aku bisa dipercaya atau tidak. Wajahnya masih ragu, namun dia mulai membicarakan alasannya sampai berdiri di luar pagar pembatas, "Kau mungkin sering mendengar cerita ini. Dan kau pasti akan beranggapan bahwa ini adalah alasan terkonyol sampai harus bunuh diri."

Aku tidak bisa menahan pikiranku yang mulai menebak-nebak sebelum ia mengatakannya.

"Aku menyukai seseorang."

Oh, aku tahu ini akan berlanjut kemana.

"Kami begitu dekat satu sama lain, dan aku berpikir bahwa dia pasti merasakan hal yang sama. Karena aku cukup penakut, aku menuliskan surat cinta untuknya. Tapi sehari setelahnya, surat itu tertempel di mading sekolah. Aku sangat terkejut dan malu melihat semua orang berkerumun untuk menertawakannya. Tapi perasaan itu lebih terinjak lagi ketika aku mendengar suara tawa dari orang yang kusukai."

Si kacamata menunduk dalam, tangannya mencengkram erat pagar besi—terbawa perasaan, "padahal… padahal aku mengira kalau kami ditakdirkan untuk bersama setelah segala hal yang telah dilalui. Aku cuma ingin dia menyukaiku juga! Hanya itu saja!"

Aku mengepalkan tanganku dan menghantamkannya ke dinding di sampingku. "Jangan becanda!" aku berseru cukup keras dirundung rasa marah. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir sedangkal itu dan langsung memutuskan untuk mengakhiri hidup?!

Si kacamata terlihat tersentak mendengarnya. Dia mengangkat wajah untuk menatapku tepat di mata. Ekspresinya jauh lebih terkejut lagi melihat pandanganku yang menyiratkan aura membunuh.

"Kau mendahuluiku ke sini dengan alasan kuno seperti itu?"

Dia memutar kakinya, menghadapku lalu menaikkan suaranya, "Memangnya kau tahu apa?! Kau tidak akan pernah mengerti perasaanku!"

Kali ini aku kehilangan kontrol dari ekspresi wajah. Pandanganku memburam, mengingat suatu hal sampai air mata menumpuk.

"Aku tahu…" suaraku terdengar menyakitkan, "kau cuma ingin agar dia melihat ke arahmu dengan pandangan yang sama, kan? Aku tahu itu. Tapi tindakan ini tidak benar."

Dia mencengkram pagar besi dengan kedua tangannya, mencondongkan tubuhnya dan masih menolak argumenku, "Kenapa kau bisa dengan mudahnya mengatakan hal itu? Rasa sakit yang kurasakan karena kekecewaan setelah dikhianati masih belum lenyap sampai sekarang! Aku tidak punya wajah lagi untuk ditampilkan di sekolah ini!"

Aku tidak mengerti kenapa aku begitu mencemaskan lelaki ini dan menahannya agar tidak melompat. Seharusnya aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya. Tapi begitu mengetahui alasannya itu, aku merasa bahwa aku perlu menghentikannya. Dia tidak boleh melakukan bunuh diri hanya karena itu—salah satu masalah yang sama denganku.

Meski akhir ceritaku ditambah kejadian lain. Setelah dikhianati oleh orang yang kusukai, ada orang lain yang merebutnya dariku. Ah sial, gara-gara dia, aku harus teringat masalah ini.

"Kau kecewa karena tidak bisa memiliki apa yang kau inginkan, bukan?" suaraku mulai pecah, "Itu saja sudah beruntung karena kau belum pernah merasakan apapun dicuri langsung darimu!"

Si kacamata menatapku dalam. Dia tersenyum, sekilas kulihat kedua matanya berkaca-kaca. "Aku merasa lebih baik setelah mencurahkan semuanya. Dan terima kasih atas kalimatmu." Lalu menghilang.

Aku berkedip. Hanya ada udara kosong sejauh mata memandang.



"Baiklah, aku akan melakukannya sekarang." ucapku mantap sambil membuka pintu besi lagi keesokan harinya.

Dan ada seseorang dengan tinggi badan yang sama denganku tengah berdiri di luar pagar pembatas.

Damn, not again please.

Aku tidak sempat mencurahkan rasa kesal karena lagi-lagi keduluan orang lain. Kenapa aku tidak bisa bunuh diri dengan tenang dan mudah?! Pada akhirnya aku memanggil lelaki dengan rambut acak-acakan itu, "Hey, jangan melakukannya."

Dia menoleh, rambutnya memiliki potongan tidak rapi, membuatnya terlihat mencuat ke sana-sini.

"Bukan urusanmu." ucapnya singkat.

Aku melihat pandangan yang sama seperti anak kemarin. Menyakitkan seolah terbelenggu oleh kehidupan. Aku tidak mau mempedulikan si kacamata kemarin, karena lelaki lain dengan rambut acak-acakan di ujung pagar kali ini sudah membuatku lebih kesal.

"Aku sudah terlanjur memergokimu mau melompat dari atap. Bagaimana kalau kau bercerita sekalian supaya tidak ada salah paham?"

Dia duduk dengan perlahan, bersandar di pagar besi dengan kaki menjuntai ke bawah. Kalau orang lain melihatnya, pasti sudah ngilu karena takut terjatuh. Tapi bagiku, bagi orang yang siap melayangkan nyawa kapan saja, bagi orang yang sudah menyerah dengan keadaan, tidak lain hanyalah garis finish yang ingin dicapai.

Dia mulai bicara tanpa menoleh, "Kau tahu rasanya tidak dianggap?"

Aku menutup pintu besi tanpa menjawab, memberikannya waktu sebanyak mungkin untuk merangkai kata-kata. Toh, aku tidak bisa melakukan bunuh diri jika ada orang lain di sini. Jadi satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan kisahnya.

"Aku sendirian di kelas. Aku tidak pernah melakukan apapun yang salah. Tapi tidak ada yang menganggapku hanya karena aku begitu lemah dan mudah ditindas. Mereka membully tanpa jeda. Sekalipun ada orang yang tidak melakukannya, mereka tidak menghentikannya. Mereka hanya menatapku prihatin atau memalingkan wajah karena tidak ingin ikut terseret."

Aku melihat rambutnya sekali lagi, menyimpulkan bahwa potongan itu adalah salah satu perbuatan bully.

"Aku tidak tahan lagi. Mereka semua mengabaikanku, para pembully itu mengancamku. Aku lelah selalu berjalan ke kelas yang sama setiap hari hanya untuk mendapati mejaku dicoret-coret atau tasku dipenuhi sampah atau buku-bukuku disobek." Dia menunduk dalam, menarik kaki lalu merapatkannya ke dada, "sebulan terakhir mereka lebih berani lagi. Menyiramku dengan air bekas, memotong rambutku, merusak seragamku sampai melakukan kekerasan fisik."

Aku berjalan mendekat, merosot duduk di sampingnya—hanya saja aku berada di dalam pagar. Punggungku bersandar pada pagar besi, kepalaku menunduk dalam—tenggelam pada ingatan pahit masa lalu.

"Mereka mencuri semuanya dariku."

Aku menggigit pipi dalam mendengar suaranya. Aku tahu rasanya. Aku pernah mengalaminya. Itu salah satu masalah milikku. Perasaan takut setiap melangkahkan kaki ke kelas. Perasaan sedih melihat semua orang memalingkan wajah, tanpa uluran tangan. Perasaan depresi dan terus bertanya 'kenapa di antara semua orang harus aku?'. Perasaan sakit setiap ada luka yang berbekas secara fisik maupun mental.

"Aku tidak akan pernah dianggap ada oleh mereka."

Aku menelan rasa sakit di tenggorokan untuk menemukan kembali suara yang teredam. "Jangan bercanda!" alih-alih sedih, aku memilih mengekspresikan kemarahan, "kau mendahuluiku ke sini dengan alasan kuno seperti itu?"

Dari sudut mataku, dia menoleh dengan terkejut. Tapi aku tidak sanggup melihatnya, aku takut ekspresi menyedihkanku dilihat olehnya. Ekspresi ini tidak sepadan dengan nada suaraku. Jadi aku menyembunyikannya dan menunduk semakin dalam sampai mata tertutup poni.

"Meski kau diperlakukan buruk di kelas, kau masih memiliki keluargamu di rumah, bukan?"

Suaraku agak pecah, betapa memalukannya untuk didengar. Aku tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa sedih dengan kemarahan. Karena asumsi yang akan kukatakan padanya sungguh berbanding terbalik dengan kehidupanku.

"Kau masih dicintai di rumah dan selalu ada makanan yang tersedia untukmu di rumah, kan? Bahkan hari ini pun, makan malam sedang menunggumu di rumah." kali ini air mataku nyaris menetes setelah mengatakannya.

Aku menahan sekuat tenaga. Bayangan tentang kedua orang tuaku yang bertengkar memenuhi pikiran. Setiap aku sampai di rumah dan mengharapkan keadaan damai setelah pembullyan di sekolah, hanya ada teriakan ayah yang dilayangkan untuk ibu. Tangisan ibuku terdengar setelahnya. Bahkan di rumah sekali pun, aku tidak diizinkan beristirahat dari segala masalah yang ada.

Lelaki itu menangis, aku bisa mendengarnya. Aku mengangkat wajahku dan memilih untuk meliriknya dari sudut mata. Dia tersenyum padaku sambil berkata, "Kau benar… aku merasa lapar sekarang. Aku harus pulang." Lalu si rambut acak-acakan itu menghilang.

Aku menoleh ke tempatnya, hanya mendapati udara kosong di sampingku.



Ini benar-benar kutukan.

Hari esok, esoknya lagi, berikutnya lagi dan setiap hari selalu ada orang lain yang mendahuluiku. Mereka semua ingin melakukan hal yang sama denganku. Mengakhiri hidup mereka dengan melompat ke bawah sana. Dan yang kulakukan masih sama—mendengarkan kisah mereka, membuat mereka lega, membuat mereka berbalik dari jalan buntu.

Hal yang sangat miris hanyalah aku. Tidak ada seorang pun yang akan melakukan hal seperti ini padaku. Aku ditinggalkan semua yang pernah kuajak bicara di atap. Hanya mereka yang diuntungkan. Hanya aku yang tidak membagi kisahku dan terus memendam rasa sakit di hati yang sudah retak.

Aku menghentikan langkahku menuju kelas. Merasa sangat marah tiba-tiba. Aku berbalik, berlari menjauhi kelasku. Berlari menuju satu-satunya jalan keluar.

Aku tidak tahan lagi.

Mendorong pintu besi sampai menjeblak terbuka, aku harus dilanda kecewa. Lagi-lagi, orang lain berdiri di luar pembatas.

Untuk pertama kalinya, aku melihat seseorang dengan masalah yang sama denganku. Pandanganku tak lain hanyalah speechless. Setelah menemui semua orang sebelumnya setiap hari, lelaki yang ini mengenakan cardigan merah berlengan panjang. Menyembunyikan perban yang membalut lengannya. Aku masih bisa melihat plester sekaligus memar di wajah dan lehernya.

Aku berkedip sekali, seolah berusaha mengembalikkan diri ke dunia nyata. Tidak menemukan suaraku sama sekali.

Lelaki itu menatapku sambil tersenyum kosong. Namun bagiku, senyumannya menunjukkan berbagai macam emosi. Berbagai perasaan. Ekspresinya sudah pasrah dengan kehidupan. Seperti tahu rutinitasku setiap hari sebelumnya, dia menceritakan alasannya bunuh diri padaku.

"Aku datang ke sini, mengharapkan—"

Ingatanku melayang pada kejadian surat cinta. Suara tawa orang yang kusukai bergema.

"—agar bisa menghapus—"

Berubah pada kejadian dimana semua orang di kelas menolak kehadiranku. Lalu kepada mereka yang memukuliku dan menendangku sampai jatuh.

"—luka yang bertambah setiap harinya—"

Berubah lagi pada kejadian dimana aku menghentikan ayah yang menampar ibu. Dimana ayah langsung mencengkram leherku dan mendorongku jatuh menabrak meja.

"—ketika aku pulang ke rumah."

Tubuhku gemetar. Aku merasakan tekanan setelah ingatan itu datang begitu saja. Napasku yang tidak teratur memperburuk suasana. Aku menemukan kalimat yang akan dikatakan, sebenarnya tidak terlalu penting tapi aku berakhir mengatakannya pada lelaki dengan cardigan merah, sesuatu yang bahkan tidak kupercayai selama ini;

"Hey… jangan melakukannya…"

Suaraku pecah karena sesak. Kali ini air mataku tak bisa ditahan.

Aaaah bagaimana ini? Aku tidak bisa menghentikan lelaki ini. Aku tidak punya apapun untuk dikatakan padanya.

Aku menunduk dalam, tanpa sadar sampai membungkuk saking tidak ingin melihat seseorang di hadapanku. Perasaanku bercampur aduk. Rasa sedih, kecewa, marah. Rasa bersalah karena tidak bisa menghentikannya.

"Aku tidak punya hak untuk menghentikanmu." ucapku dengan air mata mulai mengalir.

Aku tidak kuat. Melihatnya, melihat seseorang yang memiliki masalah yang sama—rasanya seperti melihat diriku sendiri yang siap untuk melompat. Aku tidak bisa mencegahnya sama sekali. Sama seperti aku yang tidak bisa mengubah pikiranku untuk bunuh diri.

"Tapi… meskipun begitu, tolong pergi dari sini. Rasanya sangat sakit bagiku untuk melihatmu!"

Lelaki itu menurunkan pandangannya ke lantai, dia masih tersenyum padaku sambil berkata, "Kalau begitu, aku tidak akan melakukannya hari ini."

Aku mengangkat wajahku, melihatnya menghilang dari balik pagar.



Akhirnya, hari ini tidak ada seorang pun di atap sekolah.

Hanya ada aku sendirian. Tidak akan ada yang menghalangiku, tak ada yang mendahuluiku. Aku berterima kasih dalam hati karena dewi fortuna memberikan keberuntungan.

Aku melepas cardigan merahku. Berikut kacamataku. Berdiri siap di luar pagar pembatas untuk yang pertama kali secara nyata. Angin menerbangkan rambut acak-acakanku yang sudah agak memanjang setelah dipotong paksa.

Aku melihat langit, warna biru menenangkan perasaanku.

Aku lupa kapan hal baik dalam hidupku berubah menjadi seperti ini. Hari pertama aku masuk ke sekolah ini diawali senyum kedua orang tuaku yang memberikan semangat. Sebulan selanjutnya aku berhasil mendapatkan nilai-nilai bagus. Aku terus berusaha keras mempertahankannya. Sampai berhasil menjadi berprestasi secara akademik. Siswa-siswi di kelas memujiku. Para guru memujiku. Orang tuaku memujiku. Aku masih belum tahu orang-orang yang membenciku karena mendapatkan pusat perhatian di kelas.

Lalu aku menyukai seseorang.

Sayangnya dia laki-laki.

Dan kejadian buruk dimulai. Setelah dipermalukan, seorang gadis merebutnya dariku. Gadis itu berada di kelas yang sama denganku. Dia mempengaruhi orang-orang. Dia membully-ku bersama geng-nya. Anak-anak yang jauh lebih kasar mengikuti jejaknya. Anak-anak yang membenciku karena iri akan prestasi juga melakukannya. Aku pulang ke rumah dalam keadaan luka-luka, menangis sambil menggenggam erat kacamata yang patah. Ibu ada di sana. Mengusap kepalaku, tersenyum dan menyemangatiku.

Hari dimana mereka memotong rambutku adalah hari dimana ibu menangis karena bertengkar dengan ayah. Aku berdiri dibalik dinding, baru tiba di rumah dan mendengarkan teriakan mereka.

Aku lelah, aku kesakitan, aku lapar. Tapi ibu tidak bisa menyambutku.

Hari dimana ayah juga melampiaskan amarahnya padaku adalah hari dimana aku kehilangan alasan berprestasi di sekolah. Aku berjuang mendapatkan nilai spektakuler untuk membahagiakan mereka. Tapi kini tidak ada artinya lagi. Kertas-kertas bernilai seratus kupandangi penuh kekosongan. Aku merobek semuanya dengan amarah membludak dan berhenti berusaha. Kemudian guru-guru mulai mengutarakan kekecewaan karena nilai-nilaiku menurun secara signifikan.

Hari itu, aku pulang membawa hasil ujian terburuk semenjak dua tahun di sekolah itu. Bersama dengan luka-luka hasil kekerasan fisik di kelas. Wajahku ditutupi plester bekas goresan, tanganku penuh balutan perban, kakiku memar keunguan, rusukku berdenyut ngilu. Untuk pertama kalinya, aku takut pulang ke rumah. Aku takut setelah membuka pintu akan dihadapkan dengan kemarahan ayah lagi.

Dan saat itulah, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Aku tersenyum memandangi awan yang bergerak perlahan di atas sana—lega akhirnya akan segera dibebaskan dari belenggu kehidupan. Kakiku melangkah maju. Bersiap melewati sepetak lantai yang tersisa di luar pagar pembatas. Lalu melompat.

.

.

.

.

Ya. Aku akan bebas.

.

.

.

.

Sesuatu menarikku.

Seperti sebuah rantai yang masih menahan tanganku.

Kakiku sudah berada di atas udara, tapi tangan kiriku melawan gravitasi.

"Jangan melakukannya!"

Dengan kesal, aku mengangkat kepalaku, melihat seorang laki-laki yang lebih tinggi dariku. Dia menahan lengan kiriku, menggenggamnya erat tanpa cela. Satu tangan lainnya menggenggam pagar besi, mencegahnya ikut melewati batas. Hitam jelaga matanya dibuai rasa cemas yang kentara.

"Tolong lepaskan—"

"Tidak akan!"

Rahangku mengeras, gigiku menekan kuat satu sama lain. Tatapanku penuh luapan amarah pada orang asing ini, "Jangan menghalangiku! Aku ingin bebas!"

"Yang kau lakukan saat ini bukanlah jalan menuju kebebasan! Lihatlah ke bawah kakimu!" dia berseru balik padaku.

Aku mengikutinya. Pandanganku mengarah pada lapangan utama sekolah jauh di bawah sana. Atap ini secara harfiah adalah lantai lima gedung. Bagiku yang sedari tadi memandangi langit agar tenang secara jelas mulai berubah ekspresi.

Takut.

Aku takut.

"Apa kau masih yakin untuk menyuruhku melepaskan pegangan?" tanya lelaki tinggi itu. Genggaman tangannya mengerat di sekitar pergelangan tanganku.

Aku merasakan kakiku gemetar.

"Kau yakin mau jatuh ke sana?"

Aku menggelengkan kepalaku. "…aku tidak mau. Aku takut." Aku mengangkat kepalaku lagi, menatapnya—

—dia tersenyum padaku. Sangat teduh. Tangan yang menahan pagar bergerak menyambar tanganku, lalu menarikku dengan sangat kuat dengan dua tangan. Perutnya menekan pagar besi, satu kakinya dibelitkan pada kaki pagar sebagai penyangga. Setelah tangan kananku berhasil meraih pinggiran lantai, satu kakiku mendapatkan pijakan, aku menarik diriku sendiri.

Aku mencengkram kaki pagar dengan kedua tanganku, duduk menghadap padanya. Lelaki itu jatuh terduduk, kedua tangannya terulur melewati kaki pagar untuk menahan bahu dan punggungku—menahanku agar tidak jatuh. Melindungi orang asing sepertiku.

Napasnya memburu, "Haaah, haaa, kau… sudah aman."

Bahu kiriku terasa sangat sakit. Sepertinya efek terlalu lama menggantung dengan hanya satu tangan yang terangkat. Aku mengangkat wajahku, melihat wajahnya yang terhalang pagar pembatas.

"Kau…" aku bingung menentukan kata yang pas, lalu hanya ini yang keluar dari mulutku, "…gila."

Lelaki tinggi itu melempar senyum padaku. "Yup, terima kasih kembali."

Aku berdiri perlahan, melangkahi pagar, masuk ke garis aman. Lalu kami berdua duduk bersebelahan, sama-sama bersandar pada pagar besi.

"Ini konyol." ucapku sambil memegangi bahu kiri, "kita sama-sama berstatus orang asing tapi kau mau susah payah sampai kesakitan cuma untuk menarikku?"

Dia menoleh padaku, napasnya sudah teratur. "Jangan bicarakan seolah hidupmu tidak bernilai seperti itu. Lagipula, mencegah orang yang akan melakukan bunuh diri adalah reaksi paling normal dan pasti refleks dilakukan."

Aku mematung mendengarnya. Alasan klasik yang sama seperti yang kugunakan setiap hari pada orang-orang beruntung itu.

"Selain itu, sangat disayangkan kalau pertemuan pertama kita berakhir buruk."

Aku menatapnya terperangah lalu tertawa.

Oh, aku lupa kapan terakhir kali tertawa selepas ini.

Air mata yang menumpuk akhirnya jatuh. Aku meredakan rasa geli di perutku sambil mengusap basah di pipi. "Kenapa kau peduli pada pertemuan ini?"

Lelaki tinggi itu tersenyum hangat. "Ini sangat penting, kau tahu. Aku akan kecewa kalau lelaki imut sepertimu melayangkan nyawa begitu saja di depan mataku."

Aku meringis mendengar kalimatnya. Itu hal terbodoh yang pernah kudengar. Maksudku, badan tulang, pipi tirus, rambut kusam dengan potongan acak-acakan, wajah dihiasi plester dan luka gores begini kelihatan imut? Dia pasti sakit mata! Minus delapan sepertinya!

"Kutarik kembali ucapanku. Kau sinting."

Aku membayangkan tatapan menghina darinya. Karena sikap tidak tahu diriku setelah diselamatkan olehnya. Sipitku melirik, dia tersenyum. Lesung pipit tunggal yang tadi terpendam, muncul ke permukaan. Menambah kesan ramah. Rambut ikal cokelatnya bergulung tersapu angin. Tangan kanannya terulur.

"Namaku Park Chanyeol. Mungkin kau butuh teman cerita jadi… apa kau mau berteman denganku?"

Kapan terakhir kali aku melihat ekspresi sepengertian itu padaku?

Apa itu tipuan? Apa dia hanya ingin merendah untuk meroket?

Sempat meragu, kesimpulanku terbentuk tak lama kemudian. Aku sudah tahu wajah asli yang disembunyikan topeng palsu semua orang. Aku sangat berpengalaman dalam hal itu. Dan yang ada di hadapanku ini bukanlah dusta. Ini murni. Sangat murni sampai aku merasa tidak pantas menjabat tangannya. Matanya berbinar cemerlang, menunggu dengan antusias akan jawabanku.

Haruskah aku mengecewakannya?

Kulihat ujung bibirnya berkedut seolah pegal menahan senyum. Tapi manik gelap itu masih berkobar semangat. Tidak menyerah.

"…Byun Baekhyun."

Tanganku berdiam ditempatnya. Namun Chanyeol segera meraihnya, menunjukkan senyum kelegaan. Ia mulai berceloteh betapa gugupnya menunggu jawabanku. Orang ini benar-benar berisik. Mulutnya tak berhenti menceramahiku tentang tak ada untungnya melakukan percobaan bunuh diri.

"Kau hanya belum menemukan tujuan hidup baru. Jangan menyerah secepat itu."

Tidak sedetik pun kudapati senyumnya meluntur. Kuat bagai pondasi kokoh sebuah bangunan hasil karya arsitek kelas atas. Gesture kecil tangannya yang beberapa kali mengusap bahuku atau punggung tanganku entah kenapa terasa nyaman.

Apa aku masih diperbolehkan bermimpi lebih tinggi?

Yang kutahu selanjutnya, apapun yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran. Jantungku berdetak lebih keras, menegaskan keinginan hidup yang mulai memupuk.

Tujuan hidup baru?

Kurasa jawabannya bersama dirimu. Penyelamatku.

.

.

.

.

.


END


a/n: Pesannya adalah jangan menganggap semuanya akan selesai dengan jalan pintas. Semua yang buruk tidak selalu berakhir buruk. Masalah yang ada untuk pengalaman masa depan. Orang-orang yang menyakitimu, cuma dipinjam Tuhan untuk menimpa mentalmu bagai baja. [tumben ada amanat]

Kalian tahu siapa yang ditemui Baekhyun sebelum-sebelumnya?

Ini remake song Hatsune Miku – watashi no R (My R).

Terima kasih sudah membaca~!